The Little Coward by Lovelyn
3 posters
Page 1 of 1
Re: The Little Coward by Lovelyn
The Little Coward--Introduction
By Lovelyn Wong
Tittle : The Little Coward
Genre : Romantic Comedy
Cast : Lee Min Ho, Goo Hye Sun and friends
CHARACTERS :
Goo Hye Sun—Gadis berusia 16 tahun yang lahir dari sebuah keluarga yang cukup kaya. Orangtuanya merupakan pemilik sebuah penginapan terkenal di pulau Jeju. Dia pindah dari Jeju ke Seoul buat meneruskan sekolah menengahnya di Seoul High School atas usul orangtuanya. Seoul High School merupakan sekolah menengah paling bergengsi dan berkualitas di Korea. Setelah lulus dari sana, tanpa perlu ditest, para muridnya bisa langsung memasuki Seoul University. Di Seoul, Hyesun tinggal bersama kakak sepupunya, Yoon Eun Hye, yang hidupnya sudah mapan di sana. Eunhye juga mahasiswa Seoul University dan dia mengontrak sebuah apartemen yang cukup besar di pusat kota Seoul. Masalah mulai muncul ketika dia membawa pulang sahabatnya sejak kecil, Lee Min Ho, yang pindah ke Seoul University karena suatu alasan.
***********
Lee Min Ho—Sahabat Eunhye sejak kecil. Tidak diketahui apa hubungannya dengan Eunhye, yang jelas mereka selalu terlihat akrab dan saling memahami. Minho sangat terkenal di sekolah, baik di kalangan adik kelas maupun teman-teman kuliahnya. Pintar dan menguasai banyak bidang menjadikannya idola sekolah. Hampir semua penggemarnya berasal dari kaum hawa. Dia mempunyai sifat yang rada unik. Kesukaannya yang aneh pada cappuccino, juga seleranya yang berlebihan terhadap jenis musik tertentu—musik klasik yang berlatar datar dan tenang yang dihayatinya waktu menghirup kopi, menjadikannya terlihat istimewa. Satu ucapan yang amat digemarinya. Panggilan ‘Si pengecut kecil’ terhadap Hyesun.
************
Yoon Eun Hye—Sahabat karib Minho-kakak sepupu Hyesun. Selain kuliah di Seoul University, dia juga bekerja sambilan di sebuah cafeteria. Dia lembut dan pengertian. Sifatnya mandiri dan tidak mudah bergantung pada orang lain. Hubungannya dan Minho boleh dikatakan sangat istimewa.
**************
Kim So Eun—Teman sekolah Hyesun. Seumuran dengan Hyesun. Anaknya jutek dan sok tahu. Selalu mengajari Hyesun caranya berhubungan dengan seorang pria—pakar cinta gadungan.
***********
Kim Bum—siswa kelas sebelah-pacar Soeun yang begitu dibanggakannya. Selain karena seumuran dengannya, Bum juga termasuk siswa terkenal di Seoul High School.
************
Cho Dongsae—sahabat karib sekaligus teman sekelas Kim Bum. Dia merupakan murid pindahan di Sekolah Menengah Seoul. Ayahnya pemilik perbankan terbesar di Korea, yang saat ini sedang menjalin kerjasama dengan ayah Bum, karena itu Bum dan Soeun selalu berusaha menjodohkannya dengan Hyesun begitu mengetahui ketertarikan cowok itu terhadap sahabat karib Soeun ini.
**************
Joo Ji Hoon—sahabat Minho dan Eunhye sejak kecil. Saat ini status resminya adalah pacar dari Eunhye.
**************
Additional Casts :
##############
PROLOGUE
Aku terperangkap—terjerumus di sini. Terjerat dalam pesonamu. Terkurung dalam senyuman dan suaramu. Kesukaanmu pada buih-buih cappuccino yang bergoyang-goyang memenuhi cangkir kopi, caramu mengangkat dan mengamati buih-buih putih tersebut meletup di udara, memejamkan mata sambil menghirup dalam-dalam aroma yang tersembul keluar, begitu mempesona. Selera musik yang sangat aneh—yang kelihatan tidak cocok dengan gayamu—justru membuatmu semakin istimewa. Aku tahu, aku tertarik padamu. Sayang, para onnie dan sunbae yang mengelilingimu itu menyadarkanku,, aku tidak boleh keluar batas..
Aku takut menyia-nyiakan perasaan ini. Membenci diriku yang sangat berhati-hati dalam membentengi diri. Sesungguhnya, aku tidak ingin menanggis sepuluh hari buat cinta pertama yang kurasakan. Hindari kamu sejauh mungkin …
Tapi aku suka mendengarmu memanggilku ‘si pengecut kecil’. Ekspresi wajah yang mampu meruntuhkan pertahananku—dan aku yakin juga pertahanan para wanita di dunia. Panggilan serius ‘si pengecut kecil’ membuat hatiku berbunga-bunga bak kekasih yang sedang dimabuk cinta. Perasaan aneh dan mungkin .. salah tangkap? .. membuatku menyadari dua hal ...
Dalam duniaku, aku memperingati, ‘tidak boleh melanggar aturan .. ‘
Dalam duniamu, kau tersenyum padaku, seakan berkata, ‘terserah … ‘
&&&&&&&&&&" />" />
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Re: The Little Coward by Lovelyn
The Little Coward--
Chapter One
By : Lovelyn Ian Wong
Celah pintu ini cukup lebar bagiku. Untuk apa? Ya, tentu saja untuk melihatmu (Minho, Lee)--mengamatimu secara sembunyi-sembunyi. Apalagi yang bisa kulakukan selain ini? Si pengecut kecil yang sering kau panggil. Yup, inilah aku--Goo Hye Sun.
Mataku tak berkejap. Apa yang kau lakukan selalu membuatku terpesona. Seperti juga kali ini—kebiasaanmu menikmati kopi di sore hari. Caramu menyilangkan kaki .. posisimu saat menghirup aroma yang tertiup dari cangkir yang terpegang di tangan .. matamu yang terpejam dengan kepala sedikit menengadah .. oh Tuhan! Hatiku berdebar keras. Asap tipis yang melambung ke atas seakan menjadi saksi bisu lekuk-lekuk indah dari wajahmu. Kaki panjang yang terbalut celana jeans ketat itu bergoyang-goyang, dengan jemari-jemarinya yang digerak-gerakkan mengikuti alunan musik klasik lembut dari disk player. Dapatkah kau bayangkan betapa hebatnya dirimu?
"Hyesun-a!!"
Bukkk!!! Kepalaku terantuk gerendel pintu. Well, aku tadi berjongkok di depan pintu kamarmu jadi jangan heran jika batok kepalaku sukses mencium gerendel pintu.
"Apa yang kau lakukan di situ?"
Aku mendesis, bukan hanya karena kepalaku yang berdenyut-denyut kesakitan tapi lebih karena rasa takut telah ketahuan melakukan sesuatu yang tak pantas. Tanganku mengosok-gosok batok kepala ketika berpaling ke belakang.
"Onnie .. ," sapaku dengan paras merana.
"Ada apa?"
Onnie (Eunhye) memandang ke depan—ke pintu/kamar di mana kau berada. Aku melihat alisnya berkenyit perlahan. Mataku langsung terpejam rapat-rapat, antara risih dan takut.
"Ti .. tidak ada apa-apa .. ," ya, mulai lagi kelemahanku. Sangat mudah gugup buat sesuatu yang kurasa salah. Sekecil apapun kesalahan itu. "Sa .. saya kembali ke kamar dulu ... ." Secepat kilat aku melesat dari situ.
Brakkk!! Pintu kamarku terhempas keras. Satu detik .. dua detik .. kubuka pintu kamar ini secara perlahan-lahan.
Aku melihat onnie mengeleng-gelengkan kepalanya. Lalu kau keluar dari kamar tak sampai setengah detik kemudian. Postur jangkung yang selalu membuatku tertegun dan berfantasi. Tanpa sadar tanganku menepuk-nepuk pipi sekeras-kerasnya. Nafasku terhembus seiring tindakanku ini. Sadar!!! Harus sadar, Hyesun-a! NE!
"Kau keluar lagi?"
Samar-samar aku mendengar kau bertanya pada onnie.
"Tidak ..," jawab onnie sambil berpaling ke arah kamarku.
Tanpa disuruh, pintu ini segera ditutup olehku. Dan sekarang bayanganmu hilang dari pelupuk mataku. Aku mendesah. Perasaan sengsara karena telah mengimpikanmu memang tidak enak.
Sekali lagi aku membuka pintu ini dan mengintip keluar. Kebersamaanmu dengan onnie selalu membuatku penasaran. Sebenarnya seperti apa hubungan kalian? Aku tidak pernah berani menanyakannya. Ya, apa peduliku. Dan sepertinya kalian juga tidak berminat menjelaskannya padaku. Sekali lagi apalah artinya diriku ini.
“Apa yang kau cari?” suara serak-serak basah yang selalu mengelitik telingaku itu terdengar lagi. Dapatkah kau bayangan, hanya sebuah suara saja bisa membuatku pontang panting? Pasti tidak.
“Itu—si Hyesun, dia sangat aneh!!” jawab onnie. Dia berpaling kembali ke arahku. Kali ini aku tidak menutup pintu. Berharap dalam hati kalau dia tidak melihatku. Dan sepertinya memang tidak. Semoga saja.
“Tadi dia berada di sini?” tanyamu.
Onnie mengangguk. Mataku terpejam perlahan .. dan nafasku berhembus dengan keras. Lagi-lagi aku ketahuan telah memperhatikanmu secara diam-diam.
Kau tak menjawab. Aku mempertajam pandangan ke depan. Entah salah tangkap atau bukan? Atau … aku perlu memeriksakan mataku ke dokter spesialis mata? Samar-samar aku melihatmu tersenyum. Senyuman yang sangat tipis dan hampir tak terlihat.
“Nggak tahu apa yang dilakukannya?” onnie berkata dengan nada penasaran. “Dia selalu aneh sejak kehadiranmu di sini .. ,” kemudian dia beralih padamu. Diamatinya dirimu dengan seksama. “Apa kau telah melakukan sesuatu padanya, Lee Min Ho-ssi?” tanya onnie dengan pandangan menyelidik.
Sekali lagi kau tersenyum. Kali ini sangat jelas. Bibir sebelah kiri itu tertarik ke atas. Kau mengangkat bahu, kemudian berbalik ke arah pintu keluar.
“Saya ada keperluan di luar .. ,” tanganmu terangkat ke atas. “Tidak akan kembali sampai besok pagi .. See you .. “
“Hey—Lee Min Ho!!!”
Bukkk,, pintu depan ditutup olehmu. Bibirku langsung monyong ke depan. Kau selalu keluar masuk seenak perutmu di sini .. huhhh ….
******
Daguku tertumpu di atas meja. Perlahan-lahan mataku meredup. Satu jam sudah aku berada di posisi yang sama. Sangat membosankan dan .. mengantuk. Aku tidak bisa beranjak pergi karena kau berada tepat di hadapanku sekarang. Tidak sendirian—tentu—jika tidak, aku tidak akan sejemu ini.
Kau dikelilingi beberapa sunbae yang terus-terusan mencolek-colek bagian tubuhmu. Ok, mungkin aku agak berlebihan. Mereka tidak mencolek tapi hanya menyentuh. Well, apa itu ada bedanya? Bagiku, tidak sama sekali!
Mataku terpejam perlahan. Nafasku terhembus berat—seperti eraman singa betina yang lagi bertelur. Apa singa memang bertelur? Bukankah singa hanya bisa melahirkan? Aku ngelantur lagi. Tapi perumpamaan ini memang sangat tepat buatku.
Wajahku kutarik dari meja yang kukira sudah mengelem erat wajahku. Sekali lagi aku mendesah. Percuma berada di sini. Sebaiknya aku kembali ke kamar saja. Aku berdiri dan mendorong kursi ke belakang. Ketika aku sudah memutar tubuh ke arah kamar, tiba-tiba kau memanggilku.
“Hey—little coward!!”
Deg! langkahku terhenti. Tanpa disadari, aku tersenyum. Ya, panggilan kecil ini begitu kurindukan. Sudah dua hari aku tidak mendengarnya karena selama dunia hari ini kau lenyap dari rumah. Sedangkan di sekolah .. kau memang selalu menganggapku barang transparan sehingga tak pernah menyapaku.
Aku berbalik dengan sepasang mata terbuka lebar. “Dhe?”
Kau mengangkat tangan. “Two cup of tea, please!”
Apa aku pelayanmu?!! Ingin aku berteriak. Tapi tentu saja tidak kulakukan. Bukan karena tidak boleh tapi karena aku tidak cukup berani melakukannya. Seperti katamu, ‘aku si pengecut kecil.’
“Ne .. ,” jawabku lesu.
Apa kau tersenyum? Mungkin! huhh aku tidak peduli lagi. Lagipula untuk apa kau tersenyum?
Secepat kilat aku berlari ke dapur hingga hampir menubruk daun pintu yang tertutup. Kudengar suara ketawa dari belakang. Aku berpaling. Para onnie itu sedang tertawa sambil menunjuk-nunjuk kearahku.
“Dia adikmu ya, Minho-a?” tanya salah seorang dari mereka.
“Cute sekali .. ,” yang lain menimpali.
“Menurutku dia tertarik padamu .. ,” nah, perkataan apa ini?
Wajahku terasa panas.
“Wajahnya memerah, Minho-a .. ,” kata wanita pertama. “Sepertinya dia malu .. “
Aku segera menutup wajah dan menghambur ke dalam dapur. Tak ingin kudengar lagi perkataan-perkataan centil itu. Tapi apa bisa? Aku masih harus membawa teh yang kau minta. Oh—mengingat ini, lututku langsung lemas ….
&&&&&&&&&
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Re: The Little Coward by Lovelyn
The Little Coward--
Chapter Two
By : Lovelyn Ian Wong
Untuk kesekian-kalinya aku menghela nafas. Di sekolah sekalipun, aku tetap tidak mampu mengusir bayanganmu dari pikiranku. Sungguh mengelikan. Saat ini aku sedang memikirkan apa yang sedang kau lakukan di gedung yang bersebelahan dengan sekolahku. Mungkinkah kau juga sedang memikirkanku? Sampai di sini pipiku mengembung. Bagaimana mungkin kau memikirkanku? Di rumah saja kau tidak memperlihatkan reaksi itu apalagi di sekolah, huhuhu … nyesak banget waktu mengingat kenyataan ini.
“Yoo—kamu!!”
Sebuah tangan tiba-tiba menyambar pundakku. Aku tersentak—ketakutan seperti pencuri yang tertangkap basah karena telah melakukan sesuatu yang tak pantas.
Aku segera menoleh ke belakang. “Soeun-a!!” teriakku lega.
“Wegude?” Soeun menjatuhkan dirinya di sebelahku. “Masih bermimpi?” dia meletakkan telapak tangannya di keningku. “Atau .. kau sedang sakit?” tambahnya dengan nada mengejek.
Wajahku memerah. “Yaa—singkirkan tanganmu!”
“Hey come on, girl … ,” Soeun tertawa. “Realitislah sedikit! Minho sunbae itu mustahil buatmu. Saingan-sainganmu sudah mengantri dari sini sampai ke sana … “ Soeun menunjuk dari ujung bumi sebelah selatan sampai ke utara. “Mereka hebat-hebat—dari pendidikan, body sampai status keluarga … ,” lanjutnya dengan gaya menghitung. “Kau kalah jauh, Hyesun-a .. “
Aku cemberut. “Aku nggak ngerti maksudmu!”
“O ya?” mata Soeun melebar. “Masih berlagak di hadapanku?”
Aku tak menjawab.
“Aku heran padamu .. ,” Soeun menepuk telapak tanganku keras-keras menyebabkan aku menjerit kesakitan. Aku segera mendeliknya dengan kesal. “Kita masih sangat muda, Hyesun-a. Banyak kesempatan terpampang di hadapan kita.” Soeun melebarkan tangannya. “Kita tinggal memilih dan memetik salah satu di antara mereka, baik itu pendidikan, karir dan cinta. Untuk apa bermimpi buat sesuatu yang tidak teraih … “
Aku tetap membisu. Tatapanku terarah ke depan—hampa.
“Percayalah!” Soeun menepuk pundakku. “Ikuti caraku. Berpacaranlah dengan orang setingkat dan seumuran dengan kita .. dan akan kau rasakan bagaimana indahnya dunia ini .. ,” lanjut Soeun dengan gaya sok menasehati.
Aku tidak mampu menahan untuk tak tertawa. Soeun—si jutek yang centil ini berlagak dewasa?
“Hey—saya serius!!” wajah Soeun berubah cemberut.
“Ne. Ne—aku tahu kau serius .. ,” aku mengelus punggungnya--berusaha untuk menenangkannya, tapi tetap saja ketawaku tak berhenti.
“Huhh—kau ini!!”
Tiba-tiba dia mengetok kepalaku.
“Akhh—apho!!” teriakku minta ampun.
“Huhh!!” Soeun mendengus lagi.
Dia berdiri dari bangku dan memutar tubuh ke samping. Tiba-tiba dia berteriak sambil menunjuk ke depan.
“ITU—IDOLAMU!!”
“MWO?!” aku terlonjak dari tempat dudukku—hampir terpelanting akibat keterkejutan yang teramat sangat. Wajahku memucat seputih kapas. “MANA?” tanyaku sambil celingak-celinguk kesana-kemari.
“BOONG!!” teriak Soeun sambil berkelit. “I get you, Hyesun-ssi!! Ha .. ha ..”
“KIM SO EUN!!” jeritku.
Tanganku bergerak bermaksud mencubit pinggangnya tapi dia sudah melesat ke ambang pintu. Suara ketawanya mengelegar di aula sekolah yang tidak begitu ramai itu.
“Ha .. ha .. aku akan mencarimu lagi nanti .. ,” Soeun melambaikan tangannya dari balik pintu keluar. “Ingat, jangan bermimpi lagi! Tar kejendot pintu!!”
“Yaishh--!!”
Saputangan bermotif bunga-bunga kecil melayang dari tanganku—berputar sedikit di udara kemudian mendarat di atas pintu yang sudah tidak tampak lagi batang hidung Soeun. Aku menghembuskan nafas kuat-kuat. Mengapa begitu sial hari ini?
Aku berlari ke pintu—meloncat-loncat buat mendapatkan kembali saputanganku tersayang. Tapi sial, aku terlalu pendek …
******
Aku berkomat-kamit sendirian. Saputanganku masih bertengger dengan anggun di atas daun pintu dan aku tidak berhasil meraihnya.
Akhirnya aku menyerah dan keluar dari aula sekolah. Kutelusuri lorong terbuka yang menghubungkan ruang kelas dengan kantin. Kepalaku tertunduk dalam keadaan menyedihkan. Sapaan-sapaan dari teman-teman sekelas kubalas sekedarnya. Aku sadar mereka berbisik-bisik sambil tertawa kecikikan. Entah apa yang membuat mereka berlaku begitu, aku tidak mau tahu. Pikiranku dipenuhi nasib saputanganku yang malang. Oh—my handkerchief …
Suara samar-samar yang saling bersahutan di depan membuatku mengangkat wajah perlahan. Mataku langsung terbelalak lebar terhadap apa yang berhasil kutangkap. Mampus aku! Seperti melihat hantu di siang bolong, wajahku memucat. Aku menoleh ke kiri dan kanan. Akhirnya kudapatkan tempat bersembunyi. Secepat kilat aku melesat ke balik pilar bundar di dekat situ.
Suara-suara tersebut semakin mendekat. Suara ketawa cekikikan yang sangat menyebalkan. Ingin sekali aku mengarahkan tembakan jitu ke jidat mereka. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Berharap tidak ada yang melihat keberadaanku. Aku tak sadar kau melirik ke arahku. Tidak tahu apa kau melihatku karena lirikan itu hanya sekilas. Perlahan wajahmu menunduk dan menyunggingkan senyum tipis.
“Apa kau punya acara di malam minggu ini?”
Kudengar salah seorang sunbae yang kecentilan bertanya padamu. Mataku terbuka perlahan-lahan. Kalian melewatiku begitu saja. Kepalaku terjulur ke depan guna menangkap jawaban darimu.
“Anhi .. “
Paling tidak jawaban itu yang kuharapkan! batinku dengan bibir mengerucut.
Aku menghembuskan nafas kemudian membentur-benturkan jidatku ke pilar. Terasa sakit tapi cukup menenangkan perasaanku yang tak terkendali.
“Hancurkan sekalian batok kepalamu!!”
Aku tersentak. Dengan cepat aku menoleh ke belakang.
“Soeun-a … “
“Kamu .. ,” dia berjalan kearahku sambil mengarahkan telunjuknya. Ditusuk-tusuknya jidatku dengan telunjuknya itu. “Dinasehati nggak mau dengar. Diberi pengertian nggak mau tahu …,” katanya kesal.
“Miane .. ,” ujarku lirih.
“Huhh—julukan itu benar-benar cocok buatmu .. ,” dengus Soeun.
“Mwo?” tanyaku tak mengerti.
Bibir Soeun menyunggingkan senyum tipis. “The .. little .. co .. ward .. ,” jawabnya dengan cara mengulur kata-kata tersebut sepanjang dan selama mungkin.
“MWO?” aku sangat terkejut. “Dari mana kau mengetahuinya?” tanyaku gugup.
Soeun mengangkat bahunya. “Hampir seluruh siswa mengetahuinya .. Juga para sunbae dari universitas Seoul … si little cowardnya minho sunbae … “
“Oh—dari siapa?” aku hampir menanggis. Perasaan malu membuatku mundur beberapa langkah dengan gontai. Tanganku menutup wajah erat-erat. Bagaimana caranya aku menghabiskan masa beberapa tahun di sekolah ini jika hal memalukan ini sudah tersebar seantero sekolah, bahkan universitas Seoul di mana kau kuliah?
******
Aku berusaha menyelesaikan rumus-rumus matematika ini, tapi tak berhasil. Pandanganku mulai berkunang-kunang. Aku meringis. Maagku kumat lagi.
Pintu depan dibuka oleh onnie. Dia memasuki ruangan dengan dua kantong belanjaan terjinjing di tangan.
“Hey—Hyesun-a .. ,” dia menyapaku.
Aku mengangguk sambil berusaha tersenyum.
Onnie meletakkan belanjaannya ke atas meja kemudian dia mendekatiku.
“Kenapa? Wajahmu terlihat pucat?”
Aku mengeleng. “Tidak apa-apa. Hanya rumus-rumus ini membuatku pusing .. ,” kataku beralasan.
Onnie tertawa sambil mengelus rambutku. “Mian, onnie tidak bisa membantumu. Matematika merupakan pelajaran terburukku .. “
Aku tersenyum perlahan. “Tidak apa-apa .. ,” jawabku sambil berusaha mengatur irama suaraku terdengar sewajar mungkin.
“Kalau begitu lanjutkan saja .. “
Onnie menepuk pundakku kemudian berbalik menuju ke kamarku. Aku meliriknya sekilas, lalu meringis lagi. Perlahan kutarik kembali buku lesson dan mulai menghadapinya. Sungguh saat ini aku tidak ingin dipusingkan dengan bayanganmu.
*******
Eunhye masuk ke dalam kamar Minho. Pemuda yang lagi menghayati buku skripsi tebal di tangannya itu menghentikan kesibukkannya.
“Pulangnya cepat banget?”
Eunhye mendekati meja di mana Minho berada. “Bosku menganti lemburku kemarin malam .. ,” jawabnya cuek sambil mencondongkan tubuh ke depan. “Bagaimana skripsimu, calon psikolog?”
Minho tertawa. Ditutupnya buku skripsi dalam tangannya kemudian menaruhnya di atas meja. “Hampir selesai .. “
“Saya heran denganmu .. ,” Eunhye menjatuhkan diri di atas kursi. “obviously your life was planned … meneruskan Lee’s sudah tak bisa dielakkan lagi, jadi mengapa susah-susah mengambil jurusan psikologi?”
Minho berdiri di depan Eunhye. “Ada kalanya membaca pikiran orang sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis .. ,” telunjuknya digerak-gerakkan dengan senyum misterius.
“Ok .. ,” Eunhye tertawa. “Dan sekarang calon psikolog .. ,” tiba-tiba dia memutar posisi tubuh Minho menghadap ke luar pintu yang terbuka. Telunjuknya mengarah ke depan. “ .. menurutmu apa yang dipikirkan si pengecut kecilmu itu?”
Minho mengulum senyumnya. Tubuhnya ditegakkan kemudian dia menepuk pundak Eunhye. Dengan tenang dia berjalan kearah pintu.
“Hey—mau kemana?”
Teriakkan Eunhye tidak dihiraukannya. Begitu sampai di luar, ditutupnya pintu itu.
*******
Perlahan-lahan aku meletakkan pensil di tanganku ke atas meja. Sakit di lingkaran perutku semakin terasa. Keringat dingin bercucuran dari seluruh tubuhku. Aku mengigit bibir keras-keras. Ingin sekali berteriak tapi tidak kulakukan. Aku tidak mau dianggap gila!
“Buka mulutmu!”
Aku tersentak. Suara yang begitu kukenal. Aku mengangkat wajah dengan cepat.
“Mwo?”
“Buka kataku!” perintahmu tegas.
Dengan patuh aku membuka mulutku. Sesuatu kau letakkan di lidahku, lalu tanganmu yang memegang gelas berisi air putih terjulur kearahku.
“Minum airnya dan telan .. “
Sekali lagi aku melakukannya dengan patuh.
“Apa itu?”
Bagus, tanpa mengetahui apa yang kau berikan padaku, aku langsung memakannya. Bagaimana jika itu racun?
“Obat maag .. ,” jawabmu pendek.
“Obat maag?” aku mengulang kata-kata itu—tak percaya. Bagaimana kau bisa mengetahui kalau aku sakit maag?
“Terlambat makan siang lagi?” tanyamu.
Aku mengangguk pelan.
“Apa ini?” tanganmu menunjuk buku-buku di atas meja.
“Tugas dari sekolah .. ,” jawabku.
“mathematics?”
Aku mengangguk. Kau kemudian menjatuhkan diri di sebelahku—membuatku gugup. Tanganmu meraih buku lesson terdekat dan menyelaminya. Aku berusaha mencegah tapi begitu kau menoleh kearahku, aku langsung membungkam di tempat.
“Apa ini?” alismu berkerut perlahan.
“Mwo?” aku balas bertanya.
“Salah semua .. ,” sahutmu sambil melirikku.
Aku mengangga. “Ne? Masa?”
Tiba-tiba kau menarikku kearahmu.
“Seharusnya begini .. “
Tanganmu mulai mengores-gores kertas kosong yang berserakan di atas meja. Mulutmu komat-komat—begitu istilah dariku, karena aku tidak berhasil menangkap sedikitpun penjelasan-penjelasan darimu—menerangkan rumus-rumus matematika yang tidak kumengerti. Mataku berpusat pada bibirmu yang bergerak-gerak halus—begitu seksi dan memikat. Andai saja aku dapat menjamah dan merasakannya. Pandanganku meredup. Suaramu mendayu-dayu lembut, membuaiku ke alam mimpi bak musik klasik yang sering kau putar. Sakit mag yang kurasakan hilang begitu saja. Entah pengaruh obat yang kau berikan atau kehadiranmu di sini? Aku tidak ingin memikirkannya sekarang.
“Understand?”
Aku tersentak.
“Ne?”
Wajahmu condong ke depan hingga hampir menyentuh wajahku. Aku menyusut ketakutan.
“Kau mendengarku tidak?” tanyamu dengan kening berkerut.
“Saya .. ,” aku melirik ke segala arah. “Miane .. ,” jawabku sambil memejamkan mata. Ketahuan lagi aku sedang melamun!
“Dasar .. “
Getokan halus mendarat di kepalaku. Aku membuka mata dan ternyata kau sudah berdiri dari kursi.
“Beristirahatlah, kita lanjutkan lagi nanti malam .. ,” katamu halus.
Aku mengangguk patuh—seperti biasanya, si pengecut kecilmu.
“O ya .. ,” kau berbalik. “Tentang panggilan itu ..,” tanganmu bergerak ke depan kemudian dijentikkan. “Jangan dimasukkan dalam hati .. “ lanjutmu sambil tersenyum. Lesung pipi yang sangat dalam menghiasi wajahmu. Kau memutar tubuh kemudian masuk ke dalam kamar.
Meninggalkanku .. yang hanya bisa melongo di tempat seperti orang bego.
________________oOo_________________
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Re: The Little Coward by Lovelyn
The Little Coward--
Chapter Three
By : Lovelyn Ian Wong
Aku celingukan mencari bayanganmu. Satu setengah jam sudah kau belum keluar dari kamar. Karena kelelahan kujatuhkan diri di atas kursi di tengah ruangan. Aku termangu. Setelah dipikir ulang, aku sadar--apa yang harus kukatakan padamu jika kau nonggol di hadapanku? Huh—tidak ada! Aku pasti akan berubah jadi orang dungu lagi. Memintamu meninggalkan tempat ini selama dua hari? Rasanya mustahil!!
“Hush—apa yang kau cari dari tadi?”
Teguran keras itu mengejutkanku. Gelas di sebelahku tersenggol, bergulingan di atas meja kemudian jatuh ke lantai. Brakkk …, untung gelas itu dari plastik jika tidak--sudah pecah berkeping-keping. Sekarang hanya air yang berada di dalamnya tumpah mengenangi lantai.
“Onnie!!” tegurku kesal.
“Ho—kenapa?” tanya onnie dengan gaya tak bersalah.
Aku mendengus sambil meraih kain lap dari pojok ruangan kemudian berjongkok di lantai.
“Jangan mengejutkanku lagi ..,” cetusku sambil mengeringkan lantai dengan kain lap.
“Oh—salahku?”tanya onnie sambil menunjuk dirinya sendiri. “Bukannya kau yang kerjaannya melamun terus?” lanjutnya dengan nada menyalahkan. “Ada apa?”
Aku tak menjawab. Apa lagi yang bisa kukatakan jika pertanyaan onnie menembak jitu kelemahan-kelemahanku?--pelamun, pemimpi, pengkhayal dan status-status sejenis itu?--atau mungkin juga, termasuk .. pengecut dan penakut? *sad*
“Hey—aku bertanya padamu, Hyesun-a?”
Aku berdiri. Kain lap yang sudah basah itu kulemparkan ke sudut kaki meja.
“Apa onnie tahu omma akan datang hari ini?” aku mengalihkan pembicaraan kearah lain.
Onnie mengangguk. “Ne .. ,” dia menarik sebuah kursi dan duduk di sana. “Bibi mengabariku tadi malam .. ,” katanya sambil mengambil sebutir permen dari toples yang terletak di atas meja. “Memangnya kenapa?” Onnie melemparkan permen tersebut ke dalam mulutnya.
“Onnie merasa itu tak masalah?” tanyaku tak percaya.
Alis onnie terangkat. Sepertinya dia tidak menangkap kearah mana pembicaraanku.
“Itu .. ,” kataku kikuk. Tanganku bergetar ketika mendorong kursi yang tadi kududuki ke belakang dan kembali aku menjatuhkan tubuhku di sana. “ … Minho sunbae .. “
“O .. ,” sela onnie . Bagus--kelihatannya dia sudah mengerti maksudku sekarang. Mulutnya terbuka. Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak. “Kau takut ketahuan bibi kalau kita menyembunyikan seorang cowok keren di sini?”
“Onnie!!” teriakku tak senang. “Saya serius .. “
“Ha … ha .. ha .. kau berlebihan .. ,” onnie mengetok kepalaku. “Kamar di apartemen ini ada empat. Bibi tidak akan berpikir kita sekamar dengannya .. “
"Onnie!!" aku berteriak lagi.“Bagaimanapun aku .. aku tidak suka .. “
Onnie menghentikan ketawanya. Dia berpikir sejenak. “Ok, kalau begitu aku akan membicarakannya dengan Minho .. Oh--,” mendadak tubuhnya menegak. “Tidak perlu lagi, dia di sana .. ,” katanya sambil menunjuk ke depan.
Aku sangat terkejut. Secepat kilat aku berbalik. Benar saja, kau sudah berdiri di belakangku. Bahkan sangat dekat. Apakah kau mendengar pembicaraan kami? Mungkin. Aku tidak bisa membaca ekspresi datar dari raut wajahmu.
Aku menjadi gugup--hal yang sering terjadi padaku jika berhadapan denganmu. Dengan cepat aku memutar tubuh kembali ke posisi semula. Mataku berkejap-kejap. Aku segera meloncat bangun dari kursi dan bergerak kilat ke depan. Sial bagiku, lututku menabrak kaki meja.
"Akhhh!!!"
"Gwencana?" kurasakan tanganmu menarik lenganku. "Mengapa tak berhati-hati begitu?"
Antara risih dan malu, aku mengibaskan tanganmu. "Saya .. gwencanayo ... "
Kau mengamatiku. Aku segera menundukkan kepala dalam-dalam. Kemudian aku mendengar kau berdeham pelan.
“Aku akan keluar kota weekend ini .. ,” katamu dengan tenang—seakan memang itu maksudmu tadi berdiri di situ. “Kalian tidak perlu menungguku pulang ataupun mencariku .. Aku akan kembali hari senin nanti ... "
Kemudian, tanpa menunggu respon dari kami, kau berjalan kembali ke kamarmu.
Mulutku mengangga perlahan-lahan. Wajahku terasa panas. Malu sekali rasanya ketahuan telah mengharapkan kepergianmu. Aku ingin berteriak,Bukan begitu! Bukan itu maksudku! Aku tidak menginginkan kepergianmu. Sesungguhnya aku ingin setiap hari melihatmu .. mengamatimu .. dan menghayati seluk-beluk wajah dan segala gerak-gerikmu ... Hu .. hu .. aku ingin menanggis. Kututup wajahku dengan tangan. Saat ini aku ingin sekali merangkak ke kolong meja dan menanggis sepuasnya. Andai saja aku boleh melakukannya. Tapi tentu saja tidak boleh, karna aku bukan tikus dan onnie masih berada di sini—bersamaku. Aku tidak mau dia menyangka adik sepupunya yang memalukan ini ternyata sudah sinting beneran.
******
Eunhye membuka pintu kamar Minho. Diamatinya sekilas kamar tersebut dari ambang pintu. Minho sedang memunggunginya--terlihat sibuk dengan sesuatu di tangannya. Eunhye mendekati pemuda itu.
"Hey .. ," sapanya sambil menyentuh pundak yang bergerak-gerak halus itu.
Minho berpaling. "Hey .. ," balasnya halus.
"Mian .. ," kata Eunhye sambil menjatuhkan diri di atas ranjang--di sebelah Minho.
"Mwoga?"
"Karna ketakutan tak beralasan dari Hyesun, kau harus menyingkir dari sini .. "
Minho tersenyum. Perlahan perhatiannya dialihkan kembali ke barang--yang ternyata sebuah kamera--di tangannya. Eunhye meliriknya sekilas.
"Kembali lagi ke hobbi lama?"
Minho mengangkat wajahnya, "Maksudnya?"
Eunhye memandangi kamera di tangan Minho. "Sudah lama tidak melihatmu berkutat dengan kamera .."
Minho kembali tersenyum. "Saya tidak punya waktu .. ," jawabnya sambil mengatur lensa yang terpasang di kamera tersebut.
"Bukan tidak punya waktu .. ," ujar Eunhye. Disenggolnya lengan Minho. "Karna kau terlalu baik ... Tidak bisa menolak permintaan-permintaan rekan-rekan kuliah yang lain .. "
Minho mengangkat pundaknya. Perhatiannya dialihkan kembali ke lensa di kamera. "Ini .. ," dia mengangkat kamera tersebut. "Kubeli kemarin. Keluaran terbaru. Dapat memfokus sempurna objek terkecil sekalipun, dan daya tangkapnya sangat jauh dan jelas .. "
Minho berdiri dari ranjang. "Saya bermaksud mengintai gerak-gerik binatang malam malam ini, apa kau ikut denganku?"
Eunhye langsung mengangkat tangannya--ketakutan. "Tidak! Jangan libatkan aku lagi dalam kegilaan-kegilaanmu!"
Minho tertawa renyah. Suaranya yang serak-serak basah mengalun dengan syahdu.
Eunhye mengenyitkan alis, kemudian melanjutkan perkataannya. "Masih ingat peristiwa dua tahun yang lalu? Ketika pertama kalinya kalian membawaku berburu binatang melata? Huekk--" Eunhye membuka mulut dan mengeluarkan suara seperti orang muntah.
"Iya, iya ..," Minho tersenyum. "Kau muntah-muntah waktu itu. Dan selama hampir sebulan kau menyalahkan kami, setelah itu kau tidak berani lagi ikut kami foto-foto di alam terbuka .. "
Minho mengambil tas selempang besar dari atas meja dan mulai memasukkan barang-barang yang diperlukannya ke dalam tas tersebut. "O ya, apa kau sudah mendapat kabar dari Hoon?" tanya Minho tanpa beralih dari kesibukkannya.
Eunhye menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. "Sudah ..," jawabnya datar. "Dia akan pulang beberapa bulan lagi .. "
"Bagus kalau begitu .. "
Minho melintangkan tas yang sudah terisi penuh ke badannya. "Sampaikan salam dan terimakasihku padanya .. "
"Ne. Saya akan menyampaikannya .. ," sahut Eunhye sambil memejamkan mata.
"Gumawo .. "
Minho berjalan ke lemari di sudut kanan dekat pintu. Dikeluarkannya sebuah jas panjang warna biru tua kemudian mengenakannya.
"Saya pergi, Eunhye-a .. See you .."
Dia melambai pada Eunhye yang masih memejamkan matanya.
"Bye .. ," Eunhye mengangkat tangannya--membalas dengan acuh.
********
Omma tiba di apartemen kami sekitar dua jam kemudian. Beliau naik taxi yang mengantarnya sampai ke tujuan sehingga kami tidak perlu menjemputnya. Sesampainya di apartemen kami, seperti biasa--atau seperti dugaanku--, belum juga bangku yang didudukinya hangat, omma sudah menjelajahi tempat tinggal kami. Semua sudut tidak terlepas dari keingintahuannya. Mulai dari kamar yang akan ditempatinya, kamarku, kamar onnie, dapur, kamar mandi, sampai ... pendaratan terakhir--kamarmu. Aku bernafas lega. Untung kau sudah minggat--lebih tepatnya, menyingkir sementara dari apartemen ini *wink*
"Apa ini?"
Omma meraih sebuah biola dari atas meja.
"Itu milik onnie!" sahutku cepat.
"Aku?" onnie menunjuk dirinya--kebingungan.
"Milik Eunhye?" omma juga bertanya.
"Ne!" jawabku sambil menyenggol lengan onnie.
"Sejak kapan kau belajar biola, Hye-a?"
"Sejak .. sejak ... ," onnie terlihat kehabisan kata-kata.
Maklum, onnie orangnya sangat lurus--tidak biasa berbohong. Tidak seperti aku, kalau sudah ketakutan, kebohongan apapun bisa terlontar dari mulutku.
"Sejak masuk kuliah .. ," aku membantu onnie melanjutkan perkataannya. Kualihkan pandangan padanya dengan sikap menyalahkan. "Onnie sendiri yang memberitahuku, mengapa sampai melupakannya?"
"Aku?" bibir onnie bergerak tanpa suara.
"NE!!" sekali lagi aku menyenggol lengannya. Kali ini lebih keras.
"Ne. Benar, bi .. he .. he .. saya lupa .. ," onnie ketawa dengan risih.
"Benarkah?" tanya omma curiga.
"Tentu saja!" jawabku pasti.
"Lalu .. yang ini?" tangan omma menyentuh disk player antik yang berdiri anggun di atas meja. Alisnya berkenyit. Dia mengambil sebuah CD dari tempat CD di sebelah dan mengamatinya. "Musik klasik?" beliau berpaling pada kami.
Onnie tertawa kikuk. Badannya digerakkan dengan serba salah.
"Milikmu juga?" omma menunjuk CD di tangannya.
"Itu ... ," onnie terdiam.
"Hanya pajangan!" Bagus. Aku berbohong lagi.
"Pajangan?" omma mengalihkan perhatiannya padaku.
"Ne."
Aku menyambar CD dari tangan omma dan mengembalikannya ke tempat semula. "Semua ini--disk player itu beserta CDnya, hanya pajangan buat kamar ini .. "
"Lalu siapa yang menempati kamar ini?"
Pertanyaan omma membuatku hampir tersandung. "Hahh?" mataku terbelalak lebar.
"Siapa yang menempati kamar ini?" ulang omma.
"Hmm--" aku kehilangan kata-kata sekarang. Apa yang harus kulakukan?
"Ini kamar tamu, bi ... ," jawab onnie tiba-tiba.
"Kamar tamu?"
"Ne .. ," sahut onnie sambil mengandeng tangan omma. "Sebaiknya kita keluar dari sini, bi. Saya akan mempersiapkan makan siang yang istimewa buat bibi .. "
Onnie menarik tangan omma--memaksanya (yang tidak terlihat seperti paksaan) keluar dari kamarmu. Aku menghela nafas lega. Beruntung onnie bertindak cepat. Kamar tamu--bukan termasuk kebohongan-kan? Semula kamar ini memang kosong, tapi setelah kedatanganmu kamar ini baru terisi. Aku menghela nafas lagi. Semoga omma cepat-cepat pulang ke Jeju supaya aku tidak kelabakan lagi. Dan yang terpenting--aku bisa melihatmu lagi! he .. he ..
"Hyesun-a, kau tidak ikut dengan kami?" onnie berteriak dari luar.
"Ne, datang ... ," sahutku sekeras-kerasnya.
Kuamati untuk terakhir-kalinya ruang kamarmu. Entah mengapa, bukan sekali aku berada di sini, tapi perasaan dan hati yang berdegup kencang ini seperti disk playermu--diputar ulang .. ulang ... dan ulang .... deg .. deg .. deg ...
________________oOo_________________
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Re: The Little Coward by Lovelyn
The Little Coward--
Chapter Four
By : Lovelyn Ian Wong
Aku menghempaskan diri di atas ranjang. Hari ini sungguh hari sabtu yang melelahkan. Seharian aku dan onnie disibukkan oleh keingintahuan omma yang sangat besar. Beliau menanyakan ini dan itu, terutama yang berhubungan dengan kamarmu, setelah beliau tidak sengaja--ok, bukan tidak sengaja. Ini hanya perumpamaan halus dariku. Yang benar adalah setelah omma mengeledah isi kamarmu, .. sungguh memalukan, hiksss ...--membuka lemari pakaian yang dari semula sudah menimbulkan kepenasaranannya dan mendapatkan berbagai pakaian pria tergantung dan terlipat rapi di sana.
Omma sangat syok. Mau tahu bagaimana tampang omma ketika syok? => Sepasang matanya terbelalak lebar dan sedikit .. ya, berkilat-kilat. Maklum, selain terkejut, omma juga bersemangat karna mendapatkan objek menarik buat diobservasi. Mulutnya mengangga lebar dengan lidah dan bibir digerak-gerakkan. Hidungnya kembang-kempis--persis anak anjing yang mengendus-ngendus ketika mendapatkan mainan baru.
Aku berbalik dalam posisi tengkurap di atas ranjang. Wajahku kubenamkan dibalik bantal sampai hampir kehabisan nafas. Aku mengelepak--gelabakan sendiri. Kuangkat wajah dengan cepat sambil mengambil nafas banyak-banyak dan terburu-buru. Ketika aku berbalik dan bangun dengan bertumpu pada sepasang tangan, aku melihat di kaca meja rias--wajah, telinga dan cuping hidungku sangat merah.
Kuhembuskan nafas keras-keras dan menjatuhkan diri kembali di atas ranjang. Pikiranku melayang sekarang. Aku teringat padamu, dan .. juga merindukanmu. Apa yang kau lakukan saat ini? Apakah kau kecewa dengan kepengecutanku karna membiarkanmu--bukan. Maksudku, menginginkanmu .. --pergi dari sini? Mungkin tidak! Kalau dipikir-pikir, .. untuk apa kau kecewa jika aku bukan apa-apamu? Mengingat kenyataan ini, aku segera mengigit bibir pedih.
Aku merangkak bangun dari ranjang, lalu berjalan ke lemari rias di sisi lain kamar ini. Kubuka laci kecil yang paling atas dan apa yang kucari segera terlihat di sana--terlipat rapi di tumpukan barang-barang yang paling atas--sebuah saputangan warna putih bersih dengan inisial M.H., saputanganmu ..
******
Flashback ...
"Akhhh!!"
Aku menekan telunjukku yang teriris pisau. Darah segar merembes keluar dari telunjuk yang terluka itu. Semakin lama semakin banyak. Aku meringis. Lukaku terasa perih.
"Ahh ... ," aku mengigit bibir keras-keras.
Aku menjadi gugup ketika darah yang mengalir tidak juga berhenti walaupun sudah kutekan erat-erat bagian kulit yang teriris itu.
"Kau ... ceroboh sekali!"
Aku tersentak oleh bentakan itu. Keterkejutanku makin mengila ketika tiba-tiba sosok yang sangat jangkung sudah berdiri di sebelahku.
"Kemarilah!"
Aku tidak bergerak walaupun pemilik tangan kokoh itu sudah menarik lenganku. Aku terpana. Seperti terhipnotis oleh paras tersebut. Jantungku berdegup kencang. Lututku lemas sehingga jika digerakkan, aku yakin akan terjerembab ke lantai. Inilah pertemuan pertama kita.
"Mendengarku nggak?"
Suaramu yang mengundang sejuta pesona terdengar berubah keras. "Lukamu harus segera dibersihkan biar tidak infeksi, .. kemarilah!"
Tanpa sadar aku bergerak mengikuti perintahmu--seperti jiwa yang sudah terlepas dari raganya--aku tidak tahu apa yang kulakukan.
Kau membuka keran, mengarahkan tanganku ke wastafel dan mulai menyirami luka itu dengan air. Aku tidak mampu berkata apa-apa. Hanya bisa melirik dan mengamati wajahmu secara diam-diam. Sungguh, mimpi apa aku semalam sehingga bertemu cowok semenawan kau di apartemen onnie?
"Ada apa?" Onnie masuk ke dalam dapur. "Apa yang terjadi?" dia sampai di dekat kami dan melihat luka di jariku. "Hyesun-a, kau ... ," kepalanya mengeleng perlahan. "Teriris pisau lagi?"
Aku segera memejamkan mata rapat-rapat. Mengapa onnie selalu seterus-terang ini? Teriris pisau--LAGI? Mengapa harus pakai kata 'LAGI'? Ya, walaupun ini benar, tapi .. aku tak menyukainya. Apalagi digunakan di hadapanmu. Pada saat pertemuan pertama kita? OH, TIDAK! Aku malu ketahuan olehmu bahwa beginilah aku--Goo Hye Sun, si ceroboh. Julukan dari onnie yang sangat kubenci.
Aku membuka mata dan berusaha menangkap reaksimu lewat ekor mataku. Aku berhembus lega ketika kau tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Ekspresi wajahmu sangat datar seakan tidak mendengar pertanyaan onnie barusan.
"Gwencana?" tanya onnie.
"Ne .. ," jawabku gugup.
"Lukanya tidak begitu dalam .. ," kau menyahut sambil membalut telunjukku dengan saputangan yang kau rogoh dari saku celana.
"Lain kali, lebih berhati-hatilah .. ," gerutu onnie.
"Ne .. ," lagi-lagi jawaban ini yang terlontar dari mulutku.
Kepalaku tertunduk semakin dalam. Apalagi ketika wajahmu hampir menyentuh kepalaku sewaktu kau mengikat ujung saputangan yang sudah terlilit di jariku.
Tiba-tiba onnie meraih tanganku.
"Sekarang ikut denganku. Lukamu perlu diobati .. "
Sampai di depan pintu dapur onnie berhenti. "O ya, saya hampir lupa .. ," dia menepuk jidat sendiri dengan kesal. "Kenalkan Hyesun-a, .. ini sahabat baik onnie, Lee Min Ho .." kata onnie sambil menepuk pundakmu. "Dan dia adik sepupu yang sering kuceritakan, Minho-a ... "
Aku jadi berpikir, apa yang sering diceritakan onnie tentang diriku kepadamu? Apakah keburukan-keburukanku? Ketakutan-ketakutan dan kecerobohan-kecerobohan yang sering kulakukan? Atau daya berhayalku yang sangat tinggi? Mungkin juga nilai-nilai raporku yang selalu jauh dari rata-rata? Hu .. hu ..
"Mulai hari ini dia akan tinggal di sini .. ," perkataan onnie selanjutnya membuyarkan lamunanku. " Bersama kita .. "
"MWO??!"
Teriakanku sangat keras--sampai memekakkan telinga. Bagi yang tidak tahu, aku mungkin dikira hanya terkejut setengah mati karna berita ini, tapi sesungguhnya terbersit kebahagiaan dibalik keterkejutanku yang terlihat luar biasa itu. Dan entah mengapa, aku merasa kau berhasil menangkap semua pemikiranku.
Kau tersenyum ketika mengulurkan tangan padaku.
"Anyongheseyo, Goo Hye Sun-ssi .. senang bertemu denganmu .. "
Aku berusaha tersenyum. Tanganku bergetar hebat ketika membalas uluran tanganmu. "Anyong .. "
Mulai hari itu, dibukalah lembaran-lembaran kebersamaan kita .. dengan tanda kutip, 'onnie berada di tengah-tengah kehidupan kita' ...
End of flashback ...
**********
tok .. tok .. tok ...
Aku tersentak. Terburu-buru, saputangan yang sengaja tidak kukembalikan padamu, kutaruh kembali ke tempat semula.
"Siapa?" tanyaku gugup.
"Omma, sayang .. "
Oh--bisakah melepaskanku sebentar saja, omma?! Aku ingin meneriakkan permintaan ini tapi tersangkut di tenggorokan.
"Masuk .. ," pada akhirnya kata 'masuk' yang keluar dari mulutku.
Aku berlari kembali ke ranjang sebelum pintu kamar dibuka oleh omma. Aku menjatuhkan diri bersamaan dengan pintu kamar dibuka secara perlahan-lahan.
"Apa omma menganggumu?"
Apa omma akan meninggalkanku jika kujawab menganggu? balasku tanpa suara yang keluar.
"Kau belum tidur, kan?" tanya omma lagi.
Apa omma tidak bisa melihatnya sendiri? tambahku dalam hati.
"Belum .. ," aku berusaha tersenyum.
"Bagus .. " Omma memasuki kamar. "Ada yang ingin omma ketahui .. ," kata omma sambil menjatuhkan diri, duduk di sebelahku.
Apa lagi yang omma bisa, selain bertanya ini dan itu? Aku mulai merasa jahat--anak tidak tahu diri--setelah berpikir begini tentang omma.
"Ada apa?" aku meraih bantal dan memeluknya.
"Si Eunhye .. ," suara omma memelan, persis seperti para ahjuma yang takut ketahuan karna telah ngegosipkan sesuatu yang tidak baik, " .. omma tidak percaya kamar di sebelah kamarnya itu kamar tamu .. "
"Oh come on, omma .. ," selaku. "Kita sudah membicarakan ini seharian ..," kemudian tanganku menepuk dadaku, "Saya tinggal di sini .. ," lanjutku keras, " ... dan saya mengetahui semua keadaan di sini. Kamar itu memang kamar tamu .. "
"Lalu bagaimana dengan pakaian-pakaian pria itu?" omma berkeras. "Omma curiga dia menyembunyikan seorang pria di sini, tanpa sepengetahuanmu .. "
"Mwo?" teriakku. "Tidak mungkin!!" kutolak mentah-mentah tebakan itu.
"Mengapa tidak mungkin?" ejek omma. "Untuk cewek seumuran dan secantik Eunhye, berpacaran itu hal yang wajar-wajar saja .. " lanjut omma.
"Lalu?" tanyaku malas.
"Mungkin cowok itu bukan pria yang bisa dibanggakan. Mungkin seorang preman atau .. seorang penganggur ... ," tebakan omma melayang kemana-mana. "Karena itu Eunhye tidak ingin kita mengetahuinya ..." Omma mengelus-ngelus dagu--terlihat puas dengan tebakan-tebakan yang kemukakannya terhadap alasan onnie menyembunyikan keberadaanmu di sini.
"Omma .. ," aku mendesah putus asa. "Sudah cukup semua tebakan itu .. "
"Wee? Kau tidak setuju?" tanya omma tajam.
Aku menghembuskan nafas, kemudian menghempaskan tubuh ke belakang, ke atas kasur yang empuk.
"Dan omma peringatkan kau, Hyesun-a!"
"Mwo?" tanyaku dengan mata terpejam.
"Jangan mengikuti jejak Eunhye!"
"MWO?" mataku terbuka. "Apa maksud omma?" tanyaku tak mengerti.
"Jangan pacaran secara sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan omma dan appa! Araso?" kata omma tegas.
"Omma!" tegurku malu. Wajahku terasa panas.
"Omma sungguh-sungguh, Goo Hye Sun! Tidak boleh, dengar itu?"
"Weeyo?" aku tidak kuasa untuk tidak menanyakan pertanyaan ini.
Omma terdiam selama beberapa menit.
"Weeyo, omma?"
"Karna kau masih kecil .. ," sahut omma kemudian.
"Kecil?" alisku berkerut. "Saya sudah 16 tahun, omma .. ," rengekku.
"16 tahun masih sangat kecil buat pacaran, Hyesun-ssi!" sembur omma.
Aku mendelik. "Bukannya omma dan appa pacaran waktu umur 14 tahun?"
Mimik omma berubah drastis. Terpojok--itu kata yang tepat.
"Kau .. ," tiba-tiba omma mengetok kepalaku.
"Akh!!" aku berteriak kesakitan. "Omma!!"
"Tidak sopan menegur orangtua, Goo Hye Sun!!"
"Saya tidak menegur .. ," desahku sambil mengelus-ngelus jidatku yang memerah akibat getokan omma. Sedikit benjol malah .. "Itu-kan kata omma sendiri, beberapa tahun yang lalu .. "
Tangan omma terangkat kembali sebelum aku menyelesaikan perkataanku. "Masih menyela?"
"Apho!!" aku menyusut--menghindari getokan omma selanjutnya.
"Pokoknya tidak boleh! Kau tidak boleh pacaran!" seru omma. "Dengar itu, Hye Sun-ssi!"
"Ne .. Ne .. ," jawabku ketakutan.
"Omma punya alasan tersendiri, Hyesun-a .. ," omma menghela nafas. "Suatu saat, apabila sudah tiba waktunya, kau akan mengetahuinya ... araso?"
"Ne .. ," jawabku sambil terkulai lemas di atas ranjang.
Aku harus mengucapkan .. selamat tinggal kepadamu. Good bye my first love ..... *cry ..*
"Besok omma akan menjemput appa di bandara. Apa kau ikut?" tanya omma.
Aku mengangguk pelan. "Ne .. "
"Bagus." omma berdiri dari ranjang. "Kalau begitu beristirahatlah .. "
Omma keluar dari kamar. Meninggalkanku menanggis seorang diri, dalam keheningan kamar ini.
*********
Hari senin, hari yang tidak pernah kucintai sebesar hari ini. Omma sudah pulang ke Jeju kemarin malam. Dan hari-hari menyenangkan mulai terhampar kembali di depan mataku. Sekarang yang kunantikan adalah .. kepulanganmu he .. he ..
Aku mengigit toast ketika kau membuka pintu depan. Tampangmu terlihat letih dan lesu walaupun itu tetap tidak mengurangi daya tarikmu. Kau melempar rangkaian kunci ke tempat kunci dekat pintu, membuka sepatu dan mengantinya dengan sandal kemudian masuk ke dalam rumah.
"Anyong .. ," sapamu ketika melihatku.
Aku mengangguk. "Anyong .. "
Kau melepas tas selempang ke sofa, kemudian melewatiku.
"Lelah?" aku memberanikan diri bertanya padamu.
Langkahmu terhenti. Kau berbalik perlahan.
"Sedikit .. ," jawabmu pelan sambil menghadapiku. "Bisa buatkan secangkir capuccino untukku? Aku ingin membersihkan diri dulu. Masih ada mata kuliah pagi ini ... "
Aku mengangguk. "Tentu saja. Kau persiapkan dirilah .. "
Kau tersenyum lembut. "Gumawo .. ," kemudian kau memutar tubuh kearah kamar mandi. Sampai di depan pintu kau berbalik lagi. "O ya, little coward!" teriakmu.
"Ne?" aku menoleh dengan cepat. "Mwo?"
"Mana Eunhye?"
"Onnie sudah berangkat ke kampus .. ," jawabku.
Kau mengangguk dan tersenyum kembali--kali ini senyumanmu terlihat sangat hangat. "Saya siap dalam waktu lima menit ... ," tanganmu terangkat sebagai isyarat bagiku.
Aku tersenyum dan melambaikan tanganku. Sebentar saja bayanganmu sudah lenyap dalam kamar mandi. Aku memutar tubuh kemudian masuk ke dalam dapur. Aku tidak berhenti tersenyum. Masih terngiang-ngiang panggilan yang begitu kurindukan itu. Panggilan yang selalu membuat hatiku berbunga-bunga tanpa kumengerti mengapa.
*********
"BERITA BESAR ..."
Kim Bum, pacar Soeun, lari tunggang-langgang mendekati kami--aku dan Soeun--yang sedang makan siang di kantin. Nafasnya memburu ketika sampai di hadapan kami. Dia megap-megap, menarik nafas dalam-dalam.
"Ada apa?" tanya Soeun dengan kening berkerut.
"Berita besar ... ," kata Bum lagi.
"Berita besar? Saya sudah dengar kau berteriak tadi!" gerutu Soeun. "Maksudku, berita besar apa itu?"
Aku terkikik tertahan. Soeun memang selalu judes pada pacarnya yang sempurna ini.
"Jang Geun Suk sunbae menantang Lee Min Ho sunbae dalam permainan tenis .. ," jawab Bum dengan terengah-engah.
"MWO?"
Aku dan Soeun tersentak bangun dari kursi. Kami saling berpandangan dengan ekpresi yang tak bisa ditafsirkan. Sepasang mata kami terbelalak lebar.
"Jang Geun Suk si Tangan Bayangan?" Soeun mewakili pertanyaan dalam otakku.
Bum mengangguk. "Ne .. "
"Bagaimana mungkin?" teriakku. "Minho sunbae pasti kalah telak .. "
Bum mengangguk lagi. "Pasti. Geun Suk sunbae merupakan petenis terbaik di sekolah kita. Tidak hanya segitu. Baru-baru ini Geun Suk sunbae memenangkan juara kedua dalam pertandingan nasional . Dia adalah pemain muda paling berbakat tahun ini. Para pelatih se-Korea dan bahkan luar negeri sudah mengakuinya .. "
Aku menarik seragam Bum. "Mengapa Geun Suk sunbae sampai menantang Minho sunbae? Pasti ada alasannya, kan?" aku menguncang tubuhnya membabi-buta. "Tidak mungkin seorang petenis dengan nama sebesar Geun Suk sunbae sampai menantang seorang amatir yang tahu apa-apa tentang tenis tanpa alasan yang jelas .. Benar, kan? Katakan padaku!"
Soeun menepuk tanganku. "Tenang, Hyesun-a .. "
"Lepaskan aku!" Bum mengibaskan tanganku sampai terlepas dari baju seragamnya. "Menurut yang kudengar gara-gara Yoona sunbae .. "
"Yoona sunbae?"
Kembali aku dan Soeun saling berpandangan.
"Bukankah dia mahasiswa cantik di universitas Seoul ini, yang terjun ke dunia model?" tanya Soeun.
"Ne .. ," jawab Bum. "Katanya Geun Suk sunbae cemburu karna Yoona sunbae sering terlihat bersama Minho sunbae .. "
"MWO?" aku berteriak. "Tidak mungkin!!" aku mengeleng keras-keras. Gigiku bergemelatuk hebat. "Minho sunbae tidak mungkin tertarik pada gadis tipe begitu .. "
"Mengapa tidak mungkin? Yoona sunbae sangat sempurna dan .. AKHHH!!" Bum berteriak keras ketika Soeun mencubit pinggangnya. "Weeyo?!" tanyanya kesal.
"Jaga kata-katamu!" Soeun mendelik.
"WEE?"
Soeun tidak menghiraukan Bum. Dia menyentuh lenganku.
"Jangan khawatir, Hyesun-a. Itu hanya gosip. Kita cari tahu kebenarannya .. "
Aku mengangguk.
"Apa taruhan dari tantangan itu?" tanyaku pada Bum.
Pemuda itu mendengus. Kelihatan enggan menjawab pertanyaanku tapi ketika dia mendapat pandangan membunuh dari Soeun, akhirnya dia menjawab juga.
"Jika kalah, Minho sunbae harus keluar dari universitas Seoul .. "
"MWO?" teriak kami.
"Lalu .. bagaimana jika .. jika dia yang menang?" tanyaku tidak yakin. Bagaimana mungkin kau bisa memenangkan si Tangan Bayangan Geun Suk dalam lapangan tenis? Sungguh mustahil .. Kecuali jika matahari terbit dari sebelah Barat, mungkin kau masih punya kesempatan memenangkan pertandingan itu.
"Geun Suk sunbae akan menyerahkan Yoona sunbae pada Minho sunbae .. "
Jawaban ini lebih tidak ingin kudengar lagi. Kau dan Yoona sunbae? Tidak bisa! Akan kusayat wajah sunbae centil itu dengan pisau jika sampai dia menyentuhmu sedikit saja!
"A .. apa .. Minho sunbae .. me ... menerima tantangan ini?"
"Ne .. ," jawab Bum, membuatku ingin mencakar wajahnya sekarang juga.
Sumpah, jika dia bukan pacar Soeun, akan kucakar wajah yang sok cakep ini!
"Ayo ke sana!" ajak Bum. "Semua siswa sudah mengerumuni lapangan tenis ketika saya berlari kemari buat menyampaikan berita ini tadi ..," dia berlari keluar kantin, diikuti oleh kami. "Wahh, ini akan menjadi pertandingan terbesar sepanjang sejarah pertenisan universitas Seoul." cerocosnya bersemangat. "Bayangkan, petenis paling berbakat melawan mahasiswa tercerdas, idola seantero sekolah ... Ditambah tersangkutnya seorang model sexy .. ho .. ho .. "
Sudah cukup berkata-katanya, Bum. Jika tidak, sendok perunggu ini--yang tidak sengaja terbawa olehku dari kantin tadi--akan kulayangkan ke jidatmu.
Wajahku berubah keras. Tanganku terkepal erat dan urat-urat leherku menyembul keluar. Aura membunuh begitu kuat tercium dari sekujur tubuhku. Orang-orang yang melewatiku--yang berlari ke lapangan tenis di gedung sebelah, termasuk Soeun--melirikku ngeri. Aku merasakan segumpal awan gelap tergantung di atas kepalaku. Air hujan ditumpahkan dengan deras dan terus-menerus, tanpa berhenti dari awan gelap tersebut ke kepalaku, layaknya film-film animasi yang sering kuputar dari DVD player di dalam kamarku.
________________oOo_________________
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Re: The Little Coward by Lovelyn
geeeeemeeeeeessssssssssssss ama yg satu ini... #wink
mrs.cho- Posts : 9
Join date : 2013-06-18
The Little Coward-- Chapter Five
The Little Coward--
Chapter Five
By : Lovelyn Ian Wong
Aku menerobos kerumunan para mahasiswa/i dan siswa/i sekolah menengah dari sekolah sebelah (baca : sekolahku) yang sudah mengelilingi lapangan tenis universitas Seoul. Para remaja itu berteriak seperti orang kesetanan. Gendang telingaku tersengat, hampir pecah karenanya. Aku mendorong beberapa siswa yang menghalangi jalanku, sedangkan Soeun dan Bum yang sedari tadi mengikuti dari belakang sudah kehilangan jejakku. Aku menyeruak semakin ke depan, mendorong orang-orang itu, tanpa peduli teriakan-teriakan dan decakan-decakan ketus dari mereka. Kalau masalahnya sudah berhubungan denganmu, apalagi yang tidak bisa kulakukan?
Aku sampai di barisan paling depan. Kupertajam pandangan ke lapangan tenis, hmm--masih kosong. Tidak kulihat keberadaanmu, tidak juga Geunsuk sunbae. Tak jauh dari situ, Yoona sunbae berdiri dengan anggunnya—ok, ini hanya anggapanku saja--menurutku dia hanya sok anggun, Huhh!! Aku bukan iri padanya—walaupun .. ya, mungkin sedikit hiksss … Kenapa ada seorang cewek sesempurna dia di dunia ini? Kuliah di universitas Seoul lagi!! Yang dengan sendirinya akan menjadi salah satu sainganku karna hampir semua cewek di kampus dan sekolah sini mengidolakanmu, poor me ...
Dia tidak hanya cantik, namun posturnya juga menawan. Sudah tinggi, bahkan lebih tinggi lagi dengan high heelsnya yang mungkin genap 10 cm. Rambutnya yang lebat dan panjang, walaupun jujur saja, aku tidak kalah dalam hal ini .. bahkan rambutku lebih indah karna berwarna hitam pekat *wink* .. tergurai memahkotai wajahnya yang lonjong dan agak lancip di bagian dagu. Dia bergerak perlahan, menoleh kearahku. Dengan segera kubuang wajah dengan perasaan jengkel.
Lalu aku menyadari kalau onnie berada di sebelahku sejak tadi. Aku dibutakan oleh perasaan iri dan dengki terhadap Yoona sunbae sehingga tidak melihat keberadaannya.
“Onnie .. ,” kusentuh pundak onnie. “Bagaimana ini?” tanyaku cemas.
Onnie tersenyum. Dia tidak kelihatan terkejut mendapatkan keberadaanku di sini. Mungkin juga dia sudah melihatku dari tadi tapi tidak menyapaku. Ya, siapa tahu? Onnie selalu senang melihat kegregetan-gregetanku …
“Tenang saja .. ,” sahut onnie.
“Tenang?” mataku terbelalak tak percaya. “Minho sunbae dipaksa meninggalkan kampus ini kalau sampai kalah. Onnie menyuruhku tenang saja?!”
Onnie tidak menjawab. Dia malahan menepuk pundakku dengan senyum menenangkan—atau .. mungkin mengoda? Aku sudah tidak bisa membedakannya lagi.
Tiba-tiba keadaan di lapangan tenis itu menjadi heboh. Sekali lagi onnie menepuk pundakku.
“Itu mereka, sudah keluar … ,” katanya sambil menunjuk ke depan.
Aku segera mengalihkan pandangan ke dalam lapangan. Benar saja, kau dan Geunsuk sunbae keluar dari kerumunan orang-orang tersebut. Aku tertegun. Untuk pertama kalinya aku melihatmu tampil dengan dandanan sporty. Kaos hoddy lengan panjang warna putih, dipadu celana baggy berwarna selaras dan sebuah raket tenis tersampir di pundak membuatmu terlihat begitu menawan. Geunsuk sunbae juga tampil dengan dandanan serupa dan tidak kalah menariknya. Namun kalau dibandingkan denganmu, tentu saja dia kalah jauh he … he …
“MINHO SUNBAE!! FIGHTING!!”
“GUENSUK SUNBAE!!!”
“LEE MIN HO!!”
“JANG GEUN SUK!!”
Teriakan-teriakan serupa terus berkumandang dalam lapangan tenis itu. Tepukan-tepukan beserta hantaman-hantaman dari tongkat-tongkat yang mengenai tiang-tiang besi terdengar meriah saling bersahutan memekakkan telinga. Beberapa guru dan dosen juga mulai mencari tahu apa yang terjadi dalam lapangan tersebut. Mereka menerobos masuk dan bergabung dengan para murid yang mulai mengila.
Sekarang kau sudah mengambil posisi di sebelah kanan lapangan, sedangkan Geunsuk sunbae menempati posisi sebelah kiri. Kim Joon sunbae, salah seorang aktifis kampus, berdiri di tengah selaku wasit dalam pertandingan tersebut. Berulangkali aku meremas lengan onnie saking tegangnya. Onnie meringis kesakitan sambil melotot ke arahku. Lengannya sudah membiru akibat perlakuan-perlaukanku itu. Tapi aku tidak mempedulikannya. Perhatianku total tertuju ke tengah lapangan. Kim Joon sunbae baru saja mengumumkan bahwa kau mendapat giliran pertama dalam membuka bola. Kedua tanganku saling meremas dan mulutku komat-kamit mengucapkan doa. Aku tidak ingin kau dikeluarkan dari kampus ini, namun sungguh, dalam hati aku juga tidak ingin kau menang. Perasaanku campur aduk. Andai saja ada cara penyelesaian yang lebih baik dari masalah ini! Kau tidak perlu keluar dari universitas Seoul, juga tidak perlu menerima Yoona sunbae sebagai pacarmu. Andai saja!!
“SWASHHHHHH!!”
Bola yang kau buka melesat seperti anak panah terlepas dari busurnya. Matamu terbuka lebar, membara laksana bola api yang berkobar-kobar, tak mengenal kata menyerah. Aku tertegun. Pertama kalinya aku melihat sinar matamu seperti itu. Biasanya sepasang mata itu bersinar lembut dan kadang-kadang datar tak dapat diselami. Tapi kali ini .. sangat lain. Bola tenis tadi bergerak saking cepat dan kerasnya hingga hanya berupa bayangan yang hampir tak tertangkap oleh penglihatanku. Semua orang menarik nafas secara bersamaan.
“PUKKK!!!”
Bola tersebut menukik tajam dan mendarat di garis dalam lapangan dengan Geunsuk sunbae yang berdiri kaku tak bergerak sedikitpun dari posisinya. Dia terpaku dengan mulut mengangga lebar. Para penonton berseru kaget. Tidak menyangka adegan ini yang akan mereka lihat. Si Tangan Bayangan tidak berkutik menghadapi smesh dari seorang amatir? Mana mungkin?! Ini sangat mustahil!!
“Satu, kosong!” teriak Kim Joon sunbae mengumumkan hasil sementara dari pertandingan itu.
Tahap-tahap selanjutnya membuat para penonton semakin melebarkan mata dan mulutnya. Setiap bola yang dibuka olehmu tak mampu dihadang oleh Geunsuk sunbae. Jangankan mengembalikan, Geunsuk sunbae boleh dikatakan hampir tak berkutik menghadapi smesh-smesh tajam mematikan darimu. Angka-angka yang berhasil diraih Geunsuk sunbae hanya berasal dari ketekunan dan keahliannya dalam mengendalikan permainan. Selain itu, semuanya berada dalam kendalimu. Permainan yang disetujui hanya berjalan tiga babak itu berakhir, kemenangan berada di pihakmu dengan skor 3:1.
Brakkk …….. Geunsuk sunbae melempar raket tenisnya. Tampangnya berubah beringas sehingga teriakan-teriakan dari luar lapangan segera berhenti.
"Geunsuk-a .. ," Kim Joon sunbae meraih tangan Geunsuk sunbae, berusaha untuk mengendalikan emosinya. "Tenanglah ... "
Geunsuk sunbae mendorong Kim Joon sunbae dengan keras. "Aku tidak akan menyentuh tenis lagi!! Tidak akan!!"
"Geunsuk-a .. "
"Jangan menasehatiku!!" ancam Geunsuk sunbae sangar. Dia memutar tubuh kemudian mendorong orang-orang di sekitarnya. "MENYINGKIR DARI HADAPANKU, BERENGSEK!!"
Aku melihatmu mengejar Geunsuk sunbae.
"Mengapa mesti begitu?" katamu. "Kau tahu itu tidak benar!"
Geunsuk sunbae menghentikan langkahnya. "Kau sudah menang jadi tutup mulutmu!" perlahan dia memutar tubuh menghadapimu. "Ambil Yoona dan lenyap dari hadapanku sekarang juga!"
"Kau pemain yang sangat baik dan berbakat ... ," tanpa gentar kau berkata lagi. "Aku menang hanya dengan mengandalkan smesh-smesh yang tidak penting. Itu bukan cara bermain seorang profesional. Karena itu aku tidak bergabung dengan perkumpulan tenis di kampus ini. Kau lain, Geunsuk-a .... Kau tahu bagaimana caranya mengendalikan bola dan mengembalikannya ke lawan. Jika dibandingkan denganmu, aku bukan apa-apanya .. Jadi aku berharap, jangan karna urusan ini kau keluar dari perkumpulan tenis ..."
Geunsuk sunbae tak menjawab--hanya membalas pandanganmu lekat-lekat.
"Sedangkan masalah yang berkaitan dengan Yoona, ... hanya demi seorang wanita, kau mempertaruhkan masa depanmu? Apa itu berguna? Jika seorang wanita tidak tertarik padamu, tidak ada gunanya kau memaksakan diri! Dia tetap tidak akan tertarik padamu!"
Geunsuk sunbae mengepalkan tangannya. Tanpa berkata apa-apa, dia berlalu dari hadapanmu dengan langkah tegap.
"Minho-a .. "
Yoona sunbae berlari ke arahmu. Dia tersenyum lebar sehingga ingin rasanya aku membungkam mulut dan wajahnya saat itu juga.
"Yoona ... ," balasmu dengan nada yang tidak ingin kudengar. TIDAK, suara serak-serak basahmu hanya untukku! Buatku seorang!"
"Gumawo .. ," kata Yoona sunbae.
"Tidak perlu berterimakasih padaku, Yoona-a ... ," kau mengangkat tangan menghentikan perkataan cewek centil itu. "Dan kau juga tidak perlu merasa bersalah karna telah menolakku ... "
"MWO?" Yoona sunbae terbelalak lebar. Begitu juga para murid yang masih mengelilingi lapangan.
"Aku tidak menyalahkanmu, Yoona-a .. ," lanjutmu tanpa mampu kupahami. "Aku mengerti dan bisa menerimanya .. ," kau tersenyum. Namun, apa benar kau telah ditolak Yoona sunbae? Menurut apa yang kudengar, Yoona sunbae yang mendekatimu, kan?
"Minho-a ... "
Tampang Yoona sunbae lebih kelihatan terkejut daripada kecewa.
"Apa maksudmu?"
"Aku mengerti, Jung Yoona .. dan aku tidak apa-apa .. "
Plakkk!! sebuah tamparan mendarat di pipimu. Aku langsung teriak, begitu juga para murid lainnya. Semua sangat terkejut dengan apa yang dilakukan Yoona sunbae padamu.
"BENAR!! SAYA YANG MENOLAKMU, LEE MIN HO!! KAU HANYA SEORANG PEMUDA BERENGSEK YANG BERLAGAK COOL!! SUNGGUH MENJIJIKKAN!"
Dengan raut keras, Yoona sunbae berlari dari tempat itu. Kau terlihat menghela nafas perlahan. Entah apa yang kau pikirkan?! Perlahan kau memutar tubuh, lalu berjalan ke arahku. Aku sangat terkejut dan menjadi salah tingkah. Aku meliatmu melirikku sekilas, namun seperti biasa, kau melewatiku begitu saja--menganggapku barang transparan yang tak terlihat sama sekali. Aku menghembuskan nafas kuat-kuat. Para murid lain satu-persatu mulai meninggalkan lapangan tenis itu.
Aku segera menarik tangan onnie. "Omo, bagaimana onnie tahu sunbae bisa memenangkan pertandingan itu?"
Onnie tersenyum sambil menyingkirkan tanganku. "Minho merupakan pemain tenis dengan rekor terbaik di sekolah menengah pertama dulu. Dia mungkin bukan pemain dengan cara bermain terbaik tapi cara membuka bolanya benar-benar hebat. Sampai sekarang belum ada yang mampu menangkalnya sampai. Namun entah mengapa, sejak memasuki sekolah menengah atas dia melepaskan hobbi tersebut." onnie mengangkat bahunya.
"Jadi begitu .. ," aku mengangguk-angguk mengerti. Lalu tiba-tiba sesuatu teringat olehku. "Oh, apa sunbae baik-baik saja ditolak Yoona sunbae seperti itu?" aku segera melangkahkan kaki ke depan. "Aku harus mencarinya .. ," tapi onnie segera menarikku kembali.
"Biar aku saja!"
Dengan cepat, onnie berlari ke arah di mana kau menghilang--mungkin kantin atau ruang kelas? Aku tidak terlalu mengetahui seluk-beluk kampus ini.
*******
Minho duduk dengan sepasang tangan bertumpu pada lututnya di auditorium kampus yang menghadap ke lapangan kampus. Pandangannya semu tertuju ke depan sehingga tidak menyadari kehadiran seseorang di situ. Segelas kopi dari gelas kertas berlabel Starbucks disodorkan ke hadapannya.
"Capuccino .."
Minho mengangkat wajahnya. Eunhye sudah berdiri di sebelah sambil tersenyum padanya.
"Gumawo .. ," kata Minho sambil menerima gelas tersebut.
"Menyesal?", tanya Eunhye.
Dia menjatuhkan diri di salah satu anak tangga, di sebelah Minho.
"Mwoga?" Minho balas bertanya sambil menyesap kopinya.
"Buat apa yang telah kau lakukan?," Eunhye menatap Minho lekat-lekat.
Pemuda itu tak menjawab. Dia menyesap kopinya lagi. Kemudia perlahan pandangannya ditujukan kembali ke lapangan tenis.
"Menerima tantangan Geunsuk karna kau sadar hanya ini satu-satunya cara agar masalahmu dengannya tak berlarut-larut .. ," celoteh Eunhye sambil mengikuti arah pandangan Minho. "Tidak mengalah padanya karna kau tidak boleh mengecewakan ayahmu dengan keluar dari universitas Seoul. Skripsimu hampir selesai dan kau sebentar lagi mencapai kelulusan seperti yang diharapkan beliau buat mengambil-alih Lee's ... ," lanjut cewek itu dengan bijak. Perlahan perhatiannya ditujukan lagi pada Minho. "Berdusta pada dunia bahwa kau yang mengejar Yoona, kemudian ditolak olehnya, dan bukan sebaliknya karna kau tidak ingin Yoona terhina di depan umum. Kau tahu benar betapa tinggi harga diri seorang Yoona, oleh sebab itu kau lebih memilih dipermalukan daripada mempermalukan .. " Eunhye berhenti sejenak sambil mengambil nafas dalam-dalam guna mengisi paru-parunya yang hampir kehabisan udara karna berkata terlalu cepat dan memburu. "Aku terlalu mengenalmu, Minho-a. Benar begitu-kan?"
Minho menoleh ke arah Eunhye dan membalas tatapannya. Masih tak menjawab, dia malah tersenyum perlahan.
"Sudah kuduga kau tidak akan menjawabnya ... ," Eunhye beranjak bangun dari anak tangga yang didudukinya. Ditekannya pundak Minho, kemudian diremasnya cukup keras. "Jangan duduk terlalu lama di sini! Nanti masuk angin .. "
Minho mengangguk. "Gumawo .. "
Eunhye tersenyum sambil mengangkat tangannya. "Mengerti, sahabatku .. " Dia melambai perlahan, kemudian memutar tubuh, menaiki tangga--kembali ke auditorium.
Minho kembali menyesap kopinya. Dia berdecak perlahan--sudah terasa dingin. Lalu diteguknya lagi. Satu teguk, dua teguk, .. sampai tegukan terakhir. Angin mulai bertiup kencang saat itu--menerbangkan rambutnya yang lebat dan lurus ke udara. Minho segera menaikan kaos hoddienya menutupi kepala. Dia bangkit dari anak tangga menuju ke tong sampah dekat situ. Dibuangnya gelas plastik kosong dalam genggamannya. Dengan sepasang tangan menyelip ke dalam saku celana, dia berjalan pelan menuruni barisan anak tangga, kembali ke kelasnya.
**********
Aku duduk di sofa ruang depan yang menghadap langsung ke pintu utama. Berulangkali aku melotot ke arah pintu--berharap mendapatkan kehadiranmu di situ. Namun kau tetap belum kembali. Jam dinding yang berdetak-detik dari ruangan ini sudah menunjukkan pukul 8 malam. Dan bunyinya yang nyaring membuatku gelisah. Hatiku sangat galau dan tentu saja terasa ... sakit. Rasa sakit yang sama yang kurasakan ketika mendengarmu ditolak oleh Yoona sunbae. Bagaimana mungkin sosok sesempurna kau, yang merupakan idaman setiap wanita, sampai ditolak olehnya? Apa cewek itu memang segablek itu? Tidak bisa membedakan mana pria yang sempurna dan mana yang tidak?
Oh, seandainya aku berada di posisinya ... Aku mengigit bibir pedih. Tidak banyak pengandaian di dunia ini, Hyesun-a!! Jangan bodoh!! Jangan bodoh lagi!!" Aku mengetok kepala berkali-kali. Cukup sudah aku bermimpi! Tapi .. mungkinkah? Aku selalu menghujat diri bahwa ini untuk terakhir kalinya aku bermimpi, padahal kenyataannya ... ?
Aku memejamkan mata sambil tersenyum pahit.
Terus terang, waktu mendengarmu ditolak oleh Yoona sunbae, hatiku bersorak kegirangan. Namun itu hanya sesaat. Ketika teringat kembali bagaimana aku selalu memperingati diri supaya tidak jatuh dalam pesonamu, aku sadar, cinta yang ditolak oleh seseorang yang kita cintai sangatlah menyakitkan. Aku mulai memahami perasaanmu saat itu.
Terkutuklah aku yang bersorak atas penderitaanmu! Disambar geledeklah aku jika belum sadar-sadar juga!!
SUNBAE, kemanakah kau? Kenapa belum pulang juga? Setengah jam kembali berlalu--sekarang sudah pukul 8:30. Aku menenggelamkan kepala di atas meja dalam keheningan apartemen ini. Onnie tidak pulang malam ini karna lembur lagi. Salah seorang rekan sekerjanya tidak masuk jadi onnie harus mengantikannya. Sekarang tinggallah aku sendirian di sini. Sedangkan kau, tidak pulang-pulang jua.
Aku mengangkat wajah ketika mendengar bunyi anak kunci diputar di lubangnya. Pintu depan terbuka dan .. kau berdiri di sana. Aku tersentak kaget. Kau bertahan di ambang pintu selama sekian detik. Pandanganmu terarah padaku. Kau terlihat lelah. Beberapa saat kemudian kau memasuki ruangan dengan ransel besar tersampir di punggung.
"Eunhye lembur lagi?"
Itu pertanyaan pertama yang kau lontarkan. Aku langsung manyun. Setelah mengkhawatirkanmu seharian, ini yang kau tanyakan? Kenapa di otakmu hanya ada onnie seorang? Weeyo? Weeyo?!!!
"Sudah makan?" melihatku tak menjawab, kau bertanya lagi.
Bagus, pertanyaanmu kali ini lebih mirip pertanyaan manusia.
Aku mengangguk pendek. "Sudah makan dengan Soeun jam 6 tadi sore .. "
Kau menatapku beberapa saat. Seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Namun, setelah mengangguk--sebagai sahutan dari jawabanku, kau berbalik ke arah kamarmu.
"SUNBAE .. ," tak tertahankan, aku memanggilmu jua. Aku meloncat dari kursi dan mengejarmu.
Kau berhenti, lalu berbalik perlahan.
"Gwen .. gwencana .. ?" tanyaku serba-salah begitu mendapat tatapan tajam darimu.
"Mworagu?" kau balas bertanya. Seolah tak mengerti arah pertanyaanku.
"Masalah .. masalah dengan .. Yoona sunbae .. ," jawabku semakin gugup.
"O--," kau membuka mulut seperti baru menangkap maksudku. "Gwencanayo .. ," lanjutmu sambil tersenyum adem.
"Sunbae tak perlu terlalu memikirkannya!" kataku mengebu-gebu. "Yoona sunbae menolak sunbae merupakan kerugian besar di pihaknya! Dia terlalu angkuh, tidak cocok buat sunbae!!" teriakku--seperti kehilangan akal sehat. "Sunbae bakal mendapatkan seseorang yang lebih baik sepuluh kali lipat dari Yoona sunbae. Percayalah!"
Sebelum habis perkataanku, tiba-tiba kau melangkah lebar ke arahku. Kau menunduk sehingga wajahmu hampir menyentuh wajahku.
"Dhuga? Kau?" tanyamu dengan alis diangkat sedikit. Kau terlihat tersenyum tipis.
"Sunbae!!"
Aku berkelit dengan cepat, tapi segera tertahan oleh dinding di belakang. Aku mendekap dada--gugup. Segera kubuang wajah ke arah lain dengan ketakutan. "A .. aku .. aku .. tak .. ber .. bermaksud ... ," aku sudah tidak mampu berkata-kata lagi. Sungguh, aku mati kutu atas pertanyaanmu. Bagaimana aku harus menjawabnya jika pertanyaan itu begitu menjebakku? Apa yang harus kujawab? BENAR, AKU SESEORANG ITU! atau .. TIDAK, AKU TIDAK BERMAKSUD BEGITU! seperti yang ingin kukatakan tadi? Huhhh, aku menghembuskan nafas keras-keras. Perlahan bibirku memanjang seinci ke depan.
"Dasar, si pengecut kecil!!"
Mendadak kau mengucek rambutku. Aku sangat terkejut. Segera saja aku mengangkat wajah. Sekarang kau sedang tertawa terbahak-bahak.
"Sunbae .. ," desahku lirih. Sedikit kesal padamu karna aku tidak merasa ada yang lucu.
"Buatkan capuccino untukku .. ," tak menghiraukan keputus-asaanku, kau berkata, " Aku akan berada di kamar semalaman. Mesti lembur buat menyelesaikan skripsiku. Jadi jika kau selesai, antarkan ke kamarku, thanks .. "
Sebelum aku memberi tanggapan, kau sudah masuk ke dalam kamarmu. Aku menghela nafas sambil cemberut. Kenapa aku selalu menjadi tak berdaya di hadapanmu? Selalu bodoh dan bego? Kapan sifat ini bisa berubah? .. Aku menghela nafas lagi.
Mungkin setelah kau pergi dari kehidupanku? Dan aku sadar saat-saat itu tidak akan lama lagi. Kemurunganku berangsur-angsur menghilang ketika teringat kembali panggilan sayang darimu tadi, 'si pengecut kecil ... '
[/b]
________________oOo_________________
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
The Little Coward-- Chapter Six
The Little Coward--
Chapter Six
By : Lovelyn Ian Wong
"Mworagu--apa katamu?" tanyaku sambil membelalakkan mata lebar-lebar--mengira telah salah menangkap apa yang barusan dikatakan Soeun.
"Kencan!" Soeun mengulangi kata-katanya lambar-lambat, menekankannya huruf demi huruf. "Did you get it?"
Aku mengangguk dengan sepasang mata berkejap-kejap. "Tapi .. apa urusannya denganku?"
Soeun berdecak. Sekali tarik, aku sudah berada dalam rangkulannya.
"Aku dan Bum sudah merencanakan kencan buat sabtu besok. Sialnya, sang ayah tiba-tiba memintanya menemani putra sahabat baik sekaligus rekan kerjanya, yang baru tiba di sini beberapa waktu yang lalu, buat berkeliling Seoul pada hari yang sama.. "
"Terus?" tanyaku masih tak mengerti.
Soeun segera mendelik begitu menyadari semua penjelasannya sia-sia saja. Aku, si kepala kerbau, tetap tidak mengerti maksudnya.
"Kami tidak bisa kencan dengan kehadiran orang ketiga! Mengerti sekarang?"
Aku mengangguk ragu-ragu. "Lalu .. kau mau apa denganku?"
Soeun tersenyum perlahan. Senyuman yang mengandung misteri. Ekspresi itu membuatku menyusut ngeri. Wajah jutek itu terlihat licik.
"Yaa--kau mau apa?" kukibaskan tangannya dengan cepat dan kasar.
Soeun langsung berseru dan meringgis kesakitan. "Akhh--kau ini ... "
"TIDAK MAU!! AKU TIDAK MAU!!"
Aku mengeleng keras-keras.
"Yaa--aku belum sampai ke titik masalah!" protes Soeun.
"Pokoknya yang berhubungan dengan kencan dan .. segala sesuatu yang berhubungan dengan itu, jangan libatkan denganku!" aku menutup telinga erat-erat. "Omma sudah mewanti-wanti agar aku tidak terlibat hubungan apapun di sekolah ini. Tidak!!"
"Mwo? Yaa--dengarkan aku dulu!"
"Antwee!!!"
"Yaa--," Soeun menarik sepasang tanganku yang menutupi telinga. "Kau tak perlu kencan beneran dengannya. Hanya membantu kami melepaskan diri, ok?"
"Yaa--sama aja boong!!" protesku cemberut.
"Tentu saja lain .. ," Soeun tertawa sambil menarik bibirku yang monyong beberapa mili. "Jika kau kencan beneran dengannya, mungkin ... ," tiba-tiba dia mencondongkan wajah kearahku dengan ekspresi mengoda. " .... dia akan melakukan sesuatu melebihi apa yang dapat kau bayangkan ... "
"Mak .. maksudmu?" tanyaku sambil menelan ludah. Membayangkannya saja sudah membuatku panas dingin.
"Ha .. ha .. mengapa setakut itu?" Soeun menarik diri ke belakang. "Ternyata julukan itu benar-benar cocok buatmu ... ," dia tertawa terbahak-bahak.
"YAA--" aku segera memukulnya kesal. "Berhenti mengodaku!"
"Ne. Ne. Mianeyo ..."
Soeun berteriak minta ampun setelah lengannya merah-merah karena seranganku.
"Awas kalau masih berani mengejekku!!"
Soeun mengangkat tangannya sambil mengulum senyum. "Karena itu, tolonglah aku ... ," dia membujukku lagi. "Lagipula orang itu kau kenal juga .. "
"Dhuga?" tanyaku sambil lalu.
"Dongsae, si murid baru .. "
"Yang katanya putra pemilik perbankan terbesar di Korea itu?"
Aku mengangkat alis--mulai tertarik dengan pembicaraan ini. Bukan pada orang bernama Dongsae itu, tapi pada gosip-gosip hangat yang tengah beredar di seantero sekolah mengenai murid pindahan itu.
"Bukan katanya, tapi kenyataan .. " jawab Soeun dengan pasti. "Ayah Bum adalah salah seorang partner kerja ayahnya. Mereka baru saja menandatangani proyek kerjasama yang sangat penting. Berhubungan dengan perhotelan yang akan didirikan di Seoul ini .. ." Tangan Soeun mengelayut ke tanganku. " .. karena itu, bantulah kami, Sun-a. Kami tidak boleh mengecewakannya, kan? Iya, kan? ya?"
Berulangkali Soeun menyenggol lenganku. Dia memohon-mohon dengan memelas. Sepasang tangannya terkatup di depan dada dan digerak-gerakkan dari atas ke bawah. Aku menghela nafas, kemudian memejamkan mata perlahan--tak tahu keputusan apa yang mesti kuambil ...
*********
Soeun, Bum dan Dongsae menjemputku di apartemen pagi itu.
"Hy .. ," sapa Dongsae.
Tampangku langsung masam. Jangan sok akrab!! ingin sekali aku berteriak. Namun, tentu saja tidak boleh kulakukan. Soeun bisa membunuhku saat ini juga jika aku nekat melakukannya. Sebagai balasan terhadap sapaan tadi, aku tersenyum kecut. Walaupun terpaksa, akhirnya aku menerima juga ide gila Soeun untuk kencan bersama. Well, sesungguhnya hanya dia dan Bum yang kencan, sedangkan aku--hanya sebagai alat untuk menjauhkan Dongsae dari mereka. Mungkin kedengarannya menyedihkan, namun kenyataannya aku memang selalu lemah terhadap bujuk rayu Soeun.
"Ok, apa yang akan kita lakukan sekarang?" Dongsae memecahkan kebisuan di antara kami.
Bum dan Soeun tampak saling melempar pandangan. Aku sadar, siasat-siasat jitu untuk menyingkirkan Dongsae dan (aku) sudah dipersiapkan oleh mereka.
"Hyesun belum sarapan, kan?" tanya Bum.
Aku mengeleng pelan.
"Kalau begitu, kita sarapan dulu .. ," Soeun menyambung perkataan kekasihnya. "Baru setelah itu kita melanjutkan ke acara-acara selanjutnya .. "
"Acara-acara selanjutnya? Apa itu?" tanya Dongsae penasaran.
"Kita akan bermain ke Lotte World ... ," sahut Bum. "Kau belum ke sana-kan, Sae-a?" dia bertanya.
"Belum .. ," jawab Dongsae segera.
"Kalau begitu saya akan membawamu ke sana ... "
"Kedengarannya menarik .. ," Dongsae mengelus dagunya.
"Lumayan-la .. ," Bum tertawa.
"Lalu ... ," lanjut Dongsae mengebu-gebu. "Kemana lagi?"
“Lunch, diteruskan ke Namsan Tower. Setelah tea time, kita akan berkeliling kota sebentar. Kemudian dinner yang ditutup dengan nonton film bersama. Bagaimana?”
“Kedengarannya sangat perfect!” Dongsae berseru.
“Tunggu sebentar!” potongku tiba-tiba. “Kenapa acaranya sepadat itu?”
“Namanya juga kencan!” Soeun menyenggol tanganku, yang langsung disambut ketawa yang lain.
“YAA--,” aku segera mendorong si centil itu. “Tidak bisa! Aku tidak bisa dinner dan nonton bareng kalian. Banyak tugas yang harus kulakukan hari ini … “
“Apa itu?” tanya Soeun dengan nada tak senang.
“O .. omma akan meneleponku malam ini .. ,” bagus. Aku berbohong lagi. “Aku harus menunggu telepon darinya di rumah. Bisa mampus jika ketahuan aku keluyuran malam hari .. “ Bukannya merasa berdosa, bualanku malah semakin berlebihan.
Soeun kelihatan memanjangkan bibirnya. Dia tidak bisa menerima alasanku. Aku tahu itu. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa kalau alasan itu kukaitkan dengan omma. Aku memang cerdik, senyumku dalam hati penuh kemenangan.
“Ya, sudahlah kalau begitu.” Bum berkata. “Kita jalan-jalannya sampai jam lima sore saja. Setelah itu pulang sendiri-sendiri .. “
Yang lain menganggukkan kepala menyetujui. Dalam hati, aku cekikikan sendiri.
*******
Acara kencan (ralat=>boongan) dimulai dengan sarapan bersama di sebuah restoran yang cukup terkenal dalam Lotte World. Selama acara itu, aku menyadari satu hal, Dongsae lebih menyebalkan dari Bum. Dia nyerocos terus. Dan yang dibicarakannya tidak ada yang penting. Yang lebih mengesalkan lagi, lawan bicara yang dituju selalu aku. Mengapa? Huhu—ingin sekali aku menanggis.
Dia mencolek lenganku berkali-kali, kemudian membisikan sesuatu di telingaku--layaknya kami sudah mengenal dalam waktu yang lama. Ingin sekali aku menonjok wajahnya yang cengar-cengir melulu itu. Apa dia kira yang dikatakannya lucu? HUHH!! Tapi malang bagiku. Sekali lagi aku tidak boleh melakukannya. Menangkap gelagat sekecil apapun dariku, Soeun langsung melototkan matanya sampai mau meloncat keluar dari rongganya
Setelah sarapan, kami mencoba segala sesuatu yang ada dalam Lotte World. Permainan-permainan yang cukup menarik, tapi tidak mengenakkan karena aku selalu ditinggalkan sendiri dengan Dongsae oleh Soeun dan Bum. Kedua anak itu selalu menghilang begitu saja. Ohh well, ini dunia mereka. Aku dan Dongsae hanya panjangan—seperti yang kukatakan di awal-awal paragraf.
Kami sedang melihat-lihat beberapa toko yang menjual pakaian dan aksesoris ketika Soeun tiba-tiba menarik tanganku.
“Heyy—itu idolamu!!”
Aku mendengus kesal. “Jangan mempermainkanku lagi!” Sudah kapok aku dipermainkan dengan semua bualan-bualan Soeun tentang dirimu. Tapi, walaupun begitu, aku menoleh juga. Kebiasaan jika mendengar namamu lol.
Dan .. mataku langsung terbelalak lebar. “Omo—“ segera saja aku berbalik kearah berlainan—bermaksud ngeloyor pergi, tapi ditarik kembali oleh Soeun.
“Jangan melarikan diri terus!”
“Mwo? Yaa—apa-apaan ini?! Lepaskan!!”
“Shido!!” Soeun memperkeras tarikannya. “Ayo kita ke sana!”
“Mwo?! Antwee!! Lepaskan aku!”
Tiba-tiba Soeun menempelkan wajahnya di wajahku. “Mari kita tunjukkan ke dia kalau kau laku juga .. “
“Yaa—Kim So Eun!”
“Let’s go!!”
Aku tidak bisa menolak karena Soeun menarik kerah bajuku dengan keras. Aku terseret-seret di belakangnya. Sedangkan para adam, mengikuti kami sambil mengaruk-garuk kepalanya. Tidak mengerti mengapa para cewek yang tadi begitu bersemangat dengan pakaian-pakaian dan aksesories-aksesories itu berbalik arah.
“Minho sunbae!”
Soeun menepuk lenganmu begitu kami sudah sampai di dekatmu.
Kau mengalihkan perhatian dari … lensa-lensa kamera di tangan dan etalase toko kearah kami. Aku melihatmu sedikit terkejut. Itu terlihat dari sepasang matamu yang melebar perlahan. Namun itu hanya sesaat—tak sampai lima tiga detik ekspresi wajahmu sudah datar lagi.
“Sudah kukira tak salah lihat. Benar sunbae .. ,” Soeun tersenyum semanis mungkin.
“O—anyong .. ,” kau menangguk kecil pada kami.
Bum dan Dongsae membalasnya dengan hormat. Itu tak mengherankan karena hampir seluruh siswa mengenal dan mengagumi serta menyanjungmu, tanpa kecuali, baik itu cowok maupun cewek.
“Apa yang sunbae lakukan di sini?” si reseh itu bertanya lagi.
Kau tersenyum. Sebelum menjawab, seorang sales muncul dari meja layan.
“Lensa yang tuan maksud baru akan tiba beberapa hari lagi … ,” kata si sales.
Kau berbalik menghadapinya. “Aku mau dua. Jika sudah sampai, tolong kirim ke alamat ini .. “ kau mengeluarkan sebuah kartu nama kemudian memberikannya pada sales itu.
“No, problem sir .. ,” si sales menerima sambil membungkukkan badannya.
Kau mengangguk. “Thanks .. “ Setelah itu kau menoleh pada kami. “Sampai ketemu lagi, dongsaeng-a .. “ Kau melambaikan tangan sebentar— sekilas aku melihatmu seperti tersenyum tipis—kemudian kau berlalu dari toko yang menjual alat-alat elektronik itu.
“Heyy—“ tiba-tiba Soeun menyenggol lenganku. “Ternyata idolamu benar-benar hebat waktu dilihat dari dekat. Itu-lohh—kulit, mata, hidung ama bibirnya nggak nahan … “ dia cekikikan.
“YAA--,” aku mempelototinya. Jangan berpikir yang tidak-tidak!, ancamku lewat pandangan membunuh itu.
**********
Aku baru saja melemparkan tas selempangku ke sofa ketika sebuah suara terdengar dari belakang.
“Begitu caranya berkencan?”
Aku langsung terlonjak kaget.
Aku berbalik ke belakang.“Sunbae .. “
Kau berdiri di hadapanku dengan secangkir cappuccino terpegang di tangan. Kau tersenyum perlahan—sangat tipis dan terkesan seperti ejekan. Sudut bibir sebelah kiri itu tertarik ke atas. Berupa cengiran. Aku menjadi panik.
“Ba .. bagaimana .. sunbae tahu .. kalau .. kalau kami .. berkencan? Oh—tidak! Bu .. bukan begitu .. ,” aku mengeleng keras-keras—tidak mengerti sendiri apa yang kuucapkan.
“Bukan begitu?” kepalamu agak digerakkan—menanti jawaban dariku.
“Ne. Kami .. kami … ,” bagus! Aku menjadi gagap sekarang.
“Kami?” kepalamu terjulur semakin mendekatiku.
“Kami .. ,” aku menundukkan kepala sambil mengigit bibir keras-keras. “ … hanya … hanya jalan-jalan .. bersama … “ Apa itu ada bedanya? Oh, tidak! Apa yang harus kukatakan sekarang?!
“Begitu?”
Tarikan di bibirmu semakin tajam. Aku melirik lewat sudut mataku. Kau mengangkat cangkir kemudian menghirup kopi dari dalamnya dengan nikmat.
“Jika kau tak keberatan, aku akan mengajarimu cara kencan yang benar?” lanjutmu dengan tenang.
Aku langsung terlonjak dari posisiku. Tanganku hampir menjatuhkan cangkir dari tanganmu. Dan lebih parah lagi, batok kepalaku berhasil menabrak dagumu yang berada sangat dekat denganku.“Dhe?” mataku terbelalak lebar, tak mampu mempercayai apa yang barusan kudengar.
Kau mendengus sambil mengelus-ngelus dagumu yang meninggalkan bekas merah.“Mulai sekarang aku gurumu. Panggil sonsaengnim!"
“MWO? Sunbae!”
“Sonsaengnim!” katamu tegas. Kepalamu sekarang menyentuh jidatku, Apa sebagai balasan dari ketidak-sengajaanku tadi?, membuatku memejamkan mata—tak tahan membalas pandangan tajam darimu.
“Sonsaengnim … ,”akhirnya aku memanggil, tak berdaya.
“Bagus!”
Aku melihatmu tersenyum puas. Segera saja bibirku meruncing ke depan. Tak mengerti apa yang membuatmu sepuas itu.
“Kita akan memulai kencan ini dengan … “
“Kencan?!” aku menyela, kaget.
“Kencan bohongan, pengecut kecil!” mendadak kau mengetok kepalaku.
“Yaa—sun .. ,” perkataanku terputus oleh telunjukmu yang sudah menempel di cuping hidungku. “ … sonsaengnim … ,” lanjutku lemas.
“Murid bagus .. ,” kau tertawa renyah.
Lalu, bagaimana denganku? Aku hanya bisa memandangimu dengan sepasang mata terbelalak lebar. Kenapa kau selalu kelihatan senang dan puas dengan posisiku yang terpojok dan merana?
“Jangan memandangiku seperti itu!” kembali getukanmu mendarat di kepalaku. Kali ini di bagian dekat jidat. “Dan jangan berpikiran macam-macam! Ini hanya sandiwara. Kencan kita hanya berkisar pada apa yang biasa dilakukan anak-anak muda saat berpacaran pada umumnya. Tidak akan melebihi batas, jadi jangan berharap yang tidak-tidak. Araso?”
Pipiku perlahan-lahan memerah. Mengapa kau seperti bisa membaca pikiranku? Mengetahui apa yang sedang kupikirkan dan kuharapkan? Aku sangat putus-asa. Sungguh merasa ditelanjangi olehmu--bulat-bulat!
“Bu .. bukan begitu .. ,” aku berusaha membantah, namun kau sudah membelokkan percakapan ke arah lain.
"Sebagai bayarannya kau harus menyediakan secangkir cappucino buatku. Ingat, setiap hari--sebelum sarapan!"
"MWO?" teriakku sangat keras. Sepasang mataku terbelalak lebar.
"Kenapa berteriak?" alismu berkerut. "Tidak pernah kau berteriak seperti itu padaku?!"
Apa ini keberatan darimu?
"Aku .. ti .. dak .. ," aku kelabakan sendiri. Tidak tahu bagaimana caranya menjawab pertanyaanmu. Mataku melirik kesana-kemari--gugup dan gelisah. " ... maksudku, ... ti .. tidak baik minum kopi se .. sebelum sarapan. Nanti .. nanti kau bisa sakit maag .. "
"Maag?" kau terlihat keheranan. "Apa yang kau bicarakan=>dirimu sendiri?"
Mampus aku!! Senjata makan tuan. Penolakan halus dariku berbalik kembali padaku. Sangat jitu dan membuatku mati kutu. Kau hebat, bisa membalikkan perkataanku dengan tenang dan cerdik. Oh--lalu, apa yang harus kukatakan sekarang?
Aku mencuri pandang dengan tampang super memelas kearahmu. Dan .. horeeee--aku langsung bersorak kegirangan (tentu saja dalam hati weeekk--) ... kau sudah tidak memperlihatkan reaksi seperti tadi lagi. Ekpresi dan nada sedikit mengejek tadi menghilang begitu saja. Tampangmu berubah datar ketika mempertimbangkan sesuatu.
“Hmm—sebaiknya bagaimana kita memulai pelajaran ini .. ,” kau mengelus-ngelus dagu berusaha mencari cara yang tepat. Tiba-tiba kau menjentikkan jari ke atas. “Bagaimana kalau dinner bersama di luar malam ini!?”
Mulutku mengangga. “Dinner bersama?” Aku berharap tidak salah dengar. Ini pertama kalinya kau mengajakku dinner bersama. Di luar lagi. Walaupun hanya kencan bohongan, apa peduliku? Yang penting, bisa menghabiskan waktu semalaman denganmu, cihuuyyyy!!!!
“Bagaimana?”
Aku mengangguk seperti kerbau dicucuk hidungnya.
“Bagus. Kalau begitu bersiaplah! Kita akan keluar lima menit lagi.”
Sebelum berlalu ke dapur--buat menaruh cangkir yang sudah kosong, kau mencolek halus daguku. Tubuhku langsung menjadi kaku. Selama beberapa bulan tinggal bersama, hanya hari ini, Tidak! maksudku, hanya beberapa puluh menit terakhir, kau menyentuhku, beberapa kali berturut-turut. OH Tuhan! Aku ingin berteriak, … huhuhu tapi sayang, aku lupa sudah berapa kali kau menyentuhku. Termasuk getokan-getokan pelan tadi. Bagaimana bisa? Hal sepenting itu .. hiksssss…..
"Belum siap juga?!"
Suaramu kembali terdengar. Oh--aku mengangga. Apakah lima menit sudah berlalu? Secepat itu?
"Jika kau masih saja berdiri di situ, aku akan pergi seorang diri!"
Tanpa menungguku, kau berjalan ke arah pintu depan.
"YAA--SUN .."
"EITSS--!!" kau langsung berbalik sambil mengarahkan telunjuk ke arahku. Matamu bersinar tajam.
"Sonsaengnim, .. " aku mengangkat tangan ke atas dan mengangguk berkali-kali--sebagai permohonan maaf, "tunggu sebentar lagi ... ," lanjutku lambat-lambat. "Please .... ," suaraku terdengar memelas. Lalu dengan cepat kuangkat satu jari ke atas. "Satu menit saja!" ujarku. "Satu menit!!"
Kau menghembuskan nafas sambil melanjutkan langkah yang tadi tertunda.
"Jika dalam waktu semenit kau belum nonggol juga, aku akan pergi!" sahutmu tanpa menoleh ke arahku.
"Ne!!"
Tak perlu diperintah untuk kedua kali, aku langsung menghambur ke dalam kamar. Untuk apa? Ya, untuk menganti pakaian sekedarnya. Pakaian yang sekarang kukenakan sudah basah oleh keringat. Dan sedikit apek. Aku menghembuskan nafas berulang-kali. Tidak tahan sendiri dengan bau apek yang menyiksa ini. Apa tadi tercium olehmu ya?
[/b]
________________oOo_________________
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
THE LITTLE COWARD-- CHAPTER SEVEN
The Little Coward--
Chapter Seven
By : Lovelyn Ian Wong
Sebagai permulaan dari kencan *tanda kutip “bohongan”* pertama kami, my sonsaengnim a.k.a Lee Min Ho, membawaku ke sebuah restoran Perancis yang terletak di pusat kota. Aku agak gugup begitu memasuki restoran mewah itu. Para pelayan beserta para pelangannya—yang kebanyakan berasal dari orang-orang terpandang dan kaya, langsung mengerling tajam padaku. Beberapa di antaranya mengamatiku keheranan, sedangkan sebagian besar menutup mulutnya—kecikikan. Mengapa? Apalagi kalau bukan kesalahan yang terletak pada penampilanku?
Karena hanya memiliki waktu satu menit buat berganti pakaian, aku hanya berhasil menyambar celana jeans belel dan kaos oblong bergambar ‘Winnie the Pooh’ dari atas ranjang dan mengantinya dengan terburu-buru. Hasilnya? Di sini-lah aku—ditertawakan sampai pipiku memerah dadu. Orang-orang itu mengigit bibir keras-keras supaya suara ketawanya tidak terdengar berisik dalam restoran yang super tenang itu. Tapi justru perbuatan mereka membuatku menunduk semakin dalam. Sungguh memalukan berdandan tidak pada tempatnya di saat kencan pertama kita! Ok, sekali lagi dalam tanda kutip *Cuma boongan, huhhh ….
Aku manyun dengan menyedihkan dan berusaha sekuat tenaga bersembunyi dibalik postur jangkungmu.
“Sonsaengnim .. “ Aku menarik ujung jasmu.
“Mwo?” kau menoleh kearahku dengan kening berkerut.
“A .. aku .. tidak mau .. makan di sini .. ,” jawabku lirih dan memelas. “Kita ke restoran fast food aja, ya? Ya? … sonsaengnim .. ,” bujukku memasuki tahap merengek.
Kau menyilangkan tangan di depan sambil berputar cepat kearahku. “Apa kau tahu apa yang paling diinginkan seorang pria dari pacarnya?”
“Dhe?” tanyaku bingung.
Kau mendengus sambil menarik kembali ujung jas yang sudah kucel akibat remasan-remasan tanganku.
“Bersikap dewasa dan berwibawa. Bisa menempatkan diri di mana saja. Persetan dengan beribu-ribu mata yang memandangimu. Anggap mereka tidak ada. Himpun kepercayaan dirimu ... ,” ujarmu tajam dan menyengat.
Aku mundur selangkah. Pertamakalinya kulihat kau seemosi ini. Apa aku memang begitu sulit ditangani? Sampai orang setenang kau saja kewalahan?
“Tapi .. aku hanya …hanya gadis kecil berusia 16 tahun .. ,” kataku pelan-pelan—berusaha membela diri walaupun takut-takut. Aku ngeri mengobarkan api amarahmu lagi. Atau lebih tepatnya, takut membangunkan singa tidur kembali …
Tiba-tiba jitakan mendarat di batok kepalaku.
“Awas jika protes lagi!” ancam-mu dengan pandangan mendelik. “Restoran fast food tidak cocok buatku, tahu?”
“Tapi kan, restoran fast food lebih … “
Perkataanku terputus begitu melihatmu mengangkat tangan dan bersiap mendaratkan ke kepalaku lagi.
“Try again?” tanyamu sinis.
“Anyi .. “ Aku mengelengkan kepala keras-keras. “Aphoyo … “
“Meja ini, tuan dan nona .. ,” pengantar kami, seorang pelayan cewek berpostur pendek—lebih pendek dariku—yang dari tadi hanya membisu dan sesekali mengerling kearah kami, mengeluarkan suaranya sambil menunjukkan meja yang telah dipesan olehmu. Mungkin karena kelamaan membisu, aku merasa seperti mencium bau mulutnya weeekkk …
Kau berjalan ke salah satu kursi yang mengelilingi meja, kemudian menariknya keluar buatku. Kau menyilahkanku duduk di situ dengan gerakan pelan. Wajahku langsung memerah tomat. Aku malu diperlukan bak seorang tuan putri olehmu.
“Ghamsamida .. ,” ucapku pelan dan hampir tak terdengar.
Kau tersenyum. “You’re welcome .. “
Oh—god, ternyata kau mendengarnya! *Surprise ..
Kau menjatuhkan diri di kursi tepat di depanku dan mulai menghayati daftar menu yang tadi disodorkan pelayan tadi. Aku juga mulai mempelototi tulisan-tulisan yang berseliweran—saking tak mengertinya, bahasa Perancis sih *dead—kabur di depanku. Aku merasakan bintang-bintang kecil mulai berputaran di atas kepalaku.
“Tahu apa yang kusuka?”
Pertanyaanmu menghentakku. “Dhe?” secepat kilat daftar menu yang sudah ingin kubuang sejak tadi kugeser ke samping sehingga wajahmu terlihat jelas olehku sekarang. Ajaib, pikiranku langsung segar!
“Tahu apa kesukaanku?” kau meletakkan daftar tebal di tangan ke atas meja. Tanganmu saling melipat dan bertumpu di atas meja sambil mengamatiku.
“Daging .. ,” tebakku perlahan-perlahan.
Tokkk, jitakan yang kuterima …
“Akhh … ,” aku meringgis kesakitan sambil mengelus-ngelus jidatku yang meninggalkan bekas merah. “Sonsaengnim .. , apa kesalahanku?” Tak terima aku diperlakukan begini.
Mengapa selalu menjitak dan mengetok kepala dan jidatku? Come on—aku bukan anak TK lagi! Jika ingin marah, atau ada sesuatu yang tidak berkenan, katakan padaku. Jangan bisanya hanya mengetok dan menjitak melulu! Huhh!! Tapi apa aku berani mengutarakan semua keberatan-keberatan ini? Tentu saja tidak! Seperti julukan yang melekat pada diriku—aku si pengecut kecil. Aku hanya bisa cemberut dengan mulut komat-kamit seperti membaca mantra.
“Daging katamu?” kau mendelik. “Memangnya di dunia ini hanya ada satu jenis daging?”
“Oh--,” aku membuka mulut lebar-lebar.
“Oh--,” kau meniruku sambil tersenyum tipis—menyengir tepatnya. “So?”
Bola mataku berputar ke atas—berpikir keras. Beberapa detik kemudian aku menjawab takut-takut. “Daging .. sapi … “
Kau tersenyum. Perlahan meraih kembali daftar menu yang tadi diletakkan di atas meja dan menyelusuri menunya satu-persatu.
“Apa yang kau mau?” tanyamu beberapa saat kemudian.
Aku mengangkat kepala yang sudah puyeng-puyeng oleh tulisan-tulisan Perancis dalam menu.
“Ter … “
Perkataanku terputus oleh daftar menu yang tiba-tiba kau sorongkan dengan cepat kearahku.
“Jangan ada kata ‘Terserah’!” selamu tajam.
“Dhe?” sekali lagi tampangku seperti orang bego. “Ghentwee—weeyo?” kepalaku sedikit miring ke samping.
Kau menghempaskan daftar menu ke atas meja.
“Seorang pria paling benci dipaksa memikirkan sesuatu yang tidak penting. Apa kau suka ini? Atau suka itu? Mau makanan ini atau makanan itu?” kau menghembuskan nafas keras-keras.
Kepalaku semakin miring ke samping. Mataku berkejap-kejap—makin pusing dengan ajaran-ajaranmu yang kedengaran sangat dalam itu. Apa kau berbakat jadi filsafat sejak lahir ya?
“Maksudku .. ,” telunjukmu mengarah ke wajahku dan digerak-gerakkan. “Seorang pria tidak suka jika pacarnya tidak punya pendirian. Apalagi jika kepala sudah sumpek dan hanya ingin melepaskan lelah dengan pujaan hatinya, paling anti mendengar kata ‘Terserah’. Kalau sudah begitu, dia dipaksa untuk berpikir. Memikirkan sesuatu yang tidak penting. Memakai otak padahal dia ingin bersantai dan dimanja oleh kekasihnya. Yang lebih tepat tuh si cewek yang menyiapkan segalanya buat cowok. Araso?”
Aku mengangguk-angguk berkali-kali—berlagak mengerti padahal dalam hati aku tidak begitu mengerti. Namun tidak ada salahnya aku berlagak pintar selama hal itu memuaskanmu, kan? Tapi alismu berkerut perlahan, seperti mampu membaca pikiranku—memaksaku menundukkan kepala sedalam-dalamnya.
“Ah—sudahlah! Belajarnya pelan-pelan saja .. “
Aku mendengarmu berkata.
“Malam ini kau makan dengan menu yang sama denganku saja .. “
Lanjutmu yang segera membuatku mengangkat kepala kegirangan.
“Beef Stroganoff—Fillet daging sapi dengan saus krim dan homemade Spatzle dan pencuci mulut atau dessertnya, Mousse au chocolat dan fondant au chocolat—pencuci mulut ala Perancis dengan isi coklat meleleh. Setuju?”
“NE!!” Aku berteriak keras sambil mengangkat garpu dan pisau ke atas.
Berpuluh pasang mata langsung melotot kearahku. Tahu keceplosan, aku menutup mata rapat-rapat sambil mengangkat tangan memohon ampun.
“Miane, sonsaengnim … Lain kali nggak berani lagi … “
Aku memicingkan sebelah mata dan melihatmu menarik kembali tangan yang tadi bersiap di daratkan ke kepalaku. Aku langsung menghembuskan nafas lega dan tersenyum lebar—memperlihatkan sepasang lesung pipiku yang sangat dalam.
“Masih ada lain kali?” kau mendengus.
“Anyi .. ,” aku mengangkat dua jari ke atas. “Promise .. “
Tiba-tiba kau mencolek daguku. “Dasar, little coward!”
Kemudian kau mengangkat tangan dan melambai memanggil pelayan buat mencatat pesanan-pesanan yang sudah ditetapkan. Aku mencuri pandang kearahmu. Tanpa sadar aku menunduk dan tersenyum perlahan.
Ini kencan pertama kita! Ya, kencan pertama kita. Walaupun tidak sempurna—dengan adanya perselihan-perselihan kecil tadi, dan hanya bohongan, aku cukup puas dan bahagia. Aku ingin teriak pada dunia—paling tidak pada Soeun, MIMPIKU SUDAH TERWUJUD!! AKU BUKAN SEORANG PEMIMPI LAGI!! MINHO SUNBAE ADALAH PACARKU SEKARANG—walaupun hanya pacar gadungan,, siapa yang peduli wekkk …
******
“Habis ini kita pergi nonton ..,” katamu sambil mengelap mulut dengan serbet.
“Mwo?”
Prangg! Garpu dalam genggamanku jatuh ke piring dan menimbulkan suara berisik. Kau langsung melotot kearahku.
“Nonton?” tanyaku tanpa mempedulikan bola matamu yang hampir meloncat keluar dari rongganya.
“Ne .. ,” sahutmu keras. “Ada apa? Tidak suka?”
“Bukan!” aku mengeleng keras-keras. “Bukan begitu!”
“Jadi, … diterima?”
“Ne!” aku mengangguk keras-keras—lebih keras dari gelengan tadi.
“Ok, kalau begitu cepat selesaikan makannya. Kau lambat sekali .. “
Tanpa disuruh untuk keduakalinya, aku menghabiskan sisa-sisa makanan dalam piring dengan gerakan kilat—sampai-sampai matamu terbelalak lebar melihat kegilaanku.
“A .. apa cukup cepat?” tanyaku tersengal-sengal.
Kau menyodorkan segelas air padaku.
“Kau dikejar setan ya? Buat apa seterburu-buru itu? Aku memintamu cepat, bukan kilat! Apa jadinya kalau sampai tersedak?” kau mengerutu terus-menerus.
Aku mengambil gelas dari tanganmu dan meneguk air dari dalamnya sampai habis.
“Aku tidak apa-apa .. ,” jawabku sambil menghembuskan nafas keras-keras. “Bisa nonton sekarang!” aku mengangkat tangan keatas kemudian mengayunkannya keras-keras ke belakang. “Yess!!”
Kau tertawa. “Demi nonton?”
“Ne!” sahutku sambil mencondongkan badan ke depan. “Sonsaengnim bukannya mau mengingkar janji, kan?” tanyaku harap-harap cemas.
Kau menekan cuping hidungku. Yang secara reflek membuatku memejamkan mata. “Tentu saja tidak. Sejak kapan sonsaengnim membohongimu?”
Aku tahu kau tidak akan membohongiku! ujarku dalam hati masih dengan sepasang mata terpejam.
*****
“Tahu apa yang biasa ditonton sepasang muda-mudi yang sedang pacaran?” tanyamu sambil mengamati poster-poster raksasa yang terpajang di dinding begitu kita berada di dalam gedung bioskop.
Aku mengeleng lambat-lambat. Kau mengalihkan perhatian padaku.
“Film horror .. ,” katamu sambil tersenyum tipis.
Aku bergidik. “Weeyo?”
“Karena .. ,” kau mengelus-ngelus dagu sambil mengulum senyum. “.. para pria sadar, dengan berbuat begitu pacar-pacarnya akan memeluk atau merangkulnya kalau sedang ketakutan.” Tiba-tiba kepalamu condong ke arahku. “Bisa dikatakan, mencari kesempatan dalam kesempitan .. “
“Se .. seketerlaluan itu .. ?” tanyaku tersendat-sendat.
“Keterlaluan?” alismu berkenyit. “Biasanya para wanita menyukainya .. ,” lanjutmu adem.
“Menyukainya?” ulangku perlahan. “A … apa sonsaengnim juga .. berniat .. nonton film .. horror?” aku mengigit bibir keras-keras begitu melontarkan pertanyaan ini.
“Tidak!” jawabmu cepat—membuatku segera menatapmu lekat-lekat. “Jangan memandangiku seperti itu!” kau melarang dengan mata melebar. “Aku tak mau mengambil resiko diterkam akibat ketakutan-ketakutanmu yang tak wajar itu. Kau—si pengecut kecil! Sudah bukan sekali aku mengalaminya .. jadi … ,” kau mengangkat tangan tanda menyerah.
“Sonsaengnim .. ,” desahku dengan bibir manyun sesenti. “Aku tidak seperti itu .. ,” protesku dengan nada sumbang.
“O—kau seperti itu, pengecut kecil .. ,” sambutmu tak mau kalah.
“Sonsaengnim .. “
“Kita nonton film musical saja .. ,” katamu sambil melangkah ke depan, ke barisan loket yang menjual tiket, tanpa mempedulikan tampang memelasku.
“Weeyo?” aku mengikutimu dari belakang.
“Apa kau bisa menanyakan pertanyaan lain selain pertanyaan itu?” tanyamu tanpa berpaling padaku.
Aku langsung membungkam sambil memajukan bibir bawah—cemberut.
*******
Aku duduk di sebelahmu sambil sesekali mencuri pandang. Alunan musik klasik berulangkali diputar dari film yang kita tonton. Tapi aku tidak begitu konsentrasi karna yang kuperhatikan hanya dirimu. Beruntung kau begitu berpusat pada film mellow di depan sehingga tidak menyadari atau mengetahui tingkah-lakuku. Atau .. mungkinkah kau hanya pura-pura saja? Berpikir begini, membuatku mengigit bibir keras-keras.
Aku melirik secara diam-diam. Tanganmu menumpu dagu sementara di saat yang lain telunjukmu menyentuh-nyentuh bibir yang bergerak-gerak mengikuti alunan musik klasik dari film yang diputar. Pesonamu menguncangku lagi. Sumpah mati, aku paling klepek-klepek melihat ekspresimu seperti itu—tentu saja selain gayamu waktu menikmati secangkir cappuccino di sore hari.
Mengapa ada pria semenarik kau? dan mengapa mesti menyampiriku sehingga membuat duniaku terguncang hebat seperti sekarang ini?
********
Aku mengimbangi langkahmu keluar dari bioskop.
“Tahu mengapa aku memilih film musical?” kau menoleh padaku.
Aku mengeleng perlahan. “Anyi … “
“Karena aku suka musik .. ,” jawabmu sederhana.
Aku mengangguk sambil menjulurkan lidah. Kalau itu, aku juga tahu!
“Tahu kenapa aku suka musik klasik?”
Nah, jawaban dari pertanyaan ini yang ingin kuketahui! Sejak semula aku sudah bingung dan heran, mengapa pria semuda dan semenarik kau menyukai musik klasik yang biasanya digemari para ajushi.
“Anyi .. “
Kau menghentikan langkah dan menghadapiku. “Karena .. omma selalu memutar musik jenis itu buatku sejak aku masih bayi .. “
“O—,” mulutku terbuka membentuk huruf ‘O’. Aku mengangguk-angguk bijak. Akhirnya jawaban dari keanehanmu yang satu itu terjawab juga!, aku bersorak dalam hati.
“Tahu mengapa aku menjelaskannya padamu?” Kau memutar tubuh dan melangkah lagi.
Aku berlari-lari kecil di belakangmu. “Anyi .. “ Kira-kira sudah berapa kali aku mengeluarkan jawaban itu ya?
“Sebuah hubungan agar tetap langeng dan terpelihara keharmonisannya yang paling diperlukan adalah keterus-terangan yang didasari kepercayaan.”
Apa ini berarti hubungan kita sudah memasuki tahap yang lebih tinggi? Bola mataku berputar ke atas.
“Kau mengerti?” suaramu terdengar lagi.
Aku mengangguk. “Ne!” jawabku keras dan tegas.
Kau tak menoleh dan memandangiku dengan sinar mata menyelidik seperti biasanya. Apa kau benar-benar bisa membaca pikiranku? Tahu bahwa aku tidak berdusta sekarang ini? Jujur, mulai saat ini aku agak ngeri dan segan padamu. Kau seperti sebuah kaca pembesar, atau .. paling tidak, sebuah teropong yang mampu menembus apa yang tak terlihat oleh kasat mata.
Kau tak mengeluarkan suara lagi. Selama beberapa menit ke depan, kebisuan tercipta di antara kita. Aku mengikutimu menuju tempat parkir yang berada beberapa puluh meter dari bioskop tadi. Aku menatap pundak dan punggungmu yang bergerak-gerak seiring gerak tubuh. Pundak itu sangat lebar, dan posturmu sungguh tinggi dan proporsional.
Aku mendesah. Apa ini kencan benaran? Aku mulai ragu. Perkataanmu yang menunjukkan ke arah kemungkinan itu tadi, perlahan mengabur. Mengapa kau tidak mengandeng tanganku selayaknya sepasang kekasih? Mungkin aku sudah berharap lebih!
Aku memajukan bibir ke depan sambil mengikuti bayanganmu yang jatuh ke jalan akibat pantulan sinar buram dari lampu-lampu jalanan. Tiba-tiba aku mendapat ide cemerlang yang membuatku mengulum senyum. Perlahan aku menyamping sedikit dan mengatur posisiku sampai bayangan kepalaku menyandar ke bayangan pundakmu.
Aku tersenyum simpul. Paling tidak, aku sudah merasakan kehangatan pundakmu, walaupun cuma bayangan! Siapa tahu kelak, di kemudian hari, harapan ini bisa jadi kenyataan? Ya, siapa yang bisa meramalkan masa depan? Iya, kan?
[/b]
________________oOo_________________
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
THE LITTLE COWARD-- CHAPTER EIGHT
The Little Coward--
Chapter Eight
By : Lovelyn Ian Wong
”Hey—nona, gimana?”
Seseorang mendorong pundakku. Bukk!! Buku tebal bertema ’Seribu Jurus Jitu menaklukkan Pria Idaman?’ lol (apaan sih si Hyesun sampai baca buku begituan?) terlempar dari tanganku. Malang bagi adik kelas yang duduk di kursi dekat rak buku yang berdekatan dengan tempatku berdiri—kepalanya sukses menerima pendaratan dari buku tadi.
“Akhh!!” dia menjerit kesakitan. Buku tersebut tidak hanya tebal, sampulnya juga tergolong keras. Tidak mengherankan jika kepalanya agak menonjol di sisi sebelah kanan. Apa benjol ya? (udah tahu malah nanya, payah!)
“Soseongheyo!” Terburu-buru aku memunggut kembali buku tadi sambil membungkuk berkali-kali padanya. “Aku tidak sengaja. Sosoengheyo .. “
“Sunbae kalau melamun, menjauh sedikit dong. Lihat nih kepalaku sampai benjol begini!” dengus adik kelasku, yang ternyata cerewet itu.
Aku meleletkan lidah. “Iya. Sekali lagi, sosoengheyo .. “
“Huh!!” sekali lagi dia mendengus, sambil mendelik kearahku.
Temannya, yang duduk di sebelah, segera menepuk bahu cewek yang sedang marah itu guna menenangkannya. “Sudahlah. Sunbae kan udah minta maaf .. “
“But, kepalaku benjol nih!” serunya sengit sambil menunjuk jidatnya yang membengkak.
“Hmm--Apa yang harus kulakukan buat menebus kesalahanku tadi?” tanyaku memelas.Tentu saja sambil mempelototi orang yang sudah mengejutkanku sehingga peristiwa yang tidak mengenakkan ini terjadi—Soeun berdiri terpaku di sampingku.
Begitu menyadari dirinya dipelototi, dia segera mengangkat tangan ke atas. “I’m sorry .. “
“Sorry, sorry!” dengusku kesal. “Tahu tidak, mengagetkan orang bisa menyebabkan kematian!”
Lalu aku berpaling kembali ke adik kelasku tadi. “Apa yang harus kulakukan?” tampangku berubah memprihatinkan.
“Ah—sudahlah!” si ceriwis itu mengibaskan tangannya. “Sebaiknya sunbae menjauh dariku …”
“Hey—come on!” tiba-tiba Soeun menarik kerah bajuku guna membalas omelanku tadi. “Aku tidak bermaksud mengejutkanmu. Lagian colekanku tadi pelan banget. Kau aja yang reaksinya berlebihan!” katanya membela diri.
Mataku terbelalak lebar. Colekan—katanya? Jelas-jelas, dia mendorongku tadi! Namun, sebelum dampratan selanjutnya kusemburkan, suara miss Ye Jin, si pengurus perpustakaan sekolah ini, tiba-tiba mengelegar dari tempat jaganya.
“YANG BERADA DI SANA! VOLUME SUARANYA HARAP DIKECILKAN!” Mwo? Bukannya suaranya sendiri yang mengelegar seperti itu? Dasar, tante-tante!” Bibirku maju dua senti karna cemberut. “JIKA TIDAK, KALIAN AKAN DIKELUARKAN DARI SINI!” sambung miss Ye jin dengan nada menegur.
Sekali lagi aku mendelik kearah Soeun. Ingin rasanya aku mencekik lehernya. Biar perpustakaan yang katanya sudah angker sejak dulu akibat pembantaian massal yang dilakukan jaman perang ini, bertambah satu mayatnya—yaitu jenasah Soeun, si reseh. Tapi tetap pikiran-pikiran gila ini hanya tertanam dalam hati, tanpa berani kulakukan. Bakal heboh se-Korea jika sampai benar-benar kulaksanakan. Si pengecut menjadi seorang pembunuh? Berita apa pula ini?
“Tuh—lihat akibat dari perbuatanmu!”
Soeun memanjangkan bibirnya—belajar dariku tuh!. Kemudian menjatuhkan diri di salah satu kursi yang mengelilingi meja panjang. Tampangnya cuek—tak memperdulikan bola mataku yang hampir meloncat keluar saking marah dan kesalnya.
“Lalu, gimana nih?!” tanyanya tenang.
“Mwo?” keningku berkerut. “Gimana apaan? Dari tadi aku nggak ngerti kearah mana pertanyaanmu .. “
Sementara adik kelas malang yang tadi mendadak mendapat buku jatuh ’Bukan bintang jatuh’ dariku, terburu-buru berdiri dari kursinya dan menyingkir dari antara kami sambil diikuti oleh temannya. Mungkin dia takut ketiban sial lagi!
“Tentu saja tentang Dongsae!” sahut Soeun begitu aku menempati kursi yang barusan kosong.
“Mwo?” aku agak terhenyak. “Maksudmu?”
“Ya—gimana perasaanmu padanya?” Soeun mulai kehilangan kesabarannya. “Saya dengar dari Bum, dia benar-benar tertarik padamu loh .. “
“Persetan deh!” cetusku cepat.
“Persetan gimana?” Soeun sewot. “Kalau suka ya bilang suka. Kalau nggak, bilang aja nggak!”
Mataku melebar. “NGGAK!! PUAS?!” teriakku keras.
Sekali lagi, si miss Ye Jin mendelik kearah kami—lebih tepatnya, kearahku. Aku sempat menangkap sorot matanya lewat sudut pandangku.
“Weeo?” tanya Soeun tak mengerti. “Dia kan lumayan. Tidak hanya kaya, tampangnya juga ok ...”
“Kalau gitu, buat kau aja!” cerocosku cuek.
“YAA—“ Soeun menampar tanganku—membuatku berteriak kesakitan. “Aku sudah punya Bum, tahu? Kalau kagak, kau kira aku akan melepaskan kesempatan ini?”
Aku melotot padanya. “Dasar mata keranjang!”
“He .. he …. “ Soeun nyenggir kuda. Dia lalu merogoh ke dalam saku seragamnya kemudian mengeluarkan beberapa lembar kertas persegi panjang—yang ternyata karcis, mengambil selembar lalu menyodorkannya padaku. “Nih—“
“Apa ini?” tanyaku linglung sambil menerima karcis tersebut.
“Karcis masuk arena ice skating di Grand Hyatt Hotel .. “
“Mwo?” Aku mengangkat wajah dari karcis di tangan.
“Dongsae memberikan tiga lembar padaku. Katanya salah satunya buatmu .. ,” tiba-tiba dia menyenggol lenganku. “Lihat-kan! Sudah kubilang dia tertarik padamu. Dia sungguh-sungguh pingin mengaetmu .. “
Tampangku berubah dongkol. Karcis tersebut kuremas kemudian kukembalikan padanya.
“Aku tidak punya waktu hari itu .. “
“Hey—waktunya hari sabtu siang kok!”
“Karna itu aku bilang nggak ada waktu .. ,” ujarku sambil beranjak bangun dari kursi. “Aku harus menunggu telepon dari omma .. “
“Lagi?” tanya Soeun agak curiga. “Sejak kapan kau rajin meladeni ommamu? Biasanya kan kau selalu menghindar darinya?”
Mampus deh! Si reseh ini mulai meragukan alasan yang sengaja kukaitkan dengan nama besar, ‘OMMA’… Kayaknya senjata .. atau lebih tepatnya kebohongan kecilku ini, sudah tidak berguna lagi … Aku harus memikirkan cara lain buat mengelabui Soeun!
Selanjutnya, aku tidak menghiraukan protes-protes si centil itu lagi. Secepat kilat aku menyelinap pergi dari perpustakaan tersebut—tanpa memperdulikan tatapan maut Soeun.
*********
“Nih!!”
Mataku langsung kabur oleh sesuatu yang hampir seinci tercium oleh hidungku. Tulisan-tulisan yang tercetak di sana segede gajah—saking dekatnya, tak terlihat dan terbaca oleh mataku.
Tapi, .. tunggu sebentar!! Mengapa warna-warna cerah yang mendominasi kertas berbentuk persegi panjang ini rasanya tidak asing?
Aku mengangkat wajah dan kau mengipaskan kertas tersebut ke wajahku.
“Ayo, diambil!”
Aku yang masih termangu, menerimanya dengan linglung.
“Apa ini?” tanyaku sambil mengamati kertas tersebut.
Dan …. Astaga!! Apa ini tidak salah? Ya—Tuhan! Bukankah ini .. ini … ? Oh—bagaimana mungkin Engkau bercanda sebesar ini? Mengapa .. mengapa mempermainkanku? Hikss …. Sekarang, sambarkan saja geledek-Mu. Matiin deh aku sekalian! Ini-kan karcis masuk arena ice skating Grand Hyatt Hotel yang sama seperti yang ditawarkan Soeun tadi pagi?
“Bagaimana?” wajahmu condong kearahku. “Apa kau suka ice skating? Aku dapat karcisnya dari Eunhye. Katanya sih semula dia dan temannya berniat ice skating bersama, namun batal gara-gara ada acara mendadak di luar kota .. “
Aku tak menyahut. Wajahku tertunduk semakin dalam oleh tatapanmu.
“Wegude? Kau tak suka? .. atau … ,” perlahan senyum tipis menghiasi bibirmu. “ .. kau .. sama sekali tidak bisa skating?”
Badanku menegak. Ego yang mendadak muncul membuat ketakutan-ketakutan dan kekhawatiran-kekhawatiranku hilang seketika.
“Siapa bilang?!” seruku dengan sikap menantang.
Ekspresimu berubah. Mungkin tak menyangka reaksi dari si pengecut kecilmu akan seketus ini.
“O ya? Hmm—bagus kalau begitu!” Kau memutar badan membelakangiku. “Jangan lupa waktunya hari sabtu siang—sekitar pukul duabelas. Aku akan menjemputmu sehabis pulang kampus .. “
“Sonsaengnim kalau ada mata kuliah, sebaiknya kita berangkat sorean aja.. ,” selaku tiba-tiba, begitu melihat kau sudah bermaksud beranjak dari ruang depan ini.
Kau menoleh sedikit. “Tidak usah. Hari itu aku tidak kuliah kok. Hanya ada keperluan sedikit dengan pak Jung. Itu aja .. “
Mampus kau, Hyesun-a!! Siapa suruh pakai gengsi-gengsian segala? Menantang segala? Begini deh akibatnya! Kenapa tidak terus terang aja kalau kau benar-benar tidak pandai skating? Bukan. Lebih tepatnya, tidak pernah mencoba olahraga ice skating! Dan juga, kau tidak bisa ke acara itu alasan utamanya telah menolak ajakan Soeun ke tempat yang sama pagi ini. Aku terus-terusan menghujat dalam hati.
Apa sebaiknya acara ini dibatalkan saja ya? Tapi .. begitu melihat bayangan punggungmu yang perlahan menghilang di tikungan kamar, aku menjadi lemas.
Aku ingin pergi bersamamu. Ingin berice-skating buat pertamakalinya denganmu. Ingin digenggam erat-erat tangannya sambil meluncur di lapangan olehmu. Ingin .. ingin … ingin semuanya. Semua yang berhubungan denganmu. Yang jelas, kencan lagi denganmu. Walaupun tetap, hanya boongan …
********
Seperti perkiraanku. Jangankan menghindarkan diri dari Soeun, dari jarak belasan meter saja mata elang si reseh itu sudah menangkap keberadaanku di arena ice skating hotel ini.
“HYESUN-A!!” Teriaknya keras-keras. Antara histeris dan senang. Sepasang tangannya melambai-lambai kearahku.
Aku belum tuli! Masih bisa mendengar dengan baik, jadi nggak usah berteriak sekeras itu! Ingin aku memakinya.
Tapi yang kulakukan malah memasang tampang memelas sambil tersenyum kikuk padanya.
“Hy .. ,” aku mengangkat tangan tak bersemangat.
Soeun meluncur menghampiriku yang berdiri memojok di pinggir lapangan—menanti kepulanganmu dari mengambilkan sepatu ice skating buat kita berdua di ruangan dalam, di luar lapangan ini. Sementara dua cowok yang bersamanya, Bum dan Dongsae, mengikutinya dari belakang.
“Hey—Soeun-a, mau kemana?” Bum berteriak.
“Apa sudah cukup bermainnya?” Dongsae ikut menimpali.
Rupanya kedua cowok itu tidak melihatku. Semakin mendekat akhirnya mereka menyadari keberadaanku juga. Itu terdengar dari teriakan-teriakan saling bersahutan dari melera.
“Heyy—itu Goo Hye Sun!!” Bum menunjuk kearahku.
“Benar! Bagaimana bisa berada di sini?” Dongsae mengangkat tangannya. “HYESUN-A!”
Aku membalas mereka dengan senyum hambar. Soeun memperlambat laju luncurannya begitu menepi ke pagar pembatas lapangan yang terbuat dari kaca.
“Kenapa ada di sini?” pertanyaan yang sama diutarakan Soeun.
Belum sempat kujawab, jawaban itu sendiri mendadak muncul di sampingku.
“Sudah siap?” tanyamu.
Aku mengangguk sambil melirik Soeun.
Kau menyodorkan sepasang sepatu yang bagian bawahnya terdapat kisi-kisi memanjang—sepatu ice skating padaku. “Sekarang pakai sepatunya. Ukuranmu no 6.5, kan?”
Terdengar nafas Soeun terhembus. Aku berpaling padanya. Si centil itu membuka mulutnya lebar-lebar sehingga membentuk huruf ‘O’ besar. Sedangkan kepalanya terangguk-angguk. Aku mencium kata ’Pantas!!’ meloncat keluar dari mulut yang terbuka lebar itu.
“Hey—Kim So Eun, bukannya kau bilang Hyesun ada keperluan penting lainnya? Lalu mengapa bisa muncul di sini?” Dongsae bertanya pada Soeun dengan keheranan.
Soeun mengangkat bahunya. “Mana aku tahu!” sahutnya sinis sambil mempelototiku.
“Aku .. aku .. ,” aku mengaruk-garuk leher gelisah. Apa yang harus kujawab sekarang?
“Minho sunbae juga ada di sini?”
Sepertinya si Dongsae ini perlu diperiksakan ke dokter mata. Orang sejangkung kau baru kelihatan olehnya sekarang? Sungguh tak bisa dipercaya!
“Benar. Kenapa sampai bersama Hyesun?”
Nih dua cowok payah! Sama bego dan butanya! Wajahku berkerut.
“Hy .. ,” kau mengangkat tangan membalas sapaan mereka. “Kebetulan sekali .. “
Kedua cowok itu langsung membungkukkan badannya. “Anyongheseyo, Minho sunbae .. ,” kata mereka bersamaan.
“Anyong .. “
Kau tersenyum dan mengangguk pendek. Kemudian berpaling padaku. “Masih belum dipakai sepatunya?” tegurmu halus.
Aku tersentak. Lamunan-lamunan kecil tadi buyar begitu saja. Dengan gugup aku berjongkok, kemudian mulai memakai sepatu yang tadi kau berikan. Tapi entah tali-tali sepatu ini terlalu ribet atau aku yang terlalu gugup. Simpulnya salah semua. Saling mengait dan menimpa satu sama lain—tak bisa kubuka walaupun bermaksud kuperbaiki. Aku menghembuskan nafas putus asa. Sekitar lima menit aku berkutat dengan tali-tali tersebut—semakin rumit, dan akhirnya aku terkulai lemas. Benar-benar mati kutu!
“Memakai sepatu saja tidak bisa?”
Aku mendongak. Tiba-tiba kau sudah berjongkok di depanku.
“Berdirilah. Biar aku yang pakaikan!”
“Sonsaengnim … “
Perlahan-lahan aku berdiri dari lantai. Aku melihatmu mulai sibuk melepaskan ikatan-ikatan dan simpul-simpul mati yang tadi kubuat. Aku mengamatimu dalam kebisuan. Punggungmu bergerak-gerak seirama dengan kesibukanmu tersebut. Hampir tujuh menit lamanya kau berkutat dengan tali dan kaitan sepatu yang membingungkan ini. Aku mengira kau akan memarahiku lagi. Tapi tidak. Dengan sabar kau memakaikan sepasang sepatu ini buatku. Bahkan mendenguspun, kau tidak! Sumpah, aku tenggelam semakin dalam di dalam buaian pesona dan perhatianmu.
Tanpa kusadari, tiga pasang mata menatapku, perlahan beralih padamu kemudian saling berpandangan dengan sinar mata bertanya.
*********
Aku merapat ke pinggir lapangan sambil mengenggam erat tanganmu setelah setengah jam meluncur di tengah lapangan.
“Akhh!!”
Aku memekik keras ketika hampir menabrak pagar pembatas dari kaca.
Kau tertawa. “Tenanglah. Kau tidak apa-apa selama bersamaku .. “
Andai aku bisa! Seruku dalam hati.
Namun, pengalaman ini sungguh-sungguh luar biasa. Sangat mendebarkan. Sudah beberapa kali kakiku goyah dan hampir terjerembab mencium lantai licin laksana es jika saja kau tidak segera menarik atau menahan laju tubuhku. Untung kau senantiasa di sisiku jika tidak, tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi padaku.
Melihat permainan Soeun yang cukup luwes dan licin, aku jadi iri. Dari mana anak itu belajar olahraga yang satu ini? Biasanya yang diketahui dan diminatinya hanya shopping dan berdandan aja. Jangankan ice skating, diajak berdansa aja biasanya dia ogah.
Di sisi lain, beberapa kali aku menangkap kerlingan tak mengenakkan dari Dongsae. Cowok itu kelihatan tak senang melihat keakrabanku denganmu. Dia sering mencibir begitu kedapatanku mempelototimu. Hey—apa haknya berlaku seperti itu padamu? Ingin sekali aku menendangnya ke laut. Tapi—sungguh menyedihkan. Dengan sepatu sialan ini, jangankan mengayunkan kaki, untuk berdiri tegak saja sangat susah. Tidak sampai goyah dan terkilir saja aku harus bersyukur—memuji kebesaran Tuhan. Sampai segitunya …. *sad …
Samar-samar aku menangkap pembicaraannya dengan Soeun begitu kau meluncur sendirian di tengah lapangan setelah meminggirkanku di tempat yang aman.
“Buat apa Minho sunbae dekat-dekat ke Hyesun terus?” tanyanya ketus.
Soeun melirikku sejenak, kemudian mengangkat bahu. “Saya rasa bukan kesalahan Minho sunbae .. “
Oh—bagus, Kim So Eun! Kau menyalahkanku?
“Maksudmu, Hyesun sendiri yang menempel terus padanya?” tanya Dongsae dengan alis berkerut.
Hey—cowok nggak ada kerjaan, apa urusannya denganmu?!
“Hmm—tidak tepat begitu .. ,” nyali Soeun agak menciut begitu menangkap pandangan tajam dariku.
“Jadi?”
Soeun berpikir sebentar, kemudian .. ,”Mereka tinggal bersama jadi tidak .. “
“MWO—Tinggal bersama?!”
Perkataan Soeun terpotong oleh teriakan Dongsae. Mata cowok itu terbelalak lebar.
“Bukan seperti yang kau pikirkan!” sela Soeun sedikit sebal. “Minho sunbae tinggal di apartemen Eunhye sunbae. Kau tahu sendiri, Eunhye sunbae tuh kakak sepupunya Hyesun. Dan sekarang mereka tinggal bersama karna hanya Eunhye sunbae satu-satunya saudara Hyesun di Seoul ini .. “
“O .. “
Aku melihat Dongsae mengangguk-angguk mengerti. Setelah itu aku tidak memperhatikan mereka lagi. Perhatianku teralih padamu yang sedang meluncur dengan gerakan mundur. Kau bermain ice skating dengan sangat baik. Setiap gerakanmu lancar dan luwes. Baik itu luncuran ke depan dan mundur, gerakan berputar ataupun melompat—semua kau lakukan dengan sempurna. Aku semakin kagum padamu. Tak kukira pria setenang dan sepintar dirimu, yang biasanya lebih menyukai seni, musik maupun olahraga yang tidak begitu menguras tenaga—golf misalnya, ternyata menguasai teknik tenis dan ice skating yang memukau. Kau tidak hanya bisa bermain, melainkan kau sungguh-sungguh menguasai keahlian di kedua bidang tersebut.
Sebenarnya, apa yang tak kau kuasai?
***********
Sekitar duapuluh menit aku menikmatimu meluncur di tengah lapangan. Setelah itu kau mendekatiku. Aku langsung mengeleng keras-keras—ketakutan, begitu kau menjulurkan tangan padaku.
“Antwee!!”
Kau merapat ke pinggir lapangan di sebelahku.
“Ayo-lah! Buat apa ke sini kalau kerjaanmu hanya memeluk pagar mulu?” desakmu sambil meraih tanganku.
“Antwee!!” kembali aku mengelengkan kepala keras-keras, sampai terasa pusing. Aku mengibaskan tanganmu kemudian mendekap pagar pembatas erat-erat.
“Lepas!” Kau kembali menarik pergelangan tanganku.
“Antwee!!” Aku mendekap pagar pembatas semakin erat. Bahkan memeluk dan merangkulnya sekuat tenaga.
“Lepas kataku!!” Kau memandangiku tajam-tajam.
Tapi, tidak!! Aku tak mau pengalaman mengerikan tadi terulang lagi. Kapok rasanya berjuang habis-habisan buat tidak terjerembab dan terpelanting ke lantai. Bahkan kakiku yang masih memakai sepatu skate ini masih terasa pegal dan nyeri. Ingin rasanya aku mengantinya dengan sepatu kets-ku, kemudian membuangnya jauh-jauh. Sepatu berengsek ini!
“Ada apa dengan kalian? Main tarik-tarikkan?”
Rombongan Soeun hadir di antara kita. Segera aku melepaskan diri dari lingkaranmu. Aku bergerak sedikit—berjalan dengan sangat lambat sambil berpegangan erat pada pagar kaca—takut jatuh boo …
“O …” Kau menoleh kepada rombongan kecil yang baru datang. Sesaat kau mengelus-ngelus dagu. “Apa kalian lelah, dongsaeng-a? Perlu istirahat?”
Mereka saling berpandangan.
“Boleh juga .. ,” sahut Soeun. Diikuti anggukan yang lain.
“Kalau begitu .. kita ke café kecil di sana saja .. ,” kau menunjuk ke shopping arcade di luar arena ice skating ini. “Pesan minuman buat menghangatkan badan .. “
Semua langsung setuju. Terutama aku—karna bisa terlepas dari ajaranmu hari ini he .. he .. he … Aku jadi heran, belajar kencan kok mesti di arena ice skating ya? Apa hubungannya?
**********
“Apa yang kalian pesan?” tanyamu sambil mengamati kami satu-persatu begitu kami menempati kursi masing-masing. “Hari ini sunbae yang traktir jadi jangan sungkan .. pesan aja apa yang kalian mau .. “
“Es Krim!!” aku menyeletuk cepat sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Namun lambat-lambat kuturunkan kembali begitu mendapat sorotan tajam darimu.
“Es krim?” alismu berkerut.
“Ide yang bagus!” Dongsae menimpali. “Saya juga mau es krim …”
“Saya juga .. ,” Soeun mengangkat tangannya dengan semangat, diikuti Bum.
“Jika sunbae tak keberatan, saya juga mau es krim .. “
Kau mengeleng perlahan. “Kalian aneh-aneh saja. Makan es krim di ruangan Ber-AC sedingin ini?”
“Weo?” tanya Dongsae. “Apa sunbae tidak suka es krim?”
“Bukan. Hanya saja, saya cuma makan es krim pada saat dan suasana yang tepat .. ,” kemudian kau tersenyum halus. “Mungkin usiaku terlalu tua untuk memahami cara berpikir dan pola hidup anak-anak remaja seusia kalian .. “
Dongsae tertawa terbahak-bahak—yang membuatku ingin segera menonjok dagunya. Apa yang lucu dari perkataanmu yang menyayat itu? Oh—well, mungkin kau tak apa-apa karna kau mengatakannya sambil tersenyum. Tapi bagiku, perkataan itu sangat menyakitkan. Bagaimana mungkin kau menganggap diri sendiri sudah tua? Bagiku, justru usiamu yang terpaut tujuh tahun dariku itu yang membuatmu terlihat dewasa dan menarik—tentu saja, selain wajah tampanmu yang memang tak ada duanya ha .. ha …
“Benar juga … ,” Dongsae menyahut. “Karna itu sunbae harus meluangkan waktu lebih banyak bergaul dengan remaja seperti kami .. “
Jika tidak ingin mati di tempat, harap membisu sekarang juga, Cho Dong Sae!! Aku mengepal tangan erat-erat.
“Akan kuusahakan … ,” katamu—meladeni Dongsae dengan halus. “Ok, sekarang kalian mau pesan apa?” Kau mengatupkan kedua telapak tangan kemudian berdiri dari kursi. “Masih mau es krim?”
“Ne!” sahut si centil Soeun. “Aku mau rasa coklat. Ghamsamida, sunbae .. “
“Saya rasa vanilla aja!” ujar Bum.
“Mango, thanks!” Dongsae mengangkat tangannya.
“Bagaimana denganmu?” Kau berpaling padaku. “Es krim juga?”
Aku tak menyahut. Ingin berteriak ’IYA’, tapi suaraku tak keluar. Perkataan-perkataanmu tadi masih tergiang-giang di telingaku. Apa kau tak menyukai cewek yang suka makan es krim di udara dingin ya? (Hyesun polos banget ><) Dalam arti tak bisa menempatkan diri pada keadaan?—seperti berpenampilan tak pada tempatnya waktu kita dinner bersama di restoran Perancis minggu yang lalu?
“Jika masih tak bisa mengambil keputusan juga, biar aku yang memesannya untukmu. Apapun yang kubeli, harus kau habiskan. Araso?”
Kau menatapku lekat-lekat sehingga mau tak mau aku menganggukkan kepala perlahan. Sekarang lenyap sudah harapanku untuk menikmati es krim kesayanganku. Demi kau, aku harus menahan siksaan ini, tekadku dalam hati. Entar, aku hanya bisa memandangi teman-temanku menikmati es krim yang super lezat sambil mengigit jari.
Tanpa kusadari, sebelum berlalu dari hadapan kami, segaris senyuman tipis tersembul dari wajahmu. Aku menunduk sambil meremas-remas sambil mempermainkan jari-jemariku. Tak kuperdulikan gurauan-gurauan Soeun, Bum dan Dongsae yang menghangat. Mereka sedang asyik membicarakan gosip-gosip paling segar yang sedang beredar di sekolah sekarang ini. Apalagi kalau bukan yang berhubungan dengan siapa digosipkan dengan siapa, dan siapa mengejar siapa. Aku, yang biasanya sangat antusias terhadap gosip-gosip seperti ini, kali ini tak begitu memperhatikannya. Seluruh pikiranku tertumpah padamu.
Sepuluh menit kemudian.
“Punyamu … “
Es krim dalam ukuran corn dengan rasa strawberry disodorkan di hadapanku. Mulutku mengangga. Secepat kilat aku menengadah. Kau tersenyum sambil mengerakkan-gerakkan corn tersebut kepadaku.
“Mau nggak?”
Mataku menjadi pedas. Aku merasakan selapis air tipis mengenangi bola mataku.
“Sonsaengnim .. ,” seruku lirih.
“Surprise .. ,” katamu dengan nada lembut.
Aku tersenyum dan segera menyambar es krim tersebut. Aku tak mau menunggumu sampai berubah pikiran. Ya, siapa tahu tiba-tiba kau berpendapat es krim tidak baik bagi kesehatanku weeee? Kan tak ada yang mampu membaca pikiranmu.
Melihat keagresifanku, kau tertawa perlahan. Aku langsung tersipu malu-malu. Ketahuan rakus sih! Lalu kau mulai membagikan es krim yang dipesan teman-temanku. Semuanya menerima dengan antusias. Beberapa saat kemudian kami menikmati es krim yang lezat dalam kebisuan. Kau menjatuhkan diri tepat di depanku, bersebelahan dengan Bum dan mulai menyeruput secangkir cappuccino kesukaanmu.
“Kelihatannya punyamu enak?”
Tiba-tiba Dongsae condong kearahku. Aku segera menyusut ke samping hingga menabrak dinding.
“Yaa—apa maumu? Menyingkir dariku!”
Aku mendorongnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan satunya yang memegang corn terangkat guna melindungi diri. Aku melotot padanya. Dongsae tersenyum licik. Mendadak dia menggunakan mulutnya menyambar es krim di tanganku.
“YAA—“ teriakku kaget. Tak menyangka anak menyebalkan ini akan sekurang-ajar ini.
“Ternyata benar punyamu lebih enak .. ,” dia mengelap es krim yang berlepotan di bibirnya dengan tangan.
Mataku terbelalak lebar sampai mau meloncat dari rongganya. Aku menunjuknya dengan tangan bergetar.
“Kau … kau … ba .. bagaimana .. mungkin … “
“Mwo?” Dongsae menyela perkataanku yang terbatah-batah. “Aku Cuma mencicipi sedikit loh. Apa segitu aja kau minta diganti?”
Oh—Tuhan! Apa anak ini begitu tolol sehingga tidak merasa bersalah buat tindakannya tadi? Menyambar es krim orang seenak perutnya?
“Saya tidak mau lagi!” Aku memberenggut kesal. “Kau habiskan saja sekalian.” Kusorongkan es krim tersebut padanya dengan raut hampir menanggis. “Saya nggak mau berbagi liurmu!”
Dongsae mengangkat bahu cuek sambil menerima es krim tadi. “Kuganti ya?”
“Nggak usah!”
Aku bersidekap dengan bahu naik turun menahan emosi. Cowok ini sungguh-sungguh menyebalkan! Menerima incarannya? Oh—bunuh aja aku sekalian!
Masih dengan nafas tersengal-sengal aku mengangkat wajah. Tertangkap olehku, kau tersenyum—lagi? simpul sambil menyeruput busa-busa susu dari cangkir. Pandanganmu tak terarah padaku melainkan tertuju ke meja panjang yang membatasi kita berdua. Alisku berkerut perlahan. Apa ada yang lucu dari daun meja ini? Aku menunduk dan mengamati daun meja, tapi tidak kudapatkan sesuatu yang aneh di sini. Hanya beberapa lembar tisu dan brosur-brosur yang terlipat rapi tergeletak di sudut meja.
Aku berpikir sebentar. Apa .. kau menertawakan perselisihanku dengan Dongsae tadi? Tapi .. mengapa? Bukannya aku mesti dikasihani ya? Tapi mengapa kau malah cengar-cengir sendiri? Berbahagia buat penderitaanku? Aku memanjangkan bibir ke depan—manyun.
Drekk … terdengar bunyi kursi didorong ke belakang. Aku mengangkat wajah dan melihatmu berdiri dari posisi semula. Cangkir kopi yang sudah kosong kau letakkan di atas meja.
“Aku ingin beli sesuatu. “ katamu sambil merapikan jas biru muda yang agak kusut. “Apa ada yang kalian mau?” lanjutmu sambil memandangi kami.
“Aniyo .. ,” jawab Dongsae, Bum dan Soeun hampir berbarengan.
Kau mengangguk. “Ok, kalau begitu aku permisi sebentar .. “ Tiba-tiba kau mengalihkan perhatian padaku. “Kau—ikut denganku!”
“Mwo?” Mataku melebar. “Wee … o?” lanjutku kebingungan.
“Ikut saja .. “
Tanpa memberikan penjelasan apa-apa lagi, kau memutar tubuh sambil melangkah ke bagian kasir. Aku tersentak dari kursi dan mau tak mau mengikuti langkahmu. Setelah sampai di depan kasir, kau berpaling padaku.
“Masih menginginkan es krim?”
“Mwo?”
Kau tersenyum. Tanpa menjawab, kau berpaling pada kasir muda di depan.
“Es krim strawberry, please .. “
“Ne .. ,” sahut si kasir sambil sesekali mencuri pandang kearahmu.
Perasaan bahagia akibat perhatianmu yang besar ini sirna seketika. Aku melotot kearahnya. Jika dia masih menatapmu seperti ini akan kucongkel bola matanya atas pandangan kagumnya itu. Aku bersumpah!
[/b]
________________oOo_________________
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
The Little Coward--Chapter Nine
The Little Coward--
Chapter Nine
By : Lovelyn Ian Wong
“Apa yang telah terjadi?”
Soeun menyampirkan lengannya di pundakku ketika kami menjatuhkan diri di barisan kursi paling depan kantin sekolah. Aku menoleh dari daftar menu yang baru kuambil dari meja.
“Mwo?”
“Ah—jangan berpura-pura!” Soeun menyambar daftar menu dari tanganku, sedangkan tangannya yang satu merangkul pundakku semakin keras. “Aku mendengarmu manggil Minho sunbae—sonsaengnim. Kapan Minho sunbae jadi sonsaengnim-mu? Dan apa yang diajarkannya padamu?”
“I ..tu .. ,” aku jadi gagap.
“Mwo?” Soeun menekan pundakku.
“Hmmm—tidak apa-apa!” Aku segera menoleh kearah lain.
“Goo Hye Sun!!”
Tapi aku tak menghiraukannya. Kurebut kembali daftar menu dari tangannya, lalu berpura-pura menyelusurinya dengan seksama.
“Benar tak mau jawab pertanyaanku?”
Aku terus membisu.
“Baiklah!” Soeun bangkit dari kursinya. “Kalau begitu aku akan menanyakannya sendiri pada Minho sunbae .. ,” lanjut cewek itu tenang.
Aku terperanjat. “MWO?! Yaa—untuk apa kau lakukan itu?”
“Karna kau tak mau jawab pertanyaanku .. ,” sahut Soeun dengan nada mengancam.
“Yaishh—“
Aku sungguh-sungguh ingin membunuhnya saat ini juga. Buat apa dia sebawel ini?
“Apa yang ingin kau ketahui?” tanyaku, berlagak bodoh.
“Tentu saja alasan dibalik panggilanmu itu?” dengus Soeun sambil menjatuhkan diri kembali di kursi.
“Dia .. ,” aku menatapnya tapi tak tahu bagaimana harus memulainya. “Jawaban apa yang kau harapkan?"
“Kau memanggilnya sonsaengnim. Berarti ada yang diajarkannya padamu .. ,” Soeun mengelus dagunya. “Tapi apa … ,” alisnya berkerut perlahan. “Apa … dia … ,” tiba-tiba pandangannya berubah nakal.
Soeun menyelusuri tubuhku dari atas ke bawah, kemudian sebaliknya. Pandangannya membuatku tergelitik. Tubuhku seperti digeluti semut saja, hihhh ...
“YAA--,” seruku risih. “Jangan berpikiran macam-macam!”
Soeun tertawa. “so … ?”
“Dia .. dia mengajariku mata pelajaran … ,” Horeeee—akhirnya aku dapat alasan yang masuk akal juga. “Kau tahu bagaimana buruknya nilai-nilaiku, kan? Dia … dia tak tahan melihatnya, jadi .. jadi dia memaksa untuk mengajariku. Karna kegigihannya itu .. aku .. aku tak bisa memanggilnya dengan sebutan lain selain sonsaengnim. Iya, kan?”
“Begitu--?”
“YUP!” sahutku keras-keras.
Soeun berpikir sesaat. Kemudian mengangkat bahunya. “Ya, benar juga sih. Akan kedengaran aneh kalau kau masih memanggilnya sunbae .. “
“Makanya .. ,” kataku sambil mengangguk kecil dan tersenyum samar—tentu saja tanpa sepengetahuan Soeun he .. he …
“Kalau gitu, kita pesan makanan yuk! Aku udah lapar setengah mati nih. Dari tadi pagi belum makan apa-apa .. ,” ujar Soeun selanjutnya sambil menyambar daftar menu dari tanganku lagi.
“MWO?!” Aku mendelik kearahnya. “Ini sudah jam berapa, nona?”
“Ya, … ,” Soeun tertawa. “Aku lagi diet. Rahasia, ..” dia mencondongkan badan kearahku. “Berat badanku naik 3 kilo dua minggu terakhir ini .. “
“Kau?” aku mengamatinya dengan seksama. “Tapi .. tidak kelihatan .. ,” kataku sambil berdecak tak percaya.
“Tentu saja … ,” Soeun mengangkat dagunya. “Aku punya cara untuk menyembunyikan kekuranganku .. “
Aku langsung mencibir. “Cihh—kegeeran .. “
Soeun tertawa terbahak-bahak. "O ya, apa liburan besok kau ada acara?" tanyanya setelah berhasil mengendalikan diri.
"Tidak!" Jawabku sambil memanjangkan leher ke depan, guna mendapatkan menu yang cocok dari daftar menu di tangan Soeun buat makan siangku hari ini. "Memangnya kenapa?"
"Aku dan Bum dapat undangan ke konser piano Jeff Makowicz dari Dongsae. Dia menyuruhku mengajakmu serta. Acara tersebut merupakan acara amal yang diselenggarakan oleh perusahaan ayahnya, sedangkan waktunya akan dimulai besok pagi, jam 10 pagi .. "
Gubrakkk, daguku mencium meja dengan keras.
"ANTWEE!!" Aku berteriak.
"Mwo?!" Mata Soeun melebar. "Wee antwee?!"
"Pokoknya antwee!!!" Aku mengeleng sekeras-kerasnya. "Aku tak mau berurusan lagi dengannya! Lagipula .. aku .. aku ada pelajaran dari sonsaengnim .. besok pagi ... ," Ya, aku berbohong lagi ...
"MWO?!! Yaaa--besok kan libur! Bisa tidak sih belajarnya ditunda?" tanya Soeun sengit.
"TIDAK!" sahutku cepat. "Aku akan dibunuh omma kalau nilai-nilaiku merosot terus!"
Dengan cepat aku berdiri dari kursi.
"YAA--MAU KEMANA?" Seru si Soeun.
"Beli makanan!" ujarku. "Bagaimana denganmu? Masih mau duduk-duduk saja di situ?"
Aku mengamati Soeun tapi dia tidak bergerak dari tempatnya.
"Ok, kalau begitu aku beli sendiri ... ," lanjutku sambil berjalan ke kasir sekolah.
"YAA--!!" Soeun berseru kaget. "LALU BAGAIMANA DENGAN UNDANGAN KE KONSERNYA?!"
"ANTWEE!!!"
Aku berteriak sampai seantero kantin mempelototiku. Upsss, aku langsung menutup mulut erat-erat dengan kedua tangan ..
********
Tenang .. sunyi .. senyap … , AKHH!! Aku ingin berteriak. Telingaku berdengung-dengung seperti gendang yang dipukul terus-menerus.
Perlahan, kuedarkan pandangan berkeliling. Rak-rak kayu raksasa menjulang dari lantai sampai ke langit-langit ruangan seakan mengurungku. Menghimpitku hingga tak bisa bernafas. Beratus-ratus bahkan beribu-ribu—atau sudah tak terhitung tangan lagi saking banyaknya—buku-buku, baik tebal maupun tipis, baru ataupun lama, besar maupun kecil, berjejer rapi dalam rak-rak tersebut. Aku manyun—duduk di tengah-tengah perpustakaan terbesar dan tertua di Seoul membuatku berasa tak berarti, sangat kecil.
Aku benci buku! Paling benci buku!! Apalagi buku-buku yang menyangkut ilmu pengetahuan. Ingin kulempar semua ke dalam api!! Biar hangus terbakar semuanya!! Kayaknya ini karmaku. Berbohong pada Soeun yang berakhir dengan kenyataan--diseret olehmu untuk belajar di perpustakaan tua ini.
Aku mengembang-kempiskan lubang hidungku (seperti anak anjing …)—samar-samar seperti tercium olehku bau rak buku yang sudah tua. Bau apek dan pengap dari kayu yang digerogoti ngengat, Ihhh …. Bulu kudukku merinding semua …
Bukkk …. , tiba-tiba setumpuk buku dijatuhkan dihadapanku. Aku mengangga. Bukan ingin kuhabiskan semuanya, kan? Mimpi apa aku semalam? Bisa teler nih pagi, liburan hari ini .. Pandanganku beralih perlahan-lahan. Kau berdiri di depanku sambil meletakkan tangan di atas tumpuan buku tersebut.
“Hari ini akan dimulai pertolongan terhadapmu .. “
“Mwo?” tanyaku tak mengerti.
“Nilai-nilai ujianmu anjlok semua semester ini .. “
Kau menjatuhkan diri di hadapanku. Wajahku langsung memerah.
“Yaa—sonsaengnim mencuri lihat nilai-nilai ujianku?!” tanyaku sengit. “Itu tidak sopan namanya .. “
“Mencuri lihat?” Alismu berkerut—terlihat tak senang. “Kira-kira siapa ya yang suka menaruh barang-barangnya di sembarang tempat dan pada akhirnya aku yang merapikannya?”
Well, aku mati kutu! Kuangkat tanganku pelan-pelan dengan tampang memelas. “A .. a .. ku .. “
“Bagus kalau kau menyadarinya .. “
“Mianeyo .. ,” aku memejamkan mata perlahan.
“Masih berani melakukannya?”
“Mwo?”
“Melempar barang sembarangan?”
“Tidak!” Aku mengeleng kuat-kuat.
Setelah peristiwa memalukan ini, mana mungkin aku berani melakukannya lagi? Untung bukan buku harianku yang kau lihat—yang banyak menulis tentang dirimu. Kalau tidak, mau ditaruh di mana muka begoku kalau ketahuan bahwa selama ini aku begitu mengidolakanmu—menyukaimu—mendambakanmu—mencintaimu—SINGKAT KATA, TERGILA-GILA PADAMU ….
“Hmm—dari mana kita memulainya?”
Kau mulai membilah-bilah di antara tumpukan buku di atas meja. Setelah itu kau menarik salah satunya.
“Bagaimana kalau biologi saja?”
Tampangku langsung masam dan berkerut. Selain matematika, mata pelajaran yang paling kubenci adalah biologi. Metamorfosis, perubahan-perubahan yang terjadi jika zat yang satu—atau artikel yang satu dicampur dengan zat atau artikel yang lain, kemudian ada lagi penelitian-penelitian terhadap organ-orang tubuh, dan lain sebagainya, huekkk … membayangkannya saja aku sudah mau muntah ..
Masih segar dalam ingatanku cairan lengket yang menyemprot keluar dan mengotori seluruh pakaian serta wajahku ketika dipaksa membedah kodok.
“Jangan biologi!!” jawabku sengit.
Aku tidak mau peristiwa itu terulang lagi. Memang sih saat ini kami bukan membedah kodok lol Tapi kan ketakutan sama sesuatu tidak bisa dipaksakan? Alasan!
Tanganmu yang menyorongkan sebuah buku tebal bercover kodok (yang paling kubenci) berhenti.
“Weo? Nilaimu yang paling buruk kan biologi?”
“Aku benci .. benci itu .. ,” jawabku lirih—seperti orang yang diikat di tiang dan disiap disembelih , sambil menunjuk-nunjuk buku itu.
“O ya?”
Kau tak mengeluarkan suara. Begitu menjatuhkan diri di kursi, kau mengamatiku dengan pandangan menyelidik. Seakan berusaha menyelami perasaanku yang paling dalam. Padahal kau tak perlu melakukan itu karna aku yakin (entah mengapa .. ) kau sudah mengetahui jawabannya.
Tanganmu meraba-raba dagu ketika bertanya padaku, beberapa saat kemudian.
“Sebenarnya .. apa yang kau cita-citakan? Jurusan apa yang akan kau ambil setelah lulus nanti?”
Brrrrr … , guntur seakan melintas di depan mataku kemudian mengelegar dalam otakku. Aku langsung mengangga. Cita-cita? Benar! Apa yang kucita-citakan?
Kepalaku oleng ke kiri. Kata-kata ini menyadarkanku satu hal, AKU TAK PERNAH MEMIKIRKAN MASA DEPAN!
"Hey--dengar tidak pertanyaanku?"
Pertanyaanmu menyentakku. Aku membuka mulut lebar-lebar.
"Ne!"
"Jadi?" Alismu berkerut.
"Hmm--" Aku mengatupkan mulut, dan mulai menghitung-hitung dalam hati kira-kira profesi-profesi apa yang paling keren. "Jadi .. guru juga bagus .. ," aku mengangguk-angguk bijak. "Kalau tidak .. mungkin jadi dokter .. "
Plakk,, jitakan mendarat di kepalaku.
"AUWW!!" aku berteriak keras. "Sonsaengnim, weo?"
"Dokter?" kau mendelik. "Kau membenci biologi, masih berani berpikiran jadi dokter?"
"Yaa--sonsaengnim ... ," manyunku sambil mengusap-usap kepalaku yang terasa sedikit perih. "Kan namanya juga bermimpi ... YAA--!!"
Aku langsung berkelit ketika tanganmu sudah dilayangkan kembali ke kepalaku.
"Wee?! Masih memprotes?"
"Aniyo ... ," jawabku sambil mengigit-gigit ujung pen yang kupegang sampai meninggalkan bekas.
"Sekarang baca buku lesson ini!!"
Kau menyorongkan buku tebal yang tadi ke depanku.
"Tapi .. mana saya bisa?" desahku lirih.
"Pahami sebisamu. Kalau tidak mengerti juga, nanti saya jelaskan .. "
"O--" aku mengangguk dengan sangat terpaksa.
Pelan-pelan kutarik buku tersebut ke dekatku, lalu mulai mengamatinya. Ya ampun! Apa ini buku buat manusia? Mengapa serumit dan seruwet ini?
Perlahan aku melirikmu. Kenapa kau terlihat jauh lebih menarik dari buku pelajaran ini ya? lol Apa pertanyaan ini perlu dijawab? hahaha Aku memanjangkan bibir ke depan, kemudian berbalik kembali ke buku pelajaran menyebalkan ini. Aku menariknya ke atas sehingga menutupi seluruh wajahku.
Huruf demi huruf, gambar demi gambar dan halaman demi halaman mulai berseliweran di depan mataku. Kabur, pusing, penat--itu yang kurasakan. Aku menghembuskan nafas--tak ada yang kumengerti. Semuanya tak masuk dalam otakku.
Aku mengangkat kepala sedikit, dan raut menawanmu kembali terpampang di depan mataku. Aku tersenyum, lalu mulai mengamatimu secara sembunyi-sembunyi. Kau terlihat sedang berkonsentrasi dengan sebuah buku--begitu menghayati sehingga tak menyadari pandangan kagum dari fans rahasia ini weee ... Aku melirik judul buku itu. Ternyata sebuah buku yang berisi tentang alat-alat musik tradisional. Wajahku berkerut perlahan. Seleramu aneh-aneh saja! Tapi juga ... termasuk istimewa hehehe .. itu yang kusukai darimu .. Kau memang lain dari yang lain ..
Tiba-tiba buku di tanganmu bergerak--jatuh ke atas meja.
"Sudah cukup bengongnya?"
Aku tersentak. Dari wajahmu, aku beralih kearah buku di atas meja.Ternyata .. ternyata buku tersebut sengaja kau jatuhkan begitu mendapatiku sedang mengamatimu dengan pandangan melayang ... Oh my god!!
Kau melotot. Dengan cepat kau sambar buku tadi dari atas meja, kemudian mendorong kursi ke belakang.
"Sonsaengnim mau kemana?" tanyaku cepat.
"Melihat-lihat buku di sana." sahutmu keras. "Jika di sini terus, bisa-bisa sampai besok juga tidak selesai belajarnya .. ," kau mengerutu sambil berjalan ke deretan rak buku di sebelah kanan.
Plaakk, jidatku langsung menabrak meja. Oh--mengapa jadi begini? Malu-maluin aja!! Hiksss ... Aku mengangkat kepala, memasukkan pen ke dalam mulut dan mengigitnya keras-keras.
*************
"Bagaimana?"
Setengah jam kemudian kau menjatuhkan diri kembali di depanku.
Aku mengeleng dengan wajah memelas. "Tidak mengerti .. "
Kau menghela nafas. Sinar matamu melembut. Perlahan kau bergeser ke pinggir, kemudian menepuk bagian kursi di sebelah yang tadi kau duduki.
"Kemarilah, duduk di sini. Bawa serta buku itu. Aku akan menjelaskannya padamu .. "
Mataku melebar. Apa aku tak salah dengar? Kau ... kau berkata selembut ini padaku?
"Kemarilah .. "
Aku terperanjat. Ya, tak salah dengar. Panggilan itu terdengar lagi! Secepat kilat aku menyambar buku biologi dari atas meja dan berpindah duduk di sebelahmu.
"Ini .. ," kataku sambil menyodorkan buku itu.
Kau mengangguk dan menerima buku itu. Kemudian kau membuka halamannya satu-persatu sampai ke halaman yang diinginkan.
"Apa sampai di sini?"
Aku mengangguk sambil mengamatimu.
"Ok, kalau begitu kita mulai dari sini saja .. "
Lalu dengan sabar dan pelan kau mulai menjelaskan semua yang tertulis dalam buku tersebut padaku. Setengah jam berlalu sudah. Suaramu mengiang-giang merdu dalam telingaku. Kalau ditanya apa aku mengerti? Terus-terang saja, tidak! Oh, gimana ini?
"Araso?"
Aku mengangkat wajah linglung.
"Dhe?"
Alismu berkerut perlahan. "Aku bertanya padamu, apa kau mengerti?"
Aku mengigit bibir keras-keras. "Mianeyo .. ," kataku pelan.
"Jadi, .. tak mengerti?" suaramu mengeras.
"Miane .. jeongmal miane, sonsaengnim .. ," desisku dengan nada bersalah.
"Kau ini ... "
Kau menyentuh kepalaku. Mataku langsung terpejam rapat-rapat--mengira kau akan mengetok-ku lagi, tapi ternyata ... kau cuma menyentuh dengan lembut.
"Ya, sudah .. ," kau menghela nafas. "Kita ulangi sekali lagi .. "
Aku membuka mata lambat-lambat. "Sonsaengnim ... tidak marah?" tanyaku takut-takut.
Kau menatapku, sesaat kemudian--perlahan-lahan, kau tersenyum dengan lembut. Tanganmu terulur dan menyentuh kepalaku kembali. "Menghadapimu ... sonsaengnim harus lebih sabar, kan?"
Aku menunduk perlahan. "Mianeyo ... Aku ... aku terlalu bodoh. Tak bisa memahami penjelasan sonsaengnim .. "
"Kau bukan bodoh!" Kau menyela.
Aku mengangkat kepala, tak mengerti.
"Kau hanya tak konsentrasi! Selalu memikirkan masalah lain. Masalah yang tak perlu dan tak penting .. ," tanganmu bergerak, mencolek pipiku.
"Dhe?!" Tampangku berubah bego. "Maksud sonsaengnim?"
Kau tertawa. "Ha .. ha .. tak apa. Lupakan saja. Sekarang kita teruskan belajarnya .. "
Kemudian kau mengeser buku biologi di depanmu kearahku. "Seharusnya begini." kau menunjuk barisan kalimat dalam buku. "Sonsaengnim punya cara praktis untuk mengingat dengan cepat .. nah, ini ... "
Aku mendengarkan kau mengulangi penjelasan yang beberapa saat lalu sudah kau terangkan. Aku mendengarkan dengan seksama. Pandanganku mengikuti gerak-gerik bibirmu. Mengapa bibir itu begitu lembut, padat dan mengemaskan ya? Aku mengeleng keras-keras. Tidak. Tidak. Aku harus konsentrasi pada keterangan-keteranganmu!
"Weo?"
Aku tersentak. "Hah--dhe?"
"Kenapa geleng-geleng begitu?"
"O--," mulutku terbuka. "Anhi .. ," sahutku cepat.
"Kalau begitu, konsentrasilah ... "
"NE!" jawabku keras.
"Setelah ini kita lanjutkan ke mathematics .. "
"Hahh--," suaraku mengalun pelan--ingin teriak tapi nggak mampu karna kau langsung menatapku lekat-lekat.
"Weo?" Alismu berkerut perlahan. "Tidak setuju?"
"Anhi!!" Aku mengeleng dengan cepat. "Tidak apa-apa ... Terserah sonsaengnim aja ... "
Oh Tuhan, benar-benar hari yang melelahkan ..
"Sonsaengnim akan mentraktirmu es krim setelah kau menyelesaikan semua pelajaran ini ... ," katamu sambil beralih ke buku di depanku.
Mataku langsung terbelalak lebar. "MWO? JINJA?" tanyaku tak percaya. Bagaimana mungkin? Bukannya kau tak suka cewek yang selalu makan es krim ya?
Kau menoleh padaku. "Ne." kau tersenyum halus. "Memangnya kenapa?"
"Aniyo!" Aku mengeleng keras-keras. "Ghamsamida, sonsaengnim!" seruku.
Segera--tanpa kusadari, tanganku sudah bergayut di lenganmu, menariknya kearahku kemudian memeluknya erat-erat. Kau terlihat terperanjat. Tapi hanya sesaat, sebentar kemudian kau sudah tersenyum simpul.
************
"Enak?"
Kau tersenyum sambil menatapku yang berlepotan es krim di sekitar mulut.
"Ne!" Aku mengangguk. "Enak sekali!" seruku keras-keras--sampai-sampai orang-orang yang berada dalam cafe kecil yang menjual es krim, minuman dan makanan ringan itu berpaling kearah kami. "Gumawo, sonsaengnim .. "
"Kalau enak, makan yang banyak." katamu sambil menyilangkan kaki dan mengangkat secangkir capuccino ke mulut. "Kau berhak mendapatkannya." kau tersenyum kemudian menyeruput kopi dari cangkir.
Aku ikut tersenyum. Dengan cepat kuhabiskan es krim yang tinggal beberapa suapan kemudian mendorong mangkuk yang sudah kosong kearahmu.
"Boleh minta lagi?" pintaku sambil mengejap-ngejapkan mata berulangkali--berharap kau mengabulkannya.
"Kau .. Ha .. ha .. rakus sekali ... "
Sambil tertawa, kau mengambil sehelai tisu dari kotak di atas meja kemudian mengarahkannya ke wajahku. Mataku melebar ketika kau mengelap wajahku yang berlepotan es krim.
"O .. gumawoyo .. " Aku menunduk, tersipu malu-malu.
Kau melakukannya di depan umum? dan ... kau tak terlihat risih sedikitpun? Apa ini berarti ... hubungan kita .. sudah ke tahap lebih lanjut?
[/b]
________________oOo_________________
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
The Little Coward--Chapter Ten
The Little Coward--
Chapter Ten
By : Lovelyn Ian Wong
Aku mempelototi lembaran-lembaran kertas jawaban di kedua tanganku. Berulang-kali. Mataku berkejap-kejap tak mampu mempercayai apa yang kulihat. Omo, apa ini tak salah?
Aku membalik kertas pertama. Kosong! Kertas kedua--sama saja.. Mataku berputar ke atas. Yaishh--tentu saja. Dasar bego!! Lembaran-lembaran kertas jawaban ulangan ini kan hanya berisi di salah satu sisinya! Aku membalik dua kertas itu kembali. Biologi=>80, matematika=>78, mataku berkejap-kejap lagi. Angka-angka langka dan ajaib yang sudah lama tak kuraih. Aku tak sedang bermimpi, kan? Kucubit pipiku untuk meyakinkan.
"Akhh!!" aku langsung berteriak keras. Terasa sakit, berarti .... Tidak bermimpi!!! WOWWWW!!!!
"Huhh--menyebalkan!!"
Tiba-tiba Soeun sudah menjatuhkan diri di sampingku. Tangannya mengenggam lembaran-lembaran kertas jawaban ulangan yang sudah agak kusut.
"Mwo?!" aku tersentak dan berpaling padanya.
"Nilai-nilaiku jatuh ... ," perkataannya terputus begitu pandangannya menangkap lembaran-lembaran kertas di tanganku. "Omo, nilaimu?" Segera saja dia merebut kertas-kertas tersebut dari tanganku. "Bagaimana mungkin? Kau curang ya, Hyesun-a? Nyontek?!!" dia menuduhku secara bertubi-tubi.
"Enak saja!!" bentakku. Dengan kasar kusambar kembali kertas-kertas kesayanganku. "Aku memperoleh nilai-nilai yang sepadan dengan usaha kerasku, tahu?!"
"Cihh--," Soeun mencibir.
"Lalu bagaimana denganmu?" tanyaku tanpa memperdulikan tampang jengkelnya.
"Buruk!" sahutnya gusar. Mendadak dia mengacak-acak rambut dengan frustasi. "Yaishhh--gimana bisa konsentrasi kalau yang ngajarin ajushi reyot kayak sonsaengnim yang disewa omma?!! Lain ceritanya kalau sonsaengnimnya keren kayak Minho sunbae ... "
Lalu Soeun memandangiku dengan ekspresi tak tertafsirkan. Terlihat licik dan ... hmmm--aku tak menyukainya.
"Mwo?!" celetukku.
"Aku juga mau dong diajarin Minho sunbae .. ," dia merapat kearahku. "Boleh ya?! Ya?!" dia menyenggol lenganku, memohon-mohon dengan rayuan gombal. Terus terang, tak akan mempan terhadapku kalau permintaan ini berhubungan denganmu. Membiarkan si centil ini lengket-lengket di dekatmu sama saja membiarkan seekor kumbang berkeliaran di sekuncup kembang lol. "Hyesun-a, ya?! Ya?!" Suara menyebalkan itu terdengar terus!
"SHIDO!! ANTWEE!!" teriakku keras. Aku segera bergesar dari posisiku dan mendelik padanya.
Tak kusadari sebuah penghapus papan dilayangkan pak Bi kearahku. Pukk .. penghapus papan dari kain yang membaluti kapas itu sukses mengenai pipiku. Untung saja bukan penghapus kayu di sebelahnya, jika tidak, pipiku pasti sudah benjol-benjol .... huhhh ...
"Yaishh---siapa?!! Siapa yang lakukan ini?!"
Aku terperanjat bangun dengan posisi memasang kuda-kuda--seperti ahli kungfu sedang mempersiapkan diri menghadapi lawannya, sebelah kakiku dikedepankan, sedangkan sepasang tanganku terkepal dengan agak dikembangkan di depan dada--dan kepala celengak-celengok ke kanan dan kiri guna mencari orang jahil itu. Seisi kelas langsung terbahak-bahak. Parasku berubah pucat pasi begitu mendapati pak Bi sedang mempelototiku.
"INI BUKAN PELAJARAN BELA DIRI. KALAU INGIN TERIAK-TERIAK KAYAK TARZAN, HARAP KELUAR DARI KELASKU!!"
Mulutku terbuka dan bergetar. "Sosoengheyo ... pak Bi .. sosoengheyo .. " Aku menunduk dan membungkuk sedalam-dalamnya.
"Bisa diteruskan sekarang?!" tanya pak Bi tajam.
"Ne ... ," jawabku pelan.
"Kalau begitu duduklah kembali. Dan yang lain ... ," guru yang masih muda itu mengedarkan pandangannya. "Jika masih ingin tertawa, silahkan keluar ..."
Ancaman tersebut membuat seisi kelas langsung senyap. Aku duduk kembali di kursiku dan si Soeun langsung menarik lengan bajuku--tentu saja tanpa sepengetahuan pak Bi yang sudah konsentrasi kembali dengan rumus-rumus matematika di papan tulis.
"Boleh ya?"
"Mwo?!" tanyaku kesal.
"Permintaan tadi. Diajari Minho sunbae. Kau bilang padanya. Ya?"
"Tidak!!" jawabku sambil menahan agar volume suaraku tak sampai kedengaran pak Bi. "Sudah kubilang tidak bisa!"
"Weeyo? Kau mau memonopoli guru sebaik sunbae?"
"Bukan begitu!" sahutku risih.
"Lalu?!"
"Sunbae hanya bersedia mengajariku. Dia tak menerima lowongan murid baru .. ," jawabku sok tahu.
"Yaa--kau kan belum minta padanya jadi bagaimana kau tahu sunbae tak terima murid baru?" celetuk Soeun tak terima.
"Itu ... pokoknya tak bisa .. ," aku beralih ke buku di atas meja dan pura-pura konsentrasi pada rumus yang diajarkan pak Bi.
"Tak terima!" dengus Soeun. "Aku harus belajar ke sunbae!"
"Sudah kubilang tak bisa!!" balasku tak kalah mengebunya. "Sonsaengnim tuh tak punya jadwal tetap dalam mengajarnya, jadi kami belajar setiap waktu dan setiap saat. Karena kami tinggal bersama maka sistem itu bisa diterapkan. Kalau denganmu ... ," aku mengangkat jari dan mengerak-gerakkannya ke kanan dan kiri. " ... tak akan berhasil ... " Hebat Hyesun-a. Jawaban ini sangat masuk akal .. he he he. Aku bersorak dalam hati dan cengar-cengir sendiri.
"Yaa .. ," desah Soeun sedikit putus asa. "Diusahakan kek ... ," sambungnya berusaha tak menyerah.
"Tidak bisa ... ," aku mengeleng sekali lagi. "Sudah, kembali sana ke guru privatmu itu ... ," tak kuasa aku menahan senyum begitu membayangkan tampang pak Sung--si guru privat yang sudah reyot dengan kacamata tebal itu. Aku bertemu sekali dengannya ketika berkunjung ke rumah Soeun sekitar dua bulan yang lalu.
"Mampus deh ... " Soeun menjatuhkan dagunya ke atas meja. "Aku ingin omma mengantinya dengan guru privat lain yang jauh lebih muda, ganteng dan ok tapi omma selalu bilang pak Sung itu guru yang pintar aku akan berhasil dengan diajar olehnya, tapi lihat .. nilai-nilaiku malah merosot semua. Bawaanku ngantuk melulu begitu lihat wajahnya .. huhh ... "
Aku mengigit bibir bawah—berusaha menahan senyum. Si centil ini dapat hukumannya juga!
**********
Sore itu, sekitar pukul setengah tujuh …
"Hey--little coward!!"
Syurrr .. pensil yang terselip di antara hidung dan bibirku melayang ke udara dengan posisi melengkung ke bawah, jatuh dan bergulingan sejenak di atas meja, kemudian .. plokkk ... jatuh ke lantai. Mataku terbelalak lebar. Secepat kilat aku berpaling ke belakang.
"Sonsaengnim?!!" seruku kaget.
"Belajar?!" Kau mendekatiku. "Ya--tumben si pemalas, rajin bener!!" Kau sampai di sampingku dan berkata dengan nada menyindir.
"Yaa--sonsaengnim!!" protesku dengan bibir runcing ke depan.
Kau menjatuhkan diri di kursi yang ada di depanku. Aku menjadi serba salah ketika matamu mulai menjelajahi buku-buku di atas meja, kemudian berbalik kembali padaku. Aku segera menunduk dan menghindari pandanganmu dengan berpura-pura (sebenarnya beneran sih weee .. ) memungut pensil yang terjatuh tadi.
"Ada kemajuan?"
Aku langsung menarik diri ke atas dan duduk dengan posisi tegak. Pertanyaanmu menyadarkanku pada sesuatu. Segera saja aku mengeledah di antara tumpukan buku-buku. Tidak ada!! Kusibakkan lembaran-lembarannya satu-persatu. Mungkin terselip di salah satu buku sialan ini!! Harapku. Namun, tetap tak kutemukan. Aku menjadi panik. Kemana perginya kertas ulangan Biologi dan Matematika itu?
"Apa yang kau cari?" alismu berkenyit seiring kesibukanku.
"Kertas .. kertas .. ulangan ... ," ujarku terbata-bata dengan sepasang tangan masih mengeledah dengan gila-gilaan.
Dan akhirnya ... hore, dapat!! Sekuat tenaga aku menarik dua lembar kertas dari tumpukan buku paling bawah.
"Nih--," aku menyodorkan lembaran-lembaran jawaban tersebut padamu. Kemudian menunggu dengan harap-harap cemas. Kira-kira apa yang akan kau katakan ya?
"80 dan 78 .. ?" kau menatapku.
"Ne .. ," jawabku sambil mengigit bibir. "Aku tahu bukan nilai memuaskan, tapi ... ," suaraku memelan dan aku segera menunduk dalam-dalam. " ... aku sudah berusaha ... Sungguh ... "
Hening sejenak. Mengapa kau tak bersuara? Aku segera mengangkat wajah.
" .. bukan kesalahanku ... ," lanjutku, tapi langsung terputus begitu berbentrokan dengan tatapanmu. Aku menunduk lagi. "Mianeyo .. aku .. aku emang bego ... "
Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh kepalaku.
"Gwencanayo ... "
Mataku melebar. Benar itu suaramu? Aku mengangkat wajah kembali.
"Sonsaengnim ... "
"Pelan-pelan aja .. nggak perlu dipaksakan. Nilai-nilaimu sudah lumayan kok ... "
"O--jeongmal?!" tanyaku tak percaya. Kau tak mengetok kepalaku lagi?
"Ne .. ," kau tersenyum kecil. Sesaat kemudian, "Sekarang bersiaplah!" mendadak kau mendorong kursi ke belakang dan berdiri dari kursi.
"Dhe?!" Aku mengangga.
"Sonsaengnim akan mengajakmu ke suatu tempat .. "
"Kemana?" mulutku mengangga semakin lebar.
Kau tersenyum misterius. "Nanti juga kau tahu sendiri. O ya, sonsaengnim juga suah menyediakan sebuah hadiah untukmu .. " Kau memutar tubuh membelakangiku kemudian melangkah kearah kamarmu.
"Hadiah .. buatku?" aku tersentak bangun. "Sonsaengnim--apa itu?!"
Aku belum mengambil inisiatif mengejarmu, pintu kamar dari kayu itu sudah ditutup olehmu.
************
"Sonsaengnim .. ," panggilku ragu-ragu sambil menyembulkan kepalaku dari balik pintu.
"Hmm--," kau bergumam tanpa berbalik.
Aku melihatmu sedang sibuk memasukkan beberapa peralatan fotografi ke dalam sebuah tas selempang besar. Sebenarnya kau akan mengajakku ke mana? Foto-foto bersama? Berpikir sampai di sini aku cengegesan sendiri.
"Ada apa?"
Mendadak kau berpaling padaku.
"Hahh?!" Mulutku terbuka lebar. "Oh--aniyo!!' Aku segera mengeleng keras-keras.
"Tidak ada? Jadi, untuk apa kau berdiri aja di situ? Masih belum bersiap juga?"
Aku menelan ludah dengan susah payah. "A ... apa .. perlu aku .. ganti pakaian terlebih dahulu?"
"Tak usah!" Kau segera mengibaskan tangan. "Dan kuperingatkan, jangan berdandan yang aneh-aneh!" sambungmu dengan nada mengancam.
Yaa—ketahuan juga apa yang kupikirkan!! Emang sejak kapan kau tak mengetahuinya ya? Berpikir sampai di sini, kumajukan bibir bawahku. Susah benar kalau sudah berhadapan denganmu. Selalu saja aku seperti ditelanjangi bulat-bulat. Padahal niat semula ingin memakai gaun. Kau akan mengajakku foto-foto bersama kan? Jadi kenapa melarangku berdandan yang cantik dan feminim? Sumpah, aku tak akan berdandan yang aneh-aneh. Namun, .. apakah aku berani mengeluarkan keberatan-keberatan tersebut? Tentu aja tidak! Dan aku yakin kalian semua juga sudah mengetahuinya!
“Sonsaengnim … ,” ujarku memelas.
“Wee?”
Aku mendesah. “Tidak apa-apa … “
“Bagus .. kalau begitu kita berangkat lima menit lagi .. “
Kau menarik resleting panjang pada tas selempang besar yang sudah terisi penuh kemudian berdiri dari posisi berjongkok di lantai. Kau berjalan ke lemari, mengambil sehelai kemeja kotak-kotak bergaris hitam dan merah kemudian memakainya. Sambil lalu, kau menyambar sebuah topi bebek warna coklat tua dari atas meja kecil dekat tempat tidur, mengibaskannya sebentar kemudian menenggerkannya di atas kepala. Kau mengambil tas selempang tadi lalu menyilangkannya di antara dada dan punggung.
“Kacha!!” katamu sambil melewatiku.
Mulutku terbuka perlahan. Tak mengandengku? Tok .. sebuah palu kecil digetokkan sesosok malaikat mungil di atas kepalaku. Jangan bermimpi lagi, Hyesun-a! teriak malaikat mungil tersebut di dekat gendang telingaku.
“NE!!” teriakku keras-keras.
Kau segera berpaling. “MWO?!”
Aku tersadar. Yaa—ternyata terlalu banyak berkhayal! Sosok malaikat mungil tadi hilang seketika.
“ANIYO!!” Aku mengeleng keras-keras sambil memejamkan mataku rapat-rapat.
Alismu berkenyit. Kau terdiam sebentar dan mengawasiku dengan pandangan menyelidik.
“Kalau begitu .. ambil ranselmu. Masuk-kan semua makanan dan minuman ringan yang kubeli tadi. Semuanya ada dalam kantong plastic di atas meja. Yang lain nggak usah. Seluruhnya sudah berada dalam tasku … ,” kau berpaling ke depan dan melanjutkan langkah yang tadi tertunda karna teriakanku. “Aku menunggumu di tempat parkir depan. Ingat, dekat lapangan basket—sepuluh menit lagi. Jangan salah tempat!”
Bruk .. pintu depan ditutup olehmu. Yaa—kok nggak membantuku berberes-beres sih? Dasar nih sonsaengnim! Aku mengerutu seorang diri.
*********
“Omo, .. ini?” Mataku terbelalak lebar.
Kau tersenyum simpul. “Bagaimana? Kali ini sonsaengnim tak salah lagi kan? Kau suka bersepeda.”
Aku meraba sepeda mungil bercat putih dan merah muda yang dilengkapi keranjang putih kecil yang kau tunjukkan. Suaraku menjadi serak ketika berkata.
“Benar … dan ini, untukku? Benar-benar untukku?”
“Ne. Kau suka?”
Kau mendekati sepeda lain yang terparkir di dekat sepeda yang kau hadiahkan padaku, kemudian menyandar ke stangnya.
“Sangat .. ,” aku menatapmu. “Dulu—waktu masih di Jeju, aku sering bersepeda bareng teman-temanku. Tapi sekarang, aku sudah tak melakukannya lagi. Sangat tak memungkinkan bersepeda di Seoul .. “
“Siapa bilang?” katamu sambil membuka rantai pengunci sepeda. “Kita bisa melakukannya setiap saat asal di tempat yang tepat .. “
“Seperti?” tanyaku sambil melakukan hal yang sama.
Kau tersenyum. “Kita ke pinggir Han river. Di sana ada jalan kecil yang bisa digunakan buat bersepeda .. “
“Jeongmal?” aku bersorak. “Tapi sonsaengnim … “
“Ya?” Kau berpaling padaku.
“Bagaimana sonsaengnim tahu aku pintar bersepeda?”
“Pintar bersepeda?” kakimu yang bersiap menginjak pedal sepeda terhenti. “Aku tak tahu itu. Yang kutahu hanya, kau bisa bersepeda. Paling tidak, tak akan jatuh seperti ice skating dulu. Eunhye yang memberitahukannya padaku .. “
“Hahh?” Saat ini juga aku ingin menyembunyikan diri di perut bumi. Saat-saat memalukan dulu kenapa harus disinggung lagi?!
“Bagaimana? Kau tak perlu diajari, kan?”
“Aniyo!!” aku mengeleng dengan cepat. “Aku mampu melakukannya sendiri. Bahkan sangat baik! Lihat saja nanti!” ujarku sambil membusungkan dada. Kecuali ice skating sialan itu, aku bisa melakukan semuanya dengan baik. Ya, kecuali belajar juga. Sorry ketinggalan upsss .. Apalagi bersepeda—yang merupakan kemahiranku. Kau akan terbengong-bengong melihat kehebatanku nanti .. he .. he … Sambungku dalam hati.
Kau mengangkat bahu. “Ya, udah. Kita berangkat sekarang!”
Kau memutar sepedamu kearah berlainan kemudian mulai mengayuh ke depan—tanpa menungguku lagi.
“Yaa--,” aku tersentak kaget. “Tung .. tunggu dulu … sonsaengnim … “
Tergesa-gesa aku memutar sepeda kearah berlalunya dirimu tadi.
*********
Tanpa terasa, aku dan kau sudah mengayuh sepeda sekitar setengah jam. Perlahan kita memasuki sebuah taman kecil yang cukup padat ditumbuhi tanaman-tanaman dan rumput liar. Jalan kecil yang menghubungkan apartemen onnie dengan Han river di kejauhan sana hanya cukup dilalui sebuah sepeda sehingga aku terpaksa menjadi penguntit setia dari belakang. Jarak kita semakin lebar. Kau semakin jauh dan perlahan-lahan hanya tinggal bayangan saja. Aku menekuk bibir dan mendengus berulangkali. Keindahan pemandangan di sekitar sungai Han-pun tak lagi menarik bagiku.
“YAA—SONSAENGNIM, TUNGGUIN DONG!!” aku berteriak dengan suara serak.
Samar-samar bayangan di depan mengerem sepedanya. Kau berhenti dan menoleh kearahku.
“LAMBAT AMAT!!” kau balas berteriak.
Aku merengut. Enak aja! Coba aku punya kaki sepanjang itu, tentu lebih cepat darimu!
“HEY—DENGAR TIDAK?!!”
Masih aja berteriak padahal nafasku sudah ngos-ngosan. Dasar nih sonsaengnim kesayanganku!
“NE!!”
Sekuat tenaga aku mengayuh pedal sepeda hingga sampai di depanmu. “Son .. sonsaeng .. nim … “
“Aku bukannya memaksamu, tapi … ,” kau melihat ke jam tangan yang melingkar di lengan kirimu. “ .. ini sudah pukul 7 lewat seperempat. Sebentar lagi waktunya tiba. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu, di seberang Han river, di antara lampu-lampu yang berkerlap-kerlip di penghujung langit .. “
“Dhe?” tanyaku tak mengerti.
“Ikut saja. Nanti kau tahu sendiri .. “
Sekali lagi kau melirik jam tangan sambil menaruh sebelah kaki ke pedal sepeda. “Jam setengah delapan, jadi bergegaslah!” Kau menginjak pedal dan mulai mengayuh.
Yaish—kau ini tak tanggung-tanggung. Sekali kayuh, kau sudah melesat jauh ke depan.
“Yaa—sonsaengnim!!”
Teriakanku tak kau perdulikan. Kegelapan perlahan-lahan turun dari langit dan mulai menyelimuti bumi, membuat sosokmu tinggal bayangan dalam sekejap. Yaishh--!!! Dengan gugup, aku segera mendorong sepeda pemberianmu ini ke depan dan mulai mengayuh dengan sekuat tenaga.
Lima belas menit lamanya aku menguntitmu dengan susah payah. Apa ini termasuk jadwal kencan yang kau ajarkan? Aku menjadi ragu. Terus terang tak ada yang kurasakan. Mengapa ajaran-ajaranmu tak ada romantisnya? Dari permulaan hingga sekarang—hanya ketakutan, kekhawatiran, kerisihan dan rasa malu yang menghinggapiku. Ya, selain kejutan yang kau berikan dengan membelikan es krim waktu ice skating dulu, ataupun mengelap bibirku yang berlepotan es krim tersebut, dan juga memakaikan sepatu ice skating—namun, semua itu termasuk sedikit, kan? (Jangan mengataiku rakus!! Awas!!—dengan pandangan mengancam!) Yang kuharapkan lebih dari itu dan aku yakin kau mengetahuinya.
Kalau kejadiannya begini, lebih baik tak kuterima anjuranmu—ajaran-ajaranmu. Tidak! Bukan! Lebih tepatnya lagi, kalau tahu begini rasanya berpacaran, aku bersumpah tak akan memulainya dengan cowok manapun.
*********
Aku merapatkan sepedaku di dekat sepedamu yang sudah terparkir rapi di tepi Han river—agak keluar dari jalan kecil yang tadi kita lalui. Nafasku tersengal-sengal ketika kau mengangkat telunjuk secara mendadak.
“Lihat itu!!”
Aku tak jadi bersuara. Kebiasaan berubah bodoh jika berhadapan denganmu membuatku berpaling mengikuti telunjukmu. Beberapa detik ke depan aku hanya bisa mengangga. Omo, apa itu? Bintangkah? Tapi kenapa seterang dan sebesar itu? Atau .. berliankah? Namun, .. mengapa tergantung di langit? Mana ada berlian yang berkerlap-kerlip di langit?!
“Yeppo-yo??” kau bertanya tanpa beralih dari benda luar biasa yang tergantung tinggi di seberang sana.
Aku mengangguk perlahan-lahan. “Ne … jeongmal yeppo-yo .. “
“Dia muncul sebulan sekali. Dan paling sempurna dilihat dari posisi sini—di tengah-tengah pinggiran Han river .. “
Aku berpaling padamu. “Bintangkah?”
Kau mengangguk. “Ne .. ,” lalu menoleh padaku. “Dia punya nama khusus … “
“Mwo? Jeongmal?” alisku berkerut. “Mana mungkin? Sonsaengnim pasti bercanda .. “
“Tidak. Aku tak bercanda .. ,” kau mengeleng sambil tertawa.
“Chinja? Lalu apa namanya?” tanyaku penasaran.
Tiba-tiba kau condong kearahku. “Hmm—The little coward … “
“YAA--!!”
Reflek, aku langsung mengayunkan tangan dan plakk … mengenai lenganmu.
“Aishh … “
Kau meringis kesakitan. Aku segera menyusut ke belakang—ketakutan, begitu mendapat tatapan tajam darimu. Tamparanku tadi cukup keras sehingga menimbulkan bekas memerah di lengan kirimu.
“Kau ini—bawaannya nggak stabil mulu … ,” gerutumu sambil mengelus-ngelus bekas tamparan tadi. “Kalau bukan ketakutan setengah mati, pasti marah mendadak seperti barusan .. “
“Sosoengheyo .. “ Aku membungkuk sambil menunduk dalam-dalam.
Kudengar kau mendengus. Setelah itu hening, tak bersuara. Diam-diam aku mengangkat kepala sedikit dan mencuri pandang ke atas. Kau terlihat sedang mengeledah sesuatu dalam tas selempang besar yang kau kaitkan di stang sepeda. Begitu dapat, kau menyorongkannya padaku.
“Ambil ini!”
Aku mengangkat kepala perlahan-lahan dengan sepasang mata melebar. “Apa ini?” tanyaku sambil menerima benda itu. Ternyata sebuah teropong genggam.
“Teropong genggam .. “
Aku beralih padamu. “Genthe, untuk apa?”
Sekali lagi, kau menunjuk ke ‘Little Coward’—nama pemberianmu yang AMAT SANGAT tak kusukai karna Cuma aku seorang yang boleh mendapatkan panggilan kesayangan itu. Tidak boleh orang lain, ataupun benda lain!! Terhadap benda mati—seperti bintang aja, aku cemburu setengah mati, .. dasar, payah!!
“Bintang itu sebenarnya hanya bintang biasa—tak ada bedanya dengan bintang-bintang lainnya. Dia terlihat besar dan terang hanya tipuan saja. Beberapa aspek membuatnya terlihat berbeda dan istimewa. Aku sudah menyelidikinya beberapa bulan yang lalu … ,” telunjukmu berpindah ke deretan bola-bola lampu yang berkilauan di seberang sungai. “Kau lihat lampu-lampu di ujung sana?”
Aku mengangguk.
“Mereka unsur utamanya, ya selain air sungai dan bintang-bintang lain di sekelilingnya … “
“Maksud sonsaengnim?” tanyaku sambil mengaruk-garuk kepala. Aku benar-benar tak mengerti kearah mana penjelasan-penjelasanmu itu.
“Berkas-berkas terang dari lampu-lampu di seberang sungai jatuh ke air yang kemudian dipantulkan ke langit. Setelah bergabung dengan sinar dari bintang-bintang lainnya akan mengenai bintang yang berada di tengah-tengah. Itulah dia—The Little Coward ..”
“Jeongmal?” tanyaku dengan nada tak percaya. Akhirnya aku mengerti juga keterangan-keteranganmu yang teramat ribet dan rumit itu he .. he .. . Aku menatapmu lekat-lekat guna mencari sedikit saja bocoran dari ceritamu yang terdengar sangat masuk akal dan sempurna. Kau pasti sedang mengodaku!Tapi, tidak. Kau tak bergeming sedikitpun. Perlahan pandanganku beralih kembali ke langit.
“Tahu kenapa bintang itu kunamai begitu?” kau bertanya.
Aku mengeleng. “Aniyo .. “
Kau tersenyum perlahan-lahan. “Karna aku merasa dia sepertimu. Penuh kebohongan dan ketakutan-ketakutan kecil—selalu bersembunyi dibalik kepengecutan yang tak wajar. Tak pernah berani menunjukkan jati diri sendiri … “
“Sonsaengnim .. ,” bibirku mengerucut. Tega benar kau berkata begitu! Walaupun memang kenyataan sih, tapi kan nggak perlu seterus-terang itu! Sesaat kemudian, aku segera mengalihkan pembicaraan kearah lain. “Benar hanya bintang biasa?” ujarku pelan, masih dengan nada tak percaya.
“Jika masih mencurigaiku mempermainkanmu, angkat teropong di tanganmu dan lihat sendiri ..,” sahutmu dengan sepasang tangan bersidekap di depan dada.
Pipiku langsung mengembung. Kebaca juga pikiran-pikiranku olehmu!
Aku mengikuti saranmu dan mengarahkan teropong genggam di tanganku ke langit. Tak berapa lama kudapatkan bintang yang berada paling di tengah.
“Omo?!!”
Aku menurunkan teropong tersebut sambil mengejap-ngejapkan mata tak mengerti. Tak berubah—bintang yang kau namai The Little Coward masih terlihat terang dan besar dengan mata telanjang. Tapi mengapa di teropong tadi terlihat tak berbeda dengan bintang-bintang lainnya?
Aku mengangkat teropong itu kembali dan menempelkannya di mataku. Sekali lagi—bintang itu sama kecil dan redupnya dengan bintang-bintang lainnya. Jadi benar, kau tak mempermainkanku?
“Gimana?” tanyamu sambil menoleh padaku. “Lihat perbedaannya, kan?”
Aku mengangguk perlahan. “Ne. .. Tapi, bagaimana bisa?”
“Sudah kujelaskan tadi … “
Toeng!! Sebuah palu mendarat di atas kepalaku. Aku mengelus-ngelus kepalaku yang tak apa-apa. Cuma khayalan aja udah terasa sakit ..
Kau menegakkan tubuh dan mulai mendorong sepedamu ke jalan kecil yang dibatasi jalan rumput.
“YAA—SONSAENGNIM MAU KEMANA?”
“Cahaya itu hanya bertahan selama 15 menit, jadi sebentar lagi hilang. Sebaiknya kita mencari makanan sekarang .. ,” sahutmu tanpa berpaling padaku. Kau sampai di jalan kecil, lalu mulai mengayuh sepedamu tanpa menungguku lagi.
“SONSAENGNIMMMM!!!”
Terburu-buru aku mendorong sepedaku keluar dari jalan rumput sambil mengejarmu secepat mungkin.
*********
Soeun mendekatiku dengan raut berseri-seri siang itu.
“Ada kabar baik .. ,” katanya sambil menjatuhkan diri di depanku.
“Mwo?” tanyaku tanpa berpaling dari majalah di tangan.
“Omma menganti guru privatku dengan guru lain. Guru yang lumayan ganteng dan memikat he .. he .. Akhirnya beliau setuju juga kalau si sonsaengnim reyot tak cocok buat mengajarku. Ya maklumlah, nilai-nilaiku jatuh semua … “
“Bilang aja kau kecentilan!” ujarku masih sibuk dengan gosip-gosip terakbar para selebritis Korea dalam majalah. O ternyata si Son Ye Jin berusaha mengaet ajushi kaya pemilik Soni co. Aku mengangguk-angguk. Pantas aja dia selalu kepergok ama para wartawan sering keluar masuk rumah milioner itu! .. Dan apa ini .. ? Mataku melebar. Mana mungkin? Si …
Srett, Soeun menyambar majalah dari tanganku.
“Yaa—apa-apaan?” aku memprotes.
Soeun langsung mendelik. “Aku berbicara padamu. Bisa mendengarkanku dulu nggak?”
Aku mengangkat bahu—cuek. “Ada apa?”
“MWO? Apa kau tak dengar perkataanku tadi?! Ommaku menganti guru privatkuuuuuuuuuu!!!!”
“Yaishh--!!!” aku menutup telinga erat-erat. “Kau udah gila ya? Kenapa teriak-teriak begitu?”
“Habis, kau nyebelin sih!!” gerutu Soeun.
“Hey—cewek-cewek!!”
Sebuah suara membuyarkan ketegangan kami. Aku dan Soeun menoleh secara bersamaan. Bibirku langsung manyun mendapati kehadiran Dongsae di sini. Bum berada tak begitu jauh darinya.
“Udah dengar gosip terbaru mengenai Minho sunbae, lum?” Dongsae tersenyum penuh rahasia.
Aku segera menyeruak ke hadapannya. “Apa? Apa?!!”
Dongsae menyengir. “Kalian tahu tentang Bom sunbae?”
“Park Bom, ballerina terkenal yang pindah mendadak ke sini beberapa hari yang lalu?” Soeun balas bertanya dengan nada tertarik.
Dongsae mengangguk. “Bingo! Menurut gosip yang beredar, penyakit lamanya kumat sehingga harus berhenti dari karirnya sebagai ballerina. Dan sekarang dia melanjutkan kuliahnya di sini .. “
“Lalu apa hubungannya dengan sunbae?” selaku tak sabar. Yang ingin kuketahui hanya hubungannya denganmu. Persetan tentang dirinya! Mau berpenyakitan kek, berhenti jadi ballerina kek, nggak ada hubungannya denganku!
“Mereka sudah kenal sejak dulu. Mungkin sejak sekolah menengah. Bom sunbae merupakan juniornya Minho sunbae. Sekitar satu atau dua tahun lebih muda. Dan menurut kabar, dia mantan pacarnya Minho sunbae .. “
Brakk, kakiku menabrak kaki meja ketika tak sadar mundur ke belakang.
“Hyesun-a .. ,” tampang Soeun berubah khawatir. “Hanya gosip masa lalu .. jangan dianggap serius .. ,” lanjutnya berusaha menenangkanku.
Tapi aku tak menghiraukannya. Perasaanku sangat kacau begitu mendengar penjelasan-penjelasan Dongsae tadi. Si ballerina cantik itu, benar mantan pacarmu? Sungguhkah?
“Tidak mungkin .. ,” aku mengeleng perlahan. “Tidak mungkin … “
Secepat kilat aku menghambur keluar dari ruang kelas.
“HYESUN-A!!” teriak Soeun kaget.
Dia berlari mengejarku. “MAU KEMANA?”
“AKU … AKU TIDAK ENAK BADAN, SOEUN-A. TOLONG MINTA IJIN KE PAK BI!!” balasku tanpa berpaling kearahnya.[/b]
________________oOo_________________
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Re: The Little Coward by Lovelyn
maaph ada kesalahan posting banner wkkkkkk
untuk Chapter Nine, the banner should be this one!
untuk Chapter Nine, the banner should be this one!
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Re: The Little Coward by Lovelyn
monggo lanjut lagi kak!!! hahahahhaa
loveminsun- Posts : 5
Join date : 2013-07-06
Re: The Little Coward by Lovelyn
The Little Coward--
CHAPTER ELEVEN
By : Lovelyn Ian Wong
"SONSAENGNIMMMMMMMMM!!!"
BRAKKKK, .... Pintu kamarmu didobrak olehku. Gesekan lembut biola yang samar-samar terdengar dari luar tadi, terhenti seketika itu juga.
Kau berpaling padaku sambil menurunkan biola di tanganmu. "Mwo?"
"Hhhh ... hhhh .... " Nafasku tersengal-sengal.
"Mwo? Apa yang terjadi?" alismu berkenyit seraya mengulangi pertanyaan tadi.
Aku membuka mulut—siap menyemburkan pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikiranku sejak di sekolah tadi , namun .. tak ada suara yang keluar. Aku kebingungan sendiri. Tanganku mengaruk-garuk kepala yang tak terasa gatal. Apa yang harus kukatakan? Terus terang, aku tak tahu bagaimana menanyakan pertanyaan itu. Apa sebaiknya aku jujur saja bahwa aku cemburu pada Bom sunbae? But—bullshit dah, emangnya aku siapa? Cuma pacar boongan! Lalu apa hak-ku menanyakan itu? Lagipula .. tahu aja nggak aku terhadap hubunganmu dengannya, lalu gimana menanyakannya? Bisa-bisa aku langsung didamprat habis-habisan olehmu ... huhu ... Berpikir ke sini, aku menundukan kepala dalam-dalam.
"Gimana? Ada apa sebenarnya?" Suaramu terdengar lagi.
Aku mengangkat wajah, namun tetap tak mampu bersuara. Mulutku seperti terkunci—tak sanggup dibuat berbicara. Kubalas pandanganmu, tapi begitu bertemu, aku segera menunduk lagi.
"Tak ada?"
Aku mengeleng lambat-lambat.
"Ya sudah ... "
Aku mencuri pandang secara takut-takut lewat ekor mataku. Kau tampak berjalan kearah piano besar yang menempel di dinding, dekat pintu.
"O ya, kenapa kau pulangnya cepat hari ini? Nggak sekolah? Bolos ya?" tanyamu tanpa menoleh padaku.
Aku menelan ludah. "A .. aku .. nggak begitu ... sehat ... ," jawabku beralasan.
Kau melirikku sekilas. Apa itu senyuman? Sudut kiri bibirmu terlihat agak tertarik ke atas. Perlahan kepalamu bergerak, membelakangiku kembali—menghadap ke piano. Kau meletakan biola di atas meja, lalu berpindah ke kursi panjang yang menghadap piano.
Kau buka penutup piano kemudian jemari-jemarimu yang panjang dan lentik (melebihi keindahan jemari tanganku hiksss--sedih deh ... ) mulai bergerak-gerak lincah di atas tuts-tuts piano—berpindah-pindah dari tuts hitam ke tuts putih, bergerak dari tengah sampai ke pinggir, kemudian berbalik kembali—menimbulkan dentingan-dentingan bersahutan yang nyaring dan semarak. Kepalaku terangkat, dan aku terpaku mengikuti gerakan-gerakan tanganmu. Musik yang mula-mula dimainkan dengan sangat lincah dan riang perlahan berubah tenang dan syahdu. Iramanya mendayu-dayu sampai ke kalbu. Mataku terpejam dan aku menghela nafas pelan.
“Aku pergi, sonsaengnim … “
Kehadiranku sepertinya tak diharapkan, jadi kenapa aku masih berada di sini? Perlahan aku memutar tubuh kearah pintu.
“Kau masih berhutang padaku hari ini … “
Perkataanmu yang tiba-tiba membuat langkahku terhenti, tepat di depan pintu. Aku berbalik dengan cepat, dan yee—posisimu masih membelakangiku.
“Mwo?” tanyaku tak bersemangat.
“Secangkir cappuccino waktu sarapan, kau lupa membuatnya ..”
Oh--!! Mulutku terbuka lebar. Benar! Bagaimana mungkin aku sampai melupakannya?
“Mianeyo .. ,” ucapku pelan. Aku membungkuk perlahan. “Aku akan membuatnya sekarang juga …. “
Alunan piano segera terhenti. Kau menutup penutup piano tersebut kemudian memutar tubuh, berhadapan denganku. “Sorean saja, saat belajar nanti … Sebentar lagi aku akan keluar. Ada keperluan sedikit … “
“Ne .. “ Jawabku tanpa bermaksud bertanya lebih lanjut. Biarin deh apa urusanmu. Aku sudah tak perduli lagi. Bukan! Bukan tak perduli, tapi .. aku hanya tak sanggup perduli untuk hari ini … Hatiku terasa sakit dan tak mampu diungkapkan. Ingin bertanya padamu tapi mulutku tak bisa dibuka. Ingin menjerit namun lebih tak sanggup lagi ….
Dengan sangat lambat aku membuka pintu, kemudian melangkah keluar. Kututup pintu tersebut pelan-pelan. Aku menghembuskan nafas panjang-panjang. Perlahan kubenturkan kepalaku ke dinding—berulangkali.
Sungguh tak berguna! Bodoh! Tolol!! Bego!!!! Dasar pengecutttt!!!! Segitu aja nggak berani ditanyakan huhhh, … gimana jika sonsaengnim sampai pacaran beneran sama Bom sunbae? OH—tidakkkkkk!!!!!
***********
Perlahan-lahan pensil di tanganku bergulir ke atas meja. Sepasang mataku terpicing sebentar kemudian terkatup kembali secara perlahan-lahan. Sungguh tak bisa diajak konsentrasi lagi. Kemana perginya dirimu? Mengapa jam segini belum kembali juga? Huhh, katanya sore ini kau akan mengajariku beberapa rumus matematika yang baru diajarkan pak Bi kemarin, tapi kenyataannya?
Drekk, samar-samar telingaku menangkap bunyi halus dari pintu depan. Pencuri? aku mengangkat alis sedikit dan mendengarkan. Namun sesaat kemudian, masa bodoh—ah …, aku mengeleng pelan sambil merebahkan kepala di atas meja.
Suara halus dan samar tadi tak terdengar lagi. Entah karna suara itu benar-benar sudah hilang atau aku yang sudah tertidur pulas di atas meja belajar. Sampai sesuatu yang lembut dan sedikit tajam terasa mengais-ngais kakiku yang bersendal rumah ‘kepala Winnie the Pooh besar’—tokoh kartun Disney kesayanganku.
Guk .. gukkk … gukkk …
Suara apa itu? Kepalaku agak bergeser dari posisi semula, tapi mataku masih tetap terpejam rapat.
“Hey—bangun anak malas!”
Suaramu? Aku tersenyum perlahan. Namun tetap dengan mata terpejam. Kau datang dalam mimpiku hanya dengan suara? Sungguh ajaib!
“Little Coward!!”
Kurasakan sebuah tangan mencubit pipiku.
“Bangun!! Kau bisa sakit tidur tanpa selimut begitu!”
Otot pipi kiriku bergerak ke atas. Apa benar ini mimpi? Aku mengelus pipiku. Tapi mengapa terasa sakit? Dan panggilan Little Coward ini—begitu .. begitu nyata …
Aku membuka mata perlahan.
“Sonsaengnim .. ,” aku tersenyum, lalu menutup mata kembali.
“Yaa—dasar pemalas!”
Tokk!!
“Auwww!!!”
Aku tersentak bangun.
“SONSAENGNIMM!!!” Mataku terbelalak lebar. “Be .. benar .. sonsaengnim?”
Kau mendengus. “Memangnya siapa kalau bukan sonsaengnim? Hantu?”
Aku mengeleng lambat-lambat sambil memajukan bibir bawah. Sedangkan tanganku mengelus-ngelus kepalaku yang terasa berdenyut-denyut akibat jitakanmu tadi. “Anhi … “
“Lalu apa?” Matamu melebar. “Bermimpi lagi?”
Yah, apa yang mesti kujawab? Aku menunduk dalam-dalam.
Gukk .. gukk .. gukk …
Hey—suara dalam mimpi tadi terdengar lagi! Dari .. Aku segera berpaling ke belakang begitu merasakan sesuatu yang lembut dan tajam kembali mengaruk-garuk pangkal kakiku. Dan … mataku langsung terbelalak lebar.
“Ke .. kenapa … bisa … ada di sini?”
Gukk .. gukk … gukk …
Seekor anak anjing yang sangat mungil, berwarna coklat muda dengan lingkaran putih di antara hidung beserta kaki, memandangiku dengan sepasang mata bundarnya yang besar dan jernih. Sebelah kakinya bergerak dan menimpa kakiku. Dari ekspresinya, tampak dia minta digendong olehku.
“Anak .. anjing?”
Plok, plok, plok …
“Peanut, here!!” Serumu keras sambil berjongkok di depan anjing kecil itu.
Peanut melirikmu sekilas, kemudian berbalik padaku. Matanya berkejap sekali, lalu, sambil melengang kecil dia menghampirimu.
“Good boy!” Kau tertawa dan mengelus kepalanya.
“Milik sonsaengnim?” tanyaku masih dalam kondisi setengah sadar.
“Aniyo!” Kau meraih Peanut kemudian berdiri dari lantai. “Dia milikmu!” Tiba-tiba kau menyorongkan tubuh mungil tersebut padaku.
Untuk kesekian-kalinya mataku terbelalak lebar. “Aku?!!” Telunjukku menunjuk diri sendiri—tak percaya.
“Ne!” Kau mengangguk. “Ayo diambil sebelum jatuh … “
Dengan gugup aku menerima Peanut. Memandanginya dengan kebingungan.
“Genthe, … kenapa bisa jadi milik-ku?”
Kau berjalan mendekatiku kemudian menyentuh kepala Peanut.
“Tadi aku keluar buat menjemputnya. Usianya baru beberapa hari. Pemberian seorang teman. Karna dia tinggal agak jauh di luar kota maka aku pulang sedikit terlambat, mianeyo … “
“Sedikit terlambat?” Aku memanjangkan bibir ke depan—manyun. Enak aja! Bicaramu nggak tedeng-aling. Terlambat satu jam kau bilang terlambat sedikit!!
“Oh--,” kau tertawa. “Mungkin sangat terlambat .. he .. he .. mianeyo … “
Bibirku memanjang semakin ke depan. Masih bisa tertawa?
“O ya—bagaimana belajarnya? Sudah sampai di mana?”
Kau menjatuhkan diri di kursi seraya mengamati buku-buku pelajaran yang berserakan di atas meja. Kekesalanku kau cuekan begitu saja. Dan seperti biasa—aku ikut menjatuhkan diri di depanmu dan melupakan segalanya. Sikapku terhadapmu memang seperti angin—kalau datang dan pergi tanpa diundang saja! Aku menurunkan Peanut ke lantai dan menghadapimu.
“Rumus baru?”
Aku mengangguk.
“Mengerti cara pemecahannya?”
Aku mengeleng dengan raut memelas.
Kau mengambil sebuah buku dan mencoretkan beberapa rumus di sana. “Begini, … jika X dan Y ditambahkan maka ….. “ bla .. bla .. bla … , Kau mulai melontarkan seabrek rumus yang membuat kepalaku puyeng—pusing tujuh keliling. Berpuluh-puluh bintang berputaran di atas kepalaku. Mataku mengabur dan perhatianku hanya mampu ditujukan ke bibirmu. Bibir kenyal yang mampu membuatku berkonsentrasi terus-menerus—bukan pada rumus-rumus itu sendiri tapi pada rasa bibirmu. Hmm—yummy …
Tokkk!!
“Akhh!!!” Aku terperanjat sampai berdiri tegak.
“Sadar??!!”
Aku mengangguk pelan. “Ne … “
“Sekarang kerjakan soal-soal berikut ini! Aku akan memeriksanya nanti … “
Kau berdiri dari kursi dan berjongkok di depan Peanut. Kau mengetuk lantai berulangkali.
“Sini sayang! ikut appa cari makanan di dapur … “
“Appaaaaa??!!!” Aku terlonjak kaget. Buku dan pen di tanganku terjatuh ke lantai.
“Ne. Memangnya kenapa?” Kau berpaling padaku.
Aku mengigit bibir sambil mengeleng pelan. “Aniyo … “ Aku membungkuk kemudian memungut pen dan buku dari lantai. “Kalau sonsaengnim appanya, lalu siapa ommanya?” lanjutku pelan—sangat pelan hingga hampir tak terdengar. Bahkan olehku sendiri.
Tapi ternyata kau mendengarnya.
“Aku yang membawanya kemari, jadi sudah seharusnya dia menganggapku sebagai appanya. Nah karna kau pemiliknya, maka kau yang menjadi ommanya … “
Brakk, buku tadi kembali terhempas ke lantai.
“A .. aku?”
“Tentu saja.” Alismu berkerut. “Tidak suka?”
“Anhi!!” Aku mengeleng cepat. “Aku suka. Peanut, ayo ke pelukan omma .. “ Aku langsung mengembangkan tangan lebar-lebar.
“Selesaikan dulu pekerjaanmu sebelum menyentuhnya!”
Gubrakk, … hikss, segitu aja nggak boleh … dasar sonsaengnim pelit!
“Kau boleh menyentuh dan bermain bersamanya setelah selesai belajar nanti .. ,” lanjutmu sambil tersenyum lembut. “Untuk sementara biar aku yang menjaganya. Dia belum makan sejak tadi jadi aku harus memberinya makan sekarang. Ayo dimulai belajarnya … “
“Ne .. “
Aku memandangimu sampai menghilang di balik pintu dapur. Kemudian aku kembali ke soal-soal memusingkan yang tercetak dalam buku tebal ini. Bolehkah kubuang ke tong sampah? Jidatku berkerut sangat dalam, seiring usahaku menyelesaikan rumus-rumus pemecahannya. Bagaimana penjelasan-penjelasanmu tadi? X ditambah Y berarti …. No, salah. Yang benar adalah ….
Satu jam kemudian …
“Bagaimana?”
Mendadak kau sudah berdiri di hadapanku.
“Sudah selesai?”
Aku menyodorkan buku di tanganku dengan agak-agak ngeri. Bagaimana hasilnya ya? Kau menerima buku tersebut dan menyimaknya. Perlahan kau menjatuhkan diri kembali di kursi.
Beberapa menit berlalu, kau menutup buku itu. “Tak seburuk perkiraanku. Hanya beberapa yang salah … “
“Jeongmal?” mataku terbuka lebar-lebar. “Sonsaengnim .. tak .. tak mempermainkanku, kan?”
“Berikan alasannya mengapa aku harus mempermainkanmu?” kau balas bertanya.
Aku menunduk perlahan. “Tak ada … “
“Kau ini benar-benar deh-- … “ Kau manarik pipiku gemas. Mataku segera berkejap-kejap. Tarikan halus barusan tak membuatku sakit malahan terasa hangat he .. he …
“Yang ini kita selesaikan nanti saja. Kau boleh bermain sebentar dengan Peanut … “
“Jeongmal?” tanyaku tak percaya.
Kau tertawa. “Ne. Kau harus bergaul lebih banyak dengannya. Jangan sampai dia takut padamu. Tapi sepertinya tidak, .. tadi kulihat, dia cukup menyukaimu .. “
“Yeahh!!”
Aku menghambur kearah Peanut. Kupunggut dia dari lantai dan mencium kepalanya. Bulu-bulunya terasa lembut dan mengelitik hidungku.
“Ha .. ha .. ha .. “
Aku tertawa ketika lidahnya menyapu wajahku. Tanpa kusadari kau mengamatiku dari posisi dekat meja. Kau menghela nafas sambil berkata pelan, “Mianeyo …. “
Aku bermain-main dengan Peanut selama sepuluh menit lamanya. Dia sangat lucu ketika berputar-putar mengikuti bola karet yang kulempar tinggi-tinggi ke udara. Dia melompat dan mengigit bola karet tersebut dengan giginya kemudian membawanya padaku. Aku melemparnya lagi, lagi dan lagi. Dia mengulangi tindakan tersebut berulangkali. Kadang-kadang dia terpeleset dan mencium lantai. Aku tertawa terbahak-bahak. Keempat kakinya terpentang lebar-lebar layaknya anjing mainan. Dan dia tak segera bangkit setelah itu. Dia akan memperlihatkan raut memelas dengan menjulurkan lidahnya panjang-panjang.
Peanut memiliki berbagai ekspresi yang mampu mengocok-ngocok perutku. Terkadang dia menjilat hidungnya sendiri, atau berputar-putar berusaha meraih ekornya yang pendek—tapi tentu saja tak berhasil. Atau mendengus-dengus lantai—memperdengarkan desah nafasnya yang berat. Dia juga akan meloncat kearahku secara tiba-tiba bila aku lengah, kemudian menjilatiku habis-habisan. Aku jadi berpikir, mungkin di kehidupan lalu, Peanut merupakan actor dari ras anjing.
“Tunggu omma di sini, sayang .. ,” aku menepuk kepala Peanut. “.. dan sstt—jangan ribut. Omma harus .. ,” aku melirikmu. “.. menyiapkan kopi buat .. appa .. ,” sampai di sini aku tersenyum malu-malu. Memanggilmu dengan sebutan appa, sedangkan aku sendiri omma, membuat wajahku langsung memerah.
“Guk .. guk .. “ Peanut menyahut pelan.
Sekali lagi aku menyentuh kepalanya. “Good boy .. “
Aku bergegas ke dapur. Tiga menit kemudian aku keluar dengan secangkir kopi di tangan. Aku berjalan kearahmu, sementara Peanut mengekoriku dengan setia.
“Kopi yang sangat terlambat. Mianeyo .. “
Aku menyodorkan cangkir di tanganku kepadamu. Kau yang sedang mengetuk-ngetukan pensil ke meja, menengadah.
“Oh—gumawoyo .. “
Kau tersenyum dan segera menyambut cangkir dari tanganku. Kau menyeruputnya beberapa kali kemudian menaruhnya di atas meja.
“Sudah selesai mainnya?”
Aku mengangguk. “Ne .. “
“Kalau begitu duduklah kembali. Kita perbaiki jawaban-jawaban yang salah tadi .. “
“Ne .. “
Aku menjatuhkan diri di atas kursi. Kau menjulurkan sebuah buku padaku.
“Sebenarnya penyelesaian buat soal-soal tadi ada di sini semuanya. Aku menemukannya setelah mengubek-ubek tumpukan buku-buku ini .. “ Tanganmu menepuk tumpukan buku di atas meja.
“O .. ,” mulutku terbuka lebar.
“O?” Kau mendelik. “Pasti belum membukanya, kan?” dengusmu kesal.
Aku mengeleng sambil memajukan bibir bawah. “Mianeyo …
“
“Sampai kapan kau akan begini? Bersantai terus?”
Aku mengeleng kembali.
“Apa jadinya masa depanmu? Siapa yang mampu merubahmu?”
“Kan ada sonsaengnim .. ,” sahutku tanpa mampu dicegah.
“Mwo?!!”
Aku menutup mata rapat-rapat. Ya, sudah terlambat.
“Kan ada sonsaengnim yang setia mengajariku .. ,” lanjutku pelan-pelan.
“Kau … ha .. ha .. “ Tiba-tiba kau tertawa terbahak-bahak.
Kupicingkan mata lebar-lebar. “Weeyo? Ada yang lucu?” tanyaku kebingungan sendiri.
Kau tak menjawab, malah menjitak kepalaku.
“Aku tak bisa selamanya di sisimu. Kau harus belajar menjaga diri .. “
“Nggak mau!!” Aku mengeleng keras-keras. “Sonsaengnim nggak boleh pergi ..”
Bukannya menyahutku, kau malah mengetuk-ngetuk soal-soal di dalam buku.
“Konsentrasi ke sini … “
Yee—nggak berperasaan! Bibirku manyun beberapa senti—kalau diukur dengan pengaris sih nggak sepanjang itu lol
*************
Tok .. tok .. tok …
Eunhye memutar gerendel pintu kamar Minho kemudian, drek .. pintu tersebut dibuka olehnya secara halus.
“Boleh masuk?” tanya Eunhye sambil menjulurkan kepala ke dalam kamar. “Ada yang ingin kubicarakan .. “
Minho berpaling dari kesibukannya. Dia tersenyum sambil mengangguk pendek. “Masuklah .. “
Eunhye menarik diri sampai berdiri tegak kemudian masuk ke dalam kamar itu. “Apa yang kau lakukan?”
Minho meliriknya. “Hanya merapikan foto-foto hasi jepretanku beberapa waktu lalu. Aku terlalu sibuk akhir-akhir ini sehingga tak punya waktu mengurusnya. Memangnya ada apa?”
“Masalah kecil .. ,” kata Eunhye sambil menyandar di dinding dekat meja Minho. “Hoon meneleponku tadi. Dia akan pulang dua minggu mendatang .. “
“Jeongmal?”
Eunhye mengangguk.
“Great .. ,” Minho tersenyum.
Eunhye menanggapi dengan anggukan kepala lagi. Sekilas pandangannya menyapu foto-foto yang berserakan di atas meja. “Sejak kapan kau tertarik pada manusia sebagai objek jepretanmu? Dan juga … “ Pertanyaannya terhenti begitu pandangannya menangkap sosok yang sangat dikenalnya menjadi objek utama dari semua foto tersebut. Eunhye menyambar setumpuk foto dan mempelototinya.
“Goo Hye Sun??!!!”
Lembaran-lembaran foto disibakannya satu persatu—secara kilat.
“Omo—Ini kan waktu kedatanganmu pertamakalinya beberapa bulan yang lalu? Tangan Hyesun terbalut perban akibat teriris pisau dapur dan kau yang mengobatinya. Aku masih mengingat dengan jelas kaos yang dikenakannya saat itu. Kenapa sampai ada fotonya?”
Minho tak menjawab. Eunhye beralih kembali ke foto di tangannya. Matanya melebar ketika mengenali moment dalam foto berikutnya.
“Mengigit jari akibat menjatuhkan vas bunga pemberian Hoon? Kapan kau ambil foto ini?” Alisnya berkerut.
Minho masih tak menjawab. Dia tersenyum simpul sambil menyelipkan sepasang tangan di depan dada.
Eunhye kemudian berpindah ke foto-foto lainnya. “Cemberut? Tersenyum? .. Menangis karna jempol kaki membengkak terjepit pintu? Kalau tak salah, pintu kamarmu ya? .. Yang ini, omo—terpeleset kulit pisang? Memar di kepala akibat terbentur pintu? Tampang memelas sewaktu memecahkan cangkir kopimu? .. Makan kue sampai berlepotan cream—saat ulang tahunku, kan?”
Minho mengangguk. “Ne .. “
“Hampir membakar dapur dan menjadikan kita bebek panggang karna ceroboh menumpahkan minyak ke kompor yang sedang menyala … ,” Eunhye mengelengkan kepalanya. “Kalau yang ini kenapa?” tiba-tiba dia menyodorkan selembar foto pada Minho. “Tampangnya kok begitu?”
Minho memajukan tubuh ke depan. “Penyakit maagnya kumat .. ,” jawabnya tenang.
“Mwo? Yang begitu juga kau foto?”seru Eunhye.
Minho mengangkat bahu sambil terkekeh pelan.
“Nah, kalau yang ini aku tahu .. “ Eunhye menarik selembar foto dari kumpulan foto di tangannya. “Sedih waktu kau mengabari kepulanganmu selama dua minggu ke New York. Aku ingat betul bagaimana anak itu tak bisa tidur nyenyak selama kepergianmu. Kalau yang ini, .. senyuman pertama kali buat panggilan kecil darimu—little coward … ,” Eunhye tertawa. “Lalu bagaimana dengan ini?” dia menyorongkan selembar foto pada Minho. “Dia terlihat bahagia .. “
“Puas setelah mendapat nilai bagus … “
“Kau yang mengajarinya, kan? Aku melihatnya beberapa hari terakhir ini .. “
Minho mengangguk.
“Tapi, hey--!!” seru Eunhye tiba-tiba. “Kapan kau ambil foto ini? Sepedaan di pinggir Han river?”
“Dua hari yang lalu .. ,” jawab Minho. “Kau tak pulang karna salah seorang temanmu berulang-tahun, kau ingat?”
Eunhye mengangguk pendek.
“Aku mengajak Hyesun keluar malam itu. Makan malam bersama sekalian bersepeda santai .. “
“Ok, sekarang Lee Min Ho .. “ Bukk, Eunhye menghempaskan foto-foto di tangannya ke atas meja. “Terus terang padaku, .. apa maksud semua ini?”
“Mwo?”
“Jangan bilang padaku, kau menjadikan Hyesun sebagai objek penelitianmu! Ya, walaupun sifatnya memang rada unik dan sangat menarik buat bahan observasi namun kuperingatkan kau—Minho-ssi, jangan sekali-kali melakukannya! Bagaimanapun dia saudara sepupuku!”
Minho merentangkan tangannya dan beralih ke depan. “Aku tak berkata begitu ..”
“Jadi .. ?”
“Skripsiku sudah selesai dan tinggal diwisuda beberapa minggu mendatang. Aku sudah tak memerlukan bahan-bahan buat observasi sekarang .. “
“Kalau begitu, apa .. kau … ,” sepasang mata Eunhye terbelalak perlahan. “Kau .. menyukai Hyesun?”
Minho segera berpaling padanya.
“Tak mungkin!!” Eunhye mengeleng keras-keras. “Tak boleh Minho-a!! Hyesun baru berumur 16 tahun. Dan juga, bibi sudah mewanti-wantinya supaya tak pacaran. Lagipula … ,” perkataan Eunhye terputus. Ditatapnya Minho lekat-lekat.
“Lagipula?” Minho membalas tatapan Eunhye ingin tahu. “Lagipula apa?”
“Nasib Hyesun akan sepertimu kelak. Jadi, tak mungkin!”
Minho segera menahan nafasnya. “Sepertiku? Persis sepertiku?”
Eunhye mengangguk dengan ekspresi menyesal.
Beberapa saat keheningan menyelimuti kamar itu. Minho bergerak pelan—mengumpulkan foto-foto yang berserakan di atas meja, kemudian membuka salah satu album yang menumpuk di sisi lain meja itu.
“Araso Eunhye-a …. Gumawo … “
Eunhye menyentuh pundak Minho.
“Apa rencanamu setelah ini?”
“Hmm--,” Minho mengeser album foto di tangannya. “Mungkin seperti permintaan appa—bergabung dengan Lee’s Capital dan mulai belajar di sana .. “
“Kau tak berniat balik lagi ke Seoul?”
Minho tersenyum. “Lee’s Capital punya rencana membuka cabangnya di sini. Mungkin satu dua tahun mendatang. Selama kuliah di Seoul University, aku sudah mempelajari segala sesuatunya secara seksama. Market Korea cukup bagus dan menjamin. Perkembangan negara ini termasuk pesat di antara negara-negara Asia lainnya—selain Cina dan Jepang. Kami yakin Lee’s Phone mampu mengalahkan persaingan dengan Apple Inc yang sangat digemari setahun terakhir. Terutama di Korea ini! Selain harganya lebih terjangkau, kualitas produk kami juga tak kalah dari Apple .. “
“Sudah menyelidikinya secara seksama? Ternyata tak percuma kedatanganmu ke sini ya?” Kata Eunhye. “Padahal semula aku sudah khawatir dengan kuliahmu yang hampir terbengkalai akibat perpindahan di penghujung semester akhir ini. Syukurlah semua berjalan lancar. Aku benar-benar salut padamu .. “
“Salut apanya?” Minho tertawa. “Jangan lupa Eunhye-ssi, aku sudah diasah sejak kecil.”
“Ne, benar. Kau terbiasa mandiri sejak kecil.” Eunhye mengangguk. “Karna itu kau sangat aneh, Minho-a .. “
“Aneh bagaimana?” tanya Minho tak mengerti.
“Sulit ditebak.” Sahut Eunhye. “Untuk apa kau mengambil jurusan psikologi kalau akhirnya harus mengambil-alih Lee’s? Kau benar-benar aneh. Mungkin ada beberapa sisi dari dirimu yang kupahami, tapi secara keseluruhan—aku benar-benar angkat tangan .. “
Eunhye mengangkat tangannya sebagai tanda menyerah. Minho mengelengkan kepala kemudian mengulum senyum.
“Seperti saat ini, itu—arti senyumanmu?” Eunhye menghela nafasnya. “Aku tak tahu … “
***************
”SUDAH SIAP BELUM??!!!”
Kau berteriak dari ruang depan.
“NE!!!”
Bergegas-gegas aku keluar dari kamar dan menghambur kearahmu. Sepasang tanganku sibuk mengangkat dan menarik gaun panjang yang kukenakan—berulangkali. Gaun dari sutra ini membuatku kesal—terlalu licin sehingga selalu meluncur ke bawah. Aku hampir saja tersuruk akibat tak sengaja menginjak ujungnya.
Sungguh memalukan! Maksud hati ingin berdandan yang sempurna di hadapanmu, supaya terlihat lebih dewasa dan feminim tapi malang—gaun panjang ini tak bisa diajak kompromi. Kalau tahu begini kejadiannya, lebih baik kupakai gaun putih selutut pemberian omma sebulan yang lalu.
“Su .. sudah .. siap … ,” sahutku tersengal-sengal.
Aku sampai di hadapanmu dengan wajah sedikit pucat. Gelagapan kuatur pernafasanku yang memburu. Kau terlihat bergerak sedikit dari posisimu. Sepasang matamu melebar secara perlahan-lahan begitu melihat kearahku. Apa karna penampilanku? tanyaku dalam hati. Apa masih perlu ditanyakan? sahut suara lain. Aku tersentak—mulutku mengangga lebar.
“Ohh--!!” Aku langsung membekap bibir dengan tangan kiri.
“Mwo?!” Kau berseru. Tampangmu berkerut seiring tindakanku yang mendadak.
“A .. anhi … ,” jawabku cepat. Bibirku manyun seraya menoleh kearah lain. Walaupun begitu, aku tetap mencuri pandang tanpa sepengetahuanmu. Apa benar kau tak tahu? Aku tak begitu yakin sih .. [/b]
Kau mengamatiku dari ujung kepala sampai ujung kaki—selayaknya aku ini benda langka yang baru pertama kali kau temui di dunia ini. Emang sih penampilanku terlihat lain, tapi awas, kau tak boleh menyalahkanku karna kau yang memintanya. Buat acara yang tak kuketahui sama sekali?
“A .. ada yang aneh … ?” tanyaku terbatah-batah.
“Hmm—sedikit .. ,” katamu sambil mengelus-ngelus dagu. “… gimana ya? Aku tak tahu bagaimana mengatakannya. Ada yang tak beres .. tapi di mana letak kesalahannya, sulit dikatakan .. “
Yeee—nih sonsaengnim, sama aja boong!! Padahal sudah siap berbalik ke kamar buat berganti gaun ini dengan gaun pendek seperti rencana semula …
“Ah sudahlah! Masalah penampilanmu tak penting. Acara tersebut segera dimulai jadi kita harus bergegas. Cepatlah, kita sudah tak punya waktu lagi!!”
Kau memutar badan dan berjalan cepat ke pintu utama.
“Memangnya .. kita mau ke mana, sonsaengnim—Akhh!!” Pertanyaanku berakhir teriakan. Gaun sialan ini, hampir terinjak olehku lagi.
“Gwencana?” Kau berpaling padaku.
“Ne .. ne … ,” jawabku gugup.
Baik-baik saja? Tentu saja tidak! Apa pertanyaan itu perlu ditanyakan, sonsaengnim?
“Mau .. mau ke mana?” tanyaku terengah-engah.
Kau sudah berjalan kembali, sedangkan aku mengekormu seperti lari marathon dari belakang. Sepasang kaki panjangmu membuatku gemas. Kenapa waktu melangkah lebar amat?
“Aku tak punya waktu menjelaskannya padamu. Setelah sampai nanti, kau akan tahu sendiri. Sekarang ikut saja. Jangan cerewet lagi!!”
Yaaaaaa, cerewet? ] >.< …
Aku mengangguk perlahan. “Ne …. “
________________oOo_________________
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
The Little Coward-- CHAPTER TWELVE
The Little Coward--
CHAPTER TWELVE
By : Lovelyn Ian Wong
Ferrari dengan warna merah menyala keluaran terbaru (Apa benar ya? Nggak tahu deh. Aku memang buta kalau disuruh membedakan produk-pruduk masa kini. Kecuali fashion—yang nggak ahli-ahli bener juga sih! dan=>kau, tentu saja, .. kalau yang lain sih kuanggap angin lalu he .. he … ) yang kapnya terbuka, perlahan meminggir dan memasuki halaman sebuah rumah bercat putih yang cukup besar. Kau menghentikan Ferrari tersebut di teras depan yang sudah dipenuhi beberapa mobil mewah. Kau mematikan mesin, melepas sabuk pengaman kemudian membuka pintu. Kepalaku agak miring—emang sudah sejak tadi miring sih, penyebabnya? apalagi kalau bukan mobil mutakhir yang alamak mewahnya ini >.<. Sejak kapan kau memiliki mobil semewah ini? seraya mengikuti gerak-gerikmu. Tempat apa ini? Rumah siapa? Kelihatannya ada pesta di sini? Halaman rumah ini sudah dihias sedemikian rupa.
Kau sampai di jendela di sampingku dan membukakan pintu mobil untuk-ku. Aku mendongak dan menatapmu keheranan.
“Di sini?”
“Keluarlah!” katamu tanpa memberi jawaban.
“Genthe, .. tempat apa ini?” tanyaku ragu-ragu.
“Seorang teman ulang tahun .. “
Kau melebarkan pintu mobil dan mengerakan sebelah tangan—menyilahkanku keluar. Aku langsung manyun. Kenapa nggak mengandengku? Aku mengeluarkan sebelah kakiku dengan malas.
“Teman sonsaengnim?”
“Sudah ku bilang, kan?”
Gubrakkk dahh!! Si sonsaengnim, jawabannya selalu setegas gini ..
“Kalau benar teman sonsaengnim, .. mengapa .. mengapa membawaku serta? Aku kan nggak kenal teman-teman sonsaengnim?” secara lambat-lambat kuajukan pertanyaan ini. Maklum, takut digetok olehmu ..
“Kau mewakili Eunhye .. “ katamu sambil menutup pintu mobil setelah aku keluar seluruhnya dari dalam mobil. “Dia tak bisa datang karna bos dan salah seorang rekan kerjanya sakit, jadi dia harus kerja seharian di café hari ini .. “
“O .. “ aku mengerucutkan bibir ke depan. Ternyata aku hanya dijadikan pelampung olehmu. Nggak ada Eunhye, Hyesun pun jadi—apa begitu?! Huhh!!
“Masih bengong di situ?!!”
Aku terperanjat. Yaa—kau sudah berada sekitar tiga-empat meter di depan ku.
“Yaa—sonsaengnim, tunggu!!!”
Dengan gugup kutarik ujung gaunku tinggi-tinggi kemudian tergesa-gesa mengejarmu yang sudah hampir memasuki pintu utama.
“SONSAENGNIM!!!”
Aku tak sadar, berpuluh-puluh pasang mata melirik-ku tajam.
*********
Aku berlari-lari kecil di belakangmu—melintasi ruang depan, menyusuri lorong, berpindah ke lantai atas, sampai di sebuah ruangan yang dikhususkan buat pesta. Ternyata melebihi dari perkiraanku semula, rumah ini lebih besar, lebih luas dan indah dari yang kubayangkan. Lukisan-lukisan mahal mendominasi dinding-dinding dan sisi-sisinya yang tinggi dan megah. Sedangkan perabot-perabot mewah mewarnai hampir seluruh ruangan. Memberi sentuhan berbeda, menampilkan kesan yang tegas dan sedikit angkuh.
Terus terang, aku agak merinding berada dalam rumah ini. Sambil berjalan kuedarkan pandangan berkeliling. Hampir di setiap bagian rumah ini dipenuhi orang. Kebanyakan dari mereka ku-kenali sebagai siswa-siswi Universitas Seoul. Berarti, yang berulang tahun ini teman kuliahmu? Dan satu hal lagi kuyakini dengan pasti, dilihat dari banyaknya para undangan yang hadir dalam pesta ini, pemiliknya pasti cukup terkenal.
Aku mendengus. Beberapa kali aku hampir tersungkur gara-gara gaun dan sepatu sialan ini. Ujung-ujung gaun ini selalu tersangkut dan terinjak oleh sepatuku.
Aku dan kau sampai di tengah ruangan sampai kau menyentuh pundak seorang gadis bergaun putih yang sedang berbincang-bincang ramai dengan beberapa cewek dengan posisi memunggungi kita.
“Bom-a .. “
BOM??!!! Oh—No!!! Ternyata .. ternyata kau membawaku ke pestanya Bom sunbae ……. Hu …. Hu ……. Apa tak salah?! Getok kepalamu upsss, .. salah, maksudku—getok kepalaku, biar aku yakin bahwa semua ini hanya mimpi buruk …
Gadis itu menoleh. “Sunbae .. “ Dia terlihat agak terkejut, tapi ekspresi bahagianya lebih terasa ><.
Mendengar suaranya yang jernih dan nyaring, aku jadi yakin kalau ini bukan sekedar mimpi .. hu .. hu .. hu ..
“Saengil Chukae .. “ Kau merogoh ke dalam saku celana dan mengeluarkan sebuah kantung kecil dari beludru hitam. “Semoga bahagia selalu .. ,” kau tersenyum lebar.
Hadiah saja sudah disiapkan terlebih dahulu .. Apalagi yang dapat kukatakan? =.=’
“Ghamsamida ….”
TIDAK!! JANGAN LAKUKAN ITU!! Teriakan yang tak terlontar dari mulutku putus di tengah jalan. Ya, sunbae kecentilan itu sudah memelukmu. Dan …… kau membalasnya? Huhuhu, Aku berharap salah lihat. Tapi tidak! kau tersenyum—sangat lebar, jadi tak mungkin salah hiks ..
“Sunbae datang sendirian? Mana Eunhye sunbae?”
“Miane, dia tak bisa datang. Aku mewakilinya memberi hadiah buatmu. Dalam kantung kecil itu—kalung dariku sedangkan sepasang anting-anting dari Eunhye. Semoga kau menyukainya .. “
“Oh—“ Bom sunbae tersenyum. “Asal sunbae yang memberikannya, semua kusuka .. “
“Ha .. ha .. syukurlah .. “
“Ne. Sunbae datang sendirian? Bagaimana kalau jadi partner dansaku nanti .. “
Kau mengembangkan kedua tangan lalu membungkukan badan padanya. “Dengan senang hati … “
Oh--lalu bagaimana denganku? Kau kan tak datang sendirian!! Aku ini partner resmimu!!!!
“Bagus .. “ Bom sunbae tertawa. Mendadak dia melirik ke tengah ruangan ketika terdengar suara si pembawa acara memberitahukan kelanjutan acara tersebut.“Oh--sebentar lagi acara pemotongan kue dimulai ..." dia berkata sambil mengangkat ujung gaunnya--bersiap meninggalkan ruangan itu. "Aku harus bersiap-siap, jadi kutinggal sebentar sunbae. O ya—appa dan omma ada di ruang ganti, sunbae bisa berbicara dengan mereka jika mereka keluar nanti .. “
“Sip. Kau bersiaplah .. “ Kau mengacungkan jempol ke atas.
“Ne. See you .. “
Bom sunbae berbalik ke teman-teman ngobrolnya. Setelah mengucapkan sesuatu dan membungkuk kecil kepadamu, dia berlari ke kamar ganti yang berhubungan langsung dengan ruang pesta ini.
Aku memperhatikanmu. Kau terlihat mengikuti kepergian Bom sunbae tanpa berkedip. Membisu sejuta bahasa—itu yang bisa kulakukan.
********
(nyanyi)“Sangaeil Chukahamida … sangaeil chukahamida … “
“Yehhh … sangeilchukae Park Bom-ssi …“
Plok! Plok! Plok!!!!
Tepuk tangan meriuh, diiringi teriakan-teriakan berisik mengiringi acara pemotongan kue ulang tahun yang dilakukan Bom sunbae. Wajahnya berseri-seri. Aku merengut. Kuakui dia memang cantik. Wajahnya bak angel yang mengemaskan. Pipinya montok dan kemerah-merahan. Yang paling menawan adalah sepasang matanya. Besarnya tak bisa dikatakan melebihi punyaku, tapi sepasang mata itu mempunyai daya pikat beraroma sihir/hipnotis. Aku sebagai cewek saja terpikat apalagi kau. Sepanjang acara, matamu tak pernah lepas dari Bom sunbae—seakan dia benda paling menarik di dunia ini.
Hatiku terasa sakit …
Bom sunbae memotong kuenya setelah selesai meniup lilin dan mengucapkan doa.
“Ok, yang berulang-tahun akan mulai membagikan kue ulang-tahunnya. Bagi semuanya, harap bersiap-siap, terutama yang cowok .. “ Suara si pembaca acara kembali mengema dalam ruangan itu. “Setelah pemberian potongan kue pada orangtua, saatnya kita lihat, siapa cowok yang beruntung itu .. “
Bom sunbae memegang sepotong kue dalam piring kecil. Wajahnya berseri-seri. Ini moment paling mengetarkan seumur hidup, mungkin bukan padanya tapi .. padaku, .. aneh ya?
*****
"Sunbae ... "
Seperti dugaanku, Bom sunbae menyodorkan potongan kue dalam piring di tangannya padamu. Aku semakin menyusut di belakangmu. Berjuta rasa kurasakan. Dari yang pahit, kecut sampai masam dan pedas--tak ada yang enak. Aku kecewa, sakit hati dan sedih. Di antara berpuluh-puluh pasang mata, Bom sunbae terang-terangan menunjukan perasaannya padamu.
Perlahan kepalaku terangkat. Hatiku berdebar-debar menanti reaksi darimu. Kira-kira apa yang akan kau lakukan? Apakah kau akan menerima potongan kue itu? Jika iya, habislah sudah harapanku selama ini ... hu .. hu ..
Kau mengulurkan tangan, dan ... OH--TIDAK!!! KAU MENERIMA PIRING ITU!!! Kau menerimanya? Benar,, kau menerimanya!! Aku mengigit bibir kemudian menundukan kepala dalam-dalam.
"Ghamsamida .. "
Aku mendengarmu berkata. Ya, apalagi yang bisa kau katakan? Kau pasti sedang bersorak-sorak kegirangan sekarang.
" ... tapi, aku tak suka makan yang manis-manis .. "
Mataku melebar. Ternyata perkataanmu tadi masih ada sambungannya.
".. karena itu, apakah kau keberatan jika kuberikan pada yang lain?"
Deg .... apa aku tak salah dengar? Kau menolak kue ultah pemberian Bom sunbae? Mana mungkin?
"Sunbae ... " Suara Bom sunbae terdengar bergetar. "Weeyo?"
"Tengorokanku tak begitu baik. Gampang batuk kalau makan makanan yang terlalu manis seperti kue ini .. "
Kepalaku miring ke samping. Penasaran terhadap apa yang terjadi, aku mengangkat wajah perlahan-lahan. Ternyata telah terjadi ketengangan di antara kalian. Wajah Bom sunbae memerah--entah karna marah atau malu ditolak olehmu. Sedangkan kau, tetap tenang dengan senyuman lembut terkembang di bibir.
Orang-orang dalam ruangan tersebut mulai ribut setelah ketegangan kecil tadi.
"Menolak kue pertama pemberian Bom? Apakah berarti ... " tanya salah seorang dari mereka.
"Benarkah? Bagaimana mungkin?" sambut yang lain.
"Padahal mereka sangat cocok." celetuk pria pertama.
Ingin rasanya aku menyumbat telinga ini rapat-rapat agar tak mendengar lagi pembelaan-pembelaan para sunbae ini terhadap hubunganmu dan Bom sunbae. Kalian tidak cocok!! Tidak,, sama sekali tidak cocok!! Yang paling serasi buatmu adalah aku!! Kau dengar itu, sonsaengnim?!!
"Nih--ambil!!"
Aku terperanjat. Lamunan-lamunanku buyar seketika. Mataku melebar ketika piring dalam genggaman tanganmu sudah kau sodorkan di hadapanku. Aku mengangkat wajah menghadapimu.
"Dhe?!" mataku berkejap-kejap tak mengerti.
"Diambil!!" ulangmu tegas. "Ayo!!"
"Genthe, .. weeo?" tanyaku heran.
"Karna aku tak suka makan yang manis-manis .. "
"Dhe?!!" aku membelalak, semakin tak mengerti dengan perkataanmu.
"Sudah kubilangkan? Aku tak suka makanan yang terlalu manis ... "
"Tapi .. mengapa diberikan padaku?"
"Karna kau mampu menghabiskannya .. ," kau menyengir. "Hanya sepotong kue, tak masalah bagimu kan?"
"HAH?!!" Mulutku mengangga.
"Sudah jelas, kan?!" Kau menyenggol lenganku dengan piring di tanganmu. "Mau nggak?!!"
"Oh--" Dengan linglung, aku menerima piring yang kau sodorkan.
"Sunbae ... "
Suara Bom sunbae terdengar lagi sehingga membuatku mengalihkan perhatian padanya.
"Dia ... apa dia .. ?"
"Miane, Bom-a ... ," kau menyela. "Sungguh aku tak bisa menerimanya. Hyesun lebih menyukai makanan manis daripadaku. Kau tak keberatan kan jika kuberikan padanya?"
Bom sunbae tak menjawab. Keadaan dalam ruangan ini sudah seperti neraka saja. Badanku terasa panas dingin. Pandangan-pandangan tak nyaman dari pada undangan membuatku gelisah. Aku semakin menyusut dari posisiku. Aku melirikmu. Kau masih bertahan dalam posisi semula, tak bergeming sambil membalas pandangan Bom sunbae.
"Bom .. "
"Tentu saja .. ," aku melihat Bom sunbae tersenyum kecut.
Aku mendesah. Apakah ada sesuatu yang telah terjadi di antara kalian? Terus terang, aku sungguh-sungguh tak mengerti.
********
"Sunbae .. "
Secangkir kopi disodorkan Bom pada Minho.
Pemuda itu menengadah dari posisinya. "Oh--thanks ... " Dia tersenyum dan menerima cangkir tersebut. "Duduklah .. ," lanjutnya sambil menawarkan kursi kosong di sebelah pada Bom.
Bom menjatuhkan diri secara perlahan-lahan. Dia mendesah. "Sunbae serius?" tanyanya, sambil mengangkat cangkir dan menyeruput halus teh hijau dari dalamnya.
"Mwoga?"
"Dia .. " Bom menunjuk dengan bibirnya, gadis mungil yang sedang sibuk memasukan kue ke dalam mulut sambil mengamati mereka dengan pandangan waspada dari seberang ruangan. "Aku yakin sunbae mengerti maksudku .. "
"Hmm--" Minho menyeruput kopinya. Dia tak menjawab.
"Arti potongan kue pertama di hari ulang tahun--sunbae pasti tahu. Sunbae hanya berpura-pura tak mengerti maksudku. Pemberian tadi, sunbae sengaja menolaknya. Iya, kan? ... Sunbae ingin menjaga perasaannya? ... Tak suka manisan?" Bom tersenyum kecut. "Sejak kapan sunbae tak suka manisan? Itu hanya alasan! Alasan halus supaya saya menyerah. Karna dalam hati sunbae, lebih mementingkan dia daripada saya .. "
Minho berdeham kembali, namun tetap tak menjawab. Bom kemudian meneruskan perkataannya.
"Aku sudah mendengar tentang dia,--si Little Coward, panggilan yang sungguh lucu ... ," suaranya terdengar hambar, " .. sebenarnya, apa yang sunbae lihat darinya? .. Dia tidak cantik, juga tidak pintar! Bahkan ceroboh dan cenderung gugup. Seorang penakut dan pendusta kecil ... , lalu mengapa sunbae memilihnya?"
Minho menurunkan cangkir kopinya yang sudah kosong kemudian menatap Bom sungguh-sungguh. "Karna dia membutuhkan bantuanku!"
"Itu kasihan namanya. Bukan cinta!" seru Boom keras.
Minho mengeleng sambil tersenyum lembut. "Lebih dari itu, Bom-a. Dia sangat penting bagiku. That's all .. "
"Sunbae ... " Bom terpaku. Selama beberapa saat dia tak bergerak dari tempatnya. Pikirannya dipenuhi oleh perkataan Minho--Dia segala-galanya bagiku .. Juga bayangan-bayangan masa lalu kebersamaan mereka, sampai detik-detik keberangkatannya dari Amerika menuju Rusia--hanya buat meraih cita-citanya yang sekarang kandas sebagai seorang balerina.
Perlahan-lahan Bom tersenyum, kecut. Keheningan mulai menyelimuti mereka ketika tak seorangpun di antara mereka berinisiatif mengeluarkan suara. Bom meletakan cangkir tehnya yang masih tersisa sedikit di pengangan kursi kemudian menghela nafas pelan.
"Boleh aku menanyakan sesuatu pada sunbae?"
Minho meliriknya. "Ne?"
"Jika saja waktu itu, .. aku tak memutuskan pergi ke Rusia buat mengejar obsesiku yang besar terhadap balet, apakah sunbae ... , hmm .. apakah ada kesempatan bagiku?"
Minho menatapnya--tak bergeming. Sesaat kemudian, "Mianeyo .. "
Bom tersenyum sambil berpaling kearah lain. "Cruel, .. karna itu aku menyukai sunbae ... " Dia tidak marah--sungguh. Ini memang bayaran yang sudah dibayangkan akan ditanggungnya begitu dia memutuskan bahwa balet lebih berharga dari seorang Lee Min Ho.
"Kau akan mendapatkan pria yang lebih pantas, Bom-a .. ," hiburr Minho dengan nada menyesal.
"Tapi aku hanya ingin sunbae!!" tiba-tiba Bom menyela dengan cepat.
"Mianeyo .. ," sekali lagi Minho menyatakan penyesalannya.
Bom memperhatikan Minho lekat-lekat. Pandangan mereka bertemu. Minho kemudian mendesah perlahan.
"Gwencanayo .. ," mendadak Bom tersenyum lebar dan mendorong pundaknya dengan gaya bercanda. "Aku tak apa-apa he .. he .. " Dia melayangkan pandangan ke depan kemudian membusungkan dadanya. "Bagaimanapun, aku masih percaya kalau aku tak pergi waktu itu, sunbae pasti akan tertarik padaku!!"
"Mwo?" mata Minho melebar.
"Yaa--sunbae!!" bibir Bom mengerucut. Disenggolnya lengan Minho dengan pundaknya. Tampangnya terlihat bete. "Biarkan aku bermimpi sedikit, boleh kan?"
"Oh--ternyata .. " Minho tertawa terbahak-bahak, yang segera disambut oleh Bom. "Tentu saja boleh .. ha .. ha .. silahkan bermimpi sepuasnya .. "
******
"Kenyang?"
Gubrakkk!!! Aku yang sedang celingak-celinguk mencari keberadaanmu sukses menabrak pintu. Kue di tanganku jatuh ke lantai, sebagian lagi mengenai mukaku sehingga menjadikannya kotor berlepotan krim.
"Apa yang kau cari?" Kau mendekatiku.
Mataku terbelalak lebar. Dengan gugup ku-usap wajahku dengan punggung tangan (alhasil, malah semakin parah. Hidung dan pipiku menjadi berbercak-bercak putih, seperti bedak yang dioleskan tak rata di wajahku =.=") Aku berbalik dengan kecepatan luar biasa kearahmu.
"Son .. sonsaengnim ... ," seruku gugup.
Alismu berkenyit. Ya, aku tahu. Tak usah dikatakan. Memang memalukan punya partner sepertiku >< hiks ...
"Gwencana?"
"Ne ... "
Tidak!! aku ingin teriak. Aku tak baik!! Gimana bisa baik dalam keadaan begini--apalagi melihatmu berbincang-bincang akrab dengan Bom sunbae? Aku cemburu!! Cemburu!! Sakit hati!! Apa kau dengar??!!
Pipiku yang mengembung, mengempis perlahan ketika tanganmu tiba-tiba terangkat dan mengelap sisa-sisa krim yang mulai mengering di sudut kiri bibirku. Aku tertegun--mataku melebar, tak percaya. Melihat itu, kau tersenyum, dan pandanganmu .. Oh, Tuhan--mengapa berubah? Pandangan yang biasanya kupercaya hanya sebatas perhatian seorang oppa terhadap dongsengnya, mengapa terasa lain? ... Mungkinkah ... mungkinkah? ...
"Anhi!!" aku mengeleng keras-keras. Getaran dalam dada ini sudah tak tertahankan lagi. Jantungku hampir meledak.
Tanganmu tertarik dengan cepat. "Mwo?" tanyamu kaget.
"Dhe?!" aku tersentak. Yaa--apa yang kupikirkan tadi ><!! "Aniyo .. ," lanjutku halus. Aku berasa udah kayak orang gila aja. Kadang berteriak, kadang menunduk takut-takut ...
Beruntung kau tak bertanya lebih lanjut. Kau bergerak, berjalan ke sudut ruangan di mana dua sofa besar terletak. Mulutku mengangga. Bukannya kita sedang berbincang-bincang ya?
Agak gontai, aku mengikutimu dan ikut menjatuhkan diri di salah satu sofa, di sebelahmu. Beberapa saat tak ada yang bersuara. Aku sibuk dengan pikiran-pikiran tentangmu. Hubungan-hubunganmu dengan Bom sunbae. Apa sebenarnya yang telah terjadi di antara kalian? Apa benar kalian pernah pacaran? Bom sunbae mantan pacarmu? Jika iya, mengapa kalian berpisah? Siapa yang memutuskan hubungan terlebih dahulu? Tentu kau, kan? Tak mungkin Bom sunbae!! Pria seperfect kau--tak mungkin!! Dan .. apakah kau menderita setelah perpisahan tersebut?! Terlalu banyak pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku.
Aku melirikmu. Perhatianmu tertuju ke depan, sepertinya tak terpengaruh oleh keberadaanku di sini. Aku jadi bertanya-tanya, Apa yang sedang kau pikirkan sekarang? Aku mengeleng perlahan. Aku tak tahu. Sungguh aku tak bisa menebaknya!! Pikiranmu terlalu jauh untuk teraih oleh tanganku yang kecil ini. Setelah mendesah pelan, aku menjatuhkan pandangan ke lantai.
"Aku mengenal Bom waktu di Amerika .. "
"Dhe?" Aku mengangkat wajah. Agak kaget karna kau mendadak bersuara.
"Aku dan Bom saling mengenal waktu di Amerika .. ," kau mengulang sambil tersenyum.
"O--," hanya itu yang bisa kukatakan. Ya, apalagi? ><
"Dia adik kelasku. Adik kelas di sekolah menengah yang sama. Dua tingkat di bawahku. Kami tinggal agak berdekatan sehingga cepat akrab. Dia sering datang ke rumah dan minta diajari pelajaran yang tak dimengerti. Appa dan omma menyukainya karna dia gadis yang baik .. "
Aku mengangguk pelan. Kugigit bibirku keras-keras. Sakit rasanya mendengar kau memuji-muji Bom sunbae ..
"Lima tahun yang lalu--ketika aku memulai kuliahku di tahun pertama, dia memberitahuku bahwa dia memutuskan menetap di Rusia buat meraih impiannya sebagai seorang balerina ... Jujur, aku merasa sedih. Sama seperti appa dan omma, aku juga sangat menyayanginya ... "
"Oh--" sekarang hatiku sudah seperti tersayat-sayat pisau. Berdarah-darah.
"Namun aku tahu, aku harus merelakan kepergiannya." sambungmu. "Dia seorang penari yang baik. Akan disayangkan kalau bakatnya tak disalurkan. Hanya satu penyesalanku saat itu, kenapa harus meninggalkan Amerika? Bukankah perkembangan balet di sana cukup bagus? Tapi dia tersenyum waktu menjawab, 'Rusia lebih menjamin ketenarannya, ... Setelah itu dia pergi. Benar-benar pergi. Tanpa kabar sedikitpun. Kami baru bertemu kembali beberapa hari yang lalu, ketika dia pindah ke sini--kuliah di Seoul University ... "
Hening. Setelah kau menjelaskan itu, kita sama-sama tak mengeluarkan suara. Aku ingin bertanya lebih, tapi sepertinya tak pada tempatnya. Karenanya aku memilih membungkam.
"Ada lagi yang ingin kau ketahui?" tiba-tiba kau bertanya.
"Dhe?!"
"Sonsaengnim tahu banyak yang ingin kau ketahui. Tanyakanlah!!"
"A .. aku .. "
"Tak perlu ragu .. ," kau tersenyum.
"Hmm--apa sonsaengnim menyesal?"
"Buat--?" pertanyaanmu sengaja digantung.
"Buat perpisahan kalian .. "
Kau mengangguk. "Ne .. "
"Jadi sonsaengnim menyesal buat .. buat putusnya hubungan kalian .. ?" Sumpah, airmata sudah berada di ujung pelupuk dan siap ditumpahkan begitu kutanyakan pertanyaan ini.
"Putus?" Kau tergelak. "Kami tak pernah pacaran, bagaimana bisa dikatakan putus .. "
"MWO?!!" Mataku membelalak. "Tidak?!"
"Tentu saja!!" Kau menjitak jidatku. "Pabo .. "
"Yaa--sonsaengnim--" susah payah kubetulkan poniku yang berantakan. "Mana kutahu?!"
"Makanya jangan terlalu banyak bermimpi .. ," ejekmu. "Begini jadinya--asal nebak mulu .. "
Aku merenggut. "Sonsaengnim sih--"
"Memangnya kenapa denganku?"
"Karna gosip-gosip yang beredar di kampus, makanya aku percaya .. "
"Lalu kenapa aku yang kau salahkan?!" tanyamu sedikit bingung.
"Pasti sonsaengnim tak mengindahkan gosip-gosip tersebut makanya makin gencar terhembus .. ," pipiku mengembung dengan bibir bawah di kedepankan.
"Kau ini, payah--" telunjukmu menekan jidatku.
"Mwo?"
"Selain pengecut, pembual, ternyata .. pemaksa juga!!"
"Yaishh--sonsaengnim!!" dengusku--kesal.
Kau tergelak, kemudian tertawa terbahak-bahak.
********
"Gimana kalau berdansa denganku?" tiba-tiba kau mengeluarkan suara begitu orkestra lembut dari panggung kecil di ujung ruangan mulai dimainkan.
Brukk!! Tanganku yang menopang dagu terlepas dan menghantam keras daun meja.
"Aushh .. ," aku meringis. Pangkal lenganku terasa kesemutan.
"Weo?" kau berpaling padaku.
"Dan .. dansa ...?" tanyaku gugup. Sepasang mataku terbelalak lebar.
"Ne. Ada yang salah?"
Aku mengeleng keras-keras. "Anhi!!! Hanya saja ... "
"Kacha!!" mendadak kau menarik tanganku dan memaksaku bangun dari kursi.
"Son .. saengnim ... a .. aku ... aku tak .. pandai dansa ... ," kataku tersendat-sendat.
Tapi kau tak memperdulikan seruanku yang memelas. Aku terseret-seret dibawa olehmu ke lantai dansa di tengah ruangan. "Lunturkan badanmu ... "
Tanganmu melingkar ke pinggangku dan belum sampai hitungan ketiga, aku sudah berada dalam rangkulan tanganmu.
"Relax-lah .. ," bisikmu halus di sela-sela telingaku.
Aku mengangkat wajah. Kau terlihat tersenyum 'puas'? Apa benar senyuman puas, atau .. menyimpan rahasia terpendam yang tak kuketahui?
Aku segera memejamkan mata rapat-rapat, dan menundukan kepalaku dalam-dalam. Para undangan dalam pesta itu mulai berisik ketika melihat kau menjadikanku partner dansamu.
"Omo--apa tak salah lihat?!! Siapa cewek itu?" ujar cewek bertampang jutek yang sedang menari dengan pasangannya.
"Entah!" si cowok mengangkat bahunya. "Nggak kenal!! Kayaknya sih bukan mahasiswi di kampus kita!! Mungkin anak sekolah menengah!"
"Tunggu dulu, hey--bukankah dia cewek waktu itu?" cewek lain di sebelahnya menyeletuk.
"Benar! Cewek yang kita lihat di apartemen Minho!!" sahut yang lain kaget.
"MWOOOO?!!!" Teriakan tersebut membahana dalam ruangan itu.
Rasa penasaran membuatku membuka mata perlahan. Kucoba mencuri pandang setelah teriakan keras tadi. Sekarang, hampir seluruh pasang mata dalam ruangan itu tertuju padaku. Ada yang mengerutkan alisnya, beberapa lagi membelalakan matanya tak percaya, dan sebagian besar malah menatap dengan pandangan mencemooh.
"Aku ingat, dia si Little Cowardnya Minho .. ," ujar cewek berpostur kurus dengan nada menyindir. Samar-samar aku mengenalinya sebagai salah seorang sunbae yang datang ke rumah beberapa waktu yang lalu.
"Ya, benar. Yang waktu itu menyuguhkan teh dingin buat kita ... ," celetuk cewek satunya dengan sinis.
Kepalaku menunduk kembali. Seruan-seruan ketus tersebut membuat nyaliku menciut. Aku mundur selangkah, tapi mendadak kau menarik-ku kembali.
"Angkat wajahmu, dan lihat aku!!"
Aku tersentak. Segera aku mengeleng kuat-kuat.
"Goo Hye Sun!!"
"Andwee!!"
Aku mendorongmu dengan sekuat tenaga sehingga rangkulanmu terlepas dari tubuhku.
"Bagus dia masih tahu diri!" seru gadis kurus tadi.
"DIAM!!" kau menghardiknya.
Aku terperangah. Begitu juga cewek ceking itu. Dia segera mundur ketakutan. Dia pasti tak menyangka kau akan semurka ini. Aku memandangimu. Terus terang, selama tinggal bersamamu, aku juga belum pernah melihatmu seperti ini. Matamu berkilat-kilat memancarkan api amarah yang ditahan dengan susah payah.
"Sunbae ... "
Kau berpaling perlahan. Panggilan pelan tersebut berasal dari Bom sunbae. Dan bersyukur, panggilan itu sedikit mengalihkan emosimu.
"Gwencana?"
Kau menahan nafas selama beberapa saat kemudian menghembuskannya.
"Ne .. "
"Hmm--mereka hanya bercanda, jadi jangan terlalu dianggap serius .. "
Kau tak berucap apa-apa. Kau meraih tanganku dan menariknya. "Ayo kita teruskan dansa yang tertunda ... "
"Mwo?!!" teriak-ku kaget. "Andwee!!!" Aku segera menarik diri dan berbalik dengan cepat kearah pintu. Gaun panjangku kuangkat tinggi-tinggi, mengambil langkah seribu sebelum ditarik kembali olehmu.
"WEE?!!" teriakmu keras-keras. "WEE ANDWEE?!!!"
Aku sudah berada di luar dan tak menghiraukan teriakan-teriakanmu lagi. Kuturuni anak-anak tangga dengan cepat. Tak sampai lima menit aku sudah berada di halaman depan--tempat mobilmu terparkir.
Mobilmu? Benar, mobilmu!! Dasar goblok, bego, pabo, maksudnya melarikan diri, tapi mengapa malah nyasar ke sini?!!
"Berniat nyetir sendiri?"
Aku memutar tubuh dengan cepat. Shit--kau seperti hantu saja -.- Sejak kapan kau berdiri di belakangku? Kenapa aku tak mendengar langkah kaki sama sekali?
"An .. anhi .. ," jawabku gugup.
"Jadi?"
"Son .. sonsaengnim kembali aja ke dalam .. A .. aku bisa pulang sendiri .. "
"Jalan kaki?"
Mataku melebar. "Anhi. Tentu saja bukan .. "
"Kalau begitu masuklah ke dalam mobil. Kita pulang sekarang .. "
Kau membuka pintu di sebelah dan masuk ke dalam.
"Sekarang? Tapi bagaimana dengan pestanya?" tanyaku sambil membuka pintu. Aku tak sadar kalau ketakutan dan kecemasanku tadi sudah hilang tak berbekas.
"Aku sudah pamitan ke Bom dan orangtuanya. Lagipula pestanya emang sudah berakhir kok .. "
"Oh--" Aku membuka mulut kemudian mengatupkannya rapat-rapat.
Sebentar saja Ferrari mutakhir yang kita tumpangi sudah melesat meninggalkan halaman depan Park's mansion.
________________oOo_________________
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Similar topics
» What's the Meaning of Love?- by Lovelyn
» The Sarang - by Lovelyn
» from Seoul to ... Perth-- by Lovelyn
» *When a Gay met a Young Mom (in love again)* by Lovelyn
» The Sounds of Death--by Lovelyn
» The Sarang - by Lovelyn
» from Seoul to ... Perth-- by Lovelyn
» *When a Gay met a Young Mom (in love again)* by Lovelyn
» The Sounds of Death--by Lovelyn
Page 1 of 1
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum