The Sarang - by Lovelyn
2 posters
Page 1 of 1
The Sarang - by Lovelyn
Tittle : The Sarang
Author : Lovelyn Ian Wong
CHARACTERS :
-Lee Min HO
-Goo Hye Sun
-Kim Hyun Joong
-Lee Jun Ki
-Kim So Eun
Chapter One
Author : Lovelyn Ian Wong
CHARACTERS :
-Lee Min HO
-Goo Hye Sun
-Kim Hyun Joong
-Lee Jun Ki
-Kim So Eun
Chapter One
Namaku Goo Hye Sun. Tinggal hampir seumur hidup di desa kecil bernama Jeja yang terpencil disudut paling timur Korea Selatan, bersama kedua orangtua angkatku yang juga merupakan paman dan bibiku sendiri. Mengapa paman dan bibi bisa sampai menjadi orangtua angkatku? Jawaban itu sangat sederhana saja menurut pendapatku.
Papaku adalah anak dari seorang pengusaha yang boleh dikatakan terkaya kelima besar di Korea Selatan sedangkan mamaku hanyalah seorang gadis desa biasa. Papa dan mama bertemu dua puluh tujuh tahun yang lalu di desa ini. Waktu itu papa sedang liburan panjang sekolah dan salah seorang temannya mengajukan untuk mengadakan observasi kesebuah desa tentang cara menanamkan modal untuk membangun sebuah desa menjadi tempat pariwisata. Dan akhirnya, terpilihlah desa kami sebagai tempat observasi mereka.
Pertemuan papa dan mama yang pertama kali langsung menumbuhkan benih-benih cinta diantara mereka. Dan karena jiwa muda mereka yang besar, tanpa berpikir panjang lagi, dua minggu kemudian mereka mengucapkan janji sehidup semati di sebuah gereja kecil yang terdapat di pinggiran desa Jeja.
Dua bulan kemudian mama mengandung. Tapi, pada bulan yang ketiga papa diminta pulang kembali ke Seoul oleh kakek untuk melanjutkan kuliahnya yang sudah dimulai disana. Begitu mengetahui pernikahan papa dan mama, kakek langsung marah besar dan menentang dengan keras. Papa tidak diperbolehkan meninggalkan Seoul oleh kakek dan pada saat itu juga papa dipertunangkan dengan seorang anak gadis konglomerat yang merupakan rekan bisnis kakek. Begitu selesai dari kuliahnya, papa langsung dinikahkan dengan tunangannya tersebut. Walaupun semua itu menyakitkan buat papa tapi beliau tidak punya kemampuan untuk menentangnya.
Mama yang mendengar kabar tentang pernikahan papa, sangat sedih dan kecewa. Badannya dari hari ke hari semakin kurus. Begitu kelahiranku, di bulan ketiga, mama meninggal karena tekanan batin yang dideritanya. Bibi yang merasa kasihan dengan keadaanku yang masih bayi saat itu, segera membawaku kerumahnya, merawat dan menjagaku selayaknya anak kandung sendiri.
Semua cerita tentang papa dan mama hanya aku dengar dari mulut paman dan bibi saja. Walaupun papa, setelah kematian mama masih terus berhubungan denganku tapi beliau tidak pernah menceritakan peristiwa yang terjadi antara dia dan mama.
Kalau ditanya apakah aku membenci papa? Maka jawabannya adalah tidak, aku tidak membencinya. Entah mengapa aku merasa mengerti dengan posisinya, ketidakberdayaannya dan ketidakmampuannya untuk menentang kekuasaan kakek yang besar itu. Kalau mama, aku agak kecewa dengannya. Mengapa dia harus selemah itu? Apakah cinta memang sanggup untuk merenggut nyawanya seperti itu? Bukankah mempertahankan hidup itu lebih penting dari segalanya? Tapi .. mungkin juga cinta mama sangat dan amat dalam kepada papa sehingga tidak dapat kupahami. Sedangkan kakek, apakah aku membencinya? Hmmm ... mungkin. Aku benar-benar tidak mengerti dengan tindakannya yang sewenang-wenang itu. Tapi .. setelah mendengar kabar dari papa tentang penyakit yang dideritanya dan yang telah merenggut nyawanya seminggu yang lalu, perasaan benci itu langsung hilang seketika.
**********
Sore itu aku berdiri dipuncak bukit kecil diujung desa sambil memperhatikan sinar mentari senja yang sudah agak memudar cahayanya. Kicauan burung samar-samar sudah menghilang dikejauhan, rumput-rumput liar dan dedaunan di pohon bergerak-gerak tertiup angin yang sepoi-sepoi, keheningan mulai merayapi sekelilingnya.
Aku begitu suka dengan tempat ini. Apalagi disaat matahari terbenam seperti ini, begitu tenang, tentram dan damai. Aku merasa tidak sanggup untuk meninggalkan semuanya. Samar-samar terdengar langkah kaki dibelakangku. Karena keadaan sekitar yang sunyi, bunyi langkah kaki itu menjadi semakin jelas. Dengan segera aku membalikan badan kearah suara itu.
"Ohhhhhh... kamu!!!!! Darimana kamu tahu saya ada disini?", teriakku kaget, ketika melihat adik sepupuku, Kim Hyun Joong, yang biasa dipanggil Joongie sudah berdiri disana.
Joongie tidak menjawab. Dia malah melangkah kesampingku dan kemudian menjatuhkan tubuhnya ke rerumputan yang tumbuh sepanjang bukit ini.
"Hei.. Joongie dongsaeng!! noonamu sedang bertanya kepadamu, kenapa kamu tidak menjawab?"
Joongie menatapku untuk sesaat, kemudian dia melemparkan pandangannya kembali ke langit yang sudah mulai gelap.
"Apa sulitnya untuk mencari noona? Jika noona ada masalah yang tidak dapat diselesaikan, noona selalu datang kesini.... hmmmm... apakah noona tidak ingin meninggalkan tempat ini ?"
Aku menghembuskan nafas panjang mendengar pertanyaan Joongie. Dongsaengku yang satu ini, walaupun usianya lebih muda dua tahun dariku, pikirannya lebih dewasa. Dia selalu mengerti dan mengetahui apa yang ada dalam pikiranku.
"Saya sangat menyukai tempat ini. Saya tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat saya akan meninggalkannya .. tapi.. tapi saya.. saya juga tidak dapat menolak permintaan papa untuk tinggal bersamanya .... saya tahu beliau sudah mengharapkan ini dari dulu tapi karena kakek tidak menyetujuinya, beliau tidak dapat berbuat apa-apa .....sekarang ... setelah kematian kakek, papa ingin saya dapat berkumpul kembali dengannya ... akan tetapi ..saya ..saya ...", aku berhenti sampai disini, tidak sanggup untuk melanjutkannya lagi.
"Noona takut ... noona takut dengan dunia luar yang belum pernah terjamah oleh noona ..", Joongie menyambung kata-kataku dengan tepat.
Aku menganggukan kepala dengan perasaan tidak menentu.
"Apakah saya perlu menemani noona?", tanya Joongie kemudian.
"Tidak!! Jika kamu pergi bersamaku, siapa yang akan menjaga paman dan bibi?"
"Noona jangan mengkhawatirkan papa dan mama.. mereka sendiri yang menganjurkan saya untuk menemani noona... Noona tahu dengan pasti bahwa mereka sangat mencintai noona dan selalu berharap yang terbaik buat noona "
Aku termangu mendengar perkataan Joongie. Paman, bibi dan Joongie merupakan anugerah yang sangat berharga bagiku. Dengan segera aku berdiri dari tempatku dan beranjak dari sana.
"Heiiiiiiiii ... noona mau kemana?", teriak Joongie dari tempatnya.
"Berbenah buat pemberangkatan besok!!! kamu juga ya !!!!", jawabku sambil mengangkat tanganku keatas, melambai kearah Joongie.
"Apa itu ?", tanya Joongie tiba-tiba sambil menunjuk ketanganku yang dilingkari seutas benang hitam dengan boneka kecil kumal tergantung disana.
"Ini!! bukan apa-apa, ... hanya boneka kumal peninggalan mama. Tadi pagi saya beres-beres di kamar mama dan menemukannya ... Bibi bilang mama menganggapnya sebagai boneka jodoh karena boneka kecil ini yang menjadi perantara dari pertemuan papa dan mama ... mama menamakannya 'Sarang' ", kataku sambil memperhatikan boneka kecil yang tergantung ditanganku.
"Noona mempercayainya?", tanya Joongie ingin tahu.
Aku mengeleng dengan cepat.
"Tidak!!! Jika benar ini boneka jodoh seperti anggapan mama, maka pernikahan papa dan mama tidak akan berakhir setragis itu.."
"Lalu.... kenapa noona memakainya?", tanya Joongie lebih lanjut.
"Hmmmm ... sebenarnya saya ingin menyimpannya kembali bersama dengan barang-barang peninggalan mama yang lain tapi... entah mengapa tatapan dari boneka ini seperti memintaku untuk tidak melakukannya "
Joongie berjalan kearahku, memegang tanganku dan memperhatikan boneka 'Sarang' dengan seksama.
"Saya tidak melihatnya. Dalam pandanganku, dia hanyalah boneka kumal biasa ".
Aku segera menarik tanganku kembali dari pegangan Joongie dan berkata ..
"Mungkin kamu tidak mempunyai kontak batin dengannya... ahhhhhhhh... sudahlah, hari sudah gelap sedangkan besok, kita harus berangkat pagi-pagi sekali, sebaiknya kita segera pulang sekarang dan berbenah untuk keberangkatan besok ..".
Aku berjalan meninggalkan Joongie yang masih duduk ditempatnya. Kegelapan sudah merayapi tempat itu secara perlahan-lahan.
************
Keesokan harinya, aku dan Joongie meninggalkan desa Jeja pagi-pagi sekali dengan diantar oleh paman dan bibi yang beruraikan airmata. Perjalanan yang kami tempuh memakan waktu hampir setengah hari. Dari naik bis desa, kapal, bis kota sampai dengan taxi, barulah kami akan sampai kerumah papa yang terletak dipusat kota Seoul. Sebenarnya papa sudah menganjurkan untuk mengutus sopirnya menjemput kami tapi aku menolaknya, karena aku tidak ingin dianggap memamerkan kekayaan papa oleh orang-orang desa.
Setelah perjalanan panjang itu, akhirnya kami sampai juga ke tempat tujuan. Kami disambut dengan penuh kehangatan oleh papa dan istrinya, Mrs. Goo. Sudah dua tahun terakhir ini aku tidak berjumpa dengan papa. Beliau tampak lebih tua dari perjumpaan yang terakhir. Setelah acara penyambutan yang semiformal itu, kami diajak masuk ke dalam rumah.
Aku tidak berhentinya mengagumi rumah besar dengan dekorasi yang hebat itu. Seumur hidupku, aku tidak pernah menginjakkan kaki di bangunan semewah ini. Dan aku yakin bahwa Joongie juga merasakan hal yang sama denganku. Saat itu hari sudah agak siang. Kami kemudian diajak makan siang bersama oleh papa dan Mrs. Goo.
"Saya sangat senang bertemu denganmu, Hyesun ... setelah 25 tahun, akhirnya saya mempunyai kesempatan ini. Kamu lebih cantik dari yang saya bayangkan ~ya iya dong ~ ". Mrs. Goo memulai pembicaraan begitu kami semua sudah duduk dimeja makan.
"Saya juga senang berjumpa denganmu, tante Goo ....", kataku, sambil menundukkan wajah dalam-dalam.
"Heiiiiiii ............ mengapa kamu memanggilku tante Goo? Dari dulu saya ingin mempunyai seorang anak sepertimu ... tapi sayang .. saya tidak diberi anugerah untuk itu .. hmmmmmmm .. dapatkah kamu memanggilku mama dan menganggapku sebagai mamamu sendiri ?"
Aku tertegun mendengar permintaan Mrs. Goo. Aku memandangi wanita setengah baya yang ada didepanku itu dengan cermat. Dia begitu cantik dan anggun. Tidak ada perasaan atau alasan apapun yang dapat membuat seseorang untuk tidak menyukainya. Setelah dipikir dengan seksama, penderitaan-penderitaan yang dialami mama bukanlah kesalahannya, tidak ada alasan yang kuat untuk menyalahkannya dalam peristiwa ini. Lagipula, masa lalu yang pahit tidak enak untuk diungkit-ungkit, yang terpenting sekarang adalah masa depan.
"Mamaaaaaa ....", panggilku pelan.
Mrs. Goo sangat terharu menerima panggilan mama dariku. Airmata kebahagiaan mengalir keluar dari pelupuk matanya. Suara isakan mulai keluar dari mulutnya. Papa menepuk punggung istrinya itu dengan penuh kasih sayang.
"Sudah saya katakan bukan ? Hyesun adalah anak yang pengertian .."
Mrs. Goo menganggukan kepalanya mendengar perkataan papa. Dia mengambil saputangan dari saku bajunya, kemudian menghapus airmatanya.
"Sudahlahhh ........jangan menanggis seperti itu ....... ayo, kita makan bersama !!!", kata papa, berusaha meriangkan suasana.
Joongie dari tadi hanya diam saja, memperhatikan pembicaraan kami bertiga. Sesaat kemudian, kami berempat sibuk dengan makanan yang sudah disiapkan di meja makan tanpa berkata apa-apa lagi.
Dua puluh menit kemudian, para pelayan mulai merapikan dan membereskan piring-piring yang ada diatas meja makan. Papa membuka mulutnya, seperti ingin memulai pembicaraan tapi kemudian dia kelihatan ragu-ragu dengan maksudnya itu. Mrs. Goo yang melihat itu, menyenggol tangannya, mengelengkan kepala, kemudian menunjuk dirinya sendiri.
"Hyesun .....hmmmmm .... sebenarnya ada yang ingin kami katakan ....hhhhh ... berita ini mungkin akan mengejutkanmu dan .. kamu mungkin tidak dapat menerimanya begitu saja ... tapi.. kejadian ini sebenarnya sudah lama sekali .. jadi kami rasa sebaiknya saat ini juga kami memberitahumu ..."
Aku menatap Mrs. Goo, tidak mengerti maksud dari perkataannya.
"Hmmm .. saya tahu kamu binggung dengan perkataanku tadi ... begini .. ehemmmm papamu mempunyai seorang sahabat karib dari kecil dan sekarang mereka adalah partner bisnis .. dan ... mereka punya kesepakatan dan janji waktu muda bahwa ... bahwa kalau diantara mereka ada yang mempunyai seorang anak cowok dan seorang anak gadis maka .. maka mereka akan dijodohkan .."
Aku sangat terkejut mendengar perkataan Mrs. Goo. Pandanganku kualihkan ke papa kemudian kepada Mrs. Goo lagi secara bergantian.
"Omong kosong apa ini???", seru Joongie tiba-tiba sambil berdiri dari kursinya.
"Kami tahu bahwa ini sangat mengagetkanmu, tapi percayalah anak dari sahabat papa itu sangat baik orangnya dan kami percaya kamu akan menyukainya ..", kali ini papa yang mengeluarkan kata-katanya.
"Persetan siapa orang itu!!! yang jelas noona tidak bisa dijodohkan begitu saja dengan orang yang tidak dikenalnya!!", Joongie semakin keras dengan kata-katanya.
"Joongieee!! jangan bersikap tidak sopan begitu ", tegurku ke Joongie.
Aku teringat kembali dengan cita-citaku dari dulu. Sebagai seorang gadis desa biasa, aku hanya berharap dapat mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginanku dan menikah dengan seorang pria yang menyayangi dan mencintaiku. Gadis-gadis didesaku banyak yang sudah menikah di usia belasan tahun, akan tetapi aku, menginjak usiaku yg ke 25, tidak ada seorang pria pun yang meminangku.
Sebenarnya hal ini tidak begitu mengherankan, karena pria-pria didesaku kebanyakan merasa segan kepada papa sehingga tidak ada seorangpun dari mereka yang berani melakukannya.
"Bagaimana, Hyesun? Kalau kamu bersedia untuk bertemu dengan keluarga Lee maka kita akan mengunjungi mereka keesokan harinya ... ingat!! kami tidak akan memaksamu ..", papa memandangku dengan penuh harap.
Aku membalasa pandangan papa dengan seksama, akhirnya ... aku menganggukan kepala dengan pelan. Ya... mengapa tidak? tidak ada salahnya jika aku memcobanya ...
"Noona !!!!!", teriak Joongie kepadaku.
Aku mengalihkan pandanganku ke Joongie. Dia menatapku tajam untuk beberapa saat. Dia kelihatannya sangat marah dan kecewa. Aku tidak mengerti mengapa dia bisa seperti itu. Tidak biasanya dia begitu.
"Terserah noona saja!!!"
Joongie meninggalkan kami sambil mengepalkan tangannya.
************
Malam itu, aku menemukan Joongie duduk termenung seorang diri di bangku panjang, taman belakang rumah. Dia tidak menyadari kedatanganku.
"Heii .. Joongie dongsaeng, mengapa kamu merenung seorang diri disini?", aku menyapanya dengan halus.
Joongie sangat terkejut. Dia terlonjak dari duduknya.
"Ohhhhh ....... noona!!!"
"Kenapa? Ada yang kamu pikirkan?", tanyaku lebih lanjut.
Joongie menundukkan kepalanya, berusaha untuk tidak menatapku. Tubuhnya dihempaskan kembali ke bangku panjang di belakangnya.
"Noona sudah memikirkannya masak-masak?"
"Hmmm... maksudmu tentang pertunanganku dengan ... tuan muda keluarga Lee tersebut?", aku balik bertanya kepada Joongie.
Joongie mengangkat wajahnya kemudian menganggukkan kepalanya.
"Entahlah ... tapi .. saya rasa tidak ada salahnya saya mencobanya ... hal ini sudah biasa kan di desa kita?"
"Tapi.. noona tidak seperti itu. Noona tidak bisa disamakan dengan gadis-gadis desa lainnya!!", jawab Joongie segera.
Aku menatap Joongie dengan tajam kemudian tersenyum kecil.
"Apanya yang tidak sama? saya juga hanya gadis desa biasa .."
"Tidak!! bagaimanapun noona lain dengan gadis desa lainnya ..", Joongie masih berkeras dengan jawabannya.
Aku mengangkat bahuku, tidak ingin membantah Joongie lebih lanjut. Kujatuhkan tubuhku disamping joongie sambil mempermainkan boneka 'Sarang' yang tergantung ditangan kananku. Joongie mengikuti arah permainan tanganku dengan pandangan bertanya.
"Mengapa noona mengantung boneka tersebut seperti itu? Apakah noona tidak takut kalau boneka itu sampai jatuh?"
Aku melirik joongie dan tersenyum.
"Kamu tenang saja. Tali yang mengantungnya sangat kuat. Dia tidak bakal lepas dari tanganku ...kalau memang dia sampai jatuh .. berarti dia tidak berjodoh denganku ..", kataku sambil meremas boneka 'Sarang' dengan erat.
Joongie mengangguk. Selanjutnya kami berdua tidak mengeluarkan suara lagi, hanya memperhatikan suasana malam yang ditaburi bintang-bintang yang gemerlapan di langit. Sungguh tidak dapat dibayangkan bahwa di pusat kota Seoul masih bisa terlihat gemerlap bintang-bintang di malam hari layaknya di desa Jeja pada malam hari.
************00000************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
The Sarang--Chapter Two
Tittle : The Sarang
Author : Lovelyn Ian Wong
-Chapter Two
Author : Lovelyn Ian Wong
-Chapter Two
Keesokan harinya, aku, papa dan Mrs. Goo berangkat ke kediaman keluarga Lee. Joongie, pagi-pagi sekali sudah keluar dari rumah. Aku benar-benar tidak mengerti dengan sikapnya sejak mendengar tentang rencana pertunanganku. Kemarin malam dia kelihatan baik-baik saja.
Kami sampai di rumah besar keluarga Lee sekitar pukul setengah sembilan pagi. Sekali lagi saya dibuat menganga melihat rumah yang besar dan megahnya melebihi rumah papa. Langit-langit bangunan itu begitu tinggi layaknya katedral dari negara-negara di benua Eropah. Lantainya dialasi dengan permadani-permadani tebal dengan corak yang indah. Lampu-lampu kristal yang besar dan panjang mengantung dari langit-langit sampai ke tengah ruangan. Kursi-kursi antik yang terbuat dari kayu jati dengan dilapisi kain sutra mahal dan bantal-bantal empuk, serta barang-barang pajangan antik dan mahal yang dikoleksi dari berbagai negara di pelosok dunia.
Mr. dan Mrs. Lee tersenyum simpul melihat aku terpesona seperti itu. Mereka mungkin sudah mendengar dari papa bahwa aku sejak kecil tinggal di desa sehingga tidak pernah melihat rumah semewah ini.
"Junki sedang berada di kamar kerjanya sekarang, tapi sebentar lagi dia akan turun dan bergabung dengan kita ...", kata Mr. Lee kepada kami sambil tersenyum ramah.
Kami menganggukan kepala dan mengikuti langkah kedua tuan rumah menuju ruang tamu yang besar dan luas. Bersamaan dengan itu, seorang pemuda bermuka lonjong, berkulit putih dan bermata agak sipit dengan postur tubuh yang lumayan tinggi, menuruni tangga yang menghubungkan ruang tamu dengan lantai atas.
"Ohhhh .. Junki.. kamu sudah selesai dengan pekerjaanmu?". Mr. Lee memperhatikan putranya yang berjalan kearah kami.
Junki tersenyum kepada papanya dan membungkukan badannya kearah kami.
"Pekerjaan itu tidak mendesak, pa .. saya akan menyelesaikannya nanti malam saja ... hmmm... paman dan bibi Goo, bagaimana kabar kalian? Baik-baik saja bukan?"
"Ha.. ha... Junki senang bertemu denganmu lagi ... sudah dua tahun ya? .. waktu berlalu dengan cepat.. kamu kelihatan lebih dewasa sekarang.."
Papa menepuk bahu Junki dengan senang. Beliau kelihatan begitu suka dengan anak muda itu.
"O ya... Junki, kenalkan ini putri kami .. Goo Hye Sun ..", Mrs. Goo memperkenalkanku kepada Junki sambil mengedipkan matanya.
Junki tersenyum, matanya melirik kearahku. Mukaku langsung memerah karena tindakannya itu. Segera kutundukan wajahku dalam-dalam. Kedua orangtua kami terbahak-bahak melihat interaksi yang terjadi antara kami.
Percakapan kemudian dilanjutkan dengan lebih santai. Ketiga tuan rumah kami ternyata orangnya sangat ramah dan humoris. Mereka tidak sama dengan bayanganku sebelumnya mengenai orang kaya kebanyakan. Waktu tiga jam kami habiskan dengan perbicangan biasa tanpa menyinggung sedikitpun tentang masalah pertunanganku dan Junki. Hal ini membuatku sedikit santai dan dapat menikmati hubungan yang terjalin antara keluargaku dengan keluarga Lee. Mungkin mereka sengaja berbuat begitu untuk menghilangkan kegugupanku. Aku juga tidak mengetahuinya dengan pasti.
Pada pukul 12, makan siang disiapkan di ruang makan. Kami semua menyantap makan siang yang tersedia tanpa berkata apa-apa. Setelah selesai makan, setengah jam kemudian, kami duduk kembali di ruang tamu yang sama dan melanjutkan lagi pembicaraan kami.
Suasana menjadi agak serius sekarang. Mr. Lee, Mrs. Lee dan Junki menatapku dengan pandangan menyelidik. Aku menjadi agak risih dengan tatapan mereka. Ingin rasanya aku melarikan diri tapi tentu saja itu tidak dapat aku lakukan.
Mrs. Lee membuka mulutnya, bersiap untuk mengutarakan maksudnya. Tapi .. niatnya itu terhenti ketika pintu ruang tamu itu dibuka dengan tiba-tiba. Seorang pemuda jangkung dengan terbalutkan kemeja hitam, celana jeans biru ketat dan tas hitam besar yang tersampir dipundak, memasuki ruangan dengan santainya. Dia berdiri membelakangi tangga yang menuju lantai atas dan memperhatikan kami satu-persatu untuk sejenak.
Ketika pandangannya jatuh kepadaku selama tujuh detik lamanya, aku terpana. Wajah itu begitu sempurna. Hidung yang mancung, bibir penuh dan padat yang kemerah-merahan, mata yang bersinar, rambut tebal yang hitam pekat, ditambah dengan bentuk tubuh yang padat berisi dan tinggi badan yang melebihi orang-orang biasa, dia kelihatan tidak ada cacatnya.
Tapi ada satu hal yang membuatku tidak berani berlama-lama menatapnya. Pandangannya begitu tajam dan menusuk sampai ke sanubariku yang paling dalam. Aku menundukan wajahku dalam-dalam.
Pemuda itu berdiri disana hanya beberapa saat. Dia membalikan tubuhnya dan mulai menaiki anak tangga menuju lantai atas setelah selesai dengan kepenasaranannya terhadap keramaian diruangan tersebut.
"Minoooo!!!! Hmmmmmmmm .......... hari ini merupakan hari teristimewa bagi hyungmu, dapatkah kamu ikut memperbincangkannya bersama kami?", Mrs. Lee menatap pemuda yang dipanggilnya Mino itu dengan penuh harap.
Mino membalikan badannya kearah kami. Dia kelihatan agak ragu-ragu dengan permintaan mamanya. Setelah mempertimbangkannya sejenak, akhirnya dilangkahkan juga kaki panjangnya menuruni anak tangga yang sudah dinaikinya hampir seperempatnya.
Mino melangkah kearah kami. Dia menjatuhkan tubuhnya di kursi yang ada di depanku. Aku menjadi serbasalah ketika sepasang mata yang tajam itu memandang lurus kearahku.
"oooh ... bukankah ini putra bungsumu, si Lee Min Ho ?"
Mr. Lee menganggukan kepalanya kearah papa.
"Terakhir kali saya melihatnya, dia masih kecil sekali ..hmm...sudah sekitar lima belas tahun yang lalu kalau tidak salah ... o ya, Mino .. bolehkan paman memanggilmu Mino? Berapa usiamu sekarang ?"
Mino mengalihkan pandangannya dariku ke papa.
"Dua puluh dua !!!", jawabnya singkat.
Papa sangat terkejut mendapat jawaban yang begitu pendek dari Mino.
"Ha..ha..ha... jangan bertanya tentang Mino lagi .. sebaiknya kita membicarakan masalah yang lebih penting dari itu .. he..he..he..", Mr. Lee berusaha untuk mengalihkan perhatian papa dari Mino.
"ohhhhh..ya .. benar. Ada masalah penting yang belum kita diskusikan!!", papa seperti baru sadar akan maksud kunjungannya kesini.
Aku semakin menundukan wajahku mendengar maksud dari perkataan mereka. Aku bisa merasakan aura panas mulai menjalari pipiku. Itu pertanda bahwa pipiku sudah memerah.
"Bagaimana, Junki?.. Kamu setuju kan dengan pertunanganmu dengan Hyesun?", Mr. Lee menatap putra sulungnya dengan seksama, berusaha mendapatkan jawaban yang diinginkannya. Junki menatapku, itu bisa kurasakan walaupun aku tidak mengangkat wajahku.
"Saya tidak ada masalah dengan itu !"
Jawabannya yang enteng mengejutkanku. Segera kuangkat wajahku dan memandanginya dengan heran.
"Lalu.. bagaimana denganmu, Hyesun? Jika kamu juga setuju dengan rencana ini, maka.. kita akan menyelenggarakannya dengan segera .. karena tiga bulan kemudian Junki harus terbang ke Amerika untuk mengurus anak perusahaan kami yang akan dibuka disana ..".
Mendengar perkataan Mr. Lee, aku semakin menajamkan pandanganku ke Junki.
"Ke Amerika ?", tanyaku pelan.
"Benar! karena itu kami sangat berharap kalian bisa segera bertunangan dan menikah tiga bulan kemudian ..", Mr. Lee mewakili Junki menjawab pertanyaanku.
"Apa maksudnya ini? Jika hyung pergi, bagaimana dengan pusat perusahaan yang ada disini ?", Mino tiba-tiba mengeluarkan suaranya.
"Kalau saya pergi, pusatnya tentu saja akan diserahkan ke dalam tanganmu ... bukankah bulan depan kamu sudah akan lulus?.. sudah saatnya bagimu untuk belajar bagaimana cara mengendalikan sebuah perusahaan ..", Junki menjawab pertanyaan Mino yang tiba-tiba itu.
Mendengar itu Mino segera membantah dengan keras.
"Mengapa kalian bisa merubah keputusan secara mendadak seperti ini? Bukankah sudah dibicarakan sebelumnya bahwa saya akan diberi waktu dua tahun untuk melakukan sesuatu yang saya sukai ?"
"Sayang .... itu karena waktu itu hyungmu belum menemukan orang yang akan mendampingi hidupnya ... kamu juga tidak mau kan melihat hyungmu selalu bolak-balik dari Amerika ke Korea hanya untuk bertemu dengan istrinya? ... Setelah menikah .. mereka harus mempunyai tempat tinggal tetap dan ... karena hyungmu bakal mengurus perusahaan yang ada di Amerika maka mereka juga harus menetap di sana ..", Mrs. Lee berusaha untuk menjelaskan keadaan Junki ke anak bungsunya yang sedang marah itu.
Mino menatap mamanya untuk beberapa lama. Kemudian dia mengangkat kedua tangannya.
"Terserah kalian saja!!!!", katanya sambil bangkit dari duduknya dan beranjak dari situ.
"Dongsaeng yaaaaaaaa ....!!", teriak Junki.
Mino tidak membalikan badannya. Dia terus saja menaiki anak tangga yang agak melengkung itu, sampai menghilang dari pandangan kami.
"Hmmm ... anak ini .. benar-benar deh !!!", Mr. Lee mendengus kesal.
Keadaan disitu menjadi tegang seketika. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Untuk menghilangkan ketegangan itu, Mr. Lee akhirnya mengeluarkan suaranya.
"Junki, .. sebaiknya kamu mengajak Hyesun berjalan-jalan keluar ... dia baru saja sampai kemarin jadi saya rasa dia belum sempat melihat-lihat keindahan kota Seoul ... masih banyak yang mesti kami bicarakan ... kami tidak ingin pembicaraan kami sampai membosankan kalian .."
Junki menganggukan kepalanya. Dia membungkukan badan kearah papa dan Mrs. Goo kemudian meraih tanganku untuk diajak pergi dari situ.
"Ayo ... kita jalan-jalan keluar!"
Aku hanya pasrah saja mengikuti Junki ketika melihat dia begitu semangat dengan maksudnya tersebut.
**************
Aku dan Junki sekarang berada didalam mobil yang membawa kami dalam perjalanan ke Namsan Tower. Aku tidak tahu tempat itu seperti apa tapi menurut Junki itu tempat yang menarik dan patut untuk dikunjungi bagi siapa saja yang baru pertama kali menginjakan kakinya di kota Seoul.
"Mengapa dari tadi kamu diam saja? Apakah kamu tidak enak badan?", tanya Junki khawatir kepadaku.
Aku mengelengkan kepala. Berpikir untuk beberapa saat, kemudian berkata pelan ...
"Saya hanya merasa ada sesuatu yang menganjal ... saya khawatir ada yang tidak bisa menerima kehadiranku ....".
Junki langsung meledak ketawanya mendengar kekhawatiranku.
"Maksudmu .. dongsaengku, Mino? Ha..ha..ha.. jangan khawatirkan itu ... dia pasti akan menyukaimu.. seleranya tidak jauh beda denganku kok ...", senyum nakal di wajah Junki membuatku segera menundukan wajahku.
"Tapi.. dia ... dia kelihatan marah sekali tadi ..", kataku lebih lanjut tanpa berani mengangkat wajahku.
"Sikapnya memang begitu kok jadi kamu jangan memasukannya ke dalam hati, ... dan ........heyyyyyyy ... kamu tidak menganggap bahwa dia mempunyai kelainan jiwa kan ?"
Aku sangat terkejut mendengar pertanyaan Junki. Langsung kuangkat wajahku dan menatapnya dengan mata terbelalak.
"Tidakkkkkk!!!!! tentu saja tidak!!!.. mengapa kamu berpikir seperti itu?"
Junki tertawa terbahak-bahak melihat keterkejutanku yang amat sangat.
"Ha..ha..ha.. saya hanya bercanda kok.. jangan kamu anggap serius ... hmmm... tapi.. dulu kami benar-benar pernah berpikir bahwa Mino memang mempunyai kelainan jiwa tapi setelah diperiksa oleh dokter keluarga secara cermat, kami baru tahu bahwa dia normal-normal saja .. sikapnya yang pendiam itu memang sudah pembawaannya sejak lahir .. dia terlalu tenggelam dengan dunianya sendiri sehingga dia tidak begitu pandai bergaul dengan orang lain .."
"oooooo begitu ya ...berarti dia dan kamu sangat berbeda ya ..?"
"Maksudmu berbeda bagaimana?.. sifat kami atau tampang kami ....hhmmm ... saya jadi ingin tahu, .. dalam pandanganmu, saya dan Mino, cakepan siapa?", Junki kelihatan senang melihat akibat dari pertanyaannya yang membuatku terlonjak kaget.
"Hahhhhhh .. mengapa kamu bisa bertanya seperti itu? aku .. aku ...", kataku tergagap-gagap, tanpa dapat diartikan maksudnya.
"Ha..ha..ha..ha.. sudahlah ...saya hanya bercanda kok .. tidak usah kamu jawab jika memang sulit untuk dijawab, lagipula saya sudah tahu jawabannya ...", kata Junki sambil mengedipkan matanya.
Aku menghembuskan nafas lega mendengar perkataan Junki. Entah mengapa pada saat itu juga bayangan Mino yang selama ini selalu muncul di benakku hilang seketika. Mungkin ini disebabkan tanda tanya yang selama ini ada dihatiku terjawab sudah oleh Junki. Aku menatap Junki yang duduk disampingku dengan senyum simpul. Aku tahu aku akan menyukainya. Tidak!!! aku rasa aku mulai menyukainya.
************
Aku sampai di depan rumah sekitar pukul setengah sebelas malam. Junki membukakan pintu mobil untukku dengan sopan. Aku keluar dari mobil sambil tersenyum padanya.
"Sampai ketemu lagi ... ingat, jangan tidur terlalu malam, itu tidak baik untuk kesehatan .. semoga kamu mimpi yang indah .."
"Terimakasih!!"
Junki melambaikan tangan kepadaku, kemudian masuk ke dalam mobil. Beberapa saat kemudian, mobil yang ditumpanginya berlalu dari hadapanku.
"Mengapa noona pulang selarut ini?"
Suara Joongie yang keras dan tiba-tiba itu mengejutkanku. Aku membalikan tubuh kearahnya. Joongie berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam.
"Ohhhh ... kamu mengejutkanku saja !!! .. sejak kapan kamu berdiri disitu?", tanyaku sambil melotot kepadanya.
"Saya belum lama berdiri disini tapi .. cukup lama untuk mengetahui siapa yang mengantar noona pulang!!", jawabnya sinis.
Aku mengibaskan tanganku kearahnya dan ... tiba-tiba teriakan terdengar dari mulutku tanpa dapat kucegah lagi .........
"Akkhhhhhhh ..........kemana? ..'Sarang'....'Sarang'.."
Joongie menatapku heran. Ketika melihat aku meremas-remas benang hitam yang ada ditangan kananku, dia baru sadar maksud dari teriakanku.
"Ohh.. akhirnya benar-benar jatuh juga ... sudah saya katakan sejak semula bukan ? jika noona mengikatnya seperti itu, dia akan gampang jatuh .."
Aku tidak menghiraukan perkataan Joongie. Kuacak-acak rambutku dengan perasaan binggung.
"Bagaimana ini ? ... ohhhhhhhhh ... itu satu-satunya barang yang paling berharga dari mama ... aku menjatuhkannya ... ohh.. dimana aku menjatuhkannya?"
Joongie memandangku dengan perasaan kasihan. Aku masih berdiri diam ditempat sambil berpikir keras. Apakah boneka 'Sarang' terjatuh dimobilnya Junki? Jika benar begitu ... berarti Junki benar-benar jodohku. Aku mengelengkan kepalaku dengan keras. Tidak!!!!! aku tidak mempercayai hal-hal seperti itu.
"Noona jangan berdiri saja disitu ... boneka itu mungkin terjatuh di dalam rumah, sebaiknya kita mencarinya terlebih dahulu .."
Joongie mengandengku masuk kedalam rumah. Setengah jam kemudian kami habiskan dengan mengeledah seisi rumah, tapi boneka 'Sarang' tidak kami temukan juga. Akhirnya, kami berdua hanya bisa terduduk lemas di kursi kamarku. Malam semakin larut, karena kecapekan, aku dan Joongie terlelap dikursi, tempat kami terkapar tadi.
***************
Mino menuruni tangga yang menghubungkan kamarnya yang ada dilantai atas dengan ruang tamu di lantai bawah dengan langkah pelan. Saat itu sudah hampir pukul satu dini hari. Orang-orang rumah sudah terlelap dalam tidurnya. Kesunyian dan keheningan menyelimuti rumah besar itu.
Mino memandangi keadaan disekelilingnya dengan perasaan galau. Dia tidak dapat memejamkan matanya sejak tadi. Kejadian-kejadian kemarin siang masih terbayang-bayang dalam pikirannya. Dia merasa tidak puas. Mengapa gadis itu muncul pada saat yang tidak tepat? Sebentar lagi dia tamat dari kuliahnya dan bisa melakukan apa yang disukainya, tapi dengan kehadiran gadis itu semua rencananya akan terbengkalai.
Mino sampai di ruang bawah dengan pikiran yang masih menerawang. Dia melangkah ke deretan kursi yang ada disana tanpa menyadari apa yang akan dilakukannya. Tiba-tiba langkahnya terhenti ..... kaki kirinya menginjak sesuatu yang tergeletak agak di sudut kaki kursi paling kanan. Mino mengangkat kaki kirinya dan memperhatikan benda yang terinjak olehnya.
Mino mengerutkan dahinya. Benda itu tidak cocok dengan keadaan di rumah itu. Dengan masih terheran-heran, Mino memungut benda tersebut dari lantai. Benda itu merupakan sebuah boneka kecil dari kain yang sudah kumal, tidak menarik dan agak berlobang di kakinya.
Mino melangkah mendekati tong sampah yang terletak di pojok tangga dan bermaksud membuang boneka tersebut kedalamnya. Tapi ... dia menghentikan maksudnya itu dengan tiba-tiba ketika tertangkap olehnya pandangan dari sepasang mata boneka yang terjahit dari dua titik benang hitam itu. Pandangan itu begitu memelas, seakan meminta kepadanya untuk tidak membuangnya.
Seperti terhipnotis ... dengan perlahan Mino memasukan boneka kecil kumal itu kedalam saku celananya.
************00000************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
The Sarang--Chapter Three
[quote="DragonFlower"]
Aku terduduk lemas di kursi tamu setelah pengeladahanku yang entah keberapa kalinya bersama Joongie keesokan harinya. Boneka 'Sarang' yang lenyap tetap saja tidak dapat kutemukan. Aku mempertimbangkan maksudku untuk menelpon Junki dan menanyakan tentang boneka 'Sarang' kepadanya. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya aku mengambil keputusan juga.
Kuraih gagang telepon yang terletak di meja kecil disampingku dan memencet nomor ponsel Junki yang diberikannya kepadaku kemarin malam. Joongie memperhatikan tindakanku dengan kening berkerut. Dia kelihatan tidak begitu senang.
"Hello, Junki ... ya, benar.. ini aku, Hyesun .. hmm... aku tidak tahu bagaimana harus memulainya?..", aku berhenti disini dan mendengarkan kata-kata Junki diseberang.
"Begini ... ehemmmm ... saya mau tahu apakah ada barang yang tercecer di rumah atau mobilmu kemarin?", tanyaku ragu-ragu.
Jawaban diseberang membuat perasaanku semakin galau.
"Ohhh.. tidak ada? .. hmmm... tidak apa-apa .. tidak!! itu bukan sesuatu yang penting ... apa? makan malam? ...kamu datang menjemputku nanti malam? ... ooo.. tentu saja bisa .. ya, saya tidak ada kesibukan lain nanti malam ... ok, saya tunggu kedatangannya .. bye .."
Aku meletakkan kembali gagang telepon ketempatnya sambil menghembuskan nafas kuat-kuat.
"Noona tidak berpikir bahwa boneka itu akan menjadi perantara perjodohan kalian, bukan?", tanya Joongie tiba-tiba. Aku terperanjat dari tempatku.
"Tentu saja tidak ...saya .. saya hanya ... hanya ingin menemukannya kembali.. jika tidak, saya merasa bersalah pada mama karena barang satu-satunya yang dianggap paling berharga olehnya telah saya hilangkan ..."
Aku menundukkan wajah dalam-dalam. Tanpa terasa airmata yang selama ini kutahan mengalir keluar dan jatuh ditanganku yang bergetar hebat.
Joongie tidak melanjutkan kembali kata-katanya ketika melihat keadaanku yang begitu. Dia berjalan kearahku dan meletakkan tangannya di tanganku. Aku mengangkat wajah dan memandanginya. Ada perasaan teduh dihatiku ketika melihat perhatian yang diberikannya kepadaku. Perasaan ini selalu kurasakan sejak dari kecil. Joongie melebihi seorang dongsaeng bagiku. Dia lebih seperti seorang oppa dalam kehidupanku.
***********
Memasuki minggu pertama, aku cukup puas dapat tinggal bersama papa, tapi entah mengapa hubunganku dengan Joongie justru semakin renggang. Dia sering keluar pagi-pagi sekali dan pulang pada hari sudah larut malam. Sehari mungkin hanya satu dua jam aku memergokinya ada di rumah, waktu selanjutnya selain keluar, hanya digunakannya untuk tidur.
Selanjutnya, papa menganjurkanku dan Joongie untuk masuk ke perusahaan 'Goo Group' yang dikelolanya. Aku menerima tawaran yang diberikan papa. Hitung-hitung untuk memperdalam pengalamanku yang masih dangkal di bidang usaha. Joongie menolak tawaran tersebut. Dia lebih memilih bekerja di tempat lain.
Selama waktu seminggu ini hubunganku dan Junki semakin dekat. Dia merupakan seorang pacar yang baik dan aku yakin dia juga akan menjadi seorang suami yang bertanggungjawab. Pertunangan kami akan dilaksanakan sebulan kemudian. Dan pernikahan kami juga sudah ditetapkan akan dilaksanakan dua bulan setelah pertunangan tersebut.
Bibi dan paman yang mendengar rencana pertunangan dan pernikahanku sangat terkejut. Mereka mengutarakan keberatannya tentang rencana pertunangan dan pernikahanku itu ke papa. Tapi setelah mendengar penjelasan kami tentang pribadi Junki berkali-kali, akhirnya mereka menerima juga walau dengan terpaksa.
Hari ini aku sedang menunggu kedatangan Junki, yang telah berjanji untuk menemaniku mengambil barang-barang yang akan kami pakai dalam pesta pertunangan bulan depan, di pinggir jalan depan rumah. Aku melirik jamtangan yang melingkar di tangan kiriku, sudah jam sepuluh. Junki terlambat lima belas menit dari waktu yang kami janjikan. Tidak biasanya dia terlambat seperti itu. Saat itu ponsel dalam tasku berdering nyaring .... ringggggggg....ringggggggggggg.....ringggggggg ....
"Hello ...Junki .. ya .. apa? kamu tidak bisa datang?.. ada rapat penting ... hmmm ... baiklah kalau begitu .. saya pergi sendiri saja ... apa katamu? ... ohhhh ... terserah kamu saja ... ok ... bye ..", aku memutuskan hubungan dan memasukkan ponselku kembali kedalam tas.
Junki mengatakan kalau dia sudah meminta dongsaengnya, si Mino, untuk menjemputku dan membantu membawakan barang-barang yang kami pesan tersebut. Aku merasa serbasalah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sikapku bila bertemu lagi dengan pemuda aneh itu. Ini akan menjadi pertemuanku yang kedua setelah pertemuanku yang pertama seminggu yang lalu.
tuttttttt ............tuttttttttt..........tutttttttt.........
Suara klakson mobil yang ditekan berkali-kali menyadarkanku dari lamunan. Sebuah mobil sport dengan warna merah menyala sudah terparkir disampingku. Jendela mobil depan diturunkan dan .. seraut wajah yang sejak pertemuan pertama sudah memesonaku, dengan sepasang mata tajam memperhatikanku dari balik kacamata hitam yang dipakainya.
"Masuklah!!!!"
Aku memandanginya sesaat dengan ragu-ragu.
"Jika kamu masih berdiri saja disitu, saya akan pergi sekarang juga!!!"
Mino tampak serius dengan perkataannya. Mobil sport yang dikendarainya meraung-raung di tempat. Aku terkejut melihat keseriusannya. Dengan segera aku berlari ke mobil yang dikendarainya, membuka pintu mobil dan duduk disampingnya.
Mino memandangiku untuk beberapa saat. Aku merasa risih dengan pandangannya tapi kuberanikan diriku untuk membalas pandangannya.
"Kenapa? Ada apa?"
"Kenakan sabuk pengamanmu!!", katanya sambil menancap gas mobilnya dalam-dalam sehingga menyebabkan mobil sport tersebut melesat dengan cepat kedepan.
***************
Barang-barang yang diperlukan buat acara pertunangan dan pernikahan itu ternyata lebih banyak dari dugaanku. Aku dan Mino sampai kewalahan dengan beberapa kantong besar ditangan kami dan ditambah lagi jarak yang harus kami tempuh dari toko yang menjual peralatan pernikahan dengan tempat parkir yang cukup jauh.
"Hmmm ... mau makan es krim?", Mino tiba-tiba mengajukan tawarannya.
Aku menatapnya lekat-lekat. Dia hanya menunjuk kearah tukang es krim di pinggir jalan dengan cara memoyongkan bibirnya, karena kedua tangannya penuh oleh bawaan.
Aku masih terdiam ditempat. Mino meletakkan barang-barang bawaannya kemudian berlari kearah penjual es krim yang tidak jauh dari situ. Beberapa menit kemudian, dia kembali lagi dengan dua gelas es krim ditangannya.
"Nahh!!", katanya sambil menyodorkan salah satu gelas es krim ditangannya kepadaku. Aku masih tidak bergerak melihat tindakannya itu.
Mino tersenyum melihat kebengonganku. Aku terpesona. Baru pertama kalinya aku melihatnya tersenyum dan... satu lagi nilai plus untuknya, ketika tersenyum, sepasang lesung pipi yang dalam menghias dipipinya.
Mino meraih tanganku dan meletakkan gelas es krim itu di telapak tanganku.
"Ayo, cepat dimakan .. kalau tidak nanti mencair semua "
Sesaat kemudian, kami berdua berdiri dipinggir jalan sambil menikmati es krim yang lezat. Aku memakan es krim tersebut sambil sesekali mencuri pandang ke Mino yang berdiri disampingku. Sikapnya agak lumayan hari ini. Mungkin benar kata Junki bahwa dia tidak seburuk itu sikapnya.
"Sudah habis? kalau begitu .. ayo, kita pergi sekarang !!"
Mino meraih semua kantong besar yang tergeletak di jalan, termasuk kantong-kantong yang kubawa tadi. Tanpa menunggu tanggapanku lebih lanjut, dia berlalu dari situ dengan langkah lebar. Aku mengikutinya dari belakang dengan kewalahan. Akibatnya, aku hanya bisa berlari-lari kecil dibelakangnya sambil mengomel-ngomel.
***************
Sebulan kemudian, pesta pertunanganku dan Junki diselenggarakan dengan sederhana. Tamu-tamu yang diundang semuanya hanya dari kalangan keluarga dan teman-teman dekat. Kami tidak ingin pesta pertunangan ini diselenggarakan dengan besar-besaran, selain waktunya yang terbatas juga karena dengan jarak waktu dekat pernikahan kami akan dilaksanakan.
Dua hari sebelumnya, paman dan bibi sudah datang dan membantuku mempersiapkan segala sesuatunya. Satu hal yang paling mengejutkanku adalah pada saat pertunanganku, Joongie tidak menampakan dirinya. Entah apa yang dipikirkannya. Aku semakin tidak memahaminya. Bibi cuma berkata bahwa Joongie sedang sibuk sekali dengan pekerjaan barunya. Apa yang dikerjakannya, kami semua sama sekali tidak tahu.
Pesta ini cukup ramai juga, hal ini diluar perhitunganku. Ini semua mungkin karena nama keluarga Lee yang sudah sangat terkenal di Korea. Selama pesta ini, aku tidak berhentinya diperkenalkan kepada keluarga dan teman oleh Junki. Perasaanku tidak sebahagia dugaanku semula. Aku merasa bosan dengan semuanya. Entah mengapa saya bisa merasakan kejemuhan di saat hari yang bersejarah dalam hidupku.
Aku menjatuhkan diri di kursi paling pojok ruangan setelah selesai dengan semua acara perkenalan itu. Suara langkah kaki yang mendekatiku segera mengalihkan perhatianku. Mino berdiri di situ sambil memandangiku. Sekali lagi dia terlihat sempurna dengan jas hitam panjang, celana hitam panjang, kemeja putih dan syal putih panjang yang dikenakannya. Ini adalah pertemuan kami yang ketiga kalinya setelah pertemuan sebulan yang lalu.
Mino tidak mengeluarkan suara. Sikapnya sama dengan bayanganku mengenai dirinya, dingin dan terlalu tenggelam dalam dunianya sendiri. Dia menghempaskan tubuh jangkungnya di kursi yang ada disampingku. Kami sama-sama membisu dan tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.
"Ohhh... Hyesun, ternyata kamu disini! Saya mencarimu sejak tadi .. dan ... heii.. dongsaeng kamu juga ada disini? .. ayoo, kita foto bersama ...", Junki mendekati kami yang masih membisu ditempat.
Aku berdiri dari tempat dudukku tapi Mino mengibaskan tangannya kearah Junki..
"Kalian saja.. saya malas .", katanya kemudian sambil beranjak dari situ, tanpa berpaling lagi kearah kami.
"Heiiiii ... huhhhhhhhhh dasar .. anak aneh..", ngomel Junki.
"Apakah dia tidak apa-apa? Sikapnya sangat berubah dibandingkan dengan pertemuan kami yang terakhir ..", tanyaku agak khawatir.
Junki tersenyum kepadaku.
"Tenang saja, dia baik-baik saja kok..... sikapnya memang seperti ..hmmmm... laut ... kamu tahu apa artinya? Kadang-kadang laut itu tenang tapi disaat yang lain dia bisa berubah menjadi berbahaya .."
Aku hanya bisa mengangga mendengar penggambaran sikap Mino oleh Junki. Laut? Ya, laut. Gambaran itu benar-benar cocok untuk Mino. Laut yang ketika tenang bisa sangat meneduhkan tapi laut yang sudah mengamuk akan menyapu segala sesuatu di sekitarnya dengan ombaknya yang menggulung.
"Ayo.. kita foto bersama!! yang lain sudah menunggu dari tadi .."
Junki mengandeng tanganku dan mengajakku ke ruang tengah. Aku hanya mengikutinya saja tanpa banyak membantah.
*****************
Aku terkapar di ranjang setelah pesta pertunangan yang melelahkan itu. Saat itu, jam di meja riasku sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Barang-barang masih berserakan didalam kamarku. Aku malas untuk membereskannya. Kelelahanku seperti sudah akan merenggut nyawaku.
Sekilas tertangkap olehku sosok Joongie yang melewati lorong di depan pintu kamarku yang tidak tertutup rapat.
"Joongie dongsaeng!!!"
Joongie menghentikan langkahnya tepat di pintu kamarku. Dia mengintip melalui celah pintu kearahku, kemudian mendorong pintu itu sehingga terbuka dan mendekatiku.
"Noona ..... ", sapanya pelan.
"Apa yang kamu lakukan di hari pertunanganku ini?", tanyaku sengit.
Joongie tidak berani menatapku. Dia kelihatan serbasalah.
"Maaf .. tapi pekerjaanku tidak bisa kutinggalkan ...."
"Apa yang lebih berharga bagimu, kebahagiaan noonamu ini atau pekerjaanmu?"
Joongie menatap lekat kemataku dan berkata dengan sungguh-sungguh.
"Untuk saat ini pekerjaan ini lebih penting bagiku. Tidak!!! Noona jangan membantah dulu ... saya akan membuktikan kepada noona bahwa juga bisa menjadi seorang laki-laki yang bertanggungjawab, yang layak berdiri di hadapan noona, yang akan mampu untuk melindungi noona dari apapun ..."
Aku terkejut mendengar perkataan Joongie. Tidak pernah aku melihat dia seserius itu. Tapi aku juga tidak begitu mengerti dengan maksud dari perkataannya itu.
Joongie memandangiku dengan grogi. Dia berdeham-deham sejenak.
"Ehemmm...ehemmmm.....selamat malam ...", setelah berkata begitu, dia keluar dari kamarku, meninggalkan aku yang masih terbengong di atas ranjang.
Kejadian-kejadian selama sebulan yang lalu kembali terbayang dalam pikiranku. Perubahan sikap Joongie, pertunangan yang seharusnya meninggalkan kesan yang mendalam bagiku yang nyatanya tidak, pertemuan ketiga kali dengan Mino yang membuatku berpikir tentang dirinya setiap saat yang sama sekali tidak dapat dimengerti oleh diriku sendiri.
Kejadian-kejadian itu secara silih berganti bermain di dalam kepalaku. Rasa lelah ditambah pikiran yang penat membuatku terlelap lima belas menit kemudian.
******************
Keesokan harinya, aku menerima telepon dari Junki yang mengajukan permintaan untuk makan malam bersama. Aku menerima ajakan tersebut dengan senang hati. Mungkin setelah makan malam ini, perasaan hambar di hatiku akan terobati.
Malam harinya, aku berdandan khusus untuk acara tersebut. Kubuka lemari pakaianku dan memperhatikan deretan gaun malam yang tergantung rapi didalamnya. Kuraih gaun malam panjang yang agak terbuka bagian depannya. Kuperhatikan dengan seksama. Aku mengelengkan kepala. Tidak! Ini terlalu terbuka untuk acara makan malam yang istimewa. Aku ingin memberikan kesan manis kepada Junki. Akhirnya aku memilih gaun putih pendek dengan lengan seperempat yang sedikit terbuka di bagian pundaknya.
Kuperhatikan rambutku yang tergerai sampai ke punggung. Aku mengambil sisir kemudian mengikatnya kebelakang dengan membiarkan poni dan beberapa helai rambut terjuntai menutupi telinga. Ya, begini lebih baik. Kuraih sepasang sepatu berhak tinggi dari deretan sepatu lain yang terdapat di rak sepatu. Aku memakai sepatu berwarna putih itu dengan cara menyilang-nyilangkan tali yang mengikatnya.
Beberapa saat kemudian ponselku yang tergeletak diatas meja rias berdering nyaring .....ringggg... ring..........ring....... Kuraih ponsel tersebut, menekan tombol dan mendekatkannya di telinga.
"Hello .....ya, Junki ....aku sudah siap .... apa?rapat penting? .........Hmmm .. baiklah, saya bisa makan sendiri ........apa katamu? .. tidak!!!!!!!!!....lupakan itu...saya tidak mau pergi lagi dengan dongsaengmu ......Hahhhhhhhhhh? kamu sudah menyuruhnya untuk menjemputku? ...Bagaimana kamu bisa ...", kata-kataku terpotong oleh bunyi bell yang ditekan berkali-kali di pintu depan .
"Akhhhhhhhh ..... ada orang datang .. tunggu sebentar, Junki, saya lihat dulu siapa yang datang malam-malam begini .."
Aku berlari ke pintu depan dengan ponsel yang masih tergenggam di tangan. Kubuka daun pintu yang terbuat dari kayu jati murni dengan corak bunga itu dengan segera dan ... sosok jangkung yang amat kukenal berdiri disana.
"Ya ... benar.. itu dongsaengmu.. dia sudah sampai .. ok, baiklah kalau begitu .. bye ..", aku memutuskan hubungan dengan Junki sambil memperhatikan sosok dihadapanku dengan mata tak berkedip.
Mino mengamatiku dengan seksama. Matanya menyelusuri sekujur tubuhku dari atas kebawah dan berbalik lagi dari bawah keatas. Aku merasa risih diperhatikan seperti itu. Tapi, disaat yang lain aku menjadi sadar dengan maksud dari pandangannya tersebut.
Penampilan Mino sangat santai. Dengan kaos abu-abu polos berlengan pendek, kupluk dengan warna selaras, dipadu dengan celana jeans ketat berwarna biru, dia tetap mempesona seperti biasanya.
"Apakah saya perlu menganti baju?"
Mino mengibaskan tangannya.
"Tidak! Jangan menghabiskan waktu untuk itu !!!"
Setelah berkata begitu, Mino membalikan badannya dan meninggalkanku yang masih berdiri di ambang pintu.
"Yaaaaa ......... aku belum mengambil tasku!!!!", teriakku dengan nada kesal.
Mino menghentikan langkahnya, tapi dia tidak membalikan badannya. Aku mendengus kesal kemudian berbalik dan berlari kedalam rumah. Lima menit kemudian aku berlari keluar lagi sambil menjinjing tas kecil ditanganku.
Mino yang mendengar suara langkah kakiku, segera melanjutkan langkahnya. Sekali lagi aku hanya bisa berlari-lari kecil dibelakangnya dengan perasaan dongkol. Aku selalu menjadi bodoh dan tidak berdaya jika berhadapan dengannya.
Tittle : The Sarang
Author : Lovelyn Ian Wong
-Chapter Three
Author : Lovelyn Ian Wong
-Chapter Three
Aku terduduk lemas di kursi tamu setelah pengeladahanku yang entah keberapa kalinya bersama Joongie keesokan harinya. Boneka 'Sarang' yang lenyap tetap saja tidak dapat kutemukan. Aku mempertimbangkan maksudku untuk menelpon Junki dan menanyakan tentang boneka 'Sarang' kepadanya. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya aku mengambil keputusan juga.
Kuraih gagang telepon yang terletak di meja kecil disampingku dan memencet nomor ponsel Junki yang diberikannya kepadaku kemarin malam. Joongie memperhatikan tindakanku dengan kening berkerut. Dia kelihatan tidak begitu senang.
"Hello, Junki ... ya, benar.. ini aku, Hyesun .. hmm... aku tidak tahu bagaimana harus memulainya?..", aku berhenti disini dan mendengarkan kata-kata Junki diseberang.
"Begini ... ehemmmm ... saya mau tahu apakah ada barang yang tercecer di rumah atau mobilmu kemarin?", tanyaku ragu-ragu.
Jawaban diseberang membuat perasaanku semakin galau.
"Ohhh.. tidak ada? .. hmmm... tidak apa-apa .. tidak!! itu bukan sesuatu yang penting ... apa? makan malam? ...kamu datang menjemputku nanti malam? ... ooo.. tentu saja bisa .. ya, saya tidak ada kesibukan lain nanti malam ... ok, saya tunggu kedatangannya .. bye .."
Aku meletakkan kembali gagang telepon ketempatnya sambil menghembuskan nafas kuat-kuat.
"Noona tidak berpikir bahwa boneka itu akan menjadi perantara perjodohan kalian, bukan?", tanya Joongie tiba-tiba. Aku terperanjat dari tempatku.
"Tentu saja tidak ...saya .. saya hanya ... hanya ingin menemukannya kembali.. jika tidak, saya merasa bersalah pada mama karena barang satu-satunya yang dianggap paling berharga olehnya telah saya hilangkan ..."
Aku menundukkan wajah dalam-dalam. Tanpa terasa airmata yang selama ini kutahan mengalir keluar dan jatuh ditanganku yang bergetar hebat.
Joongie tidak melanjutkan kembali kata-katanya ketika melihat keadaanku yang begitu. Dia berjalan kearahku dan meletakkan tangannya di tanganku. Aku mengangkat wajah dan memandanginya. Ada perasaan teduh dihatiku ketika melihat perhatian yang diberikannya kepadaku. Perasaan ini selalu kurasakan sejak dari kecil. Joongie melebihi seorang dongsaeng bagiku. Dia lebih seperti seorang oppa dalam kehidupanku.
***********
Memasuki minggu pertama, aku cukup puas dapat tinggal bersama papa, tapi entah mengapa hubunganku dengan Joongie justru semakin renggang. Dia sering keluar pagi-pagi sekali dan pulang pada hari sudah larut malam. Sehari mungkin hanya satu dua jam aku memergokinya ada di rumah, waktu selanjutnya selain keluar, hanya digunakannya untuk tidur.
Selanjutnya, papa menganjurkanku dan Joongie untuk masuk ke perusahaan 'Goo Group' yang dikelolanya. Aku menerima tawaran yang diberikan papa. Hitung-hitung untuk memperdalam pengalamanku yang masih dangkal di bidang usaha. Joongie menolak tawaran tersebut. Dia lebih memilih bekerja di tempat lain.
Selama waktu seminggu ini hubunganku dan Junki semakin dekat. Dia merupakan seorang pacar yang baik dan aku yakin dia juga akan menjadi seorang suami yang bertanggungjawab. Pertunangan kami akan dilaksanakan sebulan kemudian. Dan pernikahan kami juga sudah ditetapkan akan dilaksanakan dua bulan setelah pertunangan tersebut.
Bibi dan paman yang mendengar rencana pertunangan dan pernikahanku sangat terkejut. Mereka mengutarakan keberatannya tentang rencana pertunangan dan pernikahanku itu ke papa. Tapi setelah mendengar penjelasan kami tentang pribadi Junki berkali-kali, akhirnya mereka menerima juga walau dengan terpaksa.
Hari ini aku sedang menunggu kedatangan Junki, yang telah berjanji untuk menemaniku mengambil barang-barang yang akan kami pakai dalam pesta pertunangan bulan depan, di pinggir jalan depan rumah. Aku melirik jamtangan yang melingkar di tangan kiriku, sudah jam sepuluh. Junki terlambat lima belas menit dari waktu yang kami janjikan. Tidak biasanya dia terlambat seperti itu. Saat itu ponsel dalam tasku berdering nyaring .... ringggggggg....ringggggggggggg.....ringggggggg ....
"Hello ...Junki .. ya .. apa? kamu tidak bisa datang?.. ada rapat penting ... hmmm ... baiklah kalau begitu .. saya pergi sendiri saja ... apa katamu? ... ohhhh ... terserah kamu saja ... ok ... bye ..", aku memutuskan hubungan dan memasukkan ponselku kembali kedalam tas.
Junki mengatakan kalau dia sudah meminta dongsaengnya, si Mino, untuk menjemputku dan membantu membawakan barang-barang yang kami pesan tersebut. Aku merasa serbasalah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sikapku bila bertemu lagi dengan pemuda aneh itu. Ini akan menjadi pertemuanku yang kedua setelah pertemuanku yang pertama seminggu yang lalu.
tuttttttt ............tuttttttttt..........tutttttttt.........
Suara klakson mobil yang ditekan berkali-kali menyadarkanku dari lamunan. Sebuah mobil sport dengan warna merah menyala sudah terparkir disampingku. Jendela mobil depan diturunkan dan .. seraut wajah yang sejak pertemuan pertama sudah memesonaku, dengan sepasang mata tajam memperhatikanku dari balik kacamata hitam yang dipakainya.
"Masuklah!!!!"
Aku memandanginya sesaat dengan ragu-ragu.
"Jika kamu masih berdiri saja disitu, saya akan pergi sekarang juga!!!"
Mino tampak serius dengan perkataannya. Mobil sport yang dikendarainya meraung-raung di tempat. Aku terkejut melihat keseriusannya. Dengan segera aku berlari ke mobil yang dikendarainya, membuka pintu mobil dan duduk disampingnya.
Mino memandangiku untuk beberapa saat. Aku merasa risih dengan pandangannya tapi kuberanikan diriku untuk membalas pandangannya.
"Kenapa? Ada apa?"
"Kenakan sabuk pengamanmu!!", katanya sambil menancap gas mobilnya dalam-dalam sehingga menyebabkan mobil sport tersebut melesat dengan cepat kedepan.
***************
Barang-barang yang diperlukan buat acara pertunangan dan pernikahan itu ternyata lebih banyak dari dugaanku. Aku dan Mino sampai kewalahan dengan beberapa kantong besar ditangan kami dan ditambah lagi jarak yang harus kami tempuh dari toko yang menjual peralatan pernikahan dengan tempat parkir yang cukup jauh.
"Hmmm ... mau makan es krim?", Mino tiba-tiba mengajukan tawarannya.
Aku menatapnya lekat-lekat. Dia hanya menunjuk kearah tukang es krim di pinggir jalan dengan cara memoyongkan bibirnya, karena kedua tangannya penuh oleh bawaan.
Aku masih terdiam ditempat. Mino meletakkan barang-barang bawaannya kemudian berlari kearah penjual es krim yang tidak jauh dari situ. Beberapa menit kemudian, dia kembali lagi dengan dua gelas es krim ditangannya.
"Nahh!!", katanya sambil menyodorkan salah satu gelas es krim ditangannya kepadaku. Aku masih tidak bergerak melihat tindakannya itu.
Mino tersenyum melihat kebengonganku. Aku terpesona. Baru pertama kalinya aku melihatnya tersenyum dan... satu lagi nilai plus untuknya, ketika tersenyum, sepasang lesung pipi yang dalam menghias dipipinya.
Mino meraih tanganku dan meletakkan gelas es krim itu di telapak tanganku.
"Ayo, cepat dimakan .. kalau tidak nanti mencair semua "
Sesaat kemudian, kami berdua berdiri dipinggir jalan sambil menikmati es krim yang lezat. Aku memakan es krim tersebut sambil sesekali mencuri pandang ke Mino yang berdiri disampingku. Sikapnya agak lumayan hari ini. Mungkin benar kata Junki bahwa dia tidak seburuk itu sikapnya.
"Sudah habis? kalau begitu .. ayo, kita pergi sekarang !!"
Mino meraih semua kantong besar yang tergeletak di jalan, termasuk kantong-kantong yang kubawa tadi. Tanpa menunggu tanggapanku lebih lanjut, dia berlalu dari situ dengan langkah lebar. Aku mengikutinya dari belakang dengan kewalahan. Akibatnya, aku hanya bisa berlari-lari kecil dibelakangnya sambil mengomel-ngomel.
***************
Sebulan kemudian, pesta pertunanganku dan Junki diselenggarakan dengan sederhana. Tamu-tamu yang diundang semuanya hanya dari kalangan keluarga dan teman-teman dekat. Kami tidak ingin pesta pertunangan ini diselenggarakan dengan besar-besaran, selain waktunya yang terbatas juga karena dengan jarak waktu dekat pernikahan kami akan dilaksanakan.
Dua hari sebelumnya, paman dan bibi sudah datang dan membantuku mempersiapkan segala sesuatunya. Satu hal yang paling mengejutkanku adalah pada saat pertunanganku, Joongie tidak menampakan dirinya. Entah apa yang dipikirkannya. Aku semakin tidak memahaminya. Bibi cuma berkata bahwa Joongie sedang sibuk sekali dengan pekerjaan barunya. Apa yang dikerjakannya, kami semua sama sekali tidak tahu.
Pesta ini cukup ramai juga, hal ini diluar perhitunganku. Ini semua mungkin karena nama keluarga Lee yang sudah sangat terkenal di Korea. Selama pesta ini, aku tidak berhentinya diperkenalkan kepada keluarga dan teman oleh Junki. Perasaanku tidak sebahagia dugaanku semula. Aku merasa bosan dengan semuanya. Entah mengapa saya bisa merasakan kejemuhan di saat hari yang bersejarah dalam hidupku.
Aku menjatuhkan diri di kursi paling pojok ruangan setelah selesai dengan semua acara perkenalan itu. Suara langkah kaki yang mendekatiku segera mengalihkan perhatianku. Mino berdiri di situ sambil memandangiku. Sekali lagi dia terlihat sempurna dengan jas hitam panjang, celana hitam panjang, kemeja putih dan syal putih panjang yang dikenakannya. Ini adalah pertemuan kami yang ketiga kalinya setelah pertemuan sebulan yang lalu.
Mino tidak mengeluarkan suara. Sikapnya sama dengan bayanganku mengenai dirinya, dingin dan terlalu tenggelam dalam dunianya sendiri. Dia menghempaskan tubuh jangkungnya di kursi yang ada disampingku. Kami sama-sama membisu dan tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.
"Ohhh... Hyesun, ternyata kamu disini! Saya mencarimu sejak tadi .. dan ... heii.. dongsaeng kamu juga ada disini? .. ayoo, kita foto bersama ...", Junki mendekati kami yang masih membisu ditempat.
Aku berdiri dari tempat dudukku tapi Mino mengibaskan tangannya kearah Junki..
"Kalian saja.. saya malas .", katanya kemudian sambil beranjak dari situ, tanpa berpaling lagi kearah kami.
"Heiiiii ... huhhhhhhhhh dasar .. anak aneh..", ngomel Junki.
"Apakah dia tidak apa-apa? Sikapnya sangat berubah dibandingkan dengan pertemuan kami yang terakhir ..", tanyaku agak khawatir.
Junki tersenyum kepadaku.
"Tenang saja, dia baik-baik saja kok..... sikapnya memang seperti ..hmmmm... laut ... kamu tahu apa artinya? Kadang-kadang laut itu tenang tapi disaat yang lain dia bisa berubah menjadi berbahaya .."
Aku hanya bisa mengangga mendengar penggambaran sikap Mino oleh Junki. Laut? Ya, laut. Gambaran itu benar-benar cocok untuk Mino. Laut yang ketika tenang bisa sangat meneduhkan tapi laut yang sudah mengamuk akan menyapu segala sesuatu di sekitarnya dengan ombaknya yang menggulung.
"Ayo.. kita foto bersama!! yang lain sudah menunggu dari tadi .."
Junki mengandeng tanganku dan mengajakku ke ruang tengah. Aku hanya mengikutinya saja tanpa banyak membantah.
*****************
Aku terkapar di ranjang setelah pesta pertunangan yang melelahkan itu. Saat itu, jam di meja riasku sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Barang-barang masih berserakan didalam kamarku. Aku malas untuk membereskannya. Kelelahanku seperti sudah akan merenggut nyawaku.
Sekilas tertangkap olehku sosok Joongie yang melewati lorong di depan pintu kamarku yang tidak tertutup rapat.
"Joongie dongsaeng!!!"
Joongie menghentikan langkahnya tepat di pintu kamarku. Dia mengintip melalui celah pintu kearahku, kemudian mendorong pintu itu sehingga terbuka dan mendekatiku.
"Noona ..... ", sapanya pelan.
"Apa yang kamu lakukan di hari pertunanganku ini?", tanyaku sengit.
Joongie tidak berani menatapku. Dia kelihatan serbasalah.
"Maaf .. tapi pekerjaanku tidak bisa kutinggalkan ...."
"Apa yang lebih berharga bagimu, kebahagiaan noonamu ini atau pekerjaanmu?"
Joongie menatap lekat kemataku dan berkata dengan sungguh-sungguh.
"Untuk saat ini pekerjaan ini lebih penting bagiku. Tidak!!! Noona jangan membantah dulu ... saya akan membuktikan kepada noona bahwa juga bisa menjadi seorang laki-laki yang bertanggungjawab, yang layak berdiri di hadapan noona, yang akan mampu untuk melindungi noona dari apapun ..."
Aku terkejut mendengar perkataan Joongie. Tidak pernah aku melihat dia seserius itu. Tapi aku juga tidak begitu mengerti dengan maksud dari perkataannya itu.
Joongie memandangiku dengan grogi. Dia berdeham-deham sejenak.
"Ehemmm...ehemmmm.....selamat malam ...", setelah berkata begitu, dia keluar dari kamarku, meninggalkan aku yang masih terbengong di atas ranjang.
Kejadian-kejadian selama sebulan yang lalu kembali terbayang dalam pikiranku. Perubahan sikap Joongie, pertunangan yang seharusnya meninggalkan kesan yang mendalam bagiku yang nyatanya tidak, pertemuan ketiga kali dengan Mino yang membuatku berpikir tentang dirinya setiap saat yang sama sekali tidak dapat dimengerti oleh diriku sendiri.
Kejadian-kejadian itu secara silih berganti bermain di dalam kepalaku. Rasa lelah ditambah pikiran yang penat membuatku terlelap lima belas menit kemudian.
******************
Keesokan harinya, aku menerima telepon dari Junki yang mengajukan permintaan untuk makan malam bersama. Aku menerima ajakan tersebut dengan senang hati. Mungkin setelah makan malam ini, perasaan hambar di hatiku akan terobati.
Malam harinya, aku berdandan khusus untuk acara tersebut. Kubuka lemari pakaianku dan memperhatikan deretan gaun malam yang tergantung rapi didalamnya. Kuraih gaun malam panjang yang agak terbuka bagian depannya. Kuperhatikan dengan seksama. Aku mengelengkan kepala. Tidak! Ini terlalu terbuka untuk acara makan malam yang istimewa. Aku ingin memberikan kesan manis kepada Junki. Akhirnya aku memilih gaun putih pendek dengan lengan seperempat yang sedikit terbuka di bagian pundaknya.
Kuperhatikan rambutku yang tergerai sampai ke punggung. Aku mengambil sisir kemudian mengikatnya kebelakang dengan membiarkan poni dan beberapa helai rambut terjuntai menutupi telinga. Ya, begini lebih baik. Kuraih sepasang sepatu berhak tinggi dari deretan sepatu lain yang terdapat di rak sepatu. Aku memakai sepatu berwarna putih itu dengan cara menyilang-nyilangkan tali yang mengikatnya.
Beberapa saat kemudian ponselku yang tergeletak diatas meja rias berdering nyaring .....ringggg... ring..........ring....... Kuraih ponsel tersebut, menekan tombol dan mendekatkannya di telinga.
"Hello .....ya, Junki ....aku sudah siap .... apa?rapat penting? .........Hmmm .. baiklah, saya bisa makan sendiri ........apa katamu? .. tidak!!!!!!!!!....lupakan itu...saya tidak mau pergi lagi dengan dongsaengmu ......Hahhhhhhhhhh? kamu sudah menyuruhnya untuk menjemputku? ...Bagaimana kamu bisa ...", kata-kataku terpotong oleh bunyi bell yang ditekan berkali-kali di pintu depan .
"Akhhhhhhhh ..... ada orang datang .. tunggu sebentar, Junki, saya lihat dulu siapa yang datang malam-malam begini .."
Aku berlari ke pintu depan dengan ponsel yang masih tergenggam di tangan. Kubuka daun pintu yang terbuat dari kayu jati murni dengan corak bunga itu dengan segera dan ... sosok jangkung yang amat kukenal berdiri disana.
"Ya ... benar.. itu dongsaengmu.. dia sudah sampai .. ok, baiklah kalau begitu .. bye ..", aku memutuskan hubungan dengan Junki sambil memperhatikan sosok dihadapanku dengan mata tak berkedip.
Mino mengamatiku dengan seksama. Matanya menyelusuri sekujur tubuhku dari atas kebawah dan berbalik lagi dari bawah keatas. Aku merasa risih diperhatikan seperti itu. Tapi, disaat yang lain aku menjadi sadar dengan maksud dari pandangannya tersebut.
Penampilan Mino sangat santai. Dengan kaos abu-abu polos berlengan pendek, kupluk dengan warna selaras, dipadu dengan celana jeans ketat berwarna biru, dia tetap mempesona seperti biasanya.
"Apakah saya perlu menganti baju?"
Mino mengibaskan tangannya.
"Tidak! Jangan menghabiskan waktu untuk itu !!!"
Setelah berkata begitu, Mino membalikan badannya dan meninggalkanku yang masih berdiri di ambang pintu.
"Yaaaaa ......... aku belum mengambil tasku!!!!", teriakku dengan nada kesal.
Mino menghentikan langkahnya, tapi dia tidak membalikan badannya. Aku mendengus kesal kemudian berbalik dan berlari kedalam rumah. Lima menit kemudian aku berlari keluar lagi sambil menjinjing tas kecil ditanganku.
Mino yang mendengar suara langkah kakiku, segera melanjutkan langkahnya. Sekali lagi aku hanya bisa berlari-lari kecil dibelakangnya dengan perasaan dongkol. Aku selalu menjadi bodoh dan tidak berdaya jika berhadapan dengannya.
************00000************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
The Sarang--Chapter Four
Tittle : The Sarang
Author : Lovelyn Ian Wong
-Chapter Four
Author : Lovelyn Ian Wong
-Chapter Four
Aku memandangi Mino tanpa berkedip. Dia meletakkan satu set makanan yang terdiri atas soup ayam dari ginseng, kimchie dan nasi putih dihadapanku. Sekali lagi dia mengambil keputusan tanpa meminta persetujuanku. Setelah membawaku ke restoran fast food ini, sekarang dia memesan makanan tanpa menanyakannya terlebih dahulu kepadaku.
Antara kesal, karena tindakannya yang seenaknya sendiri dan senang, karena ternyata makanan yang dipesannya merupakan makanan kesukaanku, aku hanya bisa duduk membisu ditempatku.
"Ayo, cepat dimakan makanannya! kalau sudah dingin tidak enak lagi .. dua puluh menit lagi kita akan pergi ke tempat lain!!", Mino mulai melahap makanannya yang terdiri atas daging sapi panggang dan nasi putih.
"Mau kemana?", tanyaku kepadanya.
Mino tidak menjawab. Dia masih saja melahap makanannya dengan nikmat. Aku melotot melihat sikapnya yang ajaib itu. Ingin rasanya aku mengetok kepalanya. Tapi, tentu saja aku tidak mampu melakukannya. Aku selalu berubah menjadi wanita bodoh dihadapannya.
Mungkin karena lapar, aku menyapu makanan tersebut sampai bersih. Dua puluh menit kemudian, Mino berdiri dari tempat duduknya.
"Sudah selesai? ... Ayo, pergi !!", Mino keluar dari restoran fast food itu tanpa menungguku lagi.
"Heiiiii ... mau kemana ?", aku mengikutinya dari belakang dengan terburu-buru.
Mino melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.
"Hmmmm ... masih ada waktu ... mau nonton denganku?"
Aku sangat terkejut mendengar tawarannya. Sebelum sempat kujawab, suara teriakan dibelakang membuat kami segera memalingkan muka kearahnya.
"Minoooo opppaaaaaa!!! ohhhh ... bagaimana mungkin dapat bertemu dengan oppa disini?"
"Oppa .. apa yang oppa lakukan disini?"
Dua cewek centil berlari kearah kami. Mereka mengapit Mino dikanan kiri dan langsung melingkarkan tangannya di lengan Mino.
"Apa yang kalian lakukan ? Yaaaaaa .......... lepaskan tangan kalian !!!!", Mino menepis kedua tangan yang melingkar dilengannya dan memandangi kedua cewek centil tersebut dengan jengkel.
"Oppa .. kenapa oppa bisa berkata begitu? kami sangat merindukan oppa sejak kelulusan oppa seminggu yang lalu ..", kata cewek yang satu.
"Benar kata Yumi, kami sangat berharap bisa bertemu kembali dengan oppa .. karenanya kami sangat senang melihat oppa tiba-tiba muncul disini ... ohhhhhh .. apa sebenarnya yang oppa lakukan disini?", tanya cewek yang lain.
Mino tidak segera menjawab pertanyaan mereka. Dia berjalan kearahku dan menatapku sejenak. Disaat yang lain, dia tiba-tiba melingkarkan tangannya kepinggangku dan menarikku ke dalam pelukannya.
"Kalian tidak melihat kalau saya sedang berkencan ?"
Aku sangat terkejut dan berusaha melepaskan diri dari dekapannya. Tapi tangannya yang merangkulku begitu kuat. Aku tidak mempunyai tenaga yang cukup untuk melawannya.
"Apaaaaa ? Sejak kapan oppa punya pacar dannn........ cewek ini kelihatannya tidak begitu senang dipeluk oleh oppa ..", cewek yang bernama Yumi itu berkata sambil melirik kearahku.
"Benarrr.. lagipula dia tidak serasi dengan oppa .. tidak cantik dan kelihatan lebih tua dari oppa !", sambung cewek yang satunya lagi, yang tidak kuketahui namanya.
Mendengar perkataan dua cewek centil yang kurang ajar itu, aku menjadi berang.
"Apa urusannya dengan kalian kalau saya tidak cantik dan kelihatan lebih tua ? dan yang jelas oppa kalian lebih memilihku daripada kalian!!!", teriakku keras.
Kedua cewek itu mundur beberapa langkah kebelakang. Mereka tidak menyangka kalau aku akan segalak itu. Dengan segera mereka berlari terbirit-birit meninggalkan kami berdua. Mino tersenyum nakal melihat kemarahanku. Aku melotot padanya. Tangannya masih melingkar di pinggangku dan aku belum menyadarinya.
"Kenapa kamu selalu seenaknya saja?"
Mino mengangkat bahunya. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya menatapku lekat-lekat. Karena jarak wajah kami sangat dekat, aku baru menyadari bahwa aku masih berada dalam pelukannya. Dengan cepat kudorong dia kebelakang.
"Apakah kamu selalu bersikap seperti ini terhadap siapa saja ? Selalu melakukan segala sesuatu tanpa meminta ijin terlebih dahulu ?"
Mino melemparkan pandangannya kearah lain .. kemudian menjawab pertanyaanku ..
"Saya tidak begitu! Terhadap yang lain, saya tidak pernah mau melakukan apapun .."
"Maksudmu apa ?", tanyaku tidak mengerti.
"Terhadap orang lain, saya sama sekali tidak berminat melakukan apapun .. tapi terhadapmu... apapun sudah kulakukan terlebih dahulu ..", jawab Mino tanpa ujung pangkalnya. Bagi yang tidak mengenal sifatnya pasti akan mengira kalau dia agak tidak beres pikirannya. Aku hanya bisa tercengang mendengar jawabannya. Perasaan risih dan serbasalah menghinggapiku.
"Heiiiii ... saya ini calon kakak iparmu !!!! .. tidak seharusnya kamu bercanda seperti itu padaku "
Mino menatap tajam kepadaku. Dia tidak bercanda. Itu aku ketahui dengan pasti.
"Saya tidak suka kamu bersikap layaknya seorang noona terhadapku !!!!!!!"
"Tapiiiiiii ..... saya benar-benar seorang noona bagimu ", jawabku pelan.
Mino menghembuskan nafasnya. Dan tanpa permisi terlebih dahulu kepadaku, dia meninggalkanku seorang diri di tengah jalan yang sudah mulai sepi itu.
"Yaaaaaaaa ........ kamu mau kemana ?", teriakku.. tapi, dia tidak mempedulikanku.
Mino terus saja berjalan ke mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Sesaat kemudian mobil sport merah tersebut sudah melaju di jalan yang sepi.
Aku berdiri terpaku ditempatku. Pemuda berengsek itu benar-benar meninggalkanku seorang diri. Perasaan jengkel dan dongkolku semakin bertambah. Hari sudah semakin larut. Aku berlari ke tengah jalan raya dan menyetop taxi yang melintas kemudian masuk kedalamnya. Taxi tersebut membawaku sampai ke rumah dengan selamat.
****************
Dua bulan sudah berlalu semenjak pertemuanku yang terakhir dengan Mino. Selama dua bulan ini, Junki tidak pernah lagi menyuruh dongsaengnya untuk menemaniku bila dia tidak dapat menepati janjinya. Dia lebih memilih mengirimiku bunga atau kado-kado . Mungkin dia tahu bahwa aku tidak suka bila dia melakukan itu.
Malam itu, pukul tujuh, sehari sebelum pernikahanku. Aku berjalan perlahan menuju kamar Joongie yang terletak di tengah ruangan, bersebelahan dengan kamarku. Aku ingin memintanya untuk menghadiri pesta pernikahanku besok. Aku akan merasa sedih sekali kalau besok dia sampai tidak muncul di hari yg paling bersejarah dalam hidupku itu.
Aku berhenti tepat di depan pintu kamar Joongie. Aku bermaksud mengetuk pintu kamarnya ketika suatu pembicaraan yang melibatkanku, terdengar dari celah pintu.
"Apa yang akan kamu lakukan, Joongie ? Noonamu benar-benar akan menikah besok ", terdengar suara bibi dari dalam kamar Joongie.
"Apa maksud dari pertanyaan mama?", Joongie balas bertanya kepada bibi.
"Kamu tidak bisa membohongi mamamu ini .... mama dan papa sudah menyadari dari dulu bahwa kamu memendam perasaan cinta kepada noonamu .."
Grrrrrrrrrrrrr ............. perkataan bibi seperti petir menyambar di siang hari. Aku sangat terkejut. Sekujur tubuhku bergetar hebat. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Joongie bisa sampai mencintaiku?
Bayangan masa lalu kembali terlukir dengan jelas di benakku. Perhatian-perhatian yang diberikan Joongie sejak dulu .. apakah memang bukan sekedar perhatian seorang dongsaeng kepada noonanya? ... Aku menekan kepalaku. Lantai yang kupijak seakan bergoyang keras. Aku mundur beberapa langkah kebelakang, membalikan tubuh dan berlari cepat dari sana.
Aku terus berlari... berlari ... dan berlari .. tanpa tahu arah tujuan yang pasti. Yang jelas aku ingin meninggalkan semuanya ...
Akhirnya .. aku terduduk lemas di bangku panjang yang tersedia buat penunggu bis di pinggir jalan. Nafasku terengah-engah .. rasa capek dan lelah membuatku memejamkan mataku rapat-rapat.
***************
Suara berisik disekitar membuatku membuka mataku. Aku memalingkan muka kearah suara tersebut berasal. Seseorang tampak sedang dikeroyok oleh beberapa orang di taman kecil yang ada dibelakangku. Aku menajamkan pandanganku. Sosok jangkung itu sepertinya tidak asing bagiku. Dan .... oh tuhanku .. tidak salah lagi, pemuda yang sedang dikeroyok itu adalah Mino.
Bergegas aku berlari kearah mereka. Mino berdiri terhuyung-huyung di tempatnya. Darah segar menetes dari sudut bibirnya.
"Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan ??", teriakku histeris.
Salah satu dari penyerang itu mendekatiku. Aku mundur beberapa langkah kebelakang dengan ketakutan. Kukeluarkan ponselku dari dalam tas dengan tangan gemetar.
"Aa ..a .. paaa .. mau... muuu? Jangan .. men..de..kat.. jika.. tidak .. aku.. aku .. akan menelepon ..po..lisi ..", kataku tergagap-gagap.
Orang itu menghentikan langkahnya. Dia memperhatikanku dengan pandangan menusuk.
"Ok .. kalian menang sekarang tapi .. sebaiknya kalian berhati-hati ..", kemudian dia berpaling ke yang lain dan berkata lagi ..
"Ayo .. pergi guys!!!", mereka berempat kemudian berlalu, meninggalkan kami di tempat.
Aku berlari kearah Mino dan membantu menyangga tubuhnya yang hampir ambruk ke depan.
"Bagaimana? kamu baik-baik saja kan ?"
Mino tidak menjawab pertanyaanku. Matanya terpejam dan kepala menyampir di pundakku. Aku menarik nafas panjang melihat keadaannya. Kuambil saputangan dari saku celanaku dan menghapus darah yang ada dibibirnya dengan pelan.
"Acchhhhhhhhhhh...", teriak Mino kesakitan.
"Ohhhhh ... maaf.. apakah.. apakah saya menyakitimu? .. tapi salahmu sendiri .. mengapa sampai berurusan dengan para berandalan itu ?"
"Bukan urusanmu !!!", Mino mendorongku kebelakang dengan tiba-tiba.
Aku mendelik padanya. Kesabaranku sudah mulai habis dengan perbuatannya yang tidak masuk akal ini.
"Kenapa kamu selalu bersikap begitu terhadapku? bagaimanapun juga saya ini adalah calon kakak iparmu .. tidak seharusnya kamu bersikap tidak sopan begitu .."
"Hentikan!!!! Aku tidak mau mempunyai seorang kakak ipar sepertimu!!!"
Aku terkejut melihat kemarahan Mino. Bibirku terkatup rapat, tidak mampu untuk mengeluarkan bantahan.
"Mengapa kamu hadir dengan tiba-tiba dalam kehidupan kami? ...Saya sudah menunggu kesempatan ini bertahun-tahun yang lalu... setelah saya sampai pada waktunya untuk melakukannya, kamu datang dengan tiba-tiba dan menghancurkan semuanya .."
Aku semakin tidak mengerti dengan perkataan Mino.
"Maksudmu apa?"
"Saya sudah mengira bahwa setelah tamat kuliah, saya dapat melakukan semua keinginanku tapi begitu kedatanganmu yang tiba-tiba .. hyung harus menikah dan menetap di Amerika bersamamu, sedangkan aku .. aku diharuskan mengurus pusat perusahaan disini yang sama sekali tidak kuingini .."
Aku termangu dengan perkataan Mino tanpa mampu untuk memberikan tanggapan.
"Semula saya mengira, semuanya akan baik-baik saja .. paling tidak, saya bisa melakukan apa yang saya sukai sambil membantu mengurus perusahaan keluarga .. tapi saya salah .. ada sesuatu .. sesuatu yang tidak bisa saya hindari ....", sambil berkata begitu Mino menatapku lekat-lekat.
Aku berusaha menghindar dari tatapannya, tapi tidak bisa. Pandangannya begitu dalam dan mengetarkan jiwa. Mino mendekatiku dengan lambat. Kedua tangannya memegang wajahku dan secara perlahan tapi pasti, dia menempelkan bibirnya ke bibirku.
Aku tergangga. Tidak pernah ada seorang priapun yang memperlakukanku seperti ini, tidak juga Junki. Tapi.. sesaat kemudian, Mino seperti tersadar akan kelakuannya sendiri. Dia segera melepaskan pengangannya di wajahku dan mundur ke belakang sambil mengelengkan kepala. Aku memandanginya terus dengan mata tak berkedip. Dia masih saja mengeleng-gelengkan kepalanya dan kemudian dia berbalik, berlari meninggalkanku sambil berteriak keras.
"Tidakkkkkkkkk !!!!!!!!!! ........ saya sudahhhhhh gilaaaaaaaaaa !!!!!!!!!!!"
************00000************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
The Sarang--Chapter Five
Tittle : The Sarang
Author : Lovelyn Ian Wong
-Chapter Five
Author : Lovelyn Ian Wong
-Chapter Five
Hari pernikahanku keesokan harinya ...
Kami sedang menunggu kedatangan rombongan Junki yang akan menjemputku ke gereja, dimana aku dan Junki akan mengucapkan sumpah sehidup semati disana. Aku duduk di kursi panjang ruang tamu dengan gaun pengantin serba putih lengkap dengan kerudungnya. Pikiranku sangat kacau. Kejadian-kejadian semalam terbayang lagi dalam otakku. Pembicaraan antara bibi dan Joongie yang masih tidak dapat kupercayai. Joongie mencintaiku. Tidak!! aku masih tidak bisa menerima kenyataan ini.
Bagaimana mungkin Joongie bisa mencintaiku? Aku hanya menganggapnya sebagai seorang dongseng saja. Dan Mino ... deg..deg...deg...hatiku berdegup kencang ketika mengingat perbuatannya semalam. Tanpa kusadari tangan kananku terangkat dan menyentuh bibirku. Aku menggigit bibir dengan perasaan yang lebih kacau. Kugelengkan kepalaku keras-keras. Tidakkkkkkk!!! .. aku tidak boleh memikirkannya. Tidak boleh untuk saat ini dan juga waktu yang akan datang.
"Hyesun .. kamu kenapa? kelihatannya ada yang mengelisahkanmu..", pertanyaan bibi menyadarkanku dari lamunan.
"Ohhh... tidak ! .. saya tidak apa-apa, bi!", jawabku tergagap-gagap.
Bibi memandangku khawatir. Aku tersenyum dan mengelengkan kepala. Aku tidak ingin bibi sampai dibuat gelisah oleh keadaaanku. Joongie dari tadi belum kelihatan kedatangannya. Mungkin dia kecewa dan menghindar lagi. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Aku sungguh tidak ingin menyakiti hati dongsaengku yang telah bersama dan menjagaku sejak kecil.
Suara dering telepon terdengar dari sudut ruangan. Dengan terburu-buru Mrs. Goo mengangkatnya.
"Hello .. benar disini kediaman keluarga Goo ... Aaapaaaaaaaaaa? a..a..a pa katamu ? ..ohhhhh ............"
Mrs. Goo menjatuhkan teleponnya ke lantai .... brakkkkkkkkk ...........
Dia berdiri terpaku disana. Pandangannya semu. Aku memperhatikan reaksinya dengan seksama, begitu juga dengan puluhan pasang mata yang ada di ruangan ini ..
Mrs. Goo menatapku. Bibirnya bergetar, airmata mengalir keluar dari sudut matanya. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya tidak keluar.
"Mama, ada apa? Siapa yang menelepon tadi", tanyaku penasaran.
"Hyesun ... Junki ... Junki ...dia ...". Hanya itu yang keluar dari mulut Mrs. Goo.
Aku mengerutkan alis, semakin tidak mengerti dengan perkataannya. Tiba-tiba Mrs. Goo berlari kearahku dan memelukku erat-erat. Aku tertegun, sementara yang lain memperhatikan kami dengan pandangan bertanya-tanya.
"Mama.. ada apa sebenarnya?", aku berusaha untuk menenangkannya.
"Junki... Junki.. mengalami...mengalami kecelakaan .. dalam perjalanannya kemari ..", jawab Mrs. Goo terisak-isak.
"Kecelakaan? Kenapa bisa begitu? lalu...lalu bagaimana keadaannya?", aku menguncang-guncang tubuh Mrs. Goo dengan keras tanpa kusadari.
"Hyesun .. kamu ..kamu harus tenang mendengar berita ini ...huuu..huuu .. mobil yang ditumpangi Junki bersama dongsaengnya ... bertabrakan dengan mobil lain..dan .. dan Junki ... Junki .. meninggal seketika dalam... dalam.. kecelakaan itu ..."
Grrrrrrrrrrrrr ............ bumi yang kupijak terasa bergetar hebat. Kepalaku berkunang-kunang dan pandanganku menjadi kabur. Dalam hitungan detik aku .........brukkkkkkkkkkkk ....... ambruk ke lantai .............
*****************
Aku membuka mata dengan perlahan. Samar-samar teringat olehku perkataan Mrs. Goo. Tidak!! itu pasti cuma mimpi. Bukankah aku baru bangun dari tidur? Benar, itu semua pasti hanya mimpi buruk semata.
Tapi .. tidak !!! saat mataku terbuka, tertangkap oleh pandanganku wajah papa, Mrs. Goo, bibi, paman dan Joongie, yang sudah berada disitu, kelihatan sedih dan sendu.
"Tidakkkkkkkkk .... ini tidak benar... huuuuu .. huuuuuuu.... tolong... tolong .. katakan pada saya bahwa semua ini hanya mimpi ...", isakku dengan penuh pengharapan.
Semua yang berada diruangan itu langsung mengalihkan perhatiannya kepadaku begitu mendengar suara yang keluar dari mulutku. Bibi memelukku erat-erat. Isak tanggis mulai keluar dari mulutnya.
"Kamu harus tabah sayang.. huu..huu.. mungkin Junki bukan jodohmu ... huuuu .. apapun yang terjadi kami akan selalu berada disampingmu ..huuu.."
Mendengar perkataan bibi, airmata mengalir keluar dari pelupuk mataku. Aku merasa lelah. Aku ingin tidak mempercayai semuanya, dan yang dapat kulakukan sekarang adalah menanggis kesenggukan dalam pelukan bibi.
"Huuuuuu ... huuuu...huuu.. mengapa bisa begini ... huuu.. aku...aku ... belum berterimakasih ... untuk..huuu... untuk semua kebaikkannya selama ...huuu.. ini ..huuuuu ..."
Bibi semakin mempererat pelukannya. Punggungku dielus-elusnya dan aku dapat merasakan dengan pasti semua perhatiannya. Sementara yang lain hanya bisa memandangiku dengan wajah sedih.
"Semua akan berakhir , sayang... huuu... kamu akan bisa melupakan semuanya ... percayalahh.."
Aku melepaskan diri dari pelukan bibi secara perlahan. Kupandangi wajah mereka satu persatu. Mereka kelihatan sangat khawatir dengan keadaanku.
"Huuu.. huuuuu... aku tidak apa-apa .. aku ... aku masih bisa bertahan ..huu... bibi ... dapatkah bibi membawaku ke tempat Junki ..?"
"Tapi.. keadaanmu..?
Aku mengangkat tanganku sebagai tanda baik-baik saja.
"Baiklah ....mayatnya sudah dipindahkan ke rumah sakit .. begitu juga dengan dongsaengnya yang terluka parah .."
"Dongsaeng???..ahhhhhhhhh ... benar.... ya.. tuhanku...lalu... lalu... bagaimana keadaannya?", tanyaku dengan mata terbelalak.
Baru teringat olehku perkataan Mrs. Goo bahwa Junki dan Mino berada dalam mobil yang sama ketika kecelakaan itu terjadi. Semua yang berada disitu melihat keterkejutanku yang amat sangat. Tapi, tidak ada seorangpun yang menyadari mengapa saya bisa begitu. Aku sendiripun tidak menyadari mengapa reaksiku bisa seluar biasa itu.
"Kata Mrs. Lee luka Mino sangat parah ... dia dalam keadaan koma sekarang ... kakinya patah dan sepertinya harus dioperasi dengan segera ...", kali ini Mrs. Goo yang menjelaskannya kepadaku.
Aku terhenyak di ranjang dengan airmata yang kembali bercucuran dari mataku.
*****************
Beberapa jam kemudian, aku diantar oleh papa kerumah sakit "Don Hyeon", dimana jasad Junki terletak dan Mino dirawat. Melihat keadaanku yang lemah seperti itu, sebenarnya papa dan yang lainnya tidak setuju dengan rencanaku kerumah sakit. Tapi karena aku memaksa terus, mereka jadi tidak bisa berbuat apa-apa.
Mr. dan Mrs. Lee saling berpelukan dan menanggis kesenggukan di sebuah kamar dimana mayat Junki terbaring disana. Aku melangkah dengan pelan mendekati mereka. Kuperhatikan wajah Junki yang pucat dan agak lecet di bagian dagu dan pipinya. Aku memejamkan mata rapat-rapat dan airmata tidak terbendung lagi, mengalir dari sudut mataku. Aku tidak percaya Junki akan meniggal setragis itu. Aku tidak sanggup untuk menatapnya lagi.
"Huuuuu ...huuu..huuu kenapa.. kenapa bisa begini?.... Junki... Junki .. anak yang baik ... mengapa .. mengapa .. dia .. diambil begitu saja... dariku ..huuu ..huuuu... dan Mino... ohhh... Mino .. tidak tahu pula...huuu...bagaimana.. bagaimana nasibnya...huuu...ohh... tuhanku .. mengapa huuu.. mengapa tidak... mengambil nyawaku ..saja .. huuuuu ..?", Mrs. Lee terisak-isak dalam pelukan Mr. Lee, suaranya begitu menyayat hati.
Mr. Lee memeluk istrinya erat-erat sementara airmata juga mengalir dari sudut matanya. Aku menatap mereka dengan isak tanggis yang mulai terdengar. Adegan ini begitu menusuk hatiku. Aku merasa tidak sanggup untuk berdiri terus disini. Aku lalu mendekati mereka.
"Jangan khawatir, paman dan bibi Lee ... tuhan tidak akan mengambil dua anak dari paman dan bibi sekaligus ...huuu... Mino.. Mino .. dia akan baik-baik saja .. percayalah akan hal itu .."
Mr dan Mrs. Lee mengalihkan pandangannya kepadaku. Mereka sepertinya baru menyadari kehadiranku.
"Hyesun? oh.. Hyesun... huuu....huuu.. Junki... Junki ... dia..", Mrs. Lee terisak-isak kembali tanpa mampu melanjutkan kata-katanya lagi.
"Junki akan tenang dalam tidurnya ....kalian juga .. jangan terlalu bersedih .. dia.. dia tidak akan senang jika melihatnya ...setidaknya... dia.. dia tidak terlalu menderita dalam kejadian ini...huuu.. itu yang paling penting ..bukan ?"
Aku berusaha untuk menghibur mereka walaupun hatiku sendiri terasa sakit.
"Huuu..huuuuu... mungkin benar katamu ... kami ... kami harus melepaskannya dengan rela ... huuuu .. kami akan.. melihat Mino .. apakah .. apakah kamu mau ikut dengan kami?"
Aku mengeleng dengan cepat. Mr. dan Mrs. Lee memandangi jasad Junki sekali lagi, setelah itu baru keluar dari ruangan itu dengan saling menuntun satu sama lain. Aku memberanikan diri sekali lagi menatap jasad Junki. Mulutku mengeluarkan suara dengan bibir gemetar.
"Aku ... aku seharusnya berterimakasih sejak dulu kepadamu atas.... atas semua perhatian dan kasih sayangmu ... tapi ...aku juga ingin meminta maaf kepadamu ... atas.. atas segala keragu-raguan yang kurasakan dalam... dalam .. hubungan kita .. aku..aku tidak mengerti mengapa bisa begini... maafkan aku .. Junki .. maafkan aku .. di hari yang menentukan ini... aku... aku sempat berpikir.... bahwa....bahwa pernikahan kita ... ini salah... aku.. aku seharusnya tidak berpikir begitu ... sekali lagi... sekali lagi ... maafkan aku... huuuuu....huuuu..", aku menundukkan wajahku di sudut ranjang Junki dan isak tanggis kembali meledak dari mulutku.
**********************
Tiga minggu telah berlalu sejak peristiwa mengenaskan itu. Waktu terasa berjalan dengan lambat. Segala persiapan buat pemakaman Junki telah dilakukan sejak tiga minggu yang lalu.
Mino sudah sadar dari komanya dua minggu yang lalu. Operasi yang dijalaninya berjalan dengan lancar. Walaupun kakinya masih belum bisa digunakan dan dia harus duduk di kursi roda, tapi keadaannya sudah baik dan sehat. Semua kabar itu hanya saya dapat dari Mrs. Lee karena sejak malam sebelum pernikahan itu aku belum berjumpa lagi dengannya.
Hari ini adalah hari pemakaman Junki. Semua tamu dan kerabat yang hadir mengenakan pakaian serba hitam. Wajah-wajah mereka semua terlihat sedih dan ikut berdukacita. Mr. dan Mrs. Lee lagi-lagi menanggis kesengukan diantara para tamu yang menghiburnya.
Melihat adegan itu, perasaanku kembali tersayat. Luka yang sudah berusaha kuobati selama tiga minggu ini terkoyak kembali. Aku melangkah dengan gontai melewati para tamu yang berkerumun di ruangan itu menuju taman belakang yang terhubungkan dengan ruang belakang tadi.
Disana aku mendapati Mino sedang terduduk lemas di kursi rodanya. Wajahnya tertunduk dalam-dalam. Aku terpaku. Aku seakan bisa merasakan apa yang dirasakannya. Rasa dingin, kesepian, sedih dan kecewa, tersirat dengan jelas dari cara duduknya. Ingin rasanya aku berlari kearahnya, memeluknya, dan memberi kehangatan kepadanya supaya dia tidak kedinginan lagi dan menghiburnya agar semua penderitaannya berakhir.
Tapi... tentu saja aku tidak dapat melakukan itu. Berpuluh-puluh pasang mata akan memperhatikan kami jika aku melakukannya. Akhirnya aku berjalan kearahnya, membuka jaketku dan menyampirkannya ke punggungnya. Ketika aku bermaksud berlalu dari situ, tangan Mino terangkat dan mengenggam tanganku dengan erat. Aku bisa merasakan tangannya yang sedingin es ditanganku.
"Jangan pergi .. aku mohon... dingin... sangat dingin disini ...", suara pelannya terdengar penuh harap.
Aku tertegun di tempatku. Kutatap wajahnya dengan perasaan sendu. Dia tidak melihat kearahku. Wajahnya masih tertunduk tapi pegangannya ditanganku tidak dilepaskannya. Aku menarik nafas panjang dan dengan patuh berdiri disampingnya, tanpa perlu diminta untuk kedua kali. Kami berada dalam posisi itu dan saling melengkapi untuk waktu yang cukup lama sebelum acara pemakaman Junki dilaksanakan.
*********************
Seminggu setelah pemakaman Junki, aku diminta untuk datang ke rumah oleh Mrs. Lee. Dia sedang duduk di ruang tamu ketika aku diantar oleh seorang pelayan kepadanya.
"Ohh.. Hyesun, akhirnya kamu datang juga .. hmmm.. begini.. tadi pagi, bibi membereskan kamar Junki dan .. bibi menemukan beberapa kotak yang bagian atasnya tertulis namamu .. mungkin semua itu merupakan hadiah dari Junki untukmu .. bibi belum membukanya karena .. bibi merasa tidak punya hak untuk itu .. maka itu bibi memintamu untuk datang kemari .."
Aku terkejut mendengar perkataan Mrs. Lee.
"Hadiah? dari Junki ... untukku ?"
"Iya .. saya rasa kamu lebih berhak untuk memilikinya .... oh.. ya .. kotak-kotak tersebut masih berada di kamar Junki .. apakah perlu bibi mengantarmu kesana?"
"Oh.. tidak.. bibi tidak perlu melakukan itu jika bibi masih ada urusan lain .. saya akan mengambilnya sendiri "
Mrs. Lee mengangguk dan kemudian meninggalkanku sendiri. Aku berdiri di bawah tangga yang menghubungkan ruang tamu dan kamar-kamar di lantai atas dengan ragu-ragu. Aku tidak begitu berani melangkahkan kakiku keatas. Aku takut kalau bayangan Junki akan kembali mengikutiku. Setelah berusaha dengan sekuat tenaga mengobati luka ini, aku tidak ingin membuatnya berdarah lagi. Tapi akhirnya aku menguatkan diriku dan mengerahkan semua kemampuanku untuk melewati langkah demi langkah, tangga demi tangga, menuju tempat yang penuh kenangan akan Junki itu.
************00000************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Re: The Sarang - by Lovelyn
hmm belum ada lanjutannya yah?
please... dilanjut post chap berikutnya ^_^'
please... dilanjut post chap berikutnya ^_^'
Toptian- Posts : 2
Join date : 2013-06-16
The Sarang--Chapter Six
Tittle : The Sarang
Author : Lovelyn Ian Wong
[size=18]-Chapter Six/size]
Author : Lovelyn Ian Wong
[size=18]-Chapter Six/size]
Aku berdiri di lantai atas kediaman Lee dengan perasaan campuraduk. Kamar-kamar yang berjejer di kanan kiri lorong itu kelihatan sunyi dan mati. Keheningan menyelimuti keadaan sekitarnya. Ada perasaan merinding merasuki hatiku. Dengan perlahan kulangkahkan kakiku ke kamar yang terletak paling ujung.
Akan tetapi, langkahku terhenti di depan pintu kamar Junki ketika samar-samar tertangkap oleh pandanganku sesosok bayangan yang sedang menunduk di ranjang kamar depan, melalui celah pintu, yang tidak tertutup rapat. Aku tidak jadi memasuki kamar Junki. Kualihkan langkahku ke kamar yang berada di depan kamar Junki dan mengintip melalui celah pintu yang agak terbuka.
Mino terlihat sedang mengamati benda yang berada ditangannya dengan seksama. Tampangnya kelihatan sedih dan merana. Aku memperhatikannya selama lima menit, tetapi dia masih saja berada dalam posisi yang sama. Aku menjadi penasaran dengan benda yang dipegangnya.
Dengan perlahan kudorong pintu kamar tersebut sehingga terbuka lebar. Aku mendekati Mino yang masih belum bergerak di tempatnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Mino tidak menyadari kehadiranku disitu. Pandangannya masih berpusat ke barang yang dipegangnya, yang ternyata adalah sepasang sepatu ice skate, yang sekarang terlihat jelas olehku.
"Jadi.. itu sebabnya kamu menolak mengurus LKH Group?"
Mino segera mengalihkan pandangannya kepadaku. Dia kelihatan sangat terkejut dengan kehadiranku. Matanya terbelalak dan mulutnya menganga lebar.
"Yaaaaaaaaaa ....... kenapa kamu ada disini?"
"Jika memang mempunyai cita-cita sendiri, kenapa tidak mengatakannya kepada Junki?"
Mino kelihatan tidak senang dengan pertanyaanku. Dilemparnya sepasang sepatu iceskate yang dipegangnya ke sudut kamar dekat jendela ............ brakkkkkkkkkkkk ...............
"Apa urusannya denganmu?"
"Jika kamu menceritakannya, saya yakin Junki akan mendukungmu .... Dia memintamu untuk belajar mengurus LKH Group karena dia takut sepak terjangmu makin tidak terkendali .. jika...jika saja dia mengetahui kalau kamu memiliki sesuatu yang positif untuk dilakukan .. saya yakin dia akan mendukungmu ... dia sangat menyayangimu ..."
Mino menundukkan wajah dalam-dalam, aku ikut merasakan perasaan yang bergejolak dalam dadanya.
"Apakah ada bedanya sekarang? semuanya sudah berlalu ... hyung..hyung.. sudah meninggalkan kita untuk selama-lamanya .. lagipula ...", Mino tidak melanjutkan kata-katanya. Tangannya yang gemetar meremas-remas sepasang kakinya yang masih tidak bisa digerakkan.
Aku mengerti maksud dari perkataan Mino. Kakinya setelah sembuh belum tentu dapat digunakan dengan normal apalagi harus bermain olahraga yang sebagian besar mempergunakan kaki seperti ice skating.
"Maafkan saya ...", kata Mino tiba-tiba. Aku segera tersentak dari lamunan mendengar permintaan maafnya yang tiba-tiba itu.
"Apa? Mengapa kamu minta maaf kepadaku?"
"Malam itu ... di taman kecil itu .. saya.. saya seharusnya tidak berbuat seperti itu.. sekali lagi, maafkan aku .."
Aku terdiam. Terbayang kembali olehku bagaimana dengan tiba-tiba Mino mendaratkan ciumannya di bibirku. Aku tidak mampu untuk mengusir bayangan itu dalam pikiranku. Aku bisa merasakan pipiku yang mulai memerah. Dengan segera kualihkan pandanganku ke lemari rias yang ada di samping Mino.
Dan... sesuatu yang dipajang di sana membuatku berteriak keras ......
"Ahhhhhhhhhhhhhh .... kenapa bisa ada disitu?", jari telunjukku kuarahkan berkali-kali ke lemari hias yang ada disana.
Mino kelihatan bingung dengan keterkejutanku yang luar biasa. Dengan segera dia mengikuti arah yang kutunjuk.
"o .. maksudmu boneka kumal itu? saya mendapatkannya di ruang tamu lantai bawah.. semula akan kubuang tapi.. entah mengapa pandangan darinya seakan-akan hidup dan memintaku untuk tidak melakukannya .."
Aku mengangga. Kupandangi Mino dengan seksama. Apakah benar yang dikatakannya? Bagaimana mungkin dia juga dapat melihatnya? Padahal selama ini aku mengira hanya aku seorang yang bisa merasakan aura dari "Sarang".
"Apakah kamu menyukainya?", dengan susah payah Mino meraih "Sarang" dan kemudian menyodorkannya padaku.
"Nahhh .."
"Hahhhhhhhhh", aku membelalakkan mata karena tidak mengerti maksudnya.
"Untukmu ...."
Aku mengambil "Sarang" dari genggaman Mino dengan tangan gemetar. Akhirnya barang paling berharga peninggalan mama kembali lagi ke tanganku.
"Yaaa .. itu hanya boneka biasa, mengapa kamu sangat terharu seperti itu?", Mino menatapku heran. Aku tersenyum kepadanya sambil mengelengkan kepala.
"Oh ya, ada keperluan apa kamu datang kesini?"
Aku terkejut. Pertanyaan Mino menyadarkanku akan tujuanku semula. Dengan cepat aku berbalik dan berlari kearah pintu sambil melambaikan tangan kepadanya.
"Aku pergi dulu .. sampai ketemu lagi dan .. semoga kamu cepat sembuh .."
Aku menutup pintu kamar Mino dan masuk ke kamar depan, kamar Junki, untuk mengambil kotak-kotak yang dimaksud Mrs. Lee.
***************
"Apa itu?"
Pertanyaan Joongie mengagetkanku. Dengan segera kumasukkan barang-barang yang berserakan di ranjang ke dalam dua kotak kecil berwarna abu-abu. Joongie memasuki kamarku dengan penuh tandatanya.
"Bukan apa-apa .. hanya.. hanya .. barang-barang peninggalan Junki ...", jawabku pelan.
Joongie terdiam. Suasana yang sunyi menimbulkan perasaan tidak enak dalam hatiku. Walaupun aku sudah mencoba untuk bersikap biasa kepada Joongie, tapi .. perbincangannya dengan bibi itu selalu saja terbayang-bayang dalam ingatanku.
"Hmmm.. bagaimana dengan pekerjaanmu?", aku berusaha mengusir kediaman antara kami dengan pertanyaan itu.
"Pekerjaanku? .. baik, dengan usaha kerasku, akhirnya atasanku akan menjadikanku sebagai sekretaris pribadinya "
Aku mengangguk. Ya, Joongie pantas untuk mendapatkan jabatan itu.
"Bagus kalau begitu .."
"Noona sudah agak baikan kan sekarang?"
"Ya, tentu saja .. saya baik-baik saja .."
Sekali lagi kami terdiam. Suasana semakin kaku.
"Sudah saya katakan kan? Saya akan membuktikan kepada noona bahwa saya bisa menuju puncak dengan usaha sendiri "
Joongie mengatakan ini dengan penuh perasaan. Pandangannya terarah lurus ke mataku. Aku menjadi serba salah. Yang bisa kulakukan hanya tertawa-tawa dengan paksa.
"Ha..ha...ha.. bagus kalau begitu .."
Setelah itu, aku segera melarikan diri dari situ. Aku tidak tahan kalau harus berlama-lama berduaan dengan Joongie di kamar itu.
*****************
Dua bulan sudah berlalu sejak kematian Junki. Aku sudah mulai dapat melupakan bayangannya dalam pikiranku. Walaupun begitu segala kebaikkannya akan terus tertanam dalam hatiku. Aku mulai bekerja lagi sejak dua minggu yang lalu. Kehidupanku boleh dikatakan sudah berjalan dengan normal kembali.
Mino juga sudah tidak perlu lagi duduk di kursi rodanya. Menurut dokter yang merawatnya, suatu keajaiban dia dapat berjalan dengan normal lagi dalam waktu yang sangat singkat. Dia mulai belajar mengelola LKH Group setelah keadaannya benar-benar sehat. Aku sangat senang mendengar kabar tentangnya dari Mrs. Lee.
Walaupun aku tidak berhasil menjadi menantu keluarga besar Lee, aku tetap dianggap sebagai keluarga sendiri oleh mereka. Seminggu sekali Mr dan Mrs Lee akan mengundangku makan malam bersama di rumah mereka. Selama tiga minggu terakhir aku tidak pernah bertemu lagi dengan Mino.
Mr dan Mrs Lee mengatakan bahwa dia sekarang selalu sibuk dengan pekerjaan barunya di LKH Group. Dia selalu pulang di kala hari sudah larut malam. Jadi walaupun selama beberapa minggu ini aku selalu berkunjung kerumahnya, kami tidak pernah saling bertemu sekalipun.
Malam ini, hari Sabtu, dan seperti biasanya Mrs Lee mengundangku untuk makan malam bersama di rumahnya. Mobil yang kukendarai menembus kegelapan malam sepanjang jalan raya yang menuju kediaman keluarga Lee. Pikiranku sangat penat. Pekerjaan yang mesti kuselesaikan hari ini sangat banyak. Kekuatanku terkuras semua. Tidak pernah kusangka bahwa putaran waktu di kota besar ini begitu cepat dibandingkan di desa. Aku merasa capek. Ingin sekali aku kembali lagi ke kehidupan beberapa bulan yang lalu. Kehidupan yang tenang dan damai.
Tiba-tiba perhatianku tertarik oleh perkelahian yang terjadi di pinggir jalan depan. Aku memperpelan laju mobilku dan memperhatikan adegan tersebut dengan penuh perhatian. Aku tersentak kaget dan menginjak rem mobil tanpa sadar .............grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr ............... mobil yang kukemudikan berhenti dengan mendadak .........
Mino sedang dikeroyok oleh beberapa orang dihadapanku. Aku segera membuka pintu mobil dan berlari kearah mereka. Dengan kalap kudorong beberapa orang yang sedang mengeroyok Mino. Aku tidak menyadari bahwa salah seorang dari mereka memegang pisau ditangannya. Begitu melihat kekalapanku, orang tersebut mengarahkan pisaunya kedadaku...
"Awasssssssssssss !!!!!!!", teriakan Mino menyadarkanku akan bahaya yang menyerang.
Tapi aku sudah terlanjur terpaku di tempatku. Melihat itu, Mino mengulurkan tangannya menangkis serangan tersebut .
Crattttttttttttt ............... darah segar memuncrat keluar dari tangan Mino yang tertancap pisau.
"Ahhhhhhhhhhhhhhhhhh ............."
Teriakanku menarik perhatian semua orang yang berlalu lalang. Mereka semua mulai mengerumuni kami. Para berandalan yang mengeroyok Mino tadi, memperhatikan keadaan sekitar dengan perasaan gentar.
"Guyssssss ....... ayo pergi !!!", teriak salah seorang dari mereka, yang sepertinya adalah pemimpinnya. Mendengar itu, para penyerang yang lain segera berlari mengikuti pemimpin mereka yang sudah melarikan diri duluan.
Aku berlari kearah Mino yang terduduk di pinggir jalan. Pisau yang semula tertancap di tangannya sudah dicabut olehnya. Darah segar mengalir dengan deras dari luka ditangannya. Dengan gugup aku menekan luka tersebut, dengan maksud untuk menghentikan pendarahannya.
"Akhhhhhhhhhh .....", Mino berteriak keras ketika ternyata tekananku di tangannya terlalu keras.
Aku terbelalak, dengan cepat kusingkirkan tanganku dari luka ditangannya.
"Ohhhhhhhhh.... bagaimana .. apa.. apa .. yang harus kulakukan..?"
Aku kebinggungan sendiri di tempatku. Perasaanku sangat kacau. Kembali kujulurkan tanganku bermaksud untuk menekan lukanya, tapi melihat Mino meringgis kesakitan, kutarik kembali tanganku kebelakang. Aku mengacak-acak rambutku. Aku tahu saat ini tingkahku sudah seperti orang gila.
Mino menatapku. Dia berusaha tersenyum walaupun sangat terpaksa. Aku tahu dia berusaha untuk menenangkanku.
"Ambil kain dan.. ikatkan di atas lukaku supaya darahnya tidak mengalir lagi ..", kata Mino kemudian.
Dengan gugup aku mengeluarkan saputangan dari saku celana dan mengikatkannya di tangan Mino, seperti yang diajarkannya.
"Kenapa kamu selalu berurusan dengan berandalan-berandalan seperti itu?", tanyaku kesal.
"Aku tidak mempunyai urusan dengan mereka .. hanya saja.. mereka berusaha memaksaku untuk membantu mereka ..."
"Membantu? apa maksudmu dengan perkataan itu?", tanyaku heran.
"Mereka merupakan suatu perkumpulan yang mengkhususkan diri mengadakan pertandingan-pertandingan gelap, dan saat ini yang paling digemari dalam perkumpulan tersebut adalah iceskating ... beberapa bulan yang lalu saya pernah mengikuti pertandingan yang mereka selengarakan dan saya memenangkannya .. mereka lalu mengajukan tawaran kepada saya untuk bertanding mewakili perkumpulan mereka .. tapi saya menolaknya, lalu mereka ..."
"Memukulmu seperti itu?", sambungku cepat.
"Apa yang ada dalam otakmu? tahukah kamu bahwa berhubungan dengan orang-orang seperti mereka sangat berbahaya? mereka bisa merenggut nyawamu kapan saja ...", lanjutku lagi dengan keras.
Mino terpaku melihat emosiku yang besar. Aku sendiri juga tidak tahu mengapa bisa begini.
"Kamu jangan khawatir .. saya tidak akan membiarkan mereka sampai merenggut nyawaku karena .. karena saya masih harus menjaga dan melindungimu seperti .. seperti janjiku kepada hyung.. di saat-saat terakhirnya ..."
Aku tertegun mendengar perkataan Mino. Bukan saja soal menjaga dan melindungiku yang membuatku begitu tapi karena nama Junki yang disebut-sebut dalam pembicaraannya.
"Apa maksud dari perkataanmu? .. Junki menyuruhmu untuk melindungiku di saat-saat terakhir .. maksudmu .. apakah..apakah .. saat kecelakaan itu?"
Mino mengangguk dengan perlahan. Dia tidak berusaha untuk memandangku. Aku terduduk lemas disamping Mino. Bayangan Junki kembali memenuhi pikiranku.
"Tapi .. ada satu hal yang perlu kamu ketahui .. saya melakukan semua ini bukan hanya karena janjiku kepada hyung tapi karena .. saya.. saya mempunyai perasaan tertentu terhadapmu ..", suara Mino terdengar lembut di telingaku. Dia seolah mengharapkan jawaban dariku.
Aku memalingkan wajah kearah lain, berusaha menghindar dari tatapan Mino yang mempunyai daya tarik magnet. Aku tahu bahwa aku tidak bisa menghindar dari dia tapi aku masih berusaha, dengan cara mengalihkan pembicaraan kearah lain.
"Hmmmm ... lukamu sudah agak baikan sekarang, darahnya sudah berhenti mengalir .. lain kali kalau kemana-mana kamu harus ada yang mengawal dan ...", perkataanku terhenti oleh sentuhan Mino yang tiba-tiba ditanganku.
"Jangan menghindar ...saya tahu bahwa kamu juga mempunyai perasaaan yang sama denganku .."
Aku terdiam. Dengan perlahan kusingkirkan tanganku dari tanganya Mino. Kata-kata selanjutnya yang keluar dari mulutku terdengar penuh tekanan.
"Tidak ada gunanya ... bagaimanapun perasaanku kepadamu, kita tidak akan mungkin bersama .. akan merupakan sesuatu yang memalukan jika seorang mantan calon kakak ipar yang hampir saja menjadi kakak ipar yang sebenarnya, mempunyai hubungan dengan dongsaeng dari orang yang hampir menjadi suaminya sendiri .... ini adalah hal yang tidak bisa diterima .."
"Omong kosong!!!", teriak Mino, "Saya tidak pernah peduli dengan omongan orang-orang .. yang saya inginkan sekarang adalah kamu !", lanjut Mino sambil memandangiku dengan penuh harap.
Aku berdiri dari tempatku terduduk tadi. Kubersihkan celanaku yang agak kotor karena terduduk di pinggir jalan raya itu. Aku memalingkan mukaku kearah lain. Perkataan yang keluar dari mulutku kemudian akan mengecewakan Mino, aku tahu itu.
"Tidak bisa .. bagaimanapun... bagaimanapun ..saya tidak dapat menerimanya ..", dengan bergegas aku meninggalkan Mino, yang masih terduduk di tempatnya.
"Hyesunnnnnnnnn-a ............!!!!!!!!!!!!!"
Teriakan itu menghentikan langkahku. Untuk pertama kalinya dia memanggilku. Bukan noona, dan tidak memakai embel-embel yang lain, Mino memanggilku dengan sebutan nama saja. Aku tersenyum. Itu sudah lebih dari cukup bagiku. Kuteruskan langkahku lagi tanpa mempedulikan teriakannya yang lebih lanjut.
************00000************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
The Sarang--Chapter Seven
Tittle : The Sarang
Author : Lovelyn Ian Wong
[size=18]-Chapter Seven/size]
Author : Lovelyn Ian Wong
[size=18]-Chapter Seven/size]
Tiga minggu kemudian ..
Kringgg......... kringggggggggg... kringgggggggg .... telepon di ruang tamu berdering dengan nyaring. Dengan terges-gesa aku berlari ke sana, meraih dan menempelkan gagang telepon itu ke telinga.
"Hallo... benar! saya sendiri .. a...a...apa??"
Brakkkkkkkkkkkk .......... gagang telepon yang kugenggam terjatuh ke lantai. wajahku langsung pucat. Bibirku bergetar dengan hebat. Kabar yang baru kuterima begitu mengejutkan. Seperti orang yang sudah kehilangan akal sehat, aku berlari ke pintu depan tanpa menganti pakaian terlebih dahulu. Aku membuka pintu depan dengan segera dan langsung melesat keluar. Seseorang yang sudah berdiri di sana tertabrak olehku dengan keras .. brakkkkkkkkkk .....
"Ackhhhhhhhhhh ...", teriakan bersamaan keluar dari mulut kami.
Aku mengusap-usap dahi dan hidungku yang memerah. Kuperhatikan orang di depanku dengan seksama. Aku sangat terkejut ...
"Minoooo !!!!!!!!!!", teriakku dengan mata terbelalak lebar.
Aku sungguh tidak mempercayai semua ini. Telepon yang baru saja kuterima mengatakan bahwa dia mengalami kecelakaan yang sangat parah, yang hampir merenggut nyawanya. Tanpa kusadari, airmata mengalir keluar dari pelupuk mataku. aku merangkulnya dengan erat. Hatiku sangat lega dan bersyukur karena berita itu tidak benar.
"Kamu lihat sendiri kan? betapa berartinya saya bagimu .."
Perkataan Mino langsung menyadarkanku akan sesuatu. Aku mundur kebelakang dan memperhatikannya. Sungguh, pada saat ini juga dia kelihatan begitu mempesona. Kemeja putih lengan panjang yang digulung keatas dengan kancing yang agak terbuka di bagian dada, dipadu dengan rompi berwarna abu-abu dan celana ketat berwarna hitam, dia tetap kelihatan sempurna.
Tapi ... bukan itu saja yang menarik perhatianku. Dia kelihatan sehat dan tidak kekurangan apapun. Ini membuatku sadar bahwa telepon yang kuterima datangnya dari pihak dia.
"Kamu sengaja berbuat begitu? kamu yang meneleponku?", tanyaku dengan pandangan menyelidik.
"Saya menyuruh sopirku meneleponmu .... bagaimana? saya lihat kamu sangat sedih dan takut begitu mendengar sesuatu terjadi padaku ...."
Plakkkkkkkkkkk ............ tamparan yang keras mendarat di pipi Mino. Airmata masih mengalir keluar dari sudut mataku. tapi emosiku sudah tidak dapat kubendung lagi. Mino sampai tertegun melihat kemarahanku yang memuncak dan tampangku yang berubah keras.
"Kamu suka bercanda? ......... kamu senang melihat kekhawatiran dan ketakutanku? .. tahukah kamu bahwa saya ketakutan setengah mati.. saya benar-benar takut ... saya takut kalau kejadian yang menimpa Junki juga terjadi kepadamu ... saya .. saya .. takut kalau .. kalau saya tidak dapat bertemu kembali denganmu ... saya ..huuuu... saya ...huuu...", aku menutup wajah dengan kedua tangan tanpa mampu menahannya lagi, aku menanggis terisak-isak di depan Mino.
Mino mendekatiku, mengulurkan tangannya dan membawaku kedalam pelukannya.
"Maafkan saya .. saya tidak bermaksud berbuat sesuatu yang akan mengingatkanmu pada hyung ... saya hanya.. hanya ingin membuktikan kepadamu bahwa saya mempunyai tempat yang istimewa di dalam hatimu .."
Aku segera melepaskan diri dari pelukan Mino dan menatap lurus ke matanya.
"Walaupun begitu .. hubungan kita tetap mustahil ..."
"Mengapa? .. saya tidak akan menyerah kecuali kamu mengatakan bahwa kamu tidak mencintaiku .."
Mino menatapku dengan sungguh-sungguh. Aku menghela nafas panjang. Aku tahu Mino menyadari jawaban dari pertanyaannya. Aku tidak sanggup mengatakannya karena aku mencintainya. Sejak pertemuanku yang pertama dengannya, bayangannya sudah tertancap dalam hatiku.
"Jika kamu tidak sanggup untuk mengatakannya, maka saya menganggap kamu sudah bersedia menjadi pacarku!"
"Hahhhhhhhhh .......??", aku membelalakkan mataku. Mino kembali lagi ke sifatnya yang suka mengambil keputusan seenaknya.
"Ayo, pergi !!!", Mino meraih dan menarik tanganku.
"Kemana??", tanyaku binggung.
"Kencan ...", jawabnya, sambil tersenyum nakal dan mengedipkan sebelah matanya.
Aku terkejut, tapi sebelum sadar dari keterkejutanku, Mino sudah memaksaku masuk ke dalam mobilnya yang terparkir tidak jauh dari sini, dengan cara menarik tanganku.
"Yaaaaaaaaaa .... aku belum berganti pakaian !!"
"Ha...ha....ha.. kamu terlihat sexy kok dengan baju kaos dan celana pendek ini ..", Mino terbahak-bahak dengan leluconnya sendiri. Sedangkan aku ... hanya bisa cemberut di sampingnya. Mobil yang kami tumpangi secara perlahan melaju, meninggalkan tempat itu.
***************
Ini adalah kencanku yang sebenarnya dengan Mino. Walaupun semula aku hanya dipaksa olehnya tapi aku merasa bahagia dengan kencan pertama kami.
Mino mengajakku ke berbagai tempat yang belum pernah ku kunjungi. Kami makan, nonton dan bermain dengan gembira, layaknya anak-anak kecil yang baru terlepas dari penjagaan ketat orangtua.
Dan untuk pertama kalinya Mino memperlihatkan keahliannya dalam permainan iceskating kedapaku. Walaupun gerakan-gerakan sukar tidak dapat dilakukan, akibat dari kakinya yang tidak mengijinkan untuk itu, permainannya tetap kelihatan sempurna. Dia benar-benar memiliki bakat alam dalam bidang yang satu ini. Putaran-putaran yang dilakukannya, gerakan-gerakan kakinya yang panjang, ekspresi-ekspresi dari wajahnya yang sangat menikmati permainan tersebut, dapat membuat semua penonton terpukau di tempat.
Ada satu hal yang baru kusadari saat ini. Mino pasti sangat terpukul ketika mengetahui bahwa dirinya tidak bisa bermain ice skating lagi. Aku teringat kembali bagaimana ekspresi wajahnya ketika memperhatikan sepasang sepatu ice skate di kamarnya dua bulan yang lalu.
"Mengapa melamun? hmmm... bagaimana permainanku tadi?"
Pertanyaan MIno menyadarkanku dari lamunan. Dia memandangiku dengan mata berbinar-binar.
"Perfect .. kamu sangat menyukainya, kan?"
"Ya, tapi.. sekarang saya lebih menyukaimu ..."
Aku terdiam mendengar jawaban Mino. Hatiku berdegup kencang.
"Dulu .. ice skating adalah segalanya bagiku.. tapi sekarang, saya rela melepaskannya, karena kamu lebih penting bagiku.. saya akan belajar keras untuk memajukan LKH Group demi kamu .. karena kamu, saya sudah mulai mencintai pekerjaanku yang sekarang .."
Aku tertunduk. Perasaan malu dan bahagia bercampuraduk dalam hatiku.
"Saya melakukan semua ini bukan hanya demi papa, mama dan hyung, yang terutama demi kamu .. akan saya buktikan kepada semua orang bahwa saya tidak hanya bisa main, tapi saya juga bisa menjadi orang yang bertanggungjawab..", setelah berkata begitu, Mino berlutut didepanku.
Pandangannya terarah lurus kemataku, dan ... ohhh .. aku tidak bisa memalingkan wajahku. Tatapannya begitu dalam, dan aku bisa merasakan semua perasaan sayang dan cinta dari tatapannya itu.
Secara perlahan tangan Mino terulur memegang wajahku. Elusannya yang lembut membuat mataku terpejam dengan sendirinya. Lima detik kemudian bibirnya yang lembut menempel di bibirku. Secara perlahan bibirnya terbuka dan mulai melumat bibirku. Selama beberapa detik aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya membiarkannya saja melumat bibirku. Tapi .. sesaat kemudian, tanpa sadar, bibirku terbuka dan mulai membalas lumatan-lumatannya yang mulai menganas.
Kami saling melumat dan berangkulan dengan erat. Aku bisa merasakan lidahnya bermain di dalam mulutku. Lima menit kemudian, kami kehabisan nafas dan terengah-engah setelah ciuman yang panjang itu. Mino memandangiku dan tersenyum nakal di tempatnya sedangkan aku segera membuang muka kearah lain dengan wajah merah padam. Aku malu sekali karena sudah seagresif itu.
******************
Aku sedang berdandan di depan kaca ketika Joongie melintas di depan kamarku, tiga hari kemudian.
"Noona mau keluar?", tanya Joongie sambil memasuki kamarku. Aku berpaling kepadanya dan tersenyum simpul.
"Akhir-akhir ini noona kelihatan lebih bahagia dari biasanya .."
"Kamu berpendapat begitu?"
"Ada sesuatu yang terjadi dengan noona?", tanya Joongie penasaran.
"Hmmm .. mungkin benar, tapi .. belum saatnya saya memberitahukannya kepadamu .. dan .. bagaimana denganmu? kamu sudah tidak begitu sibuk lagi ya ? saya lihat akhir-akhir ini kamu tidak perlu bekerja sampai larut malam lagi .."
"Iya, karna sekarang saya sudah menjadi sekretaris pribadinya atasan baru saya jadi saya tidak perlu lagi mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kecil lainnya "
Aku mengangguk dan sekali lagi aku tersenyum kepadanya.
"Jadi benar, noona mau keluar malam-malam begini?", tanya Joongie lebih lanjut.
"Ya, saya ada janji makan malam dengan seseorang..", jawabku kemudian, dengan senyum yang masih menghias di wajah.
"Makan malam? dengan siapa?", tanya Joongie lagi, sambil mengerutkan alisnya. Dia kelihatan tidak begitu senang dengan jawabanku.
"Ehemmmmmmmmm ... lain kali saja kita membicarakannya.. saya...saya harus keluar sekarang ..", dengan tergesa-gesa aku meraih tasku yang tergeletak di meja rias dan berlari keluar.
"Yaaaaa ... noona! ... noona ...!!!!"
Teriakan Joongie begitu keras di belakangku. Tapi aku tidak memperdulikannya. Aku terus saja berlari menuju ke jalan depan, dimana mobil Mino terparkir.
*****************
Makan malam kali ini benar-benar istimewa bagiku. Mino sengaja membawaku ke sebuah rumah makan pribadi yang menyediakan makanan-makanan khas Korea. Aku menjadi teringat kembali akan masa-masa di desa Jeja. Perasaan rindu membuat mataku berkaca-kaca.
"Enak?"
"NNNNNNNNNNgggggggggg ...", anggukku.
Mino memperhatikan gerak-gerikku. Dia kelihatan sedikit gugup melihat mataku yang berair.
"Hmmm.. kamu tidak suka ?"
"Tidak ... aku sangat menyukainya.... terimakasih ..", jawabku cepat.
"Jika begitu, mengapa kamu kelihatan sedih?", tanya Mino, tidak mengerti.
Aku tersenyum kepadanya, berusaha untuk menyakinkannya bahwa saya menyukai kejutan yang diberikannya kepadaku.
"Saya sangat menyukainya, sungguhhhhh ... saya bukan sedih, saya.. saya hanya terharu karena semua ini mengingatkanku ke kehidupanku yang tenang setengah tahun yang lalu ..."
Mino membisu untuk beberapa saat. Dia kelihatan sedang memikirkan sesuatu. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang dipikirkannya.
"Jadi .. kamu sangat menyukai kehidupanmu dulu?", tanyanya kemudian dengan suara pelan.
"Ya, saya sangat menyukai dan mencintai kehidupanku yang dulu .. tapi, itu sebelum... sebelum perjumpaanku denganmu?", aku menundukkan wajahku setelah berkata ini.
Mino terkejut. Dia mungkin tidak menyangka aku akan berkata begitu. Sepasang matanya langsung berbinar-binar dan wajahnya berseri-seri. Aku sangat gugup. Aku merasa menyesal setelah berkata begitu. Tanganku meremas-remas boneka "Sarang" yang sudah kupakaikan kembali di tanganku, setelah di kembalikan Mino beberapa waktu yang lalu. Mino mengikuti arah permainan tanganku dan tersenyum simpul.
"Sebenarnya sudah lama saya ingin bertanya kepadamu?"
"Apa?"
"He..he.. mengapa kamu memakai boneka itu di tanganmu? bukankah masih banyak gelang yang lebih menarik di bandingkan boneka kumal itu?"
Aku memandangi Mino dengan serius. Kali ini tidak ada lagi perasaan gugup dan malu yang menghinggapiku tadi.
"Bagiku dia bukanlah boneka biasa, dia merupakan sesuatu yang istimewa, yang telah mempertemukan dan menyatukan mama dan papa .."
Mendengar perkataanku, Mino langsung tertegun di tempatnya.
"Maksudmu .. maksudmu dia.. dia sejenis boneka jodoh?"
"Hhhhh ... entahlah, saya juga tidak tahu .. tapi .. yang jelas pada saat kunjungan pertamaku ke rumahmu, aku menjatuhkannya dan kemudian yang menemukan dan mengembalikannya kepadaku adalah kamu .."
Aku mengamati Mino dengan seksama, berusaha untuk mendapatkan reaksi atas perkataanku tadi.
"Apakah kamu percaya bahwa dia mempunyai kekuatan itu?", tanyaku dengan pandangan menyelidik.
Mino memandangiku, lalu dia meletakkan tangannya di tanganku.
"Jika kamu percaya, maka saya juga akan percaya ..", jawabnya sungguh-sungguh.
Aku tersenyum. Perkataannya menyejukkan hatiku.
"Kamu sekarang sudah berubah .. saya ingat pertemuan pertama, kamu begitu dingin dan pandanganmu begitu menusuk ".
Mino lansung tertawa mendengar perkataanku.
"Ha...ha...ha.. menusuk, katamu? padahal pada saat pertemuan pertama itu saya sudah menaruh perhatian kepadamu .."
"Hahhhhhh ??",aku terbelalak mendengar perkataan Mino.
Aku sama sekali tidak merasa bahwa pada pertemuan pertama itu, dia memperhatikanku. Yang paling kuingat saat itu, dia kelihatan tidak begitu senang dengan kehadiranku.
"Benar, saya sudah menyukaimu sejak pertemuan pertama, sebenarnya .. jika saya tidak tertarik dengan seorang gadis, memandangnya saja saya sudah tidak mau apalagi memperhatikannya ...hmmm.. saya masih ingat dengan jelas kamu tertunduk malu di hadapanku ..", senyum nakal tersungging di wajah tampannya Mino.
Aku sangat kaget mendengar perkataannya. Wajahku memerah seketika. Aku tidak tahu bahwa saat itu dia begitu memperhatikanku.
"Yaaaaa ......... kamu .........."
"Ha ... ha...ha.. kamu tidak tahu, kan? .. tapi ada sesuatu yang menganjal waktu itu .. bukan saja karena kamu datang pada saat yang tidak tepat, sekarang baru kusadari bahwa kamu datang sebagai tunangan hyung itulah yang selalu menganjal di hatiku ..."
Perkataan Mino membuatku teringat kembali kepada Junki. Aku merasa bersalah kepadanya.
"Pada malam sebelum pernikahan kalian, hatiku sangat kacau .. pada saat yang menentukan keesokan harinya, saya sempat berpikir ... tidak! waktu itu, sebelum mobil berengsek tersebut menabrak mobil yang kami tumpangi, saya benar-benar bermaksud mengatakannya kepada hyung kalau saya mencintaimu .. dan saya juga yakin bahwa kamu mempunyai perasaan yang sama denganku .."
Untuk sesaat kami terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kejadian-kejadian tragis itu kembali mamasuki pikiran kami.
"Tapi ... bagaimana kamu bisa yakin bahwa .. bahwa saya .. saya juga mencintaimu?", akhirnya aku mengeluarkan pertanyaan itu.
"Ciuman itu ... kamu tidak menolak sewaktu saya menciummu, itu sudah jelas bagiku .."
Setelah itu kami kembali membisu. Beberapa saat kemudian, Mino mengeluarkan permintaan yang mengejutkanku.
"Saya ingin mempertemukan dan mengenalkanmu sebagai pacarku, bukan sebagai mantan calon istri hyung, kepada papa dan mama ".
"Tidak! jangan lakukan itu ..", teriakku kaget.
"Mengapa? kita sudah pacaran selama satu bulan, mengapa tidak boleh mengatakan yang sejujurnya kepada yang lain?", tanya Mino sengit.
"Karena.. karena saya belum siap .. saya belum siap untuk berpisah darimu ... jika mereka tidak mengijinkannya.. saya....saya tidak tahu harus bagaimana .."
Mino tertegun. Melihat kegelisahanku, akhirnya dia menganggukan kepalanya bertanda menerima permintaanku. Dia menjulurkan tangannya, memegang wajahku. Aku hanya bisa memejamkan mata untuk itu.
"Aku ... aku .. takut ..", kataku dengan bibir gemetar.
"Jangan takut, .. ini akan menjadi akhir dari penderitaan kita ....percayalah .. lagipula, bukankah masih ada dia .. dia akan menjaga hubungan kita ...", Mino menjulurkan tangannya dan menyentuh boneka "Sarang" yang tergantung di tangan kananku.
Aku memperhatikan "Sarang" dengan senyum pahit. Akhir penderitaan menurut Mino? entahlah ... yang lebih terasa dalam hatiku saat ini, semua akan merupakan awal dari penderitaan kami dan bukan akhir dari penderitaan kami, seperti yang dikatakan Mino.
************00000************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
The Sarang--Chapter Eight
[quote="DragonFlower"]
Malam sudah sangat larut ketika Mino menaiki anak tangga yang menghubungkan rang tamu dengan kamarnya di lantai atas.
"Mino!!!!", suara panggilan yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Mino membalikkan badan kearah datangnya panggilan tersebut. Mrs. Lee berdiri di lantai bawah, dekat tangga, sambil memandanginya.
"Ada yang ingin mama bicarakan denganmu...", kata Mrs. Lee lebih lanjut.
Mino menuruni anak tangga dan mengikuti Mr. Lee menuju tempat dukuk yang ada di ruang tamu. Mereka kemudian duduk di ssana dengan posisi saling berhadapan.
"Akhir-akhir ini kamu sangat sibuk, ya?", Mrs. Lee memulai pertanyaannya.
"Ya... banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan ..", jawab Mino pelan, sambil melemparkan pandangannya ke luar jendela.
"Oh ya? .. tapi dari yang saya dengar, kamu tidak pulang dari kantor selarut ini.... apakah kamu punya kegiatan lain diluar?"
Mino memandangi mamanya dengan perasaan tidak senang. Dia merasa apa yang dilakukan oleh mamanya ini sudah melanggar hak pribadinya. Tapi, walaupun tidak suka, Mino tetap tidak mengeluarkan pendapatnya.
"Sebenarnya .. masalah yang ingin mama bicarakan ini tidak seharusnya mema mengutarakannya secepat ini kepadamu, akan tetapi.. melihat tingkah lakumu selama ini, sebaiknya mama membicarakannya sekarang juga denganmu .."
Mino memandangi Mrs. Lee dengan penuh tanda tanya.
"Apa maksud dari perkataan mama?"
"Mama tidak tahu apa yang kamu perbuat selama satu bulan terakhir ini? ... mungkin kamu sudah punya pacar dan selalu menghabiskan waktu bersamanya sehabis pulang dari kantor, sehingga bisa pulang sampai larut malam setiap harinya ... mama sebenarnya tidak begitu peduli dengan semua itu selama kamu tidak menganggap serius .. akan tetapi, mama perlu mengingatkanmu bahwa sejak dulu keluarga kita mempunyai tradisi bahwa perjodohan ada di tangan orangtua .."
Mino sangat terkejut mendengar perkataan Mrs. Lee. Matanya terbelalak lebar, seakan-akan tidak mempercayai apa yang di dengarnya.
"Apa pula maksudnya ini "
"Seperti juga hyungmu, kamu sudah dijodohkan sejak kecil .."
Mino semakin terkejut mendengar penjelasan Mrs. Lee. Dia terlonjak dari duduknya. Kepalanya digeleng-gelengkannya berkali-kali sebagai pertanda tidak dapat menerima semua kenyataan ini.
"Omong kosong!!!!!!!!"
"Ini semua benar adanya... kamu masih ingat dengan adik sepupumu, Soeun? Dia adalah tunanganmu!!"
Mino segera mengibaskan tangannya dan berteriak keras.
"Persetan dengan dia!!!!!!!! saya tidak mau yang lain, saya hanya ......"
Sampai disini, Mino menghentikan teriakannya. Suatu pembicaraan beberapa waktu yang lalu terlintas di benaknya. Dengan segera dia terdiam di tempatnya. Secara perlahan dia menjatuhkan dirinya kembali ke kursi yang ada di belakangnya.
"Hanya apa? Siapa yang kamu inginkan? Pacarmu yang sekarang?", tanya Mrs. Lee bertubi-tubi.
Mino tidak menjawab. Dia hanya bisa memejamkan matanya rapat-rapat. Dia kelihatan tertekan sekali. Ingin sekali dia menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, tapi janji yang telah diucapkan, membuatnya harus menutup mulutnya rapat-rapat.
"Mengapa tidak menjawab pertanyaan mama?", Mrs. Lee memandang tajam ke Mino. Tapi Mino tetap saja tidak mengeluarkan suaranya.
"Baiklah, jika kamu memang tidak ingin menjawab pertanyaan mama, lupakan saja!, tapi perlu mama beritahukan kepadamu bahwa mulai minggu depan Soeun akan tinggal bersam kita.. dia akan memindahkan kuliahnya dari Australia ke sini, dan orangtuanya yaitu bibi dan pamanmu juga sudah menyetujuinya .."
"Apa??? kenapa mesti begitu???", teriak Mino lebih kaget lagi.
"Karena mama dan papa sudah mendiskusikannya dengan paman dan bibimu, dan ini akan merupakan jalan terbaik bagi kalian berdua untuk saling memahami satu sama lain ...", jawab Mrs. Lee.
Sekali lagi Mino mengibaskan tangannya. Sambil berdiri dari tempat duduknya, dia berkata dengan nada tajam...
"Saya tidak peduli apa yang kalian inginkan. . yang jelas saya hanya mencintai pacar saya dan saya akan menikah dengannya kelak.. tidak ada seorangpun yang mampu mengantikan posisinya di hatiku "
Setelah berkata begitu, Mino beranjak dari tempatnya.
"Mino yaa .. lalu siapa sebenarnya pacarmu itu? apakah mama mengenalnya? Mino yaa..."
Mino tidak menghiraukan teriakan Mrs. Lee dibelakangnya. Dia terus saja melangkah dan menaiki anak tangga, satu demi satu, menuju lantai atas.
****************
Mobil yang kukemudikan dengan perlahan memasuki tempat parkir yang terletak di sebelah gedung besar yang menjadi pusat "LKH Group". Setelah memarkir mobil di tempat yang tersedia di sana, aku segera berlari ke pintu depan gedung yang terbuat dari kaca besar, yg terpasang dari atas sampai lantai gedung.
Saat ini, aku ada janji makan siang dengan Mino. Sebenarnya dia berjanji akan menjemputku di kantor, tapi karna dia ada rapat penting yang tidak bisa ditinggalkannya untuk satu jam kedepan, maka aku menganjurkan untuk menunggu di kantornya saja.
Begitu sampai di lobby depan yang luas, aku segera disambut oleh seorang wanita yang berpakaian sangat rapi.
"Apakah anda nona Goo Hye Sun?", tanya wanita tersebut sambil membungkukkan badannya.
"Ehhh... i ya ..", jawabku dengan gugup.
Wanita itu tersenyum. Dia sepertinya tahu penyebab dari kegugupanku.
"Saya diminta oleh tuan muda Lee untuk menjemput dan membawa nona ke ruang kantornya yang ada di lantai paling atas "
"Oh .. jadi, Mino yang menyuruhmu? ..hmmm.. lalu bagaimana seharusnya saya memanggilmu?"
"Panggil saja saya Yoona, nona.."
"Baiklah Yoona, dan .. terimakasih atas segalanya.."
Sekali lagi Yoona membungkukkan badannya. Dia berjalan di depanku dengan berwibawa. Aku hanya mengikutinya saja, dari lantai bawah sampai tingkat paling atas gedung, hingga tiba di depan pintu ruang kantor yang besar. Yoona mengulurkan tangannya mengetuk pintu yang terbuat dari kayu berwarna coklat itu ..
tok.. tok...tok ...
"Masuk!!!!!"
Yoona membuka daun pintu dengan perlahan. Ruangan itu sangat luas dan nyaman. Jendela-jendela yang ada disana terbuat dari kaca besar yang terpasang dari atap sampai lantai ruangan yang menampakan pemandangan laut yang luar biasa. Permadani yang mengalasi lantai terbuat dari bulu yang tebal dan indah, tempat duduk yang lebar dan empuk di padu dengan meja yang panjang dan berkilap, menjadikan ruangan itu benar-benar ruang kantor yang sempurna.
Mino sedang duduk di kursi di dekat jendela ketika kami memasuki ruangan. Dia tersenyum kepada kami, kemudian menganggukkan kepada Yoona.
"Kamu boleh pergi sekarang, Yoona. ."
Yoona membungkukkan badannya kearah kami. Dengan perlahan dia mundur ke belakang dan menutup pintu yang ada di depan kami.
"Jadi bagaimana sekarang?", tanyaku kepada Mino.
Dia tidak segera menjawab pertanyaanku. Ditaruhnya pulpen yang sejak tadi dipegangnya ke tempat semula, lalu berjalan kearahku. Dengan lembut dia melingkarkan tangannya di pinggangku dan menarikku ke dalam pelukannya.
"Yaa.. kamu mau apa?", tanyaku gugup.
Mino tersenyum. Dia semakin mempererat pelukannya. Aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya secara perlahan memasuki tubuhku.
"Untuk saat ini .. saya hanya ingin memelukmu seperti ini.."
Setelah itu kami sama-sama tidak mengeluarkan suara. Ku sandarkan kepalaku di dada Mino, memejamkan mata dan merasakan segala kehangatan yang diberikannya. Mino mengelus rambutku dengan lembut. Hembusan nafasnya terasa sangat halus ditelingaku. Saat ini aku merasa menjadi wanita yang paling berbahagia di dunia.
"Kamu harus menungguku setengah jam lagi. . tapi soal acara makan siang ini, kamu jangan khawatir.. sekretaris pribadiku sudah menyiapkan segalanya .."
Baru saja Mino selesai mengatakan ini, suara ketukan di pintu terdengar ...
tok...tok...tok..
"Nah.. itu dia datang .. masuklah!!!!"
Secara perlahan daun pintu terbuka dannnnnnnn ...................
"Joongieeeeeee !!!!!!!!!!!!!!!"
"Noonaaaa!!!!!!!!!!!!"
Teriakkan yang hampir berbarengan keluar dari mulut kami.
Joongie membelalakan matanya kearahku. Aku tidak kalah terkejutnya. Dengan gugup aku mendorong Mino ke belakang.
"Kalian saling mengenal?", Mino memandangi kami secara silih berganti. Aku mengigit bibir dan melemparkan pandangaku ke Mino, sedangkan Joongie masih terpaku di tempatnya.
"Ada yang bisa menjawab pertanyaanku?", tanya Mino lagi dengan nada suara curiga.
"Ehemmmmm ... Joongie adalah adik sepupuku ..", akhirnya aku mulai bisa menguasai perasaanku.
"Adik sepupumu? tapi, dia sekarang adalah sekertaris pribadiku .. apakah kalian berdua tidak mengetahui semua ini?", tanya Mino lebih lanjut.
"Tidak! saya tidak mengetahuinya ..", jawabku cepat.
Joongie yang sedari tadi tidak mengeluarkan suara, menatapku dengan tajam.
"Mengapa noona tiba-tiba bisa berada di sini?"
Sebelum saya menjawab pertanyaan itu, Mino mengeluarkan suaranya.
"Saya rasa kalian perlu membicarakannya berdua saja ..Hyun Joong, masih ada beberapa file yang harus diperiksa ulang di atas meja sana, dan.... Hyesun, tiga puluh menit lagi saya akan kembali dan menjemputmu ke restoran yang telah di persiapkan oleh Hyun Joong .. tunggu saya ..", Mino mengedipkan matanya, mengelus wajahku, kemudian berjalan keluar.
Aku merasa gugup dengan perlakuan Mino tersebut. Joongie memperhatikan semua adegan kami dengan pandangan tidak senang. Aku ingin mengeluarkan suara tapi semuanya tersangkut di tenggorokan. Joongie juga hanya diam ditempatnya. Ruangan besar itu menjadi hening dan sunyi seketika.
*********************
"Jadi .. apa maksudnya semua ini? Setelah hyungnya sekarang dengan dongsaengnya? Apa sebenarnya yang ada dalam pikiran noona?..", pertanyaan Joongie yang bertubi-tubi memecahkan kebisuan yang terjadi di antara kami.
Aku tersentak ketika mendengar nada tajam dan agak menyindir dalam pertanyaan Joongie. Kupandangi dia dengan mata mendelik. Aku tidak senang dia bersikap begitu terhadapku.
"Yaa.. apa maksud dari pertanyaanmu?"
Joongie segera melemparkan pandangannya ke luar jendela ketika melihat perubahan sikapku. Pandangannya begitu tajam tertuju ke langit biru di luar, ada kemarahan terpancar dari sepasang matanya.
"Keluarga Lee memang merupakan pengusaha terkaya di Korea .. tapi apakah hanya karena itu noona harus melakukan hal seperti ini ? ..setelah tidak berhasil menikah dengan hyungnya, sekarang mengincar dongsaengnya?"
plakkkkkkkkkk ............ tamparan yang keras mendarat di pipi kiri Joongie ..
"Kim Hyun Joonggg!!!!! hati-hati dengan perkataanmu !!!!!!", teriakku histeris.
Joongie kelihatan terkejut melihat kemarahanku yang besar. Dia memegang pipi kirinya yang memerah akibat tamparanku tadi. Dia sama sekali tidak menyangka aku bisa semurka itu.
"Sejak kapan kamu menganggap noonamu ini hanya tertarik dengan harta dan kekayaan .. sudah 24 tahun kita tinggal, hidup dan bermain bersama .. tapi kamu masih mempunyai pikiran seperti itu terhadapku ...", sambil mengatakan ini, mataku mulai memerah.
Joongie tertegun di tempatnya. Dia memandangiku dengan perasaan menyesal dan bersalah. Dengan perlahan dia menepuk pundakku.
"Noona... maafkan saya.. saya..saya .. tidak bermaksud untuk menyakiti hatimu .. saya hanya tidak habis pikir, mengapa noona bisa bersama dengan majikan baru saya yang juga merupakan mantan calon adik ipar noona sendiri ...."
"Karena saya mencintainya!", jawabku dengan penuh keyakinan.
Joongie terkejut mendengar jawabanku yang cepat itu. Sebenarnya aku juga merasa heran mengapa kata-kata itu bisa meluncur begitu saja dari mulutku.
"Mencintainya? lalu.. bagaimana dengan tuan muda Junki? dulu, noona bersedia menikah dengannya, bukankah juga karena noona mencintainya?"
Aku mengeleng dengan cepat ketika mendengar pertanyaan Joongie.
"Tidak! sejak dari pertama yang saya cintai adalah Mino....... saya tahu saya bersalah kepada Junki tapi.. saya tidak mampu melawannya ... perasaan itu begitu kuat dan .. saya tahu bahwa ini hanya akan saya rasakan untuk pertama kalinya selama hidupku .. selain Mino, tidak ada lagi yang mampu menghuni di hatiku yang paling dalam .."
Joongie kelihatan terpana dengan kata-kata yang terucap dari mulutku. Dia memandangiku dengan putus asa. Aku membalas pandangannya dengan tidak berkedip. Aku ingin dia tahu bahwa selain Mino, aku tidak akan dapat mencintai yang lain.
"Noona kelihatan yakin sekali dengan perkataan itu ....lalu bagaimana dengan "Sarang"? bukankah dia merupakan boneka jodoh? .. tuan muda junki yang menemukan dan yang kemudian mengembalikannya kepada noona .. itu kan berarti tuan muda Junki adalah jodoh noona? dan yang dicintai oleh noona seharusnya juga dia .... bukankah begitu seharusnya? .."
"Tidak!! bukan, .. "Sarang" bukan ditemukan oleh Junki tapi oleh Mino.."
"Hahhhhhhhh ........?", Joongie sangat terkejut mendengar jawabanku.
"Sejak itu, saya sering berpikir .. apakah kematian Junki juga ada hubungannya dengan "Sarang"? mungkin juga i ya tapi .. saya berharap tidak ... yang saya herankan adalah .. begitu banyak orang di rumah itu, para pelayan membersihkan rumah setiap hari, mengapa tidak ada seorangpun yang melihatnya? mengapa hanya Mino yang melihatnya dan .. mengapa pula dia tidak membuangnya dan juga mengapa saya yang menemukannya berada di kamar Mino.. mengapa Mino mengembalikannya kepadaku tanpa bertanya terlebih dahulu mengapa saya sampai tertarik dengan boneka kumal itu, mengapa, mengapa .. begitu banyak pertanyaan yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat ... sekarang saya hanya mempercayai satu hal, bahwa "Sarang" yang menyatukan kami dan.. kami juga saling mencintai, ini adalah kenyataannya .."
Penjelasanku yang panjang lebar membuat Joongie diam seribu bahasa. Dia kelihatan tidak berminat untuk melanjutkan pembicaraan kami. Dia kemudian berjalan ke meja panjang yang terletak di dekat jendela dan mengambil setumpuk file yang ada di sana, lalu berjalan keluar ruangan tanpa pamitan terlebih dahulu kepadaku.
Aku menghembuskan nafas kuat-kuat dan terhenyak di kursi belakang dengan pikiran kacau.
***********************
Aku dan Mino duduk berhadapan di restoran yang menyediakan makanan Perancis, satu jam kemudian. Suasana di ruangan ini sangat nyaman dan tenang. Samar-samar terdengar alunan musik lembut yang diputar dari sudut ruangan.
Sepuluh menit kemudian, makanan terhidang di atas meja. Mino tersenyum kepadak sambil mengangkat gelas yang berada dalam pegangannya.
"Cheers!!"
Aku mengangkat gwlas yang terletak di depanku dan membenturkannya dengan pelan ke gelas dalam genggaman Mino sehingga menimbulkan suara dentingan nyaring ........ tingggggggg ......
"Cheers!!", kataku juga.
Setelah itu kami menyantap makan siang yang terhidang di atas meja dengan tanpa bersuara. Dua puluh menit kemudian, kami menghabiskan makanan-makanan yang lezat tersebut. Piring-piring yang ada di atas meja juga mulai disingkirkan.
"Sudah kenyang sekarang?... hmmm... jadi apakah ada yang akan kamu jelaskan kepadaku?", Mino memulai pembicaraan antara kami.
"Tentang apa?", tanyaku tidak mengerti.
"Tentu saja tentang Kim Hyun Joong .. apakah benar dia adik sepupumu?"
"Oh..itu ... ya, benar!", aku terdiam sejenak sebelum kemudian melanjutkan kembali perkataanku..
"Sebenarnya ada sesuatu dengan dia .. hmm ... sehari sebelum rencana pernikahanku dengan Junki, aku tidak sengaja mendenga pembicaraannya dengan bibi dan... dari situ saya mengetahui bahwa ternyata... ternyata Joongie mempunyai perasaan khusus kepadaku ..."
Mino terperanjat dari duduknya. Dia kelihatan sangat terkejut dengan perkataanku.
"Maksudmu .. dia mencintaimu?"
"I ya... begitulah kira-kira ...", jawabku pelan.
"Lalu .. bagaimana denganmu?", tanya Mino lagi.
"Saya? tentu saja saya tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadapnya ... bagi saya dia hanyalah seorang dongsaeng .. tidak lebih dari itu..", jawabku cepat.
Mino tertawa terbahak-bahak mendengar pembelaanku yang sengit.
"Ha...ha...ha... bukan itu maksudku.. saya tahu kamu hanya mencintaiku seorang .. he...he.. yang saya maksudkan adalah bagaimana kamu akan bersikap terhadapnya. ."
Mino masih terbahak-bahak ketika kulayangkan pukulanku ke tangannya yang berada di atas meja.
"Akhhhhhhhh.....", teriaknya dengan keras sehingga menyebabkan orang-orang yang berada di meja-meja sebelah menoleh ke arah kami.
Aku tersenyum lebar melihat wajahnya yang tampan itu berkerut dengan bibir bawah yang agak ditekuk. Walaupun tampangnya agak aneh dibuat begitu, akan tetapi bagiku dia tetap lucu dan menawan.
"Makanya, kalau bicara jangan seenaknya! he..he.. mengenai masalah Joongie itu, sampai sekarang saya masih bersikap seolah-olah saya tidak pernah mendengarnya ... Joongie tidak mengetahui bahwa sebenarnya saya mengetahui bahwa dia mencintaiku .."
Aku mengangkat gelas di depanku dan meneguk isinya sampai habis.
Tittle : The Sarang
Author : Lovelyn Ian Wong
-Chapter Chapter Eight
Author : Lovelyn Ian Wong
-Chapter Chapter Eight
Malam sudah sangat larut ketika Mino menaiki anak tangga yang menghubungkan rang tamu dengan kamarnya di lantai atas.
"Mino!!!!", suara panggilan yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Mino membalikkan badan kearah datangnya panggilan tersebut. Mrs. Lee berdiri di lantai bawah, dekat tangga, sambil memandanginya.
"Ada yang ingin mama bicarakan denganmu...", kata Mrs. Lee lebih lanjut.
Mino menuruni anak tangga dan mengikuti Mr. Lee menuju tempat dukuk yang ada di ruang tamu. Mereka kemudian duduk di ssana dengan posisi saling berhadapan.
"Akhir-akhir ini kamu sangat sibuk, ya?", Mrs. Lee memulai pertanyaannya.
"Ya... banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan ..", jawab Mino pelan, sambil melemparkan pandangannya ke luar jendela.
"Oh ya? .. tapi dari yang saya dengar, kamu tidak pulang dari kantor selarut ini.... apakah kamu punya kegiatan lain diluar?"
Mino memandangi mamanya dengan perasaan tidak senang. Dia merasa apa yang dilakukan oleh mamanya ini sudah melanggar hak pribadinya. Tapi, walaupun tidak suka, Mino tetap tidak mengeluarkan pendapatnya.
"Sebenarnya .. masalah yang ingin mama bicarakan ini tidak seharusnya mema mengutarakannya secepat ini kepadamu, akan tetapi.. melihat tingkah lakumu selama ini, sebaiknya mama membicarakannya sekarang juga denganmu .."
Mino memandangi Mrs. Lee dengan penuh tanda tanya.
"Apa maksud dari perkataan mama?"
"Mama tidak tahu apa yang kamu perbuat selama satu bulan terakhir ini? ... mungkin kamu sudah punya pacar dan selalu menghabiskan waktu bersamanya sehabis pulang dari kantor, sehingga bisa pulang sampai larut malam setiap harinya ... mama sebenarnya tidak begitu peduli dengan semua itu selama kamu tidak menganggap serius .. akan tetapi, mama perlu mengingatkanmu bahwa sejak dulu keluarga kita mempunyai tradisi bahwa perjodohan ada di tangan orangtua .."
Mino sangat terkejut mendengar perkataan Mrs. Lee. Matanya terbelalak lebar, seakan-akan tidak mempercayai apa yang di dengarnya.
"Apa pula maksudnya ini "
"Seperti juga hyungmu, kamu sudah dijodohkan sejak kecil .."
Mino semakin terkejut mendengar penjelasan Mrs. Lee. Dia terlonjak dari duduknya. Kepalanya digeleng-gelengkannya berkali-kali sebagai pertanda tidak dapat menerima semua kenyataan ini.
"Omong kosong!!!!!!!!"
"Ini semua benar adanya... kamu masih ingat dengan adik sepupumu, Soeun? Dia adalah tunanganmu!!"
Mino segera mengibaskan tangannya dan berteriak keras.
"Persetan dengan dia!!!!!!!! saya tidak mau yang lain, saya hanya ......"
Sampai disini, Mino menghentikan teriakannya. Suatu pembicaraan beberapa waktu yang lalu terlintas di benaknya. Dengan segera dia terdiam di tempatnya. Secara perlahan dia menjatuhkan dirinya kembali ke kursi yang ada di belakangnya.
"Hanya apa? Siapa yang kamu inginkan? Pacarmu yang sekarang?", tanya Mrs. Lee bertubi-tubi.
Mino tidak menjawab. Dia hanya bisa memejamkan matanya rapat-rapat. Dia kelihatan tertekan sekali. Ingin sekali dia menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, tapi janji yang telah diucapkan, membuatnya harus menutup mulutnya rapat-rapat.
"Mengapa tidak menjawab pertanyaan mama?", Mrs. Lee memandang tajam ke Mino. Tapi Mino tetap saja tidak mengeluarkan suaranya.
"Baiklah, jika kamu memang tidak ingin menjawab pertanyaan mama, lupakan saja!, tapi perlu mama beritahukan kepadamu bahwa mulai minggu depan Soeun akan tinggal bersam kita.. dia akan memindahkan kuliahnya dari Australia ke sini, dan orangtuanya yaitu bibi dan pamanmu juga sudah menyetujuinya .."
"Apa??? kenapa mesti begitu???", teriak Mino lebih kaget lagi.
"Karena mama dan papa sudah mendiskusikannya dengan paman dan bibimu, dan ini akan merupakan jalan terbaik bagi kalian berdua untuk saling memahami satu sama lain ...", jawab Mrs. Lee.
Sekali lagi Mino mengibaskan tangannya. Sambil berdiri dari tempat duduknya, dia berkata dengan nada tajam...
"Saya tidak peduli apa yang kalian inginkan. . yang jelas saya hanya mencintai pacar saya dan saya akan menikah dengannya kelak.. tidak ada seorangpun yang mampu mengantikan posisinya di hatiku "
Setelah berkata begitu, Mino beranjak dari tempatnya.
"Mino yaa .. lalu siapa sebenarnya pacarmu itu? apakah mama mengenalnya? Mino yaa..."
Mino tidak menghiraukan teriakan Mrs. Lee dibelakangnya. Dia terus saja melangkah dan menaiki anak tangga, satu demi satu, menuju lantai atas.
****************
Mobil yang kukemudikan dengan perlahan memasuki tempat parkir yang terletak di sebelah gedung besar yang menjadi pusat "LKH Group". Setelah memarkir mobil di tempat yang tersedia di sana, aku segera berlari ke pintu depan gedung yang terbuat dari kaca besar, yg terpasang dari atas sampai lantai gedung.
Saat ini, aku ada janji makan siang dengan Mino. Sebenarnya dia berjanji akan menjemputku di kantor, tapi karna dia ada rapat penting yang tidak bisa ditinggalkannya untuk satu jam kedepan, maka aku menganjurkan untuk menunggu di kantornya saja.
Begitu sampai di lobby depan yang luas, aku segera disambut oleh seorang wanita yang berpakaian sangat rapi.
"Apakah anda nona Goo Hye Sun?", tanya wanita tersebut sambil membungkukkan badannya.
"Ehhh... i ya ..", jawabku dengan gugup.
Wanita itu tersenyum. Dia sepertinya tahu penyebab dari kegugupanku.
"Saya diminta oleh tuan muda Lee untuk menjemput dan membawa nona ke ruang kantornya yang ada di lantai paling atas "
"Oh .. jadi, Mino yang menyuruhmu? ..hmmm.. lalu bagaimana seharusnya saya memanggilmu?"
"Panggil saja saya Yoona, nona.."
"Baiklah Yoona, dan .. terimakasih atas segalanya.."
Sekali lagi Yoona membungkukkan badannya. Dia berjalan di depanku dengan berwibawa. Aku hanya mengikutinya saja, dari lantai bawah sampai tingkat paling atas gedung, hingga tiba di depan pintu ruang kantor yang besar. Yoona mengulurkan tangannya mengetuk pintu yang terbuat dari kayu berwarna coklat itu ..
tok.. tok...tok ...
"Masuk!!!!!"
Yoona membuka daun pintu dengan perlahan. Ruangan itu sangat luas dan nyaman. Jendela-jendela yang ada disana terbuat dari kaca besar yang terpasang dari atap sampai lantai ruangan yang menampakan pemandangan laut yang luar biasa. Permadani yang mengalasi lantai terbuat dari bulu yang tebal dan indah, tempat duduk yang lebar dan empuk di padu dengan meja yang panjang dan berkilap, menjadikan ruangan itu benar-benar ruang kantor yang sempurna.
Mino sedang duduk di kursi di dekat jendela ketika kami memasuki ruangan. Dia tersenyum kepada kami, kemudian menganggukkan kepada Yoona.
"Kamu boleh pergi sekarang, Yoona. ."
Yoona membungkukkan badannya kearah kami. Dengan perlahan dia mundur ke belakang dan menutup pintu yang ada di depan kami.
"Jadi bagaimana sekarang?", tanyaku kepada Mino.
Dia tidak segera menjawab pertanyaanku. Ditaruhnya pulpen yang sejak tadi dipegangnya ke tempat semula, lalu berjalan kearahku. Dengan lembut dia melingkarkan tangannya di pinggangku dan menarikku ke dalam pelukannya.
"Yaa.. kamu mau apa?", tanyaku gugup.
Mino tersenyum. Dia semakin mempererat pelukannya. Aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya secara perlahan memasuki tubuhku.
"Untuk saat ini .. saya hanya ingin memelukmu seperti ini.."
Setelah itu kami sama-sama tidak mengeluarkan suara. Ku sandarkan kepalaku di dada Mino, memejamkan mata dan merasakan segala kehangatan yang diberikannya. Mino mengelus rambutku dengan lembut. Hembusan nafasnya terasa sangat halus ditelingaku. Saat ini aku merasa menjadi wanita yang paling berbahagia di dunia.
"Kamu harus menungguku setengah jam lagi. . tapi soal acara makan siang ini, kamu jangan khawatir.. sekretaris pribadiku sudah menyiapkan segalanya .."
Baru saja Mino selesai mengatakan ini, suara ketukan di pintu terdengar ...
tok...tok...tok..
"Nah.. itu dia datang .. masuklah!!!!"
Secara perlahan daun pintu terbuka dannnnnnnn ...................
"Joongieeeeeee !!!!!!!!!!!!!!!"
"Noonaaaa!!!!!!!!!!!!"
Teriakkan yang hampir berbarengan keluar dari mulut kami.
Joongie membelalakan matanya kearahku. Aku tidak kalah terkejutnya. Dengan gugup aku mendorong Mino ke belakang.
"Kalian saling mengenal?", Mino memandangi kami secara silih berganti. Aku mengigit bibir dan melemparkan pandangaku ke Mino, sedangkan Joongie masih terpaku di tempatnya.
"Ada yang bisa menjawab pertanyaanku?", tanya Mino lagi dengan nada suara curiga.
"Ehemmmmm ... Joongie adalah adik sepupuku ..", akhirnya aku mulai bisa menguasai perasaanku.
"Adik sepupumu? tapi, dia sekarang adalah sekertaris pribadiku .. apakah kalian berdua tidak mengetahui semua ini?", tanya Mino lebih lanjut.
"Tidak! saya tidak mengetahuinya ..", jawabku cepat.
Joongie yang sedari tadi tidak mengeluarkan suara, menatapku dengan tajam.
"Mengapa noona tiba-tiba bisa berada di sini?"
Sebelum saya menjawab pertanyaan itu, Mino mengeluarkan suaranya.
"Saya rasa kalian perlu membicarakannya berdua saja ..Hyun Joong, masih ada beberapa file yang harus diperiksa ulang di atas meja sana, dan.... Hyesun, tiga puluh menit lagi saya akan kembali dan menjemputmu ke restoran yang telah di persiapkan oleh Hyun Joong .. tunggu saya ..", Mino mengedipkan matanya, mengelus wajahku, kemudian berjalan keluar.
Aku merasa gugup dengan perlakuan Mino tersebut. Joongie memperhatikan semua adegan kami dengan pandangan tidak senang. Aku ingin mengeluarkan suara tapi semuanya tersangkut di tenggorokan. Joongie juga hanya diam ditempatnya. Ruangan besar itu menjadi hening dan sunyi seketika.
*********************
"Jadi .. apa maksudnya semua ini? Setelah hyungnya sekarang dengan dongsaengnya? Apa sebenarnya yang ada dalam pikiran noona?..", pertanyaan Joongie yang bertubi-tubi memecahkan kebisuan yang terjadi di antara kami.
Aku tersentak ketika mendengar nada tajam dan agak menyindir dalam pertanyaan Joongie. Kupandangi dia dengan mata mendelik. Aku tidak senang dia bersikap begitu terhadapku.
"Yaa.. apa maksud dari pertanyaanmu?"
Joongie segera melemparkan pandangannya ke luar jendela ketika melihat perubahan sikapku. Pandangannya begitu tajam tertuju ke langit biru di luar, ada kemarahan terpancar dari sepasang matanya.
"Keluarga Lee memang merupakan pengusaha terkaya di Korea .. tapi apakah hanya karena itu noona harus melakukan hal seperti ini ? ..setelah tidak berhasil menikah dengan hyungnya, sekarang mengincar dongsaengnya?"
plakkkkkkkkkk ............ tamparan yang keras mendarat di pipi kiri Joongie ..
"Kim Hyun Joonggg!!!!! hati-hati dengan perkataanmu !!!!!!", teriakku histeris.
Joongie kelihatan terkejut melihat kemarahanku yang besar. Dia memegang pipi kirinya yang memerah akibat tamparanku tadi. Dia sama sekali tidak menyangka aku bisa semurka itu.
"Sejak kapan kamu menganggap noonamu ini hanya tertarik dengan harta dan kekayaan .. sudah 24 tahun kita tinggal, hidup dan bermain bersama .. tapi kamu masih mempunyai pikiran seperti itu terhadapku ...", sambil mengatakan ini, mataku mulai memerah.
Joongie tertegun di tempatnya. Dia memandangiku dengan perasaan menyesal dan bersalah. Dengan perlahan dia menepuk pundakku.
"Noona... maafkan saya.. saya..saya .. tidak bermaksud untuk menyakiti hatimu .. saya hanya tidak habis pikir, mengapa noona bisa bersama dengan majikan baru saya yang juga merupakan mantan calon adik ipar noona sendiri ...."
"Karena saya mencintainya!", jawabku dengan penuh keyakinan.
Joongie terkejut mendengar jawabanku yang cepat itu. Sebenarnya aku juga merasa heran mengapa kata-kata itu bisa meluncur begitu saja dari mulutku.
"Mencintainya? lalu.. bagaimana dengan tuan muda Junki? dulu, noona bersedia menikah dengannya, bukankah juga karena noona mencintainya?"
Aku mengeleng dengan cepat ketika mendengar pertanyaan Joongie.
"Tidak! sejak dari pertama yang saya cintai adalah Mino....... saya tahu saya bersalah kepada Junki tapi.. saya tidak mampu melawannya ... perasaan itu begitu kuat dan .. saya tahu bahwa ini hanya akan saya rasakan untuk pertama kalinya selama hidupku .. selain Mino, tidak ada lagi yang mampu menghuni di hatiku yang paling dalam .."
Joongie kelihatan terpana dengan kata-kata yang terucap dari mulutku. Dia memandangiku dengan putus asa. Aku membalas pandangannya dengan tidak berkedip. Aku ingin dia tahu bahwa selain Mino, aku tidak akan dapat mencintai yang lain.
"Noona kelihatan yakin sekali dengan perkataan itu ....lalu bagaimana dengan "Sarang"? bukankah dia merupakan boneka jodoh? .. tuan muda junki yang menemukan dan yang kemudian mengembalikannya kepada noona .. itu kan berarti tuan muda Junki adalah jodoh noona? dan yang dicintai oleh noona seharusnya juga dia .... bukankah begitu seharusnya? .."
"Tidak!! bukan, .. "Sarang" bukan ditemukan oleh Junki tapi oleh Mino.."
"Hahhhhhhhh ........?", Joongie sangat terkejut mendengar jawabanku.
"Sejak itu, saya sering berpikir .. apakah kematian Junki juga ada hubungannya dengan "Sarang"? mungkin juga i ya tapi .. saya berharap tidak ... yang saya herankan adalah .. begitu banyak orang di rumah itu, para pelayan membersihkan rumah setiap hari, mengapa tidak ada seorangpun yang melihatnya? mengapa hanya Mino yang melihatnya dan .. mengapa pula dia tidak membuangnya dan juga mengapa saya yang menemukannya berada di kamar Mino.. mengapa Mino mengembalikannya kepadaku tanpa bertanya terlebih dahulu mengapa saya sampai tertarik dengan boneka kumal itu, mengapa, mengapa .. begitu banyak pertanyaan yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat ... sekarang saya hanya mempercayai satu hal, bahwa "Sarang" yang menyatukan kami dan.. kami juga saling mencintai, ini adalah kenyataannya .."
Penjelasanku yang panjang lebar membuat Joongie diam seribu bahasa. Dia kelihatan tidak berminat untuk melanjutkan pembicaraan kami. Dia kemudian berjalan ke meja panjang yang terletak di dekat jendela dan mengambil setumpuk file yang ada di sana, lalu berjalan keluar ruangan tanpa pamitan terlebih dahulu kepadaku.
Aku menghembuskan nafas kuat-kuat dan terhenyak di kursi belakang dengan pikiran kacau.
***********************
Aku dan Mino duduk berhadapan di restoran yang menyediakan makanan Perancis, satu jam kemudian. Suasana di ruangan ini sangat nyaman dan tenang. Samar-samar terdengar alunan musik lembut yang diputar dari sudut ruangan.
Sepuluh menit kemudian, makanan terhidang di atas meja. Mino tersenyum kepadak sambil mengangkat gelas yang berada dalam pegangannya.
"Cheers!!"
Aku mengangkat gwlas yang terletak di depanku dan membenturkannya dengan pelan ke gelas dalam genggaman Mino sehingga menimbulkan suara dentingan nyaring ........ tingggggggg ......
"Cheers!!", kataku juga.
Setelah itu kami menyantap makan siang yang terhidang di atas meja dengan tanpa bersuara. Dua puluh menit kemudian, kami menghabiskan makanan-makanan yang lezat tersebut. Piring-piring yang ada di atas meja juga mulai disingkirkan.
"Sudah kenyang sekarang?... hmmm... jadi apakah ada yang akan kamu jelaskan kepadaku?", Mino memulai pembicaraan antara kami.
"Tentang apa?", tanyaku tidak mengerti.
"Tentu saja tentang Kim Hyun Joong .. apakah benar dia adik sepupumu?"
"Oh..itu ... ya, benar!", aku terdiam sejenak sebelum kemudian melanjutkan kembali perkataanku..
"Sebenarnya ada sesuatu dengan dia .. hmm ... sehari sebelum rencana pernikahanku dengan Junki, aku tidak sengaja mendenga pembicaraannya dengan bibi dan... dari situ saya mengetahui bahwa ternyata... ternyata Joongie mempunyai perasaan khusus kepadaku ..."
Mino terperanjat dari duduknya. Dia kelihatan sangat terkejut dengan perkataanku.
"Maksudmu .. dia mencintaimu?"
"I ya... begitulah kira-kira ...", jawabku pelan.
"Lalu .. bagaimana denganmu?", tanya Mino lagi.
"Saya? tentu saja saya tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadapnya ... bagi saya dia hanyalah seorang dongsaeng .. tidak lebih dari itu..", jawabku cepat.
Mino tertawa terbahak-bahak mendengar pembelaanku yang sengit.
"Ha...ha...ha... bukan itu maksudku.. saya tahu kamu hanya mencintaiku seorang .. he...he.. yang saya maksudkan adalah bagaimana kamu akan bersikap terhadapnya. ."
Mino masih terbahak-bahak ketika kulayangkan pukulanku ke tangannya yang berada di atas meja.
"Akhhhhhhhh.....", teriaknya dengan keras sehingga menyebabkan orang-orang yang berada di meja-meja sebelah menoleh ke arah kami.
Aku tersenyum lebar melihat wajahnya yang tampan itu berkerut dengan bibir bawah yang agak ditekuk. Walaupun tampangnya agak aneh dibuat begitu, akan tetapi bagiku dia tetap lucu dan menawan.
"Makanya, kalau bicara jangan seenaknya! he..he.. mengenai masalah Joongie itu, sampai sekarang saya masih bersikap seolah-olah saya tidak pernah mendengarnya ... Joongie tidak mengetahui bahwa sebenarnya saya mengetahui bahwa dia mencintaiku .."
Aku mengangkat gelas di depanku dan meneguk isinya sampai habis.
************00000************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
The Sarang--Chapter Nine
Tittle : The Sarang
Author : Lovelyn Ian Wong
-Chapter Nine
Author : Lovelyn Ian Wong
-Chapter Nine
Aku melirik jam tangan kecil yang melingkar di tangan kiriku, hmmm.... waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam dan hari ini hari selasa. Tidak biasanya Mrs. Lee memintaku datang ke rumahnya pada hari dan saat seperti ini.Pintu depan dibukakan oleh seorang pelayan yang kemudian membawaku ke ruang tamu, dimana Mrs. Lee berada. Aku sangat gugup ketika berhadapan dengannya. Tidak seperti biasanya dia bersikap begitu resmi dan pandangannya begitu tajam.
"Hyesun ... ", Mrs. Lee menyapaku dengan nada datar.
"Ehh.. bibi Lee, se..lamat malam ...", balasku dengan serbasalah.
"Duduklah..."
Aku membungkuk kearah Mrs. Lee kemudian duduk di sofa yang dialasi kain sutera berwarna emas, yang ada di belakangku.
"Kamu pasti merasa heran mengapa bibi mengundangmu datang kesini pada hari yang tidak biasanya, kan? sebenarnya ada yang ingin bibi diskusikan denganmu .."
Aku menatap Mrs. Lee dengan heran. Aku tidak merasa ada masalah yang perlu didiskusikan dengannya.
"Bibi mengetahui hubunganmu dengan Mino!"
Aku tersentak di tempat. Perkataan itu begitu mengejutkanku. Mataku terbelalak lebar dan perasaanku sangat kacau. Mrs. Lee lalu melanjutkan perkataannya lagi tanpa peduli dengan ekspresi wajahku yang memelas.
"Kamu pasti merasa heran dari mana bibi mengetahuinya .. bibi menyuruh orang melacaknya setelah Mino bersikeras membungkam terhadap hubungan kalian.."
Perlahan bola mataku meredup. Aku mengangguk dan tersenyum pahit. Ya, apa susahnya bagi seseorang yang mempunyai kekuasaan sebesar itu untuk melacak hal sepele seperti ini.
"Maafkan bibi jika kamu merasa bibi tidak punya hak untuk melakukan semua ini.. tapi.. perlu kamu ketahui bahwa keluarga Lee merupakan keluarga terkenal dan terpandang di seluruh Korea, jadi bibi tidak akan mengijinkan aib yang memalukan sampai menjatuhkan dan menghancurkan nama keluarga besar Lee.."
Aku terus membisu di tempat mendengar perkataan Mrs. Lee. Seperti dugaanku semula, semua ini sangat sulit. Aku ingin membantah, tapi itu tidak sanggup kulakukan.
Sesungguhnya aku mengerti dan memahami posisinya yang ingin menjaga kebersihan nama keluarga.
"Bibi dan paman sangat menyukai dan menyayangimu, Hyesun.. sungguh...dan sebenarnya kami juga sangat berharap kamu bisa menjadi menantu kami, tapi bukan untuk Mino ... tidak! untuk yang satu ini tidak bisa.. bukan saja karena Mino sudah bertunangan tapi.. kebersihan nama keluarga yang mesti bibi pertimbangkan.."
Mrs. Lee memandangiku tanpa berkedip. Aku tahu dia berusaha meminta pengertian dariku. Aku menunduk, tidak berani untuk bertatapan mata dengannya. Bibirku bergetar hebat, kemudian pertanyaan terbata-bata keluar dari mulutku.
"Ber... ber..tu..nangan??"
"Benar, seperti juga kamu dan Junki, Mino dan adik sepupunya, Kim So Eun, sudah ditunangkan sejak kecil.."
"Ohhhh...".
Aku menjadi lunglai di tempatku. Wajahku mendongak ke langit-langit ruangan yang tinggi dengan pandangan hampa.
"Bibi ingin kamu yang mengambil inisiatif meninggalkan Mino, karena jika menyuruh dia yang meninggalkanmu itu tidak mungkin .. kamu tahu sendiri seberapa keras kepalanya dia ... Hyesun, bibi tahu ini sangat menyakitkan.. bibi juga tidak ingin berbuat begini.. tapi.. anggap saja bibi memohon padamu.. tinggalkan Mino, jangan sampai semua masalah ini menghancurkan karirnya..."
Airmata mulai mengalir keluar dan jatuh di kedua tanganku yang bergetar hebat. Hatiku hancur berkeping-keping. Membayangkan wajah Mino yang menderita sepeninggalanku, membuatku semakin terpuruk. Hatiku ingin memberontak dan berteriak keras kepada Mrs. Lee bahwa bagaimanapun aku tidak akan meninggalkan Mino. Tapi, logika melarangku untuk melakukannya. Benar kata Mrs. Lee, karir dan masa depan Mino yang paling penting. Walaupun Mino mungkin akan meninggalkan semuanya demi aku, tapi aku juga tidak akan pernah mengijinkannya melakukan semua itu.
Dengan mengerahkan segala tenaga, aku berdiri dari tempat dudukku. Membungkukkan badan kearah Mrs. Lee dan memutar tubuh ke pintu ruang tamu yang terbuka.
"Hyesun!!! berjanjilah kepada bibi !!", teriak Mrs. Lee di belakangku.
Aku tidak menjawab, hanya bisa menganggukan kepalaku. Dengan perlahan aku berjalan keluar dari ruangan itu. Sampai disana makin kupercepat langkahku dan .. akhirnya aku berlari keluar dari rumah besar itu dengan isak tanggis dan airmata yang bercucuran dari kedua mataku.
************************
Aku terus berlari... berlari ... dan berlari, tanpa memperdulikan lagi mobilku yang terparkir di depan rumah Lee, tanpa memperdulikan lagi pandangan dari orang-orang yang berlalu lalang, tanpa memperdulikan lagi gerimis yang mulai jatuh ke bumi, tanpa memperdulikan lagi .. segala yang terjadi di sekelilingku. Yang ada dalam pikiranku dan yang tergiang-ngiang di telingaku sekarang hanyalah permintaan Mrs. Lee supaya meninggalkan Mino.
Setelah pelarian yang jauh dan panjang itu, akhirnya aku terduduk lemas di pinggir jalan raya. Hari sudah sangat larut dan jalanan sudah mulai sepi. Gerimis yang turun sekarang sudah digantikan oleh hujan lebat yang turun seperti air yang ditumpahkan dari langit. Udara sangat dingin. Aku mendekap erat kedua tangan di depan dada. Tubuhku bergetar hebat. Airmataku mengalir deras bercampur menjadi satu dengan air hujan yang turun. Aku semakin menyusut dalam dudukku.
Kudongakan kepalaku keatas. Air hujan seperti jarum-jarum yang tajam terasa menusuk wajahku. Duniapun seakan ikut menanggis melihat penderitaanku. Dengan perlahan kuusap wajahku yang basah dengan kedua tangan, bermaksud menjernihkan pandanganku ke langit kelam, walaupun itu sia-sia saja. Ketika aku melakukan ini, tertangkap olehku pandangan "Sarang" yang tergantung di tangan kananku. "Dia" memandangiku dengan sedih, sepasang matanya yang mati seakan-akan ikut mengalirkan airmata.
"Mengapa?.... hu...hu...kamu me..mandangiku seperti itu?....", tanyaku sambil terisak-isak.
"Kamu sedih?.. ternyata... ternyata kekuatanmu.. tidak sebesar yang kamu bayangkan, kan?... hu...hu...", isak tanggisku semakin menjadi-jadi.
Aku meremas-remas "Sarang" dalam genggamanku.
"Mengapa kamu harus mempertemukan dan menyatukan kami .. jika ternyata... ternyata .. kamu tidak .. tidak mempunyai kekuatan yang cukup.. untuk menjaganya? Mengapa..? Mengapa...? hu...hu...hu....?
Aku semakin terpuruk dalam tanggisku. Aku tidak kuasa lagi untuk bertahan. Tubuhku roboh di jalanan yang basah oleh air hujan. Dengan sisa-sisa tenagaku, aku membuka separuh mataku dan memandangi "Sarang" yang terlihat terluka dalam pandanganku.
"Kamu lihat.... dua pasangan yang kamu satukan ternyata.. ternyata sangat menderita karenanya....", kata-kata ini keluar dengan pelan dan tidak bertenaga dari mulutku.
Orang-orang di sekitar mulai mengelilingiku. Secara perlahan kesadaranku mulai melemah, melemah .. dan akhirnya aku tidak sadarkan diri di tempatku. Sedangkan hujan lebat masih saja turun dan menguyur bumi.
***********************************
Ketika sadar, aku sudah berada di kamarku. Papa, Mrs. Goo, bibi, paman dan Joongie mengelilingiku dengan perasaan khawatir. Semua itu tergambar jelas dari mimik muka mereka. Dengan perlahan kukedipkan mataku berkali-kali. Pandanganku masih agak kabur, hal ini disebabkan oleh keadaan fisikku yang lemah.
"Hyesun.. bagaimana rasanya sekarang? sudah agak baikan?", nada kekhawatiran terdengar dalam suara bibi.
Aku tersenyum kearah mereka. Dengan susah payah aku merubah posisi tidurku sehingga agak menyandar di papan depan ranjang.
"Apa yang terjadi denganmu, Hyesun? mengapa kamu bisa sampai pingsan di pinggir jalan dalam keadaan hujan lebat seperti itu?", pertanyaan yang ini dilontarkan oleh papa.
Karena keadaanku yang masih lemah, jawaban yang kemudian keluar dari mulutku terdengar pelan dan tidak bertenaga.
"Saya lupa dengan mobilku yang terparkir di rumah Lee.."
"Noona.. apakah ada masalah yang serius?", Joongie mengeluarkan pertanyaannya setelah berdiam untuk waktu yang cukup lama.
Aku tidak menjawab pertanyaan Joongie. Dengan tangan kanan aku memijat-mijat kepalaku yang terasa pening.
"Ada sesuatu yang terjadi antara noona dan tuan....."
"Joongieeeeee .................", teriakkanku menghentikan pertanyaan Joongie.
Aku mengeleng dengan lemah kearahnya. Papa, Mrs. Goo, paman dan bibi memperhatikan reaksiku dengan curiga.
"Ada masalah apa? Ada yang kalian rahasiakan dari kami?", bibi bertanya kepada kami diikuti dengan pandangan ingin tahu dari yang lain.
"Tidak .. tidak ada yang kami sembunyikan .. hanya saja..."
"Hanya apa?", tanya bibi lagi.
Aku menghela nafas dengan pelan, kemudian memandangi papa dengan serius.
"Papa ... saya...hhhhh... ijinkan saya pergi dari sini... saya .. saya ingin kembali ke desa Jeja.."
"Apaaaaaaaaaaa???", teriak mereka hampir berbarengan.
Semua pasang mata memandangiku dengan terkejut. Papa menghampiriku, untuk kemudian duduk di tepi ranjang, di sampingku.
"Mengapa? mengapa kamu punya keinginan itu?"
"Capek.. dan letih...", jawabku pelan.
Sepasang mataku meredup ketika mengucapkan ini.
"Capek dan letih? tapi mengapa? mengapa bisa begitu? Selama ini papa lihat kamu baik-baik saja .. papa tidak melihat ada masalah yang kamu hadapi baik dalam keluarga maupun pekerjaan ... setelah peristiwa yang terjadi dengan Junki, papa lihat kamu sudah benar-benar beradaptasi kembali dengan kehidupan disini ...", papa berbicara dengan bertubi-tubi.
Pandangannya mengarah tepat ke bola mataku. Aku tidak sanggup untuk membalas tatapan papa. Aku merasa bersalah kepadanya. Apapun yang akan kukatakan kemudian, semuanya adalah kebohongan.
"Tidak! saya tidak baik-baik saja.. dari pertama saya sangat lelah dan letih .. kehidupan disini sangat cepat, saya selalu merasa sesak nafas dalam menjalaninya .. apalagi ditambah dengan peristiwa yang terjadi dengan Junki,.. saya..saya sudah tidak tahan lagi.. saya...saya merasa sudah akan meledak... papa, saya mohon .. ijinkan saya pergi...", permintaan yang keluar dari mulutku terdengar begitu menyayat.
Aku memegang tangan papa dan menatapnya dengan penuh harap. Bibirku bergetar hebat. Saat ini, aku merasa benci sekali dengan diriku sendiri. Papa mengulurkan tangannya, mengelus wajahku dan.. tanpa dapat ditahan lagi airmata jatuh dari pelupuk mataku.
"Kamu sangat pucat ... begitu menderitakah kamu? mengapa kamu tidak mengatakannya sejak semula kepada papa? Walaupun papa sangat ingin kamu tinggal disini, tapi jika kamu memang sangat tidak bahagia dan tersiksa karenanya, papa tidak akan memaksamu .. perlu kamu ketahui, kamu merupakan satu-satunya milik papa dan mama yang paling berharga .. kebahagiaanmu merupakan hal yang paling penting bagi kami ..."
"Papaaa..."
Saat itu juga pertahananku roboh. Aku menjatuhkan diri dalam pelukan papa. Airmata mengalir dengan deras dari mataku. Papa mengelus rambutku dengan penuh kasih sayang. Suara yang keluar dari mulutnya kemudian terasa lembut dan menenangkan.
"Anak bodoh ... lain kali jangan begitu lagi, jangan menyimpan apapun dalam hati, ingat, masalah apapun dapat diselesaikan bersama .. sudah jangan menanggis lagi.. hapus airmatamu.."
Aku tersenyum dan meraih saputangan yang disodorkan oleh papa. Kuhapus airmataku dengan perlahan, dengan isak tanggis yang tersisa.
"Terimakasih, pa .. dan maafkan saya karena harus meninggalkan papa ... saya berjanji akan selalu berhubungan dengan papa dan jika ada waktu saya akan mengunjungi papa disini ..."
Papa mengangguk dan tersenyum kepadaku. Aku tahu ada bayangan pahit dari balik senyumnya. Tapi aku tidak dapat berbuat apa-apa untuk itu. Aku harus melakukan semua ini, harus.. jika tidak, masalah yang terjadi antara aku dan Mino tidak akan terselesaikan. Dengan perlahan kualihkan pandanganku dari papa. Aku terkejut ketika pandangan Joongie yang tajam tertangkap oleh mataku. Tatapannya begitu dalam dan menusuk. Aku menjadi sadar bahwa dia mengetahui atau paling tidak bisa menebak semua kebohonganku.
Kuhembuskan nafas dengan berat, mataku terpejam, aku merasa semakin terpuruk. Nafasku sangat sesak. Duniaku terasa hancur.
*******************************
Aku memandangi telepon seluler berwarna putih yang berada dalam genggamanku dengan perasaan ragu-ragu. Hatiku memberontak antara menelepon atau tidak. Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Hari ini saya tidak masuk kantor karena keadaanku yang masih lemah. Setelah terdiam dalam waktu yang cukup lama akhirnya aku mengambil tekad bulat.
Aku menekan beberapa tombol nomor yang dituju dan mendekatkan telepon seluler itu ke telinga kananku dengan bibir bawah yang digigit.
"Hallo ...", terdengar suara Mino diseberang.
"Hallo.. Mino , apakah kamu bisa menjemputku sekarang?"
"Hyesun? sekarang? tapi saya ada rapat sebentar lagi .."
"Saya ingin bertemu denganmu ..."
"Hmmm ... ada apa? kedengarannya sangat serius ..."
"Tidak .. sebenarnya tidak ada yang serius ..hanya saja...saya...saya ingin bertemu denganmu.."
"Saat ini?"
"Ya, sekarang juga ... apakah kamu bisa datang sekarang juga?"
"Sebenarnya tidak bisa... tapi... untukmu apapun akan saya usahakan .. kamu tunggu saya .. apakah kamu ada di kantor sekarang?"
"Tidak! saya ada di rumah.."
"Apakah kamu sakit?"
"Tidak .. saya baik-baik saja.. saya hanya merasa sedikit capek sehingga harus beristirahat di rumah .. tapi sekarang saya merasa bosan .. kapan kamu akan tiba disini?
"Saya akan tiba setengah jam lagi dan kita akan makan siang bersama setelah itu.."
"Baiklah, saya tunggu ... bye..."
Aku memutuskan hubungan telepon dengan lesu. Sudah kulakukan, akhirnya aku benar-benar melakukannya. Sekarang tinggal menjalani akhir-akhir kebersamaan kami sebelum aku meninggalkan semuanya.
*******************************
Mino menjemputku tepat pada waktu yang dijanjikan. Aku kemudian memintanya membawaku ke restoran fast food yang kami kunjungi untuk pertama kalinya buat makan siang pada pertemuan kami yang keempat. Mino merasa heran dengan permintaanku yang aneh. Tapi melihat keseriusanku, dia memenuhi keinginanku itu tanpa bertanya lebih lanjut.
Disana kami memesan makanan yang sama. Semua itu mengingatkanku akan keisengannya yang pertama kali ketika dia mengakui aku sebagai pacarnya di hadapan dua adik kelas yang merayunya. Aku tersenyum mengingat kejadian itu. Sikapnya selalu seenaknya saja. Ini yang membuatku kesal dan sekaligus cinta mati padanya.
"Mengapa kamu tersenyum seperti itu?", Mino memandangiku dengan senyum simpul tersungging di wajahnya.
Sepasang lesung pipi yang menghias wajahnya ketika tersenyum membuatnya semakin mengemaskan.
"Tidak ada apa-apa..", jawabku pendek.
Mino memandangiku dengan kening berkerut. Dia mungkin heran dengan tingkah lakuku yang tidak seperti biasanya hari ini.
"Ada sesuatu yang terjadi?"
"Tidak!", jawabku cepat.
Mino mengangguk. Dia tidak bertanya lebih lanjut walaupun dia tahu ada sesuatu yang mengelisahkanku.
"Saya hanya ingin kamu ketahui bahwa dulu kamu membawaku kesini dan memesan makanan yang sama seperti ini, saya sangat menyukainya.."
Mino tersenyum lagi ketika mendengar perkataanku. Dia kelihatan ingin mengatakan sesuatu akan tetapi aku mendahuluinya.
"Mino .. bisakah kamu membawaku ke suatu tempat?"
Keheranan tergambar di wajah Mino ketika mendengar permintaanku.
"Kemana?"
"Terserah .. kemanapun, saya akan ikut denganmu..", jawabku pelan.
Mino semakin tenggelam dalam ketidakmengertiannya ketika melihat sikapku. Tapi dia tetap tidak menanyakan masalah itu lebih lanjut. Sebenarnya ini juga yang membuat aku begitu tertarik kepadanya. Dia selalu tahu kapan aku benar-benar tidak berkeinginan untuk melakukan sesuatu. Setelah menghabiskan makanan yang kami pesan sepuluh menit kemudian, kami beranjak dari restoran fast food yang mulai ramai oleh orang-orang yang berdatangan.
*************************
Mino membawaku ke suatu tempat yang benar-benar tidak pernah kubayangkan sebelumnya, setelah acara makan siang itu. Dia tidak mengajakku nonton film, tidak mengajakku melihatnya bermain iceskating seperti kencan kami yang pertama, tidak juga membawaku ke tempat-tempat terkenal lainnya di Korea. Sebenarnya ketika dia menanyakannya kepadaku, aku sudah sangat terkejut dan tertarik dengan tempat itu.
"Hmmm ... kamu tahu tidak kalau di sudut kota besar dan ramai ini terdapat sebuah danau kecil yang indah?", tanya Mino kepadaku beberapa saat yang lalu.
Aku memandanginya dengan mata terbuka lebar. Dia tertawa perlahan melihat tatapanku yang tidak percaya.
"He..he..he.. sebenarnya itu hanya sebuah danau kecil, bahkan sangat kecil untuk disebut sebagai danau, .. lebih..hmmm... lebih mirip sebuah kolam, tapi pemandangan disana benar-benar indah apalagi saat matahari terbenam... kamu akan melihat bagaimana sinar mentari senja yang lembut dan kekuningan itu menyirami bunga-bunga yang beraneka warna, rumput-rumput liar dan pepohonan yang tumbuh mengelilinginya itu akan membuatmu berasa di dunia lain.. tempat itu tidak begitu dikenal, tapi saya sangat menyukainya, itu merupakan tempat yang sering kudatangi setiap aku mempunyai masalah .."
Saat mendengar perkataan Mino, bayangan bukit kecil di desa Jeja langsung masuk ke dalam pikiranku. Dulu... di saat aku mendapat masalah yang tidak terselesaikan, aku selalu menenangkan diri di bukit kecil itu, dan tidak kusangka ternyata Mino juga mempunyai persamaan denganku dalam hal ini.
Sekarang kami berdua sudah berdiri di pinggir danau yang dimaksud. Pemandangan yang terhampar di depan kami sangat luar biasa. Mino tidak berbohong kepadaku. Walaupun saat ini hari masih siang, dan matahari bersinar dengan terik tapi justru itu memberikan nuansa yang lain dari danau itu.
Keadaan sekitar sangat sepi. Hanya ada dua pasang kekasih yang sedang duduk bermesraan di dua bangku berbeda yang tersedia di sana. Pasangan yang satu ada di posisi kiri kami dan pasangan yang lainnya lagi duduk agak di belakang kami.Aku menatap ke depan dengan mata tak berkedip. Banyak sekali masalah yang memasuki pikiranku saat ini. Kuhembuskan nafas dengan perlahan ketika Mino tiba-tiba memelukku dari belakang. Aku sangat terkejut, tapi dia tidak memberi kesempatan kepadaku untuk melepaskan diri. Dekapannya di pinggang dan pundakku semakin erat.
"Apakah kamu tahu bahwa yang paling membahagiakanku adalah mendekapmu seperti ini?", tanyanya dengan lembut.
Desahan nafasnya yang halus di antara leher dan telingaku membuatku sedikit merinding. Tanpa terasa dua butir air bening keluar dari mataku dan mengalir sepanjang pipiku. Dengan cepat kuhapus airmata yang mengalir keluar itu dengan tangan kananku. Aku tidak ingin Mino sampai melihat kesedihanku.
"Apakah kamu suka dengan tempat ini?", tanya Mino lagi dengan nada suara yang tidak berbeda.
Aku mengangguk. Mataku berkaca-kaca dan .. airmata yang kutahan dengan susah payah akhirnya tumpah lagi. Dengan segera kuangkat kedua tanganku, menghapus airmataku lagi.
Mino sudah ingin mengatakan sesuatu ketika aku membalikan badan dengan cepat dalam pelukannya, sehingga wajah kami saling berhadapan. Dia kelihatan agak terkejut melihat mataku yang sedikit memerah. Tapi, aku tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk bertanya lebih lanjut. Kuulurkan tanganku, memegang kerah kemejanya, dan menariknya sehingga wajahnya berada dekat dengan wajahku. Sebelum Mino hilang dari keterkejutannya, aku sudah menempelkan bibirku di bibirnya.
Mino terpaku di tempatnya, sepasang matanya terbelalak lebar menatap mataku yang masih terbuka. Aku tahu hal ini sangat mengemparkan hatinya, karena tidak pernah sekalipun aku memulai tindakan yang seberani ini. Tapi.. aku sudah tidak perduli lagi. Ini akan merupakan kebersamaan kami yang terakhir kalinya. Besok pagi-pagi sekali aku sudah akan meninggalkan kota Seoul bersama paman dan bibi.
Dengan perlahan kututup mataku dan mulai melumat bibirnya. Beberapa saat aku tidak merasa balasan dari tindakanku itu. Mungkin Mino masih belum sadar dari keterkejutannya. Aku semakin mempercepat permainan bibirku di bibirnya. Sesaat kemudian aku mulai merasakan bibirnya mulai membalas lumatan-lumatanku yang semakin dalam. Kedua tangannya mendekapku dengan erat.
Kami berciuman lebih dari lima menit lamanya. Nafas kami masih memburu ketika kami melepaskan lumatan dari bibir kami masing-masing.
Mino membuka mulutnya lagi, seperti ingin mengatakan sesuatu ketika dia sudah berhasil mengendalikan pernafasannya. Tapi, aku mengeleng dengan cepat dan memeluknya dengan erat. Kusandarkan kepalaku di dadanya yang bidang, dan bisa kudengar dengan jelas degupan jantungnya yang kencang. Melihat tindakanku, Mino mengurungkan niatnya semula.
Kami terus berada dalam posisi yang sama selama setengah jam. Setelah itu Mino mengantarku pulang tanpa bertanya apa-apa lagi.
*********************
Aku sedang membereskan semua barang-barang dan menaruhnya ke dalam koper ketika Joongie memasuki kamarku, malam harinya.
"Noona benar-benar akan pergi?"
Pertanyaan Joongie tidak kujawab. Aku masih tetap sibuk dengan barang-barang yang berserakan di atas ranjang.
"Pasti ada sesuatu yang terjadi, kan?"
Aku segera menegakkan tubuhku yang agak membungkuk di atas ranjang dan berbalik kearah Joongie.
"Apakah ada bedanya? dari semula kita sudah menduganya, cepat atau lambat semua ini akan terjadi juga .."
"Maksud noona... hubungan noona dan tuan muda Mino sudah diketahui oleh Mr dan Mrs. Lee?", tanya Joongie lagi.
Aku mengangguk. Dengan lesu, aku menjatuhkan diri di ranjang dan menutup mataku.
"Mereka melarangnya? ya ... tentu saja itu sudah kita duga dari semula .... dan karena itu noona harus pergi dari sini .. kalau begitu apakah saya perlu menemani noona?"
"Tidak!!! ... jangan lakukan itu !!!", teriakku cepat.
Joongie memandangiku. Dia kelihatan heran dengan sikapku. Tapi aku tidak mempedulikannya. Aku melanjutkan kembali kata-kataku dengan serius.
"Mino masih baru dalam pekerjaannya dan dia membutuhkan seseorang yang mampu menolongnya .. aku mempercayaimu .. jadi Joongie, kamu harus tetap tinggal disini ... dan kamu jangan khawatir dengan noona .. paman dan bibi akan menemaniku .."
Joongie ingin membantah, tapi aku segera mengangkat tanganku dan menunjuk kearah pintu sebagai tanda memintanya keluar dari kamarku. Joongie tidak bisa berbuat apa-apa melihat kekerasan sikapku. Dengan perlahan dia berjalan kearah pintu. Sekali lagi dia melirik kearahku ketika sudah sampai di ambang pintu. Dan karena aku masih tidak beraksi apa-apa, akhirnya dia menutup pintu yang ada di belakangnya secara perlahan.
************00000************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
The Sarang--Chapter Ten
Tittle : The Sarang
Author : Lovelyn Ian Wong
-Chapter Ten
Author : Lovelyn Ian Wong
-Chapter Ten
Dua hari kemudian ……
Mino mondar mandir di ruang kantornya yang besar. Dia tampak gelisah sekali. Sekali kali kakinya dihentak-hentakkannya ke lantai yang di lapisi permadani bulu tebal. Penampilannya saat itu sangat berantakan.Dasi yang dipakainya bergantung begitu saja di lehernya dengan kemeja putih yang kancingnya sudah terbuka sampai di bagian dada dan jas hitam yang tampak kucel karena sering diremas olehnya.
Langkahnya terhenti ketika pintu ruangan diketuk dari luar ..
tok…. tok…… tok …..
“Masuklah ……. “
Pintu terbuka dan Joongie memasuki ruangan dengan setumpuk file ditangannya. Mino memandanginya sekilas dan memberi isyarat kepada Joongie supaya menaruh tumpukan file itu di meja kerjanya. Joongie berjalan ke meja panjang dekat jendela dan menaruh bawaannya di sana. Dan ketika dia bermaksud meninggalkan ruangan itu, Mino mengeluarkan suaranya dengan tiba-tiba.
“Hyun Joong, apakah … apakah kamu tahu Hyesun pergi kemana?”
Joongie membalikan badannya kearah Mino. Memperhatikan kegelisahannya dengan tanpa mengeluarkan suara.
“Sudah sejak kemarin saya mencarinya, tapi baik dirumah maupun di kantor, tidak ada yang tahu keberadaannya ….. apakah kamu mengetahui dia ada dimana?”, tanya Mino lebih lanjut.
Ditanya seperti itu, Joongie tetap tidak mengeluarkan suaranya. Mino memandanginya dengan kesal. Dia mendekati Joongie dan berkata dengan keras ….
“Saya sedang bertanya kepadamu Kim Hyun Joong .. kemana perginya Hyesun??”
Joongie tidak kelihatan gentar dengan bentakan Mino. Sepasang matanya tetap menatap lurus ke mata Mino yang berapi-api.
“Mengapa tuan mengira saya mengetahui keberadaan noona?”
Mino mengepal tangannya mendengar kata-kata Joongie yang teramat tenang.
“Karena kalian tinggal di rumah yang sama .. maka kamu.. kamu pasti mengetahuinya .. lagipula kamu ….. “
Mino menghentikan perkataannya dengan tiba-tiba. Joongie memandang tajam kearahnya seolah menantikan kelanjutan dari perkataannya. Tapi, Mino tetap diam saja. Sepasang matanya bergerak ke segala arah dengan gelisah.
“Lagipula .. apa? bagaimana? ada hubungannya dengan saya?”, tanya Joongie penasaran.
Mino mengalihkan perhatiannya dari seisi ruangan kepada Joongie. Kelihatan jelas emosinya sudah tidak terbendung lagi.
“Karena kamu mencintainya …”
Joongie terperanjat mendengar jawaban Mino yang tidak disangkanya. Matanya yang terbelalak lebar menatap lurus kearah Mino.
“Aku sudah heran melihat kelakuannya dua hari yang lalu .. dia begitu .. begitu berbeda dari biasanya … dan sekarang setelah dipikir dengan seksama, pasti kamu … kamu yang menyuruhnya menghindariku …. setelah mengetahui kebersamaan kami, kamu menjadi cemburu jadi kamu menyuruhnya pergi dari hidupku … kamu pasti telah melakukan sesuatu yang luarbiasa sehingga membuat dia sampai meninggalkanku … benar begitu, kan .. Kim Hyun Joong??”
Perkataan Mino mengetarkan seisi ruangan itu. Tapi bukan itu yang mengejutkan Joongie. Perasaan cintanya terhadap noonanya yang diketahui oleh Mino itulah yang membuatnya terkejut setengah mati.
“Tuan mengetahuinya? .. tapi… bagaimana mungkin tuan bisa mengetahui bagaimana perasaan saya terhadap noona …?”
Mino terpaku sejenak. Dia baru menyadari bahwa perkataannya sudah melampaui batas. Tapi kegelisahan dan kemarahannya pada saat ini sudah membuatnya kehilangan kendali.
“Bukan saya yang mengetahuinya .. tapi Hyesun yang menceritakannya kepada saya ..”
Mendengar jawaban Mino, Joongie semakin terperanjat di tempatnya. Dipandanginya Mino dengan mata terbuka lebar. Ketidakpercayaan terpancar jelas dari matanya.
“Noona .. maksud tuan, noona mengetahui semuanya? .. bagaimana mungkin? .. selama ini sikapnya biasa-biasa saja …”
“Hyesun tetap bersikap seperti biasanya karena dia tidak ingin menyakiti hatimu …. pada malam sebelum rencana pernikahannya dengan hyung, dia tidak sengaja mendengar pembicaraanmu dengan mamamu …”
Setelah perkataan ini, keadaan menjadi hening seketika. Pikiran mereka masing-masing langsung dipenuhi oleh segala masalah yang terjadi saat ini. Joongie dengan berita yang ternyata noonanya mengetahui perasaannya selama ini dan Mino dengan alasan kepergian Hyesun yang tidak diketahuinya.
“Karena itu, tuan mengira saya yang memaksa noona pergi dari sini? … lalu .. mengapa tuan tidak mencoba menanyakannya kepada nyonya besar saja ?”
Mendengar itu, Mino langsung tersentak dari pikirannya yang menerawang jauh. Joongie memandanginya sejenak kemudian membungkukkan badannya.
“Saya pergi dulu, tuan ......"
Mino tidak beraksi dengan tindakan Joongie. Pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata Joongie tadi. Dengan perlahan Joongie mundur ke belakang dan pergi dari situ. Tampang Mino langsung berubah garang pada saat itu juga.Dengan cepat dia berjalan ke meja kerjanya, meraih tumpukan file yang ada disana dan melemparkannya ke lantai dengan emosi yang meledak.
“Aishhhhhhhhhh …………….”
**********************
Malam harinya di kediaman Lee, Mrs. Lee dan keponakannya, Kim So Eun, duduk berbincang-bincang di ruang tamu. Soeun baru tiba tadi siang di Korea. Wajahnya kelihatan masih lelah akibat perjalanan yang panjang itu. Tapi dia tetap memperlihatkan senyumnya dan menjawab semua pertanyaan Mrs. Lee dengan seksama.
“Bagaimana keadaan papamu, Soeun?”, tanya Mrs. Lee ramah.
“Keadaan papa sudah lebih baik sekarang, bi .. papa dan mama juga meminta saya untuk meminta maaf kepada bibi dan paman karena tidak bisa menghadiri pemakaman Junki oppa saat itu ..”
Kesedihan langsung terlukis di wajah Mrs. Lee ketika nama Junki diungkit oleh Soeun.
“Tidak apa-apa … bibi dan paman tahu bahwa kesehatan papamu tidak mengijinkan untuk melakukan perjalanan jauh pada saat itu …..”
Soeun yang melihat keadaan Mrs. Lee langsung menyadari bahwa perkataannya itu tidak pada tempatnya. Dengan perasaan bersalah dia berkata perlahan ….
“Maafkan saya, bi .. saya tidak bermaksud …..”
brakkkkkkkkkkkkkkk ………..
Perkataannya terhenti oleh pintu ruang tamu yang didobrak tiba-tiba dari luar. Mino memasuki ruangan dengan tampang sangar dan tangan terkepal erat.
“Mama yang melakukannya, kan?”, suaranya bergetar hebat karena emosi yang ditahannya.
Sepasang mata Mino menatap tajam ke Mrs. Lee. Dia tidak mempedulikan pandangan Soeun kepadanya. Atau mungkin dia sama sekali tidak melihat keberadaan orang lain di ruangan itu selain mamanya. Kemarahannya sudah hampir meledak saat itu.
“Oppa … Mino oppa ….”, panggil Soeun dengan nada riang.
Mino mengalihkan pandangannya sekilas kearah Soeun. Hanya sekilas, setelah itu perhatiannya kembali terpusat kepada Mrs. Lee.
“Apa maksud dari pertanyaanmu?, Mrs. Lee balas bertanya kepada Mino.
“Jangan katakan bahwa mama tidak tahu menahu dengan kepergian Hyesun .. mama yang menyuruhnya pergi, kan?”
Mrs. Lee menghela nafas perlahan, kemudian menganggukkan kepalanya.
“Tapi .. mengapa? mengapa mama melakukan semua ini?”, tanya Mino dengan suara yang lebih keras lagi.
“Semua ini demi kebaikkanmu … mama tidak akan pernah mengijinkan sesuatu yang buruk terjadi padamu, baik dalam karir maupun kehidupanmu … setelah kepergian Junki, yang mama harapkan sekarang hanya kamu … “
Penjelasan Mrs. Lee tidak begitu memuaskan Mino. Matanya masih memancarkan kemarahan besar. Soeun memperhatikan adegan antara ibu dan anak itu dari tempat duduknya dengan tanpa mengeluarkan suara.
“Mama tidak akan berhasil dengan ini … bagaimanapun saya akan mencarinya, dimanapun dia berada …”
Mino menaiki tangga, menuju ke ruang kamarnya, meninggalkan Mrs. Lee dan Soeun di ruang tamu besar itu. Soeun memperhatikan Mrs. Lee yang terduduk lemas di kursinya.
“Ada apa dengan Mino oppa, bi? … dia kelihatan marah sekali .. dan … Hyesun itu siapa?”
Mrs. Lee mengalihkan perhatiannya ke Soeun. Dia berusaha tersenyum walaupun kelihatan terpaksa.
“Tidak ada apa-apa, Soeun …. itu hanya permainan anak kecil … suatu saat Mino akan mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh mamanya ini adalah demi kebaikkannya ..”
Soeun mengangguk mendengar penjelasan Mrs. Lee.
“Lalu .. Hyesun … siapakah dia?”
Mrs. Lee terdiam sejenak. Dia kelihatan agak segan ketika menjawab pertanyaan Soeun yang lebih lanjut.
“Hyesun adalah …. calon istri Junki .. tapi dia sekarang terlibat cinta dengan Mino …”
“Hahhhhhhhh ??”
Soeun sangat terkejut mendengar penjelasan Mrs. Lee. Pikirannya menjadi kacau saat itu juga. Pandangannya langsung dialihkan ke anak tangga yang tadi dinaiki Mino.
“Kamu jangan khawatir, Soeun …. cepat atau lambat Mino akan menyadari kesalahannya sendiri, yang paling pantas mendampingi hidupnya kelak adalah kamu .. lagipula bibi ingin lihat seberapa keras pendiriannya ..”
Soeun tersenyum kearah Mrs. Lee. Walaupun dia tidak begitu yakin dengan perkataan bibinya ini, dia tidak mau memperlihatkannya. Sifat Mino agak berubah dari perjumpaan mereka yang terakhir 3 tahun yang lalu. Dulu .. Soeun tidak begitu suka dengan sikap Mino yang cuek dan dingin itu. Dia selalu merasa pria seperti itu akan membuat kehidupannya menjadi suram dan menjemukan.
Akan tetapi sekarang, setelah 3 tahun, oppanya yang satu ini sudah agak berubah. Bukan hanya penampilannya yang semakin menawan, tetapi sikapnya yang begitu melindungi orang yang dicintainya kelihatan begitu menarik dan menyejukkan baginya. Soeun menyadari satu hal sekarang, Mino sudah memesona hatinya. Walaupun semua ini belum tentu perasaan cinta tapi yang jelas dia tidak mempunyai perasaan berontak lagi terhadap pertunangan yang semula tidak begitu disetujuinya ini.
***********************
Bar itu cukup luas, dengan suasana yang agak semarak. Lampu-lampu blitz besar yang dipasang di langit ruangan berputar-putar mengarah ke seluruh sudut ruang yang redup. Musik disco remix yang diputar berdentam-dentam dan menghentak-hentak di setiap hati yang mendengarnya. Para pengunjung yang kebanyakan berasal dari kalangan muda menari dengan liar mengikuti alunan musik yang keras dan [bigno]akkan telinga. Beberapa orang yang berbadan besar dan kekar hilir mudik sambil mengawasi para pengunjung yang ada disana.
Ada beberapa di antara pengunjung tersebut yang kelihatan sudah mabuk berat. Keributan-keributan kecil mulai terjadi ketika Mino memasuki ruangan itu. Mino melirik sekilas keributan yang terjadi di depannya dengan sikap tak acuh. Wajahnya tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, hampa dan mati. Pandangannya kemudian terhenti di sofa yang terletak di sudut paling kiri ruangan itu. Matanya agak menyipit ketika mengamati apa yang ada di depannya. Badannya langsung ditegakkan ketika apa yang dicarinya sudah didapatkannya disana.
Dengan langkah lebar, Mino segera berjalan kearah yang dimaksud. Beberapa orang dengan berpakaian ketat dan tato di lengan sedang minum dan ketawa-ketawa di tempat yang dituju Mino.
Orang-orang itu segera menghentikan kesenangannya ketika Mino sudah berdiri tepat di hadapan mereka dengan tatapan tajam. Salah satu dari mereka, yang berpakaian ketat warna merah tanpa lengan dengan tato burung elang di tangan kiri, berdiri dari duduknya. Dia membalas pandangan Mino dengan tenang.
“Tuan muda Lee!! .. angin apa yang membawamu kemari?”
“Saya ada tawaran buatmu ..”, jawab Mino dengan suara yang tidak kalah tenangnya. Orang di depannya, yang tidak lain adalah pemimpin dari para berandalan yang mengeroyoknya beberapa bulan yang lalu, tertawa terbahak-bahak mendengar perkataannya.
“Ha..ha..ha.. tuan muda Lee, jangan main-main dengan saya ..”
Mino tidak beraksi mendengar suara ketawa itu. Ekspresi wajahnya tetap seperti semula, serius dan tajam.
“Saya tidak bercanda … saya benar-benar ada tawaran untukmu, Mr. Song …"
Orang yang dipanggil sebagai Mr. Song oleh Mino itu akhirnya mengangkat tangannya.
“Ok … ok .. sekarang katakan padaku apa tawaranmu itu?”
“Saya akan bergabung dengan kelompok iceskatingmu ..”
Mr. Song langsung mengibaskan tangannya kearah Mino. Kali ini wajahnya berubah serius kembali.
“Jangan menganggap saya sebagai orang bodoh, tuan muda Lee .. saya sudah memeriksa dengan seksama semua tentang kamu .. kecelakaan yang terjadi padamu dan kecacatan yang dialami oleh kakimu, semuanya saya ketahui dengan sangat jelas ..”
Mino tetap tidak gentar di tempatnya, walaupun Mr. Song sudah kelihatan mulai hilang kesabarannya.
“Tawaran yang saya ajukan akan menguntungkan pihakmu ..”
Mino memandang lurus kearah Mr. Song. Yang dipandang membalas tatapannya dengan tidak berkedip. Mereka berada dalam posisi yang sama selama dua menit, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Setelah diam dalam waktu yang cukup lama, akhirnya Mr. Song mengeluarkan suaranya.
“Baiklah .. katakan apa keuntungannya bagi kami .. tapi ingat tuan muda Lee, kami bukanlah orang-orang yang bisa dipermainkan begitu saja ...."
Mino menarik nafas dan meneruskan kata-katanya dengan tekad bulat.
“Jika saya menang, maka semua hasil kemenangan dari taruhan itu akan menjadi milikmu dan apabila saya kalah, maka saya akan membayar semua kerugian yang kamu alami .. bagaimana, Mr. Song? .. tawaranku ini tidak akan merugikanmu sedikitpun, kan?”
Mr. Song kelihatan berpikir sejenak setelah mendengar tawaran yang diajukan Mino. Sesaat kemudian dia mengacungkan jempolnya.
“Ok.. deal ..”
Lalu dia berpaling ke salah seorang anak buahnya dan berkata …
“Wo, bawa tuan muda Lee ke ruang bawah tanah sekarang juga. .. perlombaan akan segera dimulai … saya akan turun sebentar lagi …”
Orang yang dipanggil Wo berjalan ke depan, kemudian membawa Mino pergi dari situ. Mr. Song memperhatikan kepergian Mino dan anak buahnya dengan pandangan tak berkedip. Lalu secara perlahan seulas senyum tersungging dibibirnya yang agak hitam karna kebiasaan merokok.
**************
Pertaruhan dari permainan iceskating di ruang bawah tanah itu cukup ramai diikuti oleh para pengunjung. Semua bersorak sorai dengan suara keras. Mino mendapat giliran terakhir. Permainannya cukup bagus walaupun tidak bisa dikatakan sempurna. Orang-orang yang bertaruh untuknya juga tergolong banyak. Hampir 70% dari para pengunjung membeli taruhan atas namanya.
Dan hasil terakhir dari taruhan itu juga tidak berbeda jauh dari dugaan semula. Mino memenangkannya dengan hasil yang cukup memuaskan. Mino menghempaskan tubuh jangkungnya ke bangku yang terletak di pinggir arena iceskating, yang terhalang oleh pagar dari kayu yang tingginya sepinggang, setelah pertandingan itu selesai. Dengan perlahan dia melepas sepatu iceskate dari kakinya. Mulutnya agak meringgis ketika sepatu sebelah kanan itu terpisah dari kakinya. Lutut di kaki kanannya terasa sakit.
Mino memijat-mijat kaki kanan di bagian lutut itu degan bibir bawah yang digigit. Dia menyadari dengan pasti bahwa luka yang dialaminya waktu kecelakaan yang parah itu mulai terkoyak kembali. Suara langkah kaki yang mendekatinya membuat Mino segera menangkat wajahnya. Mr. Song dan beberapa pengikutnya sudah berdiri di hadapannya sekarang.
"Tuan muda Lee, saya lihat permainanmu tidak begitu memuaskan .."
Mino berdiri dari tempat duduknya dan berhadapan dengan Mr. Song. Dia menahan rasa sakit yang dirasakannya dengan sikap tenang.
"Mr. Song .. panggil saja saya Minho .. anda jangan mengkhawatirkan permainan saya, untuk waktu selanjutnya saya akan berusaha bermain lebih baik lagi .."
"Bagus jika kamu mengetahui dimana kekuranganmu sendiri .. tapi perlu saya beritahukan kepadamu, malam ini kamu bisa menang telak karena lawan-lawanmu semuanya biasa-biasa saja .. kamu juga tahu bahwa keuntungan-keuntungan kami itu didapat dari presentase para pemenang .. jadi saya berharap untuk hari-hari selanjutnya kamu bermain lebih baik lagi .. hmmm .. Minho,sejujurnya saya rindu dengan permainanmu yang pertama kalinya.. perlu kamu ketahui saya tidak pernah melihat permainan sesempurna itu .."
Mino tertegun mendengar perkataan Mr. Song. Untuk pertama kalinya dia mendengar kata-kata yang begitu menyentuh dari Mr. Song.
Teringat kembali olehnya, sembilan bulan yang lalu, karena iseng dia memasuki bar yang berada diatas arena iceskating ini. Dan karena tidak sengaja mendengar pembicaraan tentang adanya taruhan dari permainan iceskating yang digemarinya di ruang bawah tanah ini, dia jadi ikut terlibat di dalamnya.
Mino sebenarnya juga mengakui bahwa saat itu merupakan permainan paling sempurna yang pernah dilakukannya. Waktu itu dia benar-benar merasa terbebas dari segala tekanan dan kekangan, sehingga menyebabkan gerakan-gerakan dari kaki dan tangannya begitu bebas dan lepas. Putaran dari badannya, loncatan dari kakinya, gerakan mundur yang dilakukannya dan semuanya meluncur dengan begitu mulus dari permainannya sehingga membuatnya mendapatkan kemenangan mutlak dari taruhan tersebut.
Dan pada saat itu pula, Mr. Song mengalami kerugian besar karenanya. Tidak ada seorangpun yang bertaruh untuk pemain baru yang asing itu. Banyak di antara para pengunjung yang kecewa sekaligus tertarik dengan anak muda yang menampilkan permainan yang menakjubkan tersebut termasuk Mr. Song.
Pada malam itu juga Mr. Song menawari Mino untuk bergabung dengan kelompoknya. Tapi karena Mino tidak tertarik dengan tawaran yang diajukan Mr. Song, dia langsung mengambil keputusan dengan menolak tawaran tersebut pada saat itu juga. Hal ini pula yang membuat Mino sampai dihajar dan dikeroyok berkali-kali oleh Mr. Song dan para pengikutnya.
Sebenarnya setelah kecelakaan itu, Mino menganggap semuanya sudah berlalu dan dia tidak akan pernah berurusan lagi dengan kelompok petaruh gelap itu. Tapi dia tidak pernah menyangka, karna Hyesun, dia terlepas dari hubungan dengan para berandalan tersebut, dan karna Hyesun, pula dia terdampar kembali disini.
Mino terhempas ke bangku di belakangnya sepeninggal rombongan Mr. Song. Rasa sakit dan ngelu di lutut kanannya terasa menyenggatnya lagi. Kepalanya tertunduk dalam-dalam dengan posisi kedua tangan terletak di bagian lutut. Hancur .. hancur semua ......hidupnya sudah hancur semua ... hiks... hiks ... ~mino aaa
************00000************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Similar topics
» What's the Meaning of Love?- by Lovelyn
» Love and Career--by Lovelyn
» from Seoul to ... Perth-- by Lovelyn
» *When a Gay met a Young Mom (in love again)* by Lovelyn
» The Sounds of Death--by Lovelyn
» Love and Career--by Lovelyn
» from Seoul to ... Perth-- by Lovelyn
» *When a Gay met a Young Mom (in love again)* by Lovelyn
» The Sounds of Death--by Lovelyn
Page 1 of 1
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum
|
|