Strawberry, Lovers or Haters?- by Lovelyn
4 posters
Page 1 of 1
Strawberry, Lovers or Haters?- by Lovelyn
Strawberry, Lovers or Haters?-
By Lovelyn Ian Wong
Tittle : Strawberry, Lovers or Haters?
Genre : free style, simple story
Cast : Goo Hye Sun, Lee Min Ho and friends
Characters
Goo Hye Sun - Strawberry Im, 17 tahun, kelas 2A Sekolah Menengah 'Dream High'
Lee Min Ho - Wine So, 17 tahun, sekelas dengan Strawberry
Cho Kyu Hyun - Music Jung, 17 tahun, murid pindahan dari Seoul
(Park Shin Hye - Mango Moon, Sandara Park - Apple Kim, Park Bo Young - Pear Park)
--begitu juga Strawberry Im, tergabung dalam sebuah club balet sekolah yang menamakan diri mereka F3, Fresh Fruit Four lol
(Kim Bum - Coffe Song, Jung Il Woo - Chocolate Son)--sahabat karib sekaligus teman sekelas Wine So.
Summary :
Omma sering bilang, anak gadis yang lahir pada bulan Maret laksana strawberry, .. sweet, indah dan harum semerbak .. Entah karena aku juga dilahirkan pada bulan itu, atau orangtuaku yang memiliki perkebunan strawberry cukup luas di ujung desa paling selatan Kor-Sel, ataupun kecintaanku yang teramat sangat pada strawberry yang membuatku mengkonsumsi buah itu sejak kecil sehingga semerbak harum buah tersebut juga melekat dalam tubuh dan ragaku yang menyebabkanku dinamakan begitu ... Strawberry Im ...
__________________><______________________
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Strawberry, Lovers or Haters?--Chapter One by Lovelyn
Strawberry, Lovers or Haters?-
CHAPTER ONE
By Lovelyn Ian Wong
Hari-hari ku ...
"STRAWBERRY!!!"
Aku memejamkan mata sambil mengigit bibir keras-keras. Tanpa berpaling saja aku tahu siapa yang berteriak padaku. Suara lantang yang rada parau itu membuat peluh mulai bercucuran dari jidat dan wajahku. Ya, aku melakukan kesalahan lagi. Kesalahan yang ... entah sudah ke--beraparatus bahkan ribu--kalinya kusumpahkan untuk tidak dilakukan lagi ... tapi tidak pernah berhasil. Menerebos jalan pintas dari ladang anggur ini, lebih cepat dua kali lipat daripada harus memakai jalan besar yang berseberangan langsung dari kebun strawberry milik keluarga ku.
Aku berbalik seraya berusaha memasang tampang semanis-manisnya. "Wine ... "
"Kau melanggar batas lagi!!" kata cowok di depanku, dingin. "Sudah berapa kali kuperingatkan?!! Jalan ini tidak diijinkan ternoda oleh pemilik kebun strawberry sebelah!"
"Yaa--yaa--kenapa seketus itu?" Aku memonyongkan bibir ke depan.
Orang bilang, Strawberry dan Wine adalah perpaduan yang sempurna. Mereka merupakan pasangan istimewa. Pernahkah anda menikmati segelas Strawberry Wine? Aku percaya, seteguk saja, anda pasti jatuh cinta padanya. Strawberry Wine akan membuat anda mabuk dan tidak pernah melupakan rasa dan aromanya. Tapi .. kayaknya perumpamaan itu tidak berlaku bagi cowok di hadapanku. Dari dulu, dia, Wine So, tidak suka padaku. Bahkan, terkadang .. aku merasa dia membenciku. Kenapa? Aku mengangkat bahu, menyerah. Tidak Tahu ..
Raut Wine mengeras ketika mendapat perlawanan dariku. Otot-otot lengannya yang sudah terbentuk, menegang dibalik seragam sekolah yang dikenakannya. "I Hate Strawberry!!" tekannya dengan gigi bergemelutuk.
Mataku melebar. "Mwo?!!"
"Aku benci strawberry!!" dengus Wine. Matanya bersinar dingin dan .. liar. "Terlebih padamu!" katanya sambil menunjuk kearahku. "Bau yang menyebar dari tubuhmu membuatku puyeng. I hate you, strawberry!!!"
"Yaa--kira-kira dong ngomongnya!!!!" Sumpah, aku sangat tidak suka dengan perkataan-perkataannya. Apakah salahku jika beraroma strawberry? Apakah salahku juga kalau nama ku juga 'Strawberry'? Apakah salahku jika orangtuaku pemilik kebun strawberry sebelah? Huhh--Aku tidak bisa memilih karena semua sudah terjadi sebelum kelahiranku--
"Sudah!!!"
Mendadak aku dikejutkan oleh bentakannya.
"Sekarang, angkat kaki dari sini!! Kembali ke dunia mu!!"
Aku menekuk wajah dan bergerak perlahan ke pagar pembatas, pemisah ladang anggur dengan perkebunan strawberry keluargaku, di mana tadi, nekat aku panjati.
"Jangan sekali-kali menginjakan kakimu lagi di sini!!"
Aku sudah melompati pagar pembatas ketika berbalik dan meleletkan lidah kearahnya.
"Wee--Bagaimanapun, strawberry lebih unggul segala-galanya dari anggur!! Wine geblek!!"
"Kau ... "
Aku melihat gelagat tidak baik dari Wine. Tangannya sudah bersiap menyambar tongkat kayu yang tersampir di dekat sebatang pohon anggur. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku mengambil langkah seribu, kabur dari situ. HAHAHAHA--
*******
"Wine sialan!! Wine geblek!! Wine gila!!"
Aku terus mengomel ketika berlari melintasi jalan besar. Bagaimana tidak? Jika tidak ketahuan olehnya tadi, aku bisa menghemat waktu seperempat jam dari waktu yang kuperlukan untuk sampai ke sekolah.
"Pasti terlambat deh .. ," desahku dengan nafas tersengal-sengal. Dari kejauhan aku mendengar lonceng tanda masuk mulai dibunyikan. "Sial!! Wine So, aku makin benci kamu!!!"
Aku mempercepat lari sampai hampir kehilangan nafas. Tapi aku tahu semua itu percuma saja. [b]Aku pasti terlambat dan akan dihukum oleh Jo Sung sonsaengnim. Dan semua gara-gara .. Wine So!!
********
Tok .. tok .. tok ...
"Anyongheseyo, Jo sonsaengnim ... "
Aku memasuki ruang kelas dengan kepala tertunduk. Tidak perlu mengangkat wajah, aku sudah tahu wajah sonsaengnim ku tersayang sudah membiru saking marahnya. Mungkin penghapus di tangannya sudah akan dilayangkan ke wajahku jika saja berpuluh-puluh pasang mata tidak sedang mengarah padaku.
"Terlambat lagi, Strawberry Im?" tanya Jo sonsaengnim dingin. Sama dinginnya dengan perkataan-perkataan Wine beberapa saat lalu.
"Ne .. Sosoengheyo .. sonsaengnim ... " Aku menjawab takut-takut. Pandanganku menjelajah seisi ruangan secara hati-hati. Itu dia--penyebab keterlambatanku!! Wine melirik ku sepintas, lalu membuang wajah ke arah lain.
"Bisa menjelaskan keterlambatanmu?!"
Aku mengatupkan bibir rapat-rapat sambil mengepalkan sepasang tanganku. Reaksi cowok itu membuatku geram.
"Strawberrry Im!!!"
Aku terperanjat. "Dhe?"
"Apa kau mendengarku?!!" tanya Jo sonsaengnim, menatapku lekat-lekat.
"I .. itu ... ," aku jadi gelabakan sendiri. Jujur saja, aku tidak konsentrasi terhadap pertanyaannya tadi.
"Berikan alasan dari keterlambatanmu!!" Jo sonsaengnim mengulangi pertanyaannya begitu melihatku hanya diam saja.
"Sa .. saya ... " Aku melirik teman-teman sekelasku. Lebih tepatnya, sahabat-sahabat kentalku, .. Mango, Apple dan Pear, .. mereka terlihat menahan nafasnya.
"Jadi?"
"Saya ... terlambat bangun .. " Jawaban ini membuat seisi kelas hiruk pikuk. Sebagian menertawakanku, sebagian lagi ribut karena takut Jo sonsaengnim akan lebih murka lagi. "Sosoengheyo sonsaengnim .. " Aku membungkukan badan berulangkali.
"Apa kau kira ini lucu, Strawberry?" ujar Jo sonsaengnim dengan nada menusuk.
"Aniyo .. ," sahutku pelan.
"Kembali ke bangku mu. Dan jangan lupa, mencatat seratuskali pelajaran yang kuberikan hari ini!!"
"Ne .. " Aku berjalan lemas ke bangku ku. Apple yang duduk di sebelah, segera menyentuh lenganku.
"Gwencana?"
Aku mengeleng lemah.
"Kenapa terlambat sekali?"
Aku tidak menjawab. Perlahan aku mengerling ke arah Wine yang saat ini sedang melemparkan pandangannya ke luar jendela.
"Dia lagi?" tanya Apple kembali.
Aku menoleh padanya, kemudian mengangguk pelan.
"Yaa--kenapa dia mempersulitmu terus?!!"
"Mana saya tahu!!" Aku menghempaskan tas ranselku ke atas meja. "Kalau saya tahu, tidak akan seperti ini dari dulu!"
"Kalian ini aneh-aneh saja .. " Apple mengulum senyumnya. "Tinggal bertetangga tapi dari dulu tidak pernah akrab mulu .. "
"Bukan salahku, tahu?!!!" dengus ku kesal.
"Ne, aku tahu ... " Apple segera berusaha menenangkanku. "Semua kesalahannya .. " Dia menunjuk Wine dengan dagunya. "Tapi .. jujur loh, .. dia makin keren aja .. "
"Apple Kim!!!" Aku berteriak, makin dongkol padanya. Sebelum Apple memberikan balasannya, mendadak ...
"STRAWBERRY IM!!!" Teriakan lain terdengar pula. Suara Jo sonsaengnim mengelegar dalam ruang kelas.
Aku mengangga. "Dhe?"
"Jika masih ingin ribut, keluar dari mata pelajaranku!!!"
Aku segera menunduk dalam-dalam. "Ne .. "
Sedangkan Apple, segera menunjukan rasa bersalahnya padaku. Yang membuatku ingin mencekiknya detik ini juga!
*******
"WINE SO!!"
Wine menghentikan langkahnya di depan kantin. Saat itu sudah jam istirahat kedua. Aku mendekatinya dengan langkah lebar dan langsung menarik tangannya.
"Buat apa kau lakukan semua ini?!! Kenapa melarangku memakai jalan pintas itu? Emangnya itu jalan, milik mu?!!" tanyaku bertubi-tubi.
Wine segera mengibaskan tangan ku. "Jangan sekali-kali menyentuhku!! Aku muak dengan aroma tubuhmu!!"
"Mwo?"
"Dengar!!" Wine berbalik dan berhadapan dengan ku dengan sepasang tangan bersidekap di depan dada. "Jalan itu memang milik ku!! Lebih tepatnya, milik moyangku! Jalan pintas itu berada dalam ladang anggur keluargaku jadi .. aku berhak mengijinkan dan melarang siapapun mengunakannya!!"
"Kau .. " Aku kehilangan kata-kata sekarang. Ya, benar ... jalan pintas itu milik moyangnya, dan dia atau pemilik ladang anggur itu berhak melarang siapa saja mengunakannya. Yang aku heran, kenapa cuma aku yang dilarangnya? Apa benar cuma gara-gara nama 'Strawberry', 'pewaris kebun strawberry', dan 'aroma strawberry yang melekat di tubuhku' ini yang menjadi masalahnya?
"Bagaimana?" Dia menyengir. "Kau mengerti sekarang?"
Kemudian, dia meninggalkanku .... terpaku seorang diri. Ditemani lirikan-lirikan kecil dan cekikan-cekikan halus dari murid-murid Sekolah Menengah 'Dream High' yang saat itu sedang melepaskan lelah, rasa lapar dan dahaga dalam kantin.
________________TBC________________
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Strawberry, Lovers or Haters?--Chapter Two by Lovelyn
Strawberry, Lovers or Haters?-
CHAPTER TWO
By Lovelyn Ian Wong
Idola sekolah ...
Tangan ku bergerak, terus dan terus .. mencatat dan mencatat ... Gerutuan-gerutuan dan caci-maki lancar berhamburan dari mulut ku, sampai ... sebuah tangan tiba-tiba mendarat keras di pundak ku.
"Auww--" Aku berseru. Goresan panjang sukses tercipta pada buku catatan di hadapanku. "Aush--" Aku mendamprat. Segera saja aku mendelik ke samping. Tangan yang tadi merupakan penyebab dari kesalahan itu sudah ditarik pemiliknya.
Mango mengangkat tangan dengan perasaan bersalah. "Mian--"
"Kau ini!!" dengus ku kesal. "Apaan sih kalian?"
"Belum selesai juga?" Apple yang diapit antara Mango dan Pear mencodongkan badan ke depan, menatap buku catatan malang dalam tangan ku.
"Kau lihat sendiri!!" Aku kembali mengerutu sambil berusaha menghapus goresan panjang tadi. Tapi, tentu saja tidak berhasil. Tinta dari pen memang tidak mudah dihapus. "Aku harus membuat ulang deh!!" umpat ku keras.
"Miane .. ," sekali lagi Mango mengutarakan penyesalannya.
"Kau juga sih! Ngapain selalu nyulut kemarahan Jo sonsaengnim?!" celetuk Pear yang sedari tadi tidak bersuara.
"O--kau menyalahkan ku?!" Aku melotot padanya. "Kalau bukan si Wine berengsek itu, aku tidak bakal terlambat. Paling tidak .. ," Aku terdiam ... Tiba-tiba teringat kembali pernyataan-pernyataan ketus Wine tentang jalan pintas yang merupakan milik-NYA, .. segera saja kutebis sedikit perasaan menyesal (ingat : hanya sedikit!) yang muncul mendadak karena sudah membentaknya buat larangan mengunakan jalan itu. "AKU AKAN TIBA TEPAT WAKTU!!" dengus ku keras-keras.
"Ya, kami tahu .. " Apple mengangguk-angguk dalam upaya menenangkan ku. "Memang si Wine rada aneh. Kenapa cuma kau yang dilarang mengunakan jalan pintas itu? Padahal terhadap yang lain, dia tidak setegas itu!"
"Karna dia gila!!" celetuk ku dongkol. "Hanya kata itu yang pantas buatnya!"
"Hey--jangan begitu .. ," tiba-tiba Pear bersuara. "Saya yakin dia punya alasan sendiri .. "
"Oh--kau membelanya?!" Aku mendelik kearah Pear. "Aku heran kenapa akhir-akhir ini kau selalu membelanya ... " ujar ku ngasal. Aku sudah terlalu capek dengan hukuman-hukuman dari Jo sonsaengnim. Beliau, panggilan resmi dari ku, menambahkan beberapa catatan lagi sebagai bentuk sayangnya pada ku.
"Hah--" Mata Pear terlihat melebar. "Bukan begitu .. aku .. aku hanya .. "
"Ah sudahlah!" Mango segera melerai perdebatan kami. "Bukankah kita F3. Kenapa jadi tidak akur gara-gara cowok .. " Lalu dia melingkarkan lengannya ke leher ku. "Hey--Stro--tahu nggak sekolah kita kedatangan murid baru?"
"Murid baru?" Aku segera menoleh pada Mango. "Di sini?"
"Iya .. ," Mango tersenyum tipis.
"Desa kita?" tanya ku masih tidak mampu mempercayai pendengaran sendiri. Seorang murid pindahan di Dream High? Kedengarannya tidak masuk akal. Siapa yang bakal pindah ke sekolah terpencil ini? Aku saja sudah berniat kabur sejak dulu-dulu jika saja orangtua ku tidak melarangnya. "Orang mana? Desa sebelah?" tanyaku asal-asalan.
"Tentu saja bukan!" umpat Mango. Dia segera mendorong kepala ku. "Anak kota tulen, tahu? Kalau tidak salah dari Seoul."
"Seoul?" Aku mengulang nama ibukota itu. Hanya dalam mimpi dan dari TV aku pernah melihat kemegahan kota itu. "Kau serius?"
"Tentu saja!" Mango membusungkan dadanya dengan wajah berseri-seri.
"Tapi .. dari mana kau mengetahuinya?"
"Kau lupa Bi sonsaengnim paman ku?" tanya Mango. "Beliau yang memberitahu ku .. ," lanjutnya dengan nada bangga.
Akhirnya aku mengangguk-angguk mengerti. Benar. Bi sonsaengnim adalah pamannya Mango. Dan dengan kecerewatannya, berikut kebawelan Mango, rahasia apapun pasti terbongkar di antara mereka =.=
"Terus .. apalagi yang dikatakan paman mu?" tanya Apple yang terlihat lebih bersemangat dari ku. "Apa dia ganteng .. atau .. menarik? Dan juga pintar?!!Yang paling penting, .. dia kaya nggak?!!"
Aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi sambil mengulum senyum. Mango terlihat kewalahan diserbu secara bertubi-tubi oleh Apple. Masih dengan senyuman di bibir, aku mengalihkan perhatian pada Pear. Dia agak lain dari biasanya. Alis ku berkerut. Gadis yang biasanya ceria seperti dia terlihat aneh dalam kebisuannya. Seperti detik ini, aku yakin dia sedang dipusingkan oleh sesuatu. Jawaban-jawaban dari Mango sudah tidak kuperhatikan lagi ketika aku menepuk pundak Pear.
"Gwencana?"
"Hah!!" Pear tersentak. Dia segera berpaling padaku, sementara mulutnya terbuka lebar. Dia terlihat gugup. "Oh--ne. Gwencanayo .. Kenapa kau bertanya?"
"Aku melihatmu agak aneh .. ," jawabku menyelidik. "Ada sesuatu yang kau pikirkan, benar kan?"
"Aniyo!" kelit Pear cepat.
"Kau tidak bisa membohongi ku .. ," ujar ku cepat. "Gerak-gerikmu menunjukan segalanya ... "
"Aku ... " Pear menghela nafas. Dia sudah akan berujar lagi ketika Apple membuyarkan pembicaraan di antara kami.
"Hey--ternyata cowok itu hebat!" seru Apple. "Pewaris tunggal perusahaan elite di Korea. Pintar dan ganteng. Pintar dalam musik ... ," Lalu dia berbalik pada Mango. "Benar begitu kan, Man?"
Mango mengangguk. "Ne. Itu yang dikatakan paman ku. Tapi aku juga tidak tahu ... Namanya Music Jung, idola di sekolahnya dulu, Seoul High School--sekolah menengah paling bergengsi di Seoul .. "
"WOWW---" Apple bersiul.
Aku melihat matanya berkilat-kilat sehingga membuatku terpingkal-pingkal. Tak tahan, aku menekan perutku dengan tangan. "Jika ... jika dia sehebat itu, mengapa pindah ke sini?" tanyaku dengan sisa-sisa tenaga terakhir. Ekspresi Apple sungguh membuatku geli.
"Aku juga tidak mengerti .. ," jawab Mango. "Sama tidak mengertinya dengan paman .."
"YEE--"
Kami segera mendorongnya secara bersamaan sampai hampir terjungkal dari meja yang didudukinya.
"Yaishh!!" teriak Mango.
"Sama aja bohong!!" dengus Apple, kesal sama pernyataan Mango tadi.
Kalau aku sih biasa saja. Idola sekolah tidak pernah masuk daftar cowok impianku. Buat apa jika suatu saat bakal disakiti/sakit hati? Sudah kebiasaan kan, cowok idola tuh mata keranjang semua? Suka gonta-ganti cewek. Aku lebih memilih 'cinta sejati' daripada 'cinta palsu' seperti itu. Mendambakan memiliki seorang kekasih yang benar-benar mencintai dan mengerti aku ... rela melakukan segalanya bagi ku.
Berlainan dengan semua itu, teman-teman ku lebih menikmati hidupnya di masa remaja ini. Mereka suka tertarik pada cowok-cowok tertentu, yang dianggap menarik dan punya masa depan yang cerah, ataupun hanya sekedar berkencan dengan cowok-cowok yang mengajak mereka kencan. Agak liar sih, tapi begitulah mereka. Dan aku menikmati persahabatan ini walaupun tidak begitu sejalan dengan pikiran mereka.
Sesaat kemudian aku menarik kembali buku catatan di atas meja dan memulai lanjutan catatan-catatan ruwet yang tertunda.
"Stro--kau ikut dengan kami nyamperin idola sekolah nggak?" Mango menyenggol tangan ku.
Lagi-lagi aku berteriak. Perbuatannya membuat pen di tangan ku terpeleset sehingga kejadian tadi terulang kembali. Walaupun tidak lebih parah dari tadi.
"Yaish!!"
"Ups--" Mango menutup mulutnya. "Miane ... "
"Kau--selalu menyebalkan!!"
"Jadi, kau pergi nggak?" ulang Mango.
"Tidak!!" sahut ku ketus. "Jika catatan-catatan ini tidak kelar sebelum jam pelajaran berakhir, aku akan digorok Jo sonsaengnim!!"
"Kau yakin?" Mendadak Apple menyorongkan wajahnya sampai hampir menyentuh wajah ku. "Idola sekolah loh?" lanjutnya sambil menaikan alis ke atas .. mengoda ku.
"YAISHH!!" Aku menyambar buku dari laci meja dan mengarahkannya pada mereka dengan raut mengancam. "kalian keluar sekarang juga!!!"
Sahabat-sahabat ku langsung ribut. Mereka menghambur ke pintu kelas. "Strawberry ngamuk!! Ha .. ha .. kabur!!!!!"
Sebentar saja orang-orang iseng itu akhirnya lenyap dari hadapan ku. Aku berhembus lega. Akhirnya bisa mencatat dengan tenang jua ...
*******
"Itu dia yang lagi main piano .. ," bisik Apple di telinga ku.
Ya, dua hari berlalu sudah. Dan tidak bisa dihindari lagi, aku diseret oleh anggota F3 lainnya buat mengintip cowok yang dinamakan 'IDOLA SEKOLAH' oleh mereka.
"Keren ya?" ujar Mango sambil menyenggol tangan ku.
Aku menoleh padanya dengan mata hampir segaris. "Menurut mu?"
Jujur saja, aku tidak tertarik pada cowok di ruang depan. Keren sih keren, ganteng sih ganteng--kenyataan ini tidak bisa kupungkiri .. tapi sekali lagi aku ingin menguatkan, 'IDOLA SEKOLAH BUKAN COWOK IMPIANKU' --NO!!!!--
"Menurut ku sih kerennya selangit ... " Mango tersenyum-senyum ganjeng di tempatnya.
Aku menghela nafas, capek. "Ya terserah kalian deh .. " Aku menegakan badan yang sudah kaku karna membungkuk terlalu lama di depan jendela ruang kesenian ini. Bermaksud bergerak dari situ tapi sialnya tanganku yang menekan jendela kaca menimbulkan bunyi keras.
"Siapa di situ?!!" terdengar seruan dari dalam.
"Emm--" Aku jadi kalang kabut. Menoleh ke kiri dan kanan, .. cewek-cewek yang katanya sahabat-sahabat sejatiku sudah menghilang entah ke mana. Kabur begitu saja meninggalkan ku?
"Stro ... "
Aku menoleh ke belakang. Dari balik lorong sekolah yang agak terhalangi oleh ruang kelas satu, tiga kepala menonggolkan diri dengan posisi meringkuk, berjajar dari yang paling tinggi ke yang paling pendek, dari Mango sampai ke Pear.
"Mwo?" Aku mendelik pada mereka.
Tapi bunyi halus dari pintu yang dibuka di sebelah ku menghentikan kekesalanku pada mereka. Aku menoleh ke depan. Sosok yang tadi bermain piano di ruang dalam sudah berdiri di ambang pintu.
"Kau mau pakai piano?" tanya cowok itu halus. Suaranya sangat merdu dan langsung tertanam dalam hati ku. Entah mengapa suaranya seperti suara salah satu penyanyi favorit ku, Cho Kyu Hyun Super Junior.
"Dhe?" Aku melebarkan mata padanya. Yang aku sadar sudah seperti bersiap meloncat keluar dari rongganya saking gede dan bulatnya bola mata ku.
Cowok itu tersenyum. "Maaf jika saya pakainya terlalu lama ... Sekarang silahkan anda memakainya ... "
"Saya?" tanpa sadar tangan ku menempel di dada. Dan kemudian aku segera mengeleng keras-keras. "Aniyo! Aku tidak bisa main piano .. Nggak ngerti .. "
"O ya?" Cowok itu mengeryitkan alisnya. "Kau berdiri di sini, kupikir kau menunggu ku selesai main ... "
"Aku ... " Sumpah, aku semakin gugup saja. "Aku tidak ... "
"Tidak apa!" Mendadak dia menarik tangan ku. "Aku bisa mengajari mu. Kacha!"
"Mwo?" Aku berusaha melepaskan genggaman ini, tapi urung oleh perkataannya selanjutnya.
"Siapa nama mu?"
"S ... Strawberry Im ... "
"Strawberry?" Dia tersenyum. "Aku sangat suka Strawberry, sangat manis dan harum. I'm strawberry lover. Dan sepertinya nama itu cocok buatmu, .. samar-samar saya seperti mencium aroma strawberry ... "
"O--" Aku membuka mulut lebar-lebar. Pertamakalinya, setelah berulangkali mendapat hujatan dari Wine bahwa dia strawberry hater, aku mendengar kata strawberry lover dari seseorang. Apalagi cowok sekeren dia. Aku mengeleng keras-keras. Lupakan si Wine bego!
"Tahu nama ku?" tanya cowok itu kembali. Menyadarkan ku dari ketermenungan.
"Dhe?"
"Nama ku?"
"Music Jung ... ," jawab ku ragu-ragu.
Dia mengangguk. Lalu mengerakan tangannya yang masih mengenggam pergelangan tangan ku. "Kacha!"
Aku tidak bisa menolak lagi. Untuk terakhir kalinya aku melirik ke belakang. HAHAHA--Aku puas melihat paras pucat dari sahabat-sahabat ku tersayang.
**********
Pear mendekati ku dengan ragu-ragu. Tangannya terlihat saling meremas. Saat itu jam istirahat pertama, sehari setelah perkenalan ku dengan Music. Aku sendirian dalam ruang balet karena si Apple dan Mango ada kegiatan lain sebagai anggota Perlindungan Lingkungan Sekolah. Anggota grup balet yang lain seperti biasa ... bolos, sedangkan Pear kelihatannya bukan bermaksud bergabung dengan ku karena tingkahnya agak aneh.
"Stro ... " Pear menjatuhkan dirinya di lantai secara perlahan.
"Ada apa?" tanya ku sambil membilas keringat dengan handuk. "Kau bukannya latihan kan?"
Pear mengeleng.
"Lalu .. ?" Aku menatapnya lekat-lekat. "Ada sesuatu?"
Dia mengangguk.
"Sudah kukira ... ," ujarku sok tahu. "Kau terlihat aneh sejak beberapa hari terakhir .. Jadi ada apa?"
"Aku ... " Pear meremas tangannya. Pandangannya tertunduk ke lantai. "Aku rasa ... aku jatuh cinta .. "
"Jatuh cinta?" Aku segera menghentikan kegiatan membilas keringat. Segera saja aku berpaling padanya. "Siapa? Music?"
"Tentu saja bukan!" sahut Pear.
"Jadi?"
Pear tidak segera menjawab. Perhatiannya kembali dijatuhkan ke lantai.
"Kau .. serius?" tanya ku pelan-pelan. "Maksudku .. apa kau yakin dengan perasaan itu? Bukan .. cinta monyet seperti biasa kan?"
Pear mengeleng. "Aku yakin dengan perasaan ku ... Perasaan ini sangat lain .. Aku selalu memikirkannya ... ingin bersamanya .. "
"Emm--" Aku mengangguk, berusaha memahami. Sepertinya Pear sangat serius. Akhirnya sahabatku ini merasakan cinta sejati.
"Siapa dia?"
"Aku .. aku yakin kau tidak bakal suka ... ," ujar Pear ragu-ragu.
"Tidak suka?" Aku jadi tidak mengerti. "Memangnya siapa dia?"
"Wine .... ," jawab Pear lambat-lambat.
"WINEEEEEE??!!!" Seperti mendengar guntur di siang bolong ketika aku mendengar nama itu. Mataku terbelalak lebar pada Pear.
"Ya, Wine .. ," sahut Pear.
"Apa kau gila?!!" teriak ku. "Wine! Wine!!! Wine!! Kenapa mesti Wine?!! Bukankah kau tahu dia tidak waras?!!"
"Stro--aku benar-benar mencintainya!"
Sahutan ini membuatku lemas. Pear mencintai Wine, itu terlihat jelas. Sekuat apapun aku membantah, tidak akan berhasil mengubah keputusan dan perasaannya. Pear sudah jatuh cinta pada Wine, musuh bebuyutanku.
"Aku berharap kau membantu ku, Stro .. "
"Membantu?" Aku mengangkat wajah padanya. "Apa maksudmu?"
"Aku berharap kau dapat .. menunjukan padanya--perasaanku .. "
"Mwo? Kau ingin aku mengatakan padanya bahwa kau mencintainya?" Aku berteriak.
"Ne .. ," jawab Pear.
"Kau tahu kami musuh bebuyutan?" Aku mendengus.
"Aku tahu kalian musuh bebuyutan . .," tiba-tiba Pear bergelayut pada ku. "Karena itu aku memerlukan bantuanmu. Kau tidak akan merasa risih ataupun bersalah mengatakan itu .. "
"Mwo?" Aku membuka mulut lebar-lebar. "Kau sudah gila!"
"Ayolah, tolong aku ... ," pinta Pear dengan tampang memelas. Tangannya yang bergelayut dalam lingkaran lenganku digerak-gerakan berulangkali. "Ya--Stro?!! Boleh ya? Ya?"
"NO!!" Aku mengeleng keras-keras. "Ide ini terlalu gila. Wine akan menguliti ku hidup-hidup karna terlalu iseng!!"
"Emangnya kau pikirin perasaannya?" sindir Pear. "Kau takut padanya?"
"AKU TAKUT PADANYA?" Mataku membelalak.
Dan, INI kelemahan ku. Aku paling benci disindir. Semakin dibilang 'AKU BEGINI DAN BEGITU' maka .. 'AKU AKAN MEMBUKTIKANNYA BAHWA AKU BUKAN'!!! Aku sadar teman-teman ku mengetahui kelemahan ku ini, termasuk si Pear.
******
"WINE!!" Aku berteriak dari atas pagar pembatas. Aku sedang duduk dengan posisi kaki mengarah ke dalam ladang anggur.
Wine mendongak. Parasnya langsung berubah keras. "Mau meloncat ke dalam lagi ya?!" tukasnya ketus.
"Tidak!" sahutku sambil memukul-mukulkan ranting kering dalam genggaman ku ke semak-semak liar yang banyak tumbuh di situ.
"Hentikan ulahku!" bentak Wine.
"Yee--emangnya semak-semak ini juga milikmu!" Aku meleletkan lidah padanya.
Wine menjadi panas. Aku melihat kulit wajahnya yang rada gelap menjadi merah padam. "Semua yang berada di sini adalah milik ku, tanpa terkecuali!" tandasnya keras.
Aku menatapnya, lalu mengangkat bahu cuek. "Ya--terserah deh .. " lalu kembali kuarahkan ranting kering tadi ke bawah, .. mengorek-ngorek tanah yang mulai kering. "Kelihatannya cuaca nggak begitu menguntungkan ladang anggur mu .. " Aku bergumam seenaknya.
"MWO?!"
Ya, kesalahan lagi. Wine memang paling tidak suka disinggung tentang hal yang bakal merugikan ladang anggur keluarganya. Sekalipun itu pengaruh alam.
"Apa yang ingin kau bicarakan, Strawberry?" dengus Wine dingin.
Mata ku melirik ke atas. Setelah berpikir sejenak, aku menjawab lambat-lambat. "Ti .. tidak .. ada .. "
"Jika tidak ada, angkat kaki mu dari pagar pembatas itu!!" seru Wine.
"Yaa--" Aku mengerakan kaki kearahnya. Lebih tepatnya, menendang dengan kesal. "Apa salahnya aku duduk di sini? Aku tidak melanggar batas!"
Wine mengangkat tangan dan memukul pangkal kaki ku. "Kau menyelonjorkan kaki ke sini, berarti sudah melanggar batas!!"
"AKHH---" teriak ku. "Kau memang sudah gila!" Aku meringis menahan nyeri yang diakibatkan pukulannya. "Begini saja kau bilang melanggar batas?!!" Tersungut-sungut aku memonyongkan bibir kearahnya. Tapi bukannya takut dengan perlakuannya tadi, aku malah menegakan badan dan meloncat ke dalam ladang anggur.
"Hey--" Mata Wine membelalak. "Kau sudah tuli ya?!!"
Tapi aku sudah tak memperdulikan kemarahannya. Segera saja aku menekan tubuhnya dengan ranting kering yang masih tergenggam dalam tangan ku. "Ada yang ingin ku bicarakan?"
Wine memundurkan kepalanya. "Tadi kau bilang tidak ada!"
"Memang .. " Aku melempar ranting ke tanah dan berjalan kearahnya. "Tapi sekarang ada!"
"Berdiri di situ!" Reaksi Wine seperti perkiraan ku. Dia segera menyusut ke belakang dengan ekspresi jijik, .. seakan aku ini virus mematikan yang bakal menular padanya. "Jangan mendekat!" Tiba-tiba dia membuat gerakan yang membuatku tak percaya. Dia menutup hidung dan mulutnya dengan tangan.
"Yaa--" Aku melempar pandangan mematikan padanya. "Apa maksud dari tindakanmu?!"
"Aromamu terlalu menusuk! Membuat ku muak!" sahutnya dingin. Tanpa menunjukan perasaan bersalah.
"Kau ... " Aku kehilangan kata-kata. Aroma yang menusuk? Membuat muak? Apa maksud cowok geblek ini? Semua orang yang berada di dekat ku selalu memuji aroma strawberry yang semerbak dari tubuh ku, bahkan orangtua ku sangat bangga memiliki putri seperti ini, lalu ... apa haknya menghina ku?
"Katakan apa mau mu?!" Bentakan darinya menyadarkanku dari lamunan.
"O ya--" Aku menegakan badan menantang. Akan kuluruskan masalah ini sekarang juga! "Kau kenal Pear?"
"Ya .. ," sahut Wine sambil lalu. Dia membungkuk dan memungut ranting kering yang tadi kujatuhkan.
"Dia tertarik pada mu ... "
Ranting terlepas dari tangan Wine. Dia segera menegakan badan dan memandang ku dengan pandangan menusuk. "Maksud mu?"
"Sudah jelas kan? Teman ku itu suka padamu. Dan dia meminta ku menyampaikan ini pada mu .. "
"Kau berubah jadi mak comblang, Strawberry?!!" Tiba-tiba Wine mendorong ku sampai merapat ke pagar pembatas. Aku tidak bisa bergerak. Aku sangat terkejut dan menyusut ketakutan. Mata ku terbelalak lebar padanya. "Dikemanakan otakmu?!" desis Wine dengan nafas tertahan. Gerahamnya terkatup rapat, menimbulkan aura yang membuatku gentar. Dia terlihat sangat murka. Dan untuk pertamakalinya aku melihatnya seperti ini. Biasanya, walaupun dia marah pada ku, ekspresinya tidak semengerikan ini. Aku jadi tahu bahwa dia benar-benar benci dengan tindakan ku.
"Wine .. aku ... "
Wine melepaskan cengkramannya pada leher ku kemudian mundur ke belakang. "Lain kali jika kau lakukan lagi, aku bersumpah akan meremukan otak udang mu!!!"
"WINE!!" Aku berteriak begitu melihatnya berlalu dengan tangan terkepal.
"BERHENTI MEMANGGILKU, STRAWBERRY!!! KAU SAMA PABONYA DENGAN GRUP BALET KONYOLMU!!!"
Aku mengerutkan bibir--manyun, kemudian menghempaskan tubuh ke tanah ... duduk lemas, sementara Wine semakin jauh dari pandangan ku.
________________TBC___________________
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Re: Strawberry, Lovers or Haters?- by Lovelyn
Strawberry, Lovers or Haters?-
CHAPTER THREE
By Lovelyn Ian Wong
Benarkah ini benih-benih cinta .. atau .. ?
"STRO!!!" Pear menarik kerah kemejaku hingga membuatku hampir terpelanting. "Bagaimana?" tanyanya dengan menempelkan bibirnya di telingaku. Tangan satunya melingkari leherku.
"Yaish!!" Aku yang kaget setengah mati, langsung mengibaskan tangannya dan mendelik. "Bagaimana apanya?"
"Pura-pura bodoh?" Pear mendengus.
"Apanya?!!" pekik-ku. Lalu kembali kuarahkan tanganku menarik lengannya yang masih betah bertengger di atas pundak dan melingkari leherku. "Lepas!!"
"Kau ... " Pear menarik tangannya dan mengusap-ngusapnya. Pipinya memerah karena menahan rasa kesal. " .. masih saja pura-pura bodoh ... ," omelnya sambil memonyongkan bibir ke depan. "Tentu saja WINE. Apa yang dikatakannya?"
"Oh--" Aku membuka mulut lebar-lebar. Perasaan yang agak enakan setelah kejadian dengan Wine kemarin sore menjadi buram kembali. Tidak! Bukan buram! Tapi sangat murka. Wajahku merah padam ketika menatap Pear.
"Tidak menyinggung tentang dia, aku masih baik-baik saja. Sekali menyinggung namanya, emosiku langsung meledak!"
"Mwo?" tanya Pear tidak mengerti. "Apa maksudmu?"
"Maksudku?" suara ku meninggi. "Aku tidak mau dijadikan mak comblang lagi!"
"Siapa yang menjadikanmu mak comblang?" Pear membuatku makin geregetan dengan sikap tidak mengertinya. Sekarang, dia sedang mengaruk-garuk kepalanya sambil mengejap-ngejapkan sepasang mata sipitnya.
"Tentu saja kau, bego!!" umpatku keras. "Kau menjadikanku mak comblang dalam hubungan kalian. Pokoknya mulai dari sekarang yang berhubungan dengan Wine, aku tidak mau tahu. Titik!"
"Mwo?" Pear membelalakan matanya. Tapi usaha berlebihan itu tidak berhasil membuatnya semakin lebar. "Kau bermaksud ingkar janji?"
"Aku tidak .. ," ujarku, tapi segera terputus oleh selaan Pear ..
"Kau iya!" celanya dengan nada mencibir. "Kau bermaksud ingkar janji karena kau memang seorang pengecut di hadapan Wine!"
"Saya tidak!!" jeritku sekeras-kerasnya.
"Kalau begitu, buktikan!" ejek Pear.
"Aku .. " Tanganku terkepal menahan hati yang mulai memanas. Namun, .. itu hanya untuk sesaat. Detik berikutnya, aku menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menenangkan diri. Pear ingin memanfaatkan kelemahanku. Tidak! Aku tidak boleh terpancing. Perlahan-lahan aku tersenyum sinis. "Aku orang yang sangat berlapang dada .. ," ujarku lambat-lambat agar setiap kata dan huruf yang keluar dari mulutku tertangkap jelas olehnya. "Aku tidak mudah marah .. ," lalu kata-kataku mulai meluncur cepat. "Pokoknya yang berhubungan dengan Wine tidak ada urusannya denganku!!" Aku segera memutar tubuh dan berlari dari hadapan Pear.
"Yaa!!" teriak sahabatku itu. "Mau kemana?!!"
Tapi aku tidak menghiraukannya. Terus saja berlari sampai menghilang dari hadapannya.
"Sejak kapan anak itu menjadi pintar begini?" Tanpa kuketahui, Pear berbicara sendiri di tempatnya. "Biasanya dia paling mudah terpancing .. ," segera saja dia mengaruk-garuk kepala untuk kesekian kalinya. "Mungkinkah sindiranku kurang pedas? Yaishh--gimana dengan hubunganku dengan Wine?!!! Huhh--" Kembali dia mengacak-ngacak rambutnya sampai berantakan.
*******
Aku baru menyelesaikan putaran terakhir ketika pintu ruangan balet ini diketuk orang. Aku segera mengatur keseimbanganku dan berpaling ke sana. Seseorang tampak menonggolkan wajahnya dari balik pintu.
"Apa aku menganggu?"
Aku langsung membelalakan mata, tidak percaya.
"Music?"
"Ohh--Berry!" Dia kelihatan tidak kalah terkejutnya denganku. Aku menatapnya. Pipiku perlahan memerah mendengar panggilan itu. Setelah pertemuan pertama kami beberapa hari yang lalu, panggilan Berry ini tergiang kembali. Walaupun agak risih, karena untuk pertamakalinya aku mendapat panggilan seperti ini, hatiku berdebar-debar juga karenanya. "Kau berada di sini?" Music memasuki ruang balet dengan langkah ringan. Di tangannya tergenggam sebuah gitar yang masih baru dan kelihatan mahal. "Apa kau gabung dalam grup balet juga?"
Aku mengangguk. "Ne. Emangnya ada keperluan apa kau ke sini?"
"Aku diminta beberapa anggota grup balet sekolah untuk mengarang musik sebagai irama pengiring buat teater balet penyambutan Paskah minggu depan .. , tapi sepertinya ... " Music lalu menoleh kesana kemari. "Ruangan ini kosong .. "
Aku agak memiringkan kepala ke samping. "Siapa yang memintamu?" ujarku selanjutnya, memberanikan diri untuk bertanya.
Music mengelus-ngelus dagu .. kemudian berkata ... "Kalau tidak salah .. , mereka menamakan diri .. F3 ... "
"F3? O--ha .. ha .. " Aku langsung ngakak mendengar nama itu.
Music mengerutkan alisnya. "Weeyo?" tanyanya sambil memandangiku.
Aku segera mengeleng. "Aniyo .. ," jawabku di sela-sela tawa lebar yang berusaha kutahan. "Kalau Mango dan Apple, ada latihan buat upacara hari senin .. ," lanjutku. "Sedangkan Pear, lagi marahan dengan ku .. "
Alis Music berkenyit semakin dalam. "Tapi kudengar .. anggota F3 ada 4 orang .. "
Aku mengangguk. "Ne. Satunya lagi, aku."
"O--kau?!" Music menunjuk ku. Lalu dia memandangiku dari atas ke bawah, kembali lagi dari bawah ke atas. Aku tidak mengerti apa maksud dari pandangannya ini. Yang jelas aku merasa agak risih. "Lalu kenapa kau tidak ikut dengan kegiatan-kegiatan mereka?"
"Maksudmu?" tanyaku kebingungan.
"Kenapa tidak ikut kegiatan-kegiatan sekolah seperti mereka? Misalnya, Lembaga Perlindungan Lingkungan Sekolah? Saya dengar mereka juga tergabung dalam lembaga itu. Begitu juga organisasi-organisasi sekolah lainnya .. "
"O--itu .. " Aku manggut-manggut. Akhirnya mengerti juga apa maksudnya. "Aku tidak sebebas mereka. Sepulang sekolah, aku harus membantu perkebunan strawberry milik ayahku .. "
"Perkebunan strawberry?" Music tiba-tiba meluruskan badannya. "Milik ayahmu?" tanyanya dengan nada ditekan.
"Ne .. ," jawabku.
"Jadi .. kau anak gadis dari pemilik perkebunan strawberry di Dream High ini?"
"Ne . .," sahutku sekali lagi. "Weeyo? Kau kelihatannya .. tertarik ... ?"
"Aniyo .. " Music tertawa lebar. "Aku hanya terlalu senang bertemu kembali denganmu, Berry."
Dia mengulurkan tangan padaku. Dan dengan linglung aku menerima dan menyalaminya. Setelah perkenalan kami beberapa waktu yang lalu? Yang benar aja? Aku merasa bodoh sendiri -.-
"Apa kau masih bermaksud .. meneruskan latihannya?" tanyaku ragu-ragu.
"Tentu saja . .. " tiba-tiba Music menarik tanganku. "Kacha!"
"Tapi .. hanya kita berdua .. "
"Tidak masalah ... " Music berpaling dan tersenyum padaku.
"Kau main dengan apa? Piano?" tanyaku gugup. "Tapi di sini tidak ada piano?"
"Tidak!" sahut Music. Lalu dia mengangkat tangan dan mempertunjukan gitar yang sedari tadi dipengangnya. "Saya bermain dengan ini .. "
"Gitar?" Aku melonggo. Mengiringi teater balet dengan gitar? Bukankah kedengarannya sangat janggal?
"Iya .. " Music lalu mengendong gitar tersebut dan mulai memetik beberapa nada. "Gimana?" Dia mendongak dan menaikan sebelah alisnya padaku. "Memang kedengarannya agak aneh. Tapi kurasa .. " Dia tersenyum. Memperlihatkan barisan giginya yang putih bersih. " ... seni memerlukan variasi ... Benar kan?"
Seperti tersihir, aku mengangguk. Tidak mengerti perkataannya tapi alam bawah sadar memaksaku untuk menyetujuinya.
"Kalau begitu kacha .. "
Music kembali menarik tanganku dan membawaku ke tengah ruangan. Sebentar saja dia sudah duduk di lantai dan memetik gitarnya. Kepalanya dianggukan sebagai tanda untuk ku memulai latihannya. Aku kebingungan sendiri. F3 lainnya tidak berada di sini jadi latihan apa yang mesti kulakukan? Tapi melihat semangat Music, aku jadi tidak tega menolaknya. Perlahan tanganku bergerak, .. makin lama makin lancar. Beberapa saat kemudian kami berdua hanyut dalam gelak dan tawa, .. latihan diikuti canda.
Ternyata murid pindahan ini orangnya sangat enak diajak ngobrol. Aku menekuk bibir dan mengerling kearahnya. Sepertinya anggapan 'Idola Sekolah Bukan Tipe ku dan Mereka Bakal Menyakiti ku' harus kubuang jauh-jauh. Music Jung lebih dari semua itu. Dia sangat sweet dan baik. Lebih dari lumayan menjadikannya seorang teman. Aku yakin, kalian juga berpendapat begitu kan?
********
"Wine!! Masih berdiri di situ?! Ayo, kita sudah terlambat nih!" Coffee Song berteriak sambil melambai-lambaikan tangannya dari jalan kecil dalam ladang anggur.
"Apa yang kau lihat?"
Pertanyaan halus di dekat telinga, sukses membuat Wine terperanjat kaget.
"Yaish!!"
Segera dipelototinya Chocolate Son yang saat ini sedang tertawa terbahak-bahak di tempatnya.
"Kau menyebalkan!!" dengus Wine.
"Habis, .. kau kelihatan serius banget .. ha .. ha ... ," ujar Chocolate tanpa menghentikan tawanya.
"Ada apa?" tanya Coffee yang sekarang sudah berada di antara mereka. Chocolate masih saja tertawa terpingkal-pingkal sehingga mau tidak mau dia mengalihkan perhatiannya pada Wine yang saat ini kembali mengarahkan pandangannya ke kebun sebelah. "Apa yang kau tunggu?"
"Kita bisa terlambat, Wine. Kau lupa ada pertandingan bola hari ini?" lanjut Coffee.
"Aku mesti memastikan si bengal itu tidak melanggar batas ladangku lagi!" gumam Wine pelan.
"Dhuga?" Chocolate menghentikan tawanya dan ikut melayangkan pandangan kearah yang sama.
"Siapa lagi kalau bukan Strawberry Im ... ," tandas Coffee. Dia mengulum senyum ketika menatap Wine. "Benar kan?"
"Aku tidak akan mengijinkannya menginjakan kaki di sini!" dengus Wine.
"Aku heran ... " Chocolate maju ke depan dan berbalik menghadapi Wine. " .. hanya sebuah jalan, .. mengapa kau begitu ngotot?"
"Apanya yang 'hanya sebuah jalan'?!" teriak Wine. "Jalan ini milik ku, keluarga ku. Aku berhak terhadapnya. Siapapun yang melalui jalan ini harus seijinku!" tandasnya mantap.
"Tapi .. kenapa hanya Strawberry Im?" sela Coffee.
"Mwo?" Wine berpaling padanya keheranan. "Maksudmu?"
"Maksudku, .. kenapa hanya Strawberry Im yang tidak kau ijinkan menggunakan jalan ini?"
Wine mengepalkan tangannya. "Because I hate strawberry!" Hening sejenak, lalu ..
"Hey--!!" Mendadak Chocolate melingkarkan tangannya ke leher Coffee. "Apa kau ingat kejadian beberapa tahun yang lalu?" tanyanya dengan mata berbinar.
"Beberapa tahun yang lalu?" Coffee memicingkan matanya, kemudian .. dia mengeleng perlahan. "Kejadian apa itu?"
Chocolate tersenyum misterius. "Waktu kita masih duduk di bangku SD kelas lima, di kantin sekolah. Bagaimana muka Wine membengkak dan mengeluarkan bintik-bintik merah ... "
Coffee berpikir keras, lalu ... matanya melebar. Dia mengangkat jari dan menjentikannya, "Strawberry milkshake!!!"
"Yup!" Chocolate tertawa. "Sejak saat itu kita tahu kalau si Wine ternyata ... alergi terhadap strawberry .. ha .. ha .. "
"Benar!" Coffee ikut tertawa.
Wine mendengus dan berjalan lebar ke pagar pembatas. Tangannya diletakan di situ. Kemudian dia membalikan badan. "Itu tidak lucu!"
"He .. he .. menurutku sangat lucu .. " Chocolate memegangi perutnya. "Pertama kali aku mendengar orang alergi terhadap strawberry ... "
"Sudah kubilang tidak lucu!!" jerit Wine. "Dan itu salah kalian karna memesan minuman yang ada strawberrynya!!"
"Mwo?" Coffee berpaling pada Chocolate. Dan kedua sahabatnya ini kembali tertawa keras. "Kau ini benar-benar aneh. Apa yang kami minum tidak ada urusannya denganmu. Lagian, siapa yang suruh kau salah ngambil minumanku?"
"Huhh--" Wine memalingkan wajahnya. Yang saat ini sudah memerah biru antara menahan gejolak amarah dan perasaan malu yang melanda hatinya.
"Tapi ... " Coffee mencondongkan badannya ke depan dan memiringkan kepalanya. "Apa hubungannya alergimu dengan Strawberry sehingga kau begitu membencinya?" tanyanya tidak mengerti. "Apa memang cuma karna nama Strawberry itu? Tapi .. tidak-kah kau rasa semua itu rada tidak masuk?"
Wine mengepalkan tangannya. "Karna aku muak dengan aromanya. Kalian puas?!!"
"Aromanya?" Chocolate mengenyitkan alisnya. "Aroma strawberry?"
Wine mengangguk. Sekali lagi Chocolate dan Coffee saling melempar pandang. Dalam pikiran mereka terpental kata 'Anak ini benar-benar sudah gila!'
"Hey--kurasa kau tidak perlu menunggu lagi!" Coffee menunjuk dengan mulutnya. "Itu--Strawberrymu punya tumpangan sendiri!"
Wine menoleh ke belakang. Matanya dipicingkan. Jauh di depan, sekitar sepuluh meter di jalan besar yang berseberangan langsung dari kebun strawberry, tampak sebuah mobil sedang dibukakan seorang pemuda kepada Strawberry.
"Jadi karena itu, dua hari ini tidak kelihatan batang hidungnya?" Wine bergumam pelan. "Siapa dia?" tanyanya dengan nada ditinggikan.
"Siapa?" Coffee balas bertanya. "Maksudmu, cowok itu?"
Wine mengangguk.
"Apa kau tidak tahu?" tanya Coffee heran.
"Tidak!" jawab Wine dingin. "Kalau tahu buat apa saya menanyakannya?"
Chocolate tertawa. "Kau sih bawaannya cuek melulu." Kemudian dia menunjuk ke depan. Cowok yang mereka bicarakan sudah masuk ke dalam mobilnya. "Dia murid kelas sebelah, kelas 2 B. Anak pindahan dari Seoul. Menurut kabar, keluarganya sangat kaya dan berpengaruh di Korea ... "
"Benar kah?" ujar Wine cuek. Dia maju beberapa langkah, kemudian menghempaskan tubuhnya di atas hamparan rumput kering. "Segitu berpengaruh, kenapa pindah ke sini?"
Coffee dan Chocolate mengangkat bahunya secara bersamaan.
"Kau masih betah di sini?" tanya Coffee. "Kita benar-benar akan terlambat!"
"Kalian pergilah dulu!" Wine mengibaskan tangannya. Lalu dia memejamkan mata dan, .. tersenyum perlahan. "Akhirnya aku tidak perlu dipusingkan lagi oleh segala tingkah laku gadis bengal itu!" ujarnya sambil menyelipkan sepasang tangan di belakang kepala. "Jalan ini seutuhnya terhindar dari yang namanya 'Strawberry!'" ujarnya puas. Kemudian dia menghirup udara dalam-dalam. Tapi sebentar saja alisnya sudah berkenyit. Dia meloncat bangun dan berpaling ke kebun strawberry di sebelahnya. "Sial! Aroma strawberry itu masih tercium juga!" dengusnya sambil menyepak rumput-rumput kering di bawah kakinya. "Kuharap musim panas segera datang! Aku paling benci musim semi, huh!!"
Wine menyambar ranselnya dari batang pohon yang tumbuh di situ kemudian beranjak lebar-lebar kearah jalan kecil. "Berangkat guys!!"
"Mwo?" Coffee dan Chocolate berpandangan bego. "Yaish--anak ini selalu seenak perutnya!!" teriak mereka sambil berlari mengejar Wine.
********
Peringatan hari Paskah hari itu berjalan lancar. Cuaca yang beberapa hari lalu cukup dingin, ajaib berubah hangat. Sepertinya musim panas mulai menunjukan kehadirannya dengan menyapa bumi dengan sinar mentarinya yang lumayan terik. Membawa pengharapan baru bagi semua makhluk di dunia.
Semua murid beserta guru yang menghadiri acara Paskah itu terlihat begitu menikmati. Apalagi acara puncaknya yang berupa teater balet kecil yang disumbangkan grup balet sekolah. Semua bertepuk-tangan meriah ketika para balerina mulai mengerak-gerakan badan dengan gemulai mengikuti iringan musik yang berasal dari gitar yang dipetik sang idola sekolah. Musik yang riang, mengambarkan musim semi yang hangat dan memberi pengharapan baru, seperti saat-saat panen yang begitu dicintai para penduduk Dream High.
Musik perlahan memelan dan akhirnya berhenti, diselesaikan dengan putaran terakhir dari para balerina. Tepuk tangan meriah kembali terdengar, diikuti siulan-siulan keras. Music meletakan gitarnya dan turun dari panggung, sedangkan para balerina melangkah ke depan dan membungkukan badannya sebagai tanda terimakasih kepada para penonton.
"Ghamsamida .. ," kata mereka. Kemudian mereka mundur ke belakang, kembali ke belakang panggung.
Dua pembawa acara naik ke panggung dan memberi kata-kata terakhir sebelum layar akhirnya benar-benar ditutup. Acara hari ini berjalan sukses. Para penonton perlahan bubar dari aula sekolah yang lumayan luas itu, sampai tinggal segelintir orang saja.
*******
"Stro, kau langsung pulang?" tanya Pear ketika kami berganti pakaian dalam ruang ganti.
"Tidak .. ," sahutku. "Aku masih ada keperluan sedikit .. "
"O--" Pear mengangguk, lalu mengalihkan perhatiannya. Memasukan baju baletnya ke dalam ransel.
"Kau .. tidak marah lagi?" tanyaku lambat-lambat. Takut kalau pertanyaanku mengobarkan kembali api amarahnya. Maklum, selama dua hari setelah peristiwa itu, Pear tidak mau bicara denganku.
"Tidak!" ujar Pear. "Percuma minta bantuanmu." Dia mengangkat ranselnya kemudian menyampirkannya ke punggung. "Aku akan melakukannya sendiri!"
"Melakukan apa?" Apple tiba-tiba melibatkan dirinya dalam pembicaraan kami. "Emangnya Pear marah padamu ya?" Dia lalu menoleh padaku. "Ada apa?"
"Terjadi sesuatu?" celetuk Mango dari belakang. "Kalian agak aneh akhir-akhir ini .. "
"Gwencana!" ujar Pear cepat. "Saya harus pergi, sobat. Ommaku ada arisan jadi saya harus segera pulang buat jaga dongsengku. Anyong, girls .. " Beberapa langkah dia berhenti. Menoleh dan menatapku. "Lupakan semuanya, Stro. Miane, saya yang salah .. "
"Anhi .. " Aku mengeleng, kemudian tersenyum padanya. "Gwencanayo .. ," sambil mengacungkan tanganku ke atas.
Pear mengangguk, lalu berlalu dari hadapan kami.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Apple.
Aku mengangkat bahu. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku mengambil tas selempang dari dalam laci dan memakainya. "Saya juga harus pergi sekarang. See you, girls!" Aku menepuk bahunya dan Mango.
"Yaa!!" teriak Apple begitu aku sudah sampai di ambang pintu. Untuk terakhir kalinya, aku berpaling pada mereka. "Anyong .. ," ujarku sambil melambaikan tangan pada mereka.
********
Aku keluar dari ruang ganti, menyelusuri lorong pendek sampai tiba di atas panggung. Di situ agak gelap karna terhalang oleh layar lebar yang sudah diturunkan. Aku menyibak layar itu dan agak terkejut mendapatkan Music masih berdiri di situ. Dia sedang memandang keluar jendela, ... tapi begitu mendengar bunyi langkahku dia berpaling.
"O--sudah selesai?" tanyanya sambil tersenyum. "Aku menunggumu sejak tadi .. "
"Menungguku?" Aku menyentuh dada dan memandanginya keheranan. "Weeyo?" tanyaku sambil menuruni panggung.
"Ada yang ingin kubicarakan .. ," kata Music. Dia berjalan kearahku. Sampai di sebuah bangku panjang yang berjajar rapi dalam aula ini, dia berhenti dan meraih seikat bunga mawar segar yang entah sejak kapan sudah terletak di situ. "Untuk mu ... ," kata Music sambil menyodorkan bunga tersebut padaku. "Selamat atas pertunjukannya. Sangat sukses .. "
"Ohh--ghamsamida .. ," kata ku gugup. Dengan tangan gemetar aku menerima mawar dari Music. Untuk pertama kalinya aku menerima bunga dari seorang cowok. "Ini sangat indah ... ," ujarku pelan, menatap kagum mawar-mawar merah yang masih terselimut lapisan embun di setiap helai kelopak-kelopaknya.
"Berrya ... "
Panggilan lembut dari Music membuatku mengangkat wajah. "Dhe?"
"Maukah kau menjadi pacarku?"
"DHE?" Aku tersentak. Bunga dalam tanganku hampir terjatuh ke lantai. "Mak .. maksudmu .. ?" tanyaku gemetar.
Music tersenyum. "Jadi pacarku .. ," katanya sambil menyentuh tanganku yang sudah sedingin es. "Ya?"
Tanpa sadar apa yang kulakukan, aku mengangguk. Getaran-getaran dalam dadaku melaju makin cepat, berdegup keras dan bernyanyi dengan irama yang tidak beraturan, .. apalagi ketika Music tiba-tiba memeluk ku.
"Gumawo ... ," ujarnya di sela-sela telingaku. Begitu lembut dan menyentuh sampai ke kalbu. "Sarangheyo, Berry .. " Mataku berkejap. Demi omma, pertama kalinya aku merasakan getaran seperti ini. Getaran yang membuatku hampir kehilangan nafas. Aku tidak mengerti dan tidak tahu harus menamakannya apa. Getaran ini begitu kuat. Inikah yang dinamakan orang 'getar-getar asmara'?
Tiba-tiba tawa keras terdengar dari ujung panggung. "Ya--si gadis apek akhirnya laku juga!"
Aku mengenyitkan jidat. Suara sengau dan rada berat itu tidak asing bagiku. Aku berpaling dengan cepat. "WINE?!!!" Benar dia adanya. Aku melirik dengan liar. Sejak kapan dia berdiri di situ? Mengapa aku tidak melihatnya? Berarti .. dia melihat semuanya? OH--NOOO!! Saat ini aku ingin menyembunyikan wajah ke kolong meja.
"Kenapa?" ejek Wine. Dia menghampiri kami, .. lalu menatapku dengan matanya yang bersinar licik laksana kucing. "Malu?"
"WINE SO!!!"
"Aku berada di sini sejak tadi, jadi tidak bisa disalahkan karna telah mendengar semuanya ... ," lanjutnya tak berperasaan.
Aku mempelototinya. "Kau mau apa?" Perlahan kukepal sepasang tangan ini. Sebelahnya kumasukan ke dalam saku seragam sekolah dan meremas kertas yang entah sejak kapan kumasukan di situ menjadi bulatan kecil.
"Hanya turut bergembira buatmu .. " Wine mengangkat bahu dengan tampang mencemooh. "Akhirnya ladang anggurku terlepas dari baumu .. "
Plok!! Ucapan Wine tidak berlanjut oleh lemparan bola kertas yang sukses mengenai jidatnya.
"Yaish!!" Cowok itu berteriak dan menyentuh jidatnya yang meninggalkan bekas merah. "Strawberry Im!!!"
"Rasakan!!" Aku menjulurkan lidah kesal.
"KAU!!" Wine menunjuk dengan nada mengancam.
"Sekali lagi kau berani mengejek ku, kau akan mati!!" Aku berteriak padanya. Ingin melangkah lebih dekat, tapi terhenti oleh sentuhan Music di tanganku.
"Berry .. "
Deg, .. sial! Aku melupakan keberadaan Music di sini! Dia .. melihat kegalakan-kegalakan ku? OH--TIDAK!!!
Aku berpaling dengan gerak lambat, ... sangat-sangat lambat. "Music ... ," ujarku pelan dan memelas.
"Kau lihat, man?" celetuk Wine, membuatku segera melirik dan mempelototinya. "Beginilah pacarmu. Kasar, egois dan urakan ... ," ejek Wine sambil mencibir.
"Tidak masalah .. ," sahut Music, tersenyum sabar. "Saya senang dia bisa menjaga diri sendiri. Jadi tidak mudah disakiti .. "
"Mwo?" Wine melonggo. "Kau tidak keberatan punya pacar seorang berandal?"
"Tentu saja tidak jika hanya sikapnya yang mirip .. " Kemudian Music merangkul pundak ku. "Aku bangga memiliki seorang pacar kayak Berry .. "
"Kau gila .. ," desis Wine. Dia mundur selangkah, lemas. Wajahnya pucat pasi. Layaknya sudah mendapat pukulan telak dari kekalahan yang tidak mungkin terjadi sepanjang hidupnya.
Mendengar perkataannya barusan, aku mengesek-ngesek gigi geram. Bagaimana mungkin dia bilang Music gila? Aku lalu mengacung-acungkankan kuntum-kuntum bunga dalam tanganku.
Melihat gelagat tidak baik dari ku, dia mundur semakin ke belakang. "Yaa--kau tidak boleh melakukan itu!!" serunya. "Itu bunga dari pacarmu .. "
"Memangnya kenapa?" balasku mengancam. "Jika kau tidak pergi juga, mawar-mawar ini akan menjadi makananmu!!"
"Yaishh!!" Wine memutar tubuh jangkungnya dan berlari lingkang pukang ke arah pintu aula. "I HATE YOU STRAWBERRY!!"
"I DON'T NEED YOUR LOVEEE!!!" jeritku sekencang-kencangnya. Nafasku tersengal-sengal setelah menghabiskan teriakan itu. "WINE GEBLEK!!" lanjutku sambil meninju udara.
"Kau hebat ... "
Music? Yaa--kenapa aku melakukan ini lagi? Apa pandangannya sekarang terhadapku? Berandalan beneran seperti perkataan Wine?
"Music ... , aku .. aku biasanya tidak begini .. "
Music tertawa. "Tidak apa. Saya tidak keberatan kau menjadi diri sendiri .. "
"Aku tidak begitu .. " Aku berusaha membantah tapi terputus oleh genggaman tangannya di tanganku.
"Kacha! Kita makan bersama. Aku yakin kau sudah lapar . ."
"Mwo?"
"Kau sudah lapar kan?" katanya, melirik perutku yang memang sudah bernyanyi sejak tadi.
Aku mengangguk malu-malu. "Ne . ."
"Kalau begitu, kacha!!"
Aku tidak menolak lagi. Sambil bergandengan tangan kami keluar dari aula sekolah, menuju kantin yang sudah agak sepi.
Music resmi menjadi pacar ku? Aku tersenyum perlahan. Diam-diam, tanpa sepengetahuannya, aku melirik wajahnya yang terlihat sempurna oleh siraman sinar mentari siang yang jatuh tepat mengenai parasnya yang menawan. Ini sudah seperti mimpi saja. Sejenak aku termangu. Tapi .. bagaimana reaksi F3 lainnya, terutama Mango dan Apple yang juga tertarik pada Music, setelah mengetahui hubungan ini? Aku menghela nafas berat. Persetan,, Tidak usah dipikirkan dulu. Yang penting sekarang. Aku ingin menikmati permulaan kebersamaan ini. Tanpa diganggu oleh siapapun! Aku mengambil keputusan bulat.
**********************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Re: Strawberry, Lovers or Haters?- by Lovelyn
ini nih salah satu cerita yg memabukan hati #lirikwine
akhirnya bisa baca lgi hmpfff
akhirnya bisa baca lgi hmpfff
mrs.cho- Posts : 9
Join date : 2013-06-18
Strawberry, Lovers or Haters?--Chapter Four
Strawberry, Lovers or Haters?-
CHAPTER FOUR
By Lovelyn Ian Wong
Sandiwara dan kepicikan, manakah yang memegang peranan?
Wine sedang mengorek-ngorek tanah kering di pinggir kali dengan ranting di tangannya saat itu. Waktu menunjukan pukul 5 sore dan aku melihatnya dengan jelas dari tempatku duduk.
Waktu itu, sudah memasuki permulaan musim panas, pertengahan bulan Juli. Hampir dua setengah bulan sudah aku berpacaran dengan Music. Dan kurasa, apa yang sering mengesalkannya, si Wine maksudku, selama ini tidak pernah terjadi lagi, yaitu kebiasaanku melanggar batas ladang anggurnya. Selama dua setengah bulan terakhir, aku tidak perlu melewati jalan pintas dalam ladangnya karena sudah dapat tumpangan gratis dari Music.
"Kering!!"
Seruan itu menghentak Wine. Segera saja dia berpaling padaku.
"Strawberry Im!!" teriaknya keras.
Ya, aku sekarang memang sedang duduk di atas pagar pembatas sambil mengoyang-goyangkan sepasang kaki ke dalam ladang. "Itu--kali dalam ladangmu sudah kering!" tunjuk ku tidak acuh.
"Apa urusanmu?!" delik Wine.
"Tidak ada!" Aku mengangkat bahu. "Hanya saja--sangat disayangkan!" ujarku sambil meloncat ke dalam ladang.
"Yaa--mau apa?!" seru Wine sambil mendelikan matanya semakin lebar. Tanpa terasa, dia mundur selangkah. "Berdiri di situ!!" teriaknya ngeri.
"Weeyo?" Aku memiringkan kepala ke samping hingga kuncir kudaku menutupi separuh wajah. "Aku hanya ingin memeriksa kali itu .. ," lanjutku sambil melewati Wine, menuju kali yang terpisah beberapa meter dari pagar pembatas.
"Jangan sentuh apapun yang ada di sini!!"
Yee--dia mulai lagi!! Apa haknya terhadap kali itu? Kan kali ini juga mengairi ladang strawberry ku!
Dia tiba-tiba menyambar tanganku dan menariknya dengan keras. Kesalahan yang mungkin dilupakannya, .. well, aku tidak tahu apa itu--, karena dia segera saja melepaskan pegangannya.
"Weeyo?" tanyaku keheranan.
Terlihat Wine mengosok-gosok punggung tangannya yang agak memerah. Beberapa bintik kecil warna merah darah muncul ke permukaan.
"Weeyo?" Aku mencondongkan badan ke depan. "Kenapa tanganmu memerah?" tunjuk-ku ingin tahu. Tanpa sadar, kakiku bergerak kearah Wine.
"STOP!!!" Wine mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Mwo?"
"Kembali ke tempatmu!!" teriak Wine sinis.
"Wee?!!" Aku menarik badan ke belakang. "Aku hanya bermaksud memeriksa tanganmu!" Aku memajukan bibir ke depan. "Kenapa reaksimu sebesar itu?!"
Tapi Wine segera mengarahkan rantingnya, hampir mengenai hidungku sehingga mataku terbelalak lebar. "Tidak perlu!" tandasnya ketus.
"Kau ini aneh!" Aku mendengus. Alisku berkerut, lalu kujatuhkan diri di atas rumput. "Diperhatiin malah marah-marah--huhh!!"
"Siapa yang minta?!" Wine mendengus. Lalu, tanpa mengubris perkataanku, rantingnya kembali ditodongkan kepadaku. "Yaa--bangkit dari situ!!" ujarnya dengan pandangan mengancam.
"Nggak mau!!" sahutku cuek.
"Kau---"
"Anak bandel!!" Tiba-tiba terdengar seruan dari belakang.
Wine terlihat melebarkan matanya, lalu aku dan dia beralih secara bersamaan. Tapi sebelum Wine sempat menangkap siapa yang berteriak itu, sebuah tangan sudah menarik daun telinganya.
"Isengin anak gadis orang lagi ya?!"
Gubrakkk!!!
Ternyata ommanya sudah berada di sampingnya sekarang. Sedangkan seorang pria tengah baya menyusul beberapa detik kemudian. Nyonya So berpaling pada ku dan memasang tampang manis.
"Anyong, Stro. Kau makin manis saja ... "
Aku tersenyum kikuk. Segera saja aku meloncat bangun dari posisiku. Nyonya So tetap tidak berubah. Sikapnya selalu sehangat ini setiap bertemu denganku. Mungkin dia menganggapku masih bayi, layaknya tujuh belas tahun yang lalu -.-''
"Omma, lepas!! Apho, sakit!!"
Tidak menghiraukan teriakan-teriakan minta ampun dari putranya, Nyonya So malah meneruskan perkataannya padaku.
"Miane, Stro sayang. Anak ini selalu kurang ajar .. "
"O--gwencanayo, tante .. ," ujarku gugup. Walaupun begitu aku memasang tampang semanis mungkin sambil meleletkan lidah pada Wine. Rasain tuh, ommanya belain aku ^^V. "Bagaimana kabar tante? Sibuk? Hy--paman .. "
"Hy--Stro .. " Tuan So mengangkat tangan membalas sapaanku.
"Iya, tante dan paman baru pulang dari Jeju nih--" celetuk Nyonya So. Dia berpaling dan memperkeras tarikannya pada telinga Wine begitu mendapatkan perlawanan dari anak itu. "Berdiri yang tegak Wine!"
"Omma--apho ... ," Wine meringis kesakitan.
"Ini hukumannya karena sudah menjahili Stro-ku!"
"Yaa--omma, aku ini yang putramu!" protes Wine. "Lagipula, aku tidak menjahilinya. Aku hanya mengancamnya agar ... "
"Masih protes?!" Nyonya So menekan jempol dan telunjuknya yang berada di telinga Wine.
"Akh--omma!!!" (Si Wine, nggak banget hahaha)
"Sudah! Sudah!" Tuan So melangkah ke depan dan melerai pertengkaran ibu anak itu. "Malu ama Stro, tahu?"
Aku yang sedari tadi melonggo di tempat hanya mengeleng lambat-lambat. Keluarga ini sungguh membuatku garuk-garuk kepala. "A .. aniyo .. dan kayaknya, .. a .. aku harus pergi sekarang ..." Terburu-buru aku membungkukan badan ke arah Tuan dan Nyonya So. "Anyongheseyo paman dan bibi .. ," lalu dalam sekejap aku sudah memanjat pagar dan lenyap dari pandangan orang-orang itu.
"Hey--Sayang, kenapa tidak lewat jalan utama!!" Teriakan Nyonya So masih terdengar olehku ketika mendaratkan kaki dalam ladang strawberry ku.
Aku mengangkat bahu dan segera melarikan diri dari situ. Sebaik apapun keluarga So, kecuali si Wine geblek, aku selalu risih dibuatnya. Mereka terlihat lebih mencintaiku daripada Wine, putra mereka sendiri.
Tanpa kuketahui, terjadi percakapan menarik jauh di belakangku.
"Si Stro makin manis aja ... " Nyonya So tersenyum-senyum sendiri. Sementara Tuan So mengangguk-anggukan kepala tanda setuju.
"Manis palanya!" Wine menyeletuk dari samping. Namun, "Akhh!!" langsung terhenti oleh jeweran Nyonya So di telinganya. "Omma!!" teriak Wine dengan alis berkerut. "Lepas! Memalukan tahu?!" Dia mengomel-ngomel tak karuan. "Aku sudah gede!!"
"Makanya jangan seenak perutnya .. ," balas Nyonya So sambil mengangkat tangan yang lain, bersiap menjitak jidat putranya itu.
"Omma!!!" Wine segera menghindar ke samping.
Nyonya So mendelik, lalu mengalihkan perhatiannya pada suaminya. "Beruntung sekali punya mantu kayak Stro ya, chagiya?"
Tuan So menganggukan kepalanya berulangkali. "Iya iya memang .. "
"Yaa--!!! Kalian melupakanku!!" Wine menepiskan tangan Nyonya So yang betah bertengger di telinganya.
"O iya, Wine sayang ... ," ejek Nyonya So. Dia tiba-tiba menoleh dengan raut berseri.
"Mwo?" seru Wine sambil menyusut ke selangkah. "Mau apa?" tanyanya curiga.
"Andai saja .. "
"NO!!" jerit Wine, memotong perkataan ommanya. "Tidak ada cerita buatku dan Strawberry!!" lalu dia menjulurkan tangan ke depan, memperlihatkan bintik-bintik merah di tangannya. "Lihat apa yang terjadi padaku?!!"
Raut Nyonya So jadi buram. "Lagi?"
"Apa lagi?!!" Wine menyambar tas ranselnya dari hamparan rumput liar lalu berlari dari hadapan orangtuanya.
"Apa kau tidak ingin berusaha menyembuhkannya?!!" teriak Nyonya So. "Dokter Kwon bilang kau masih bisa disembuhkan!!"
"ANTWEE!!!" balas Wine, menjerit dari celah-celah pohon anggur.
****
Aku menghabiskan waktu bersenda-gurau bersama Music di kantin sekolah selama istirahat pertama. Sesekali aku meraih tangan Music yang memegang es krim rasa vanilla dan menjilatinya, begitu juga Music yang ikut merasakan es krim strawberry dari tanganku. Para siswa cewek dalam kantin itu, begitu juga yang hanya sekedar melintas di situ, melirik iri. Termasuk Apple dan Mango yang mojok di sudut kantin dekat tiang, memanjangkan bibir mereka sambil sesekali menjilati es krim dengan pandangan nanar--cowok incaran mereka nemplok di aku gitu loh hahaha
Tettt, tetttt, .. bunyi pesan masuk dari ponsel Music. Terburu-buru dia mengeluarkan ponsel tersebut dan mengamatinya, ... dalam diam.
"Dhuga?" tanyaku sambil memanjangkan leher ke depan, bermaksud melihat isi pesan itu. Namun Music segera mendorong kursi ke belakang dan berdiri dari duduknya.
"Mian, .. saya balas dulu ya .. " Dia tersenyum, dan entah mengapa aku menangkap aura hambar dari senyuman itu.
"Eh--iya .. ," jawabku pelan sambil mengikuti kepergiannya dengan mengangkat gelas dari meja dan menyeropot isi strawberry milkshake yang tinggal setengahnya.
Music menghentikan langkahnya agak jauh dariku. Dia menghadap ke jendela sehingga aku tidak mampu menangkap apa yang dia lakukan selanjutnya. Hanya samar-samar aku tebak, dia sedang membaca isi pesan itu dan membalasnya kalau dilihat dari gerakan-gerakannya pada ponsel.
Bagaimana?
Music menghela nafas dan mulai mengetik beberapa kalimat.
Beres. Beberapa penduduk telah menyetujui harga yang kita beri. Mereka akan berangsur-angsur pindah mulai bulan ini. Tuan Moon melakukannya dengan sangat baik. Untuk sementara jangan menghubungiku dulu. Aku tidak ingin dicurigai.
send ...
Music berbalik padaku dan tersenyum. Aku membalasnya dengan melambaikan tangan memintanya kembali ke tempat duduk. Dia mengangguk lalu mulai mengerakan kakinya. Tapi terhenti ketika rombongan F3 lainnya menghalangi jalannya.
"Music, ajarin piano dong .. " Aku mendengar Mango berkata dengan nada merengek.
"Iya iya, aku juga mau ... ," sambung Apple sambil menengadah kearah Music.
Perlahan aku meremas blosur di atas meja. Emosiku jadi meledak melihat pemandangan di depan. Dan ini tidak kusadari karena aku memang tidak pernah merasakan perasaan ini. Aku segera bangkit dari tempat duduk dan berjalan lebar-lebar ke arah mereka. Tanpa mengucapkan apa-apa, kusambar tangan Music.
"Hey!!" teriak Apple begitu tangannya tersenggol keras olehku.
"Ada apa?" celetuk Mango.
Tapi aku tidak memberi reaksi pada mereka. Agak menyeret, aku menarik Music pergi dari situ.
"Kemana?" Music memandangiku dengan pandangan berbinar. Mengapa? Aku juga tidak tahu.
"Pergi dari sini!" jawabku dingin. Tanpa menoleh padanya.
"Stro cemburu!!!" Suara-suara ribut terdengar dari belakang.
Whatttt???!!!!! Cemburu?!!
"Kau cemburu?" Tiba-tiba Music sudah mencondongkan badannya kearahku.
"Ehh--Dhe?" Aku menoleh dalam keadaan linglung.
"Kau cemburu?" Music mengulum senyumnya.
"Mwo?" Kepalaku miring ke samping. Sejenak mataku berkejap-kejap, masih tidak begitu menangkap arti cemburu yang dimaksudkannya. Benarkah aku cemburu?
Tiba-tiba Music mengucek poniku. Dia tertawa lebar seraya mengangkat bahu. "Sudahlah .. "
"Dhe?" Aku mengangkat tangan dan mengaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
Cemburu? Apa itu?
*****
"Wine so!!"
Wine menghentikan langkahnya dan berbalik dengan malas. Seorang cewek mungil bermata sipit sudah berdiri di hadapannya sekarang.
"What?" tanyanya dingin.
Siapa cewek ini, dia tahu. Dan apa maksud kedatangannya, rasanya dia juga dapat menebaknya.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu .. ," jawab cewek itu.
Wine menyipitkan matanya. "Aku tidak punya waktu .. ," sahutnya cuek. Dengan segera dia memutar badan dan bermaksud pergi dari situ.
Tapi langkahnya tercekat oleh cewek yang tiba-tiba sudah muncul di hadapannya.
"Aku yakin kau sudah mendengarnya dari Stro!!" ujar cewek itu dengan nafas terengah.
"Yaa--Pear Park!!" Wine mendelik seperti kebiasaannya. "Jangan lanjutkan ucapanmu!!"
"Wee?" tanya Pear menantang. "Dengar baik-baik! Aku ingin kau jadi pacarku!!"
"Aish--kau gila!"
Wine mendorong Pear sampai menabrak dinding lorong sekolah.
"Akh!" Pear meringgis. Tapi dia tidak ingin menyerah, .. karenanya dia langsung berteriak, "WINEEEE!!"
Wine berlari sepanjang lorong sambil menutup telinganya rapat-rapat.
"Cewek gila! Cewek gila! Gggrrrr .. " Dia mengosok-gosok bulu kuduknya yang berdiri semua. "Mana ada cewek se-ambisius itu?!! Dunia sudah terbalik!!" Dia terus mencaci-maki sampai tidak sadar berpuluh-puluh mata memandanginya keheranan.
"Ada apa dengannya?" tanya seorang adik kelas yang melintas di situ.
Teman bicaranya mengeleng pelan. "Tidak tahu ... .
Kedua cewek itu memperhatikan Wine sampai menghilang dari pandangan. Lalu cewek kurus kedua tersenyum sambil menyenggol lengan temannya. "Tapi ... sunbae itu keren banget ... "
Temannya membekap mulutnya, tertawa cekikikan. "Iya .. ," jawabnya centil.
Sementara itu, Pear masih termenung di tempatnya. Perlahan dia mengangkat tangan dan mengaruk kepalanya.
"Apa dia punya kelainan?"
**********************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Strawberry, Lovers or Haters?--Chapter Five
Strawberry, Lovers or Haters?-
CHAPTER FIVE
By Lovelyn Ian Wong
Pertemuan Keluarga.....
"Huh--!!!" Pear menghempaskan buku tebal di tangannya ke atas meja di depan kami, aku dan Apple, lalu tubuh kurus mungilnya meluncur di bangku yang terpisah oleh meja. "Menyebalkan!!" gerutunya sambil melipat tangan di depan dada.
Aku dan Apple meliriknya, lalu saling berpandangan sejenak, sebelum akhirnya beralih kembali padanya.
"Weeyo?" tanya kami berbarengan.
"Huh--!!" Pear mendengus kembali, .. kali ini lewat hidungnya, sehingga terdengar berat. "Lama-kelamaan aku merasa dia punya kelainan!" Dia masih mengerutu terus sambil melebarkan mata sipitnya.
"Dhuga?" Kami bertanya serempak.
Pear mengerutkan alisnya, lalu gadis bertubuh paling mungil di antara kami itu tiba-tiba mengebrak meja dengan kedua tangannya. "SIAPA LAGI KALAU BUKAN WINE?!!! ... Sudah kukejar berulang kali tapi dianya menghindar terus .. , bahkan kali ini lebih parah lagi, waktu melihatku dari ujung lorong, dia sudah lari terbirit-birit. Bayangkan! Memangnya aku ini apa? Hantu?!!"
"Eh--" Aku membuka mulut perlahan-lahan. "Kelainan yang kau maksud itu .., Hey--mwo?!" Aku segera berpaling. Sebuah tangan menyenggol lenganku, dan Apple sedang melirik-lirik kearah-ku sambil mengulum senyumnya.
"Masa gitu aja nggak tahu .. ," katanya dengan nada mengoda.
"Mwo?" tanyaku polos.
"Gay, GAy!!" teriak Pear tiba-tiba. Sangat keras sehingga beberapa murid langsung berpaling pada kami.
"MWO?!!!" Aku tersentak bangun, mataku terbelalak lebar. Jawaban yang diberikan Pear sungguh mengejutkan. Wine gay? Mana mungkin?!! Aku mengenalnya hampir seumur hidup, dan prasangka ini tidak pernah terpikirkan olehku. Dalam mimpi sekalipun. "Antwee!!!" seruku yang lebih mirip jeritan.
"Kau yakin?" Apple tiba-tiba menyerobot jawaban Pear. Tubuhnya dicondongkan dengan raut tertarik. Namun sahabat kami yang satu itu, Pear, tidak menghiraukannya.
Pear malah bertanya balik padaku. "Kau yakin?"
"Dhe?" Aku membuka mulut lebar-lebar. "Maksudmu?"
"Wine!!" dengus Pear tidak sabar. "Apa benar dia bukan gay? Kau yang paling mengenalnya. .. Bagaimana? Kau yakin dia bukan gay?"
"Tentu saja!" tandasku segera. "Dia mungkin saja geblek, aneh, sableng dan sok cold. Yang pasti, dia bukan gay! Saya yakin itu!" Aku berhenti sejenak, berpikir, .. mataku berputar ke atas, lalu menjawab lambat-lambat. "Dia hanya ... hanya alergi ama cewek agresif .. " Lalu, aku mengarahkan telunjuk ke depan, .. merasa bangga dengan tebakan yang terdengar sangat masuk akal ini. "Biasanya, kalau saya terlalu agresif, dia juga langsung melarikan diri .. ," lanjutku asal ceplos.
"Kau agresif?" Pear segera mengerutkan alisnya. "Pada Wine?!"
"Eh--ehh" Gawat! Aku salah ucap. "Bu .. bukan .. ," ralatku gugup. "Maksudku .. kalau aku mendekat .. bi .. biasanya .. dia langsung kabur .. ," ucapku terbatah-batah. "Itu karena dia tidak suka padaku!" tandasku kemudian.
Beruntung Pear tidak melanjutkan serangannya. Dia mengangguk kemudian beranjak bangun dari kursinya Dikibaskannya rok seragamnya yang sudah agak kusut, lalu menyambar tas sekolahnya yang tersandar di kursi sebelah. "Aku tidak akan menyerah .. ," ujarnya penuh tekad.
"Kau akan berusaha mendapatkan Wine?" tanya Apple.
"Tentu saja!" Pear menyunggingkan senyumnya. "Selama dia bukan gay, maka .. tidak ada alasan bagiku untuk menyerah .. ," ujarnya sambil mengepalkan tangan membuat gerakan Yes!!!
*****
"Liburan panjang nanti kau kemana?" tanya Music ketika mengantarku pulang dengan mobilnya sore itu.
Mesin mendesah pelan lalu berhenti di jalan masuk ladang strawberry milik keluargaku. Aku membuka sabuk pengaman dan menoleh padanya. "Seperti biasa, .. panen .. ," jawabku sambil tersenyum padanya.
"Panen?" Music tampak mengenyitkan alisnya lalu bertanya heran. "Tapi kulihat, .. ladang strawberrymu sudah kering .. "
Aku tertawa sambil mengibaskan tangan di depan matanya. "Bukan panen ladangku!" sahutku cepat. "Musim panen strawberry memang sudah lewat. Sekarang yang tertinggal hanya tunas-tunas muda di rumah kaca .. "
"Jadi?" tanya Music ingin tahu.
"Panen anggur!"
"Anggur?" Music mengulang kata itu. "Ladang milik keluarga Wine, maksudmu?"
"Ne .. "
Dari rautnya terlihat tidak senang. "Kau akrab dengannya?"
"Dhuga?" Aku balas bertanya.
"Wine!" sahut Music sambil menatapku lekat-lekat.
Segera saja aku mengeleng keras-keras. "Anhi!! Aku dan Wine tidak pernah akrab. Dia tidak suka padaku!"
"Lalu bagaimana denganmu? Apa kau suka padanya?"
Aku terbelalak. Kaget mendengar pertanyaannya. "Tentu saja tidak!" jeritku histeris.
"Jinja?" selidik Music.
"Ne!" Aku mengangguk yakin. Lalu kuamati dia heran. "Weeyo?" tanyaku kemudian. "Kau terlihat mengisyaratkan sesuatu dibalik pertanyaan ini?"
Music menatapku, sesaat kemudian dia tersenyum. Digelengkannya kepalanya seraya memegang tanganku. "Bagaimana kalau kau ikut denganku ke kota?"
"Kota?" Aku tersentak kaget.
"Ne. Seoul. Apa kau pernah ke sana?"
Aku mengeleng perlahan-lahan. "A .. apa kau bermaksud pulang ke Seoul?" tanyaku kemudian, .. sangat pelan.
"Ne .. ," jawab Music. "Mungkin beberapa hari. Karena itu kau ikut denganku ya? Akan kutunjukan tempat-tempat wisata menarik di sana .. "
Sesaat keadaan jadi sunyi. Music menunggu jawaban dariku dalam diam, .. sementara aku mengigit bibir, tidak tahu apa yang mesti dikatakan. Lima menit berlalu. Akhirnya aku membuka mulut lambat-lambat.
"Tapi .. a .. aku .. tidak bisa ... ," ujarku sambil menunduk perlahan. "Orangtuaku tidak akan mengijinkannya. Mereka .. mereka .. tidak pernah melepasku, keluar sendirian .. "
"Kan ada aku, Berry-a .. ," desah Music.
"Miane .. " Aku mengangkat kepala dan menatapnya penuh penyesalan. "Sungguh aku tidak bisa. Acara panen tahunan di sini sangat penting ..."
"Bagimu .. ," ujar Music kemudian. " .. apakah .. Dream High sangat berarti? Segalanya?"
Aku mengatupkan bibir kemudian mengangguk dengan pasti. "NE! Dream High tempat lahirku. Dan aku sangat mencintai desa ini .. "
"Dan jika .. jika suatu hari kau menemukan ada yang akan merombak tempat ini, .. apa yang akan kau lakukan?"
Aku menegakan badan dan memasang tampang serius. "Aku akan membenci orang itu seumur hidup!"
"Begitu .. ?" Music membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering kemudian mengarahkan pandangan ke depan.
Aku menatapnya heran. "Weeyo? Kenapa bertanya begitu?"
Music berpaling perlahan. Dia tersenyum lalu mengelengkan kepalanya. "Aniyo. Hanya ingin tahu saja apa arti desa ini bagimu .. "
"O--" Aku membalasnya dengan senyuman. "Sekarang kau tahu kalau Dream High sangat berarti bagiku .. "
Music memperdengarkan suara tawanya yang terdengar parau. "Ne ... "
Lalu keadaan menjadi sunyi kembali. Kami disibukan oleh pikiran masing-masing. Aku lagi memikirkan panen tahunan yang akan dilakukan minggu depan. .. sedangkan Music, entah apa yang dipikirkannya. Seluruh perhatiannya tertuju ke depan. Kami terdiam selalu beberapa menit.
Lalu tiba-tiba dia memanggilku. "Berry ... "
"Dhe?" Aku menoleh dan deg .. , mataku langsung terpatok pada bibirnya ... Bagaimana tidak? Bibir itu hampir seinci lagi mengenai bibirku. Reflek, aku segera menarik diri ke belakang dan .. --bukk, kepalaku terantuk kaca jendela. "Akh!!" seruku tertahan.
"Oh--gwencana?" Music terlihat khawatir. Tangannya segera bergerak kearahku.
"Eh--ne .. ," sahutku gugup. Tangannya yang sudah berada di belakang kepalaku segera kukibaskan. Aku sungguh-sungguh gugup, .. dan juga merasa bersalah. Bagaimana tidak jika sudah berulangkali aku berkelit dari ciumannya. Aku juga tidak mengerti mengapa begitu, ... hanya terjadi begitu saja. Seakan ada kekuatan yang memaksaku menghindarinya.
"Kau tak menyukainya?" ujar Music kemudian, kecut.
"Dhe?" tanyaku sambil melebarkan mata bulat-bulat.
"Kau tak suka kucium? Sudah beberapa kali aku mencobanya tapi kau .. "
"Bu .. bukan begitu .. ," ujarku segera. Dengan perasaan bersalah yang sangat dalam. "Aku hanya .. belum siap .. mianeyo .. "
"Kapan kau akan siap?" tanya Music.
Aku menghela nafas, lalu mengeleng pelan. "Aku tidak tahu. .. Mian .. "
"Ehmm--" Music mengangguk-anggukan kepalanya. Sesaat kemudian dia menegakan badan dan membukakan pintu buatku. "Baiklah. Aku akan menunggu sampai saat itu .. ," katanya sambil tersenyum. Lalu dia mempersilahkanku keluar dari mobil. "Hari sudah sore, kau pulanglah .. Ingat, jangan tidur terlalu malam .. "
"Emm--Gumawo .. ," ucapku pelan. "Sekali lagi, mianeyo ... Aku berjanji akan 'berusaha' berubah ... "
"Ne .. "
Aku melempar senyuman padanya. Setelah mengangguk halus, aku melangkahkan kaki keluar. "Anyong, Music .. "
Music mengangkat tangan dan melambai padaku. "Anyong .. "
******
"Saya pulang!!!"
Teriakan yang menjadi kebiasaanku begitu memasuki rumah terdengar. Terburu-buru aku melepas sepatu di depan pintu dan bergegas berlari ke ruang dalam. Langkahku tercekat. Kedua orangtuaku sudah menungguku di sana dengan dandanan 'yang sangat' rapi.
"Sudah pulang, sayang?" Omma tersenyum.
Perlahan-lahan aku mengangguk. "Ne .. Omma dan appa ... ," aku menunjuk dandanan mereka. " .. mau keluar?"
Omma mengenakan gaun malam warna hitam yang membuatnya terlihat anggun, sedangkan appa memakai kemeja putih garis-garis abu-abu yang terbuat dari sutra.
"KITA yang keluar, sayang ... ," sahut omma. "Bukan hanya omma dan appa .. "
"Emangnya kemana?" tanyaku seraya meletakan tas ke atas sofa.
"Makan malam di Wine's field!"
"Mwo?!" Aku segera berpaling. "Maksud omma, rumah Wine?"
"Ne ... ," omma mengangguk. "Tadi siang tante dan paman So mu menelepon,.. katanya mereka pulang dari Jeju kemarin dan malam ini berniat mengundang kita makan malam di rumahnya. Sekalian peringatan panen anggur tahunan .. "
"O--"
"Karena itu bergegaslah. Omma dan appa menunggumu di luar ... "
Kembali aku mengangguk. "Ne. Segera omma!!"
Aku berlari ke kamar buat ganti baju. Sepuluh menit kemudian aku keluar lalu bergabung kembali dengan omma dan appa.
******
Empat pasang mata mengamatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu berbalik kembali, .. begitu seterusnya. Aku sedikit bergerak dari duduk ku. Pandangan mereka membuatku risih.
"Gimana?" Omma melirik Nyonya So sambil tersenyum penuh arti.
"Stro makin lama makin cantik ... ," puji Nyonya So. Dia mengacungkan jempol ke atas. Aku hanya bisa tersenyum malu-malu mendengarnya.
"Kami rasa Wine .... ," lalu perkataannya memelan .. sampai berupa bisikan.
" ....... "
" ....... "
Aku menatap mereka. Mulut-mulut itu bergerak-gerak tanpa suara, cepat dan sangat cepat, serupa bebek-bebek kali yang senantiasa mencuap-cuap sambil berenang kesana kemari. Aku memejamkan mata perlahan, sangat lambat sampai pandanganku mulai mengabur ... dan akhirnya brukk kepalaku mendarat di meja, tertidur.
******
"Bangun, sayang ... "
Aku membuka mata perlahan-lahan. Dan pandanganku menangkap paras omma yang berjarak begitu dekat dari ku.
"Omma ... ," kepalaku miring ke samping. "Wee?"
"Sudah saatnya makan malam .. ," ujar omma. Lalu dia menepuk pundak ku. "Ayo bangun ... "
"Tolong tante bawa makanan-makanan ini keluar, Stro!" terdengar Nyonya So berseru dari tengah ruangan.
Aku bergerak bangun dan berjalan kearahnya. "Apa dipindahkan ke taman?" tanyaku padanya.
Nyonya So mengangguk. "Ini tinggal setengahnya. Kau bawa minuman-minuman dalam nampan itu aja ... "
"Ne!"
Kuambil nampan dari atas meja, kemudian mengikuti kedua pembantu yang terlihat sibuk membawa makanan-makanan yang tersisa ke taman belakang. Kebiasaan kami dalam menyambut panen tahunan ini memang dengan menghabiskan waktu semalaman dalam taman yang sudah dihias dengan sempurna di belakang rumah.
******
"Ada apa ini?"
Langkah Wine tercekat begitu berpapasan dengan kami di lorong tengah.
Nyonya So mendongak dari bawaannya kemudian menunjuk ke taman belakang dengan bibirnya. "Perayaan panen tahunan ... "
"Panen tahunan?" Wine melirik piring-piring yang kami bawa.
"Iya ... "
"Bukannya masih seminggu lagi?" tanya cowok itu lebih lanjut.
Nyonya So mengangguk. "Memang. Tapi omma dan appa memutuskan dipercepat, mengingat .. ada beberapa hal yang menghambat, .. berkaitan dengan para pekerja .. " Nyonya So berhenti, lalu mengibaskan tangannya, "Sudah, kau ganti bajulah dulu. Dan ingat segera bergabung dengan kami di taman belakang .. " Wanita itu mulai bergerak, namun baru selangkah dia menoleh kembali. "O ya, dari mana saja kau? Sudah jam berapa ini?"
Wine yang sudah bergerak dari posisinya berbalik ke Nyonya So. "Habis latihan basket bareng Chocolate dan Coffee. Lagipula salah omma sendiri tidak memberitahukan perubahan jadwal ini .. "
Nyonya So manggut-manggut sambil meruncingkan bibirnya. "Ya sudah, bergegaslah .. "
"Ne!"
Sekilas aku melihat Wine melirik ku, .. menyengir tipis, lalu ... menjulurkan lidahnya?
"Yaa--" Aku membuka mulut, namun si geblek itu sudah ngeloyor pergi dari tempatnya. Bibirku terkatup kembali, menatap daun pintu yang bergoyang-goyang akibat hempasannya dengan mata segaris, redup.
********
Aku menaruh sumpit ke mulut lalu mengigitnya gemas. Makanan-makanan yang terhidang di atas meja membuatku geregetan. Semuanya terlihat enak dan lezat. Aku ingin mencicipi seluruhnya tapi sungguh kayaknya perutku tidak mampu buat menampung terlalu banyak.
Tanganku terulur lalu mulai menyumpit daging sapi panggang yang diiris kecil-kecil. Kumasukan ke dalam mulut, hmm--terasa sangat lezat ... Lalu perhatianku beralih ke salad sayuran. Kucoba menyumpit sedikit kemudian memakannya. Yang ini juga tidak buruk.
Seterusnya seluruh makanan tidak luput dari incaranku. Kumasukan satu-persatu ke dalam mulut dan mengunyahnya dengan semangat. Sampai sepasang sumpit tiba-tiba menyambar sumpitku, membuatku mendongak keheranan.
"Yaa--hentikan ulahmu!!" Wine melotot, sampai-sampai sepasang bola matanya seakan sudah bersiap meloncat keluar dari rongganya. "Jangan mengorek dan mengotori makanan-makanan ini dengan sumpitmu!!" bentaknya keras dan panas.
Perlahan-lahan aku menurunkan sumpit ke atas meja dan menatapnya. "Weeyo?" tanyaku dengan mata berkejap-kejap.
"Jangan memandangiku seperti itu!" larang Wine seraya menodongkan sumpit di tangannya hingga hampir mengenai mataku. "Kelakuanmu tadi jorok, tahu?!!" umpatnya sambil mendelik tajam.
"Yaa--jorok apanya?!" Aku membalas si geblek ini dengan memanyunkan bibir seinci. Sungguh mengesalkan melihat tampang murkanya. Emang punya alasan apa dia marah begini padaku. Brakk!! Kuhentakan sumpit ke atas meja, "Semua juga mengambil makanan dengan sumpit, .. kenapa cuma saya yang kau salahkan?"
"Karna .. " Kulihat dia memutar bola mata ke atas, seperti berpikir ... lalu perhatiannya dialihkan kembali padaku. Sembari mendelik pedas, rautnya mengerut tidak senang. "Karna cuma kau yang jorok (Gubrakk! ngejawab sama aja dengan ga ngejawab lol)!!" sahut Wine keras kepala.
"Yee--" Aku segera mengibaskan sumpitnya ke samping, hingga mendarat keras di atas meja. "Kalau jawabannya yang itu itu doang, tidak usah diulang lagi!!" Aku mengangkat sumpitku kembali, kemudian menjepit sepotong chicken wing dan kusorongkan ke dalam mangkuknya. "Hadiah buatmu karna terlalu ... "
"STRAWBERRY IMMMMMMMMMM!!!!" Wine membelalak histeris.
Aku mendongak. "Mwo?" tanyaku polos.
Wine mengerak-gerakan sumpit di tangannya tanpa mampu mengeluarkan suara. Bibirnya bergetar hebat. Teriakan-teriakan selanjutnya yang ingin dilancarkan tidak mampu dikeluarkannya. Aku memiringkan kepala perlahan dan mengamatinya sambil mengenyitkan alis. Mendadak nafas Wine jadi memburu dan agak tersendat-sendat. Dia kembali mengarahkan sumpitnya, kali ini menunjuk mangkuknya sendiri. Aku melihat mangkuk itu, lalu menoleh kembali padanya.
"Mwo?" tanyaku kembali, tidak mengerti.
"Kau .. kau .. ," ucap Wine tersengal-sengal.
Aku kembali melirik mangkuk di depannya. "Mwo? Ada yang salah?"
"Su .. sudah kubilang i .. itu jorok .. , kau .. kau masih melakukannya ... "
"O--" Akhirnya aku manggut-manggut sendiri. Rupanya perbuatanku menaruh chicken wing di mangkuknya yang membuatnya sehisteris itu. "Tapi ..., saya tidak berpenyakitan ... ," sahutku kemudian. Dengan tampang tak bersalah.
"Kau ... "
"Sudah ... " Nyonya So yang sedari tadi menyaksikan pertengkaran kami segera melerai. "Kau tidak boleh menyalahkan Stro buat penya .... "
"Omma!!" Tak disangka Wine segera mendelik ommanya.
Nyonya So tersenyum hambar seraya mengangkat tangannya. Dia mengangguk beberapa kali. "Ne, ne .. araso-yo ... " Diamatinya Wine sejenak lalu diangkatnya mangkuk di hadapan cowok itu, untuk kemudian diganti dengan mangkuknya sendiri. "Makan punya omma .. "
Wine mengamati sebentar mangkuk berisi nasi pemberian ommanya. Lalu perlahan-lahan dia menarik mangkuk tersebut kearah dirinya, menatapnya dalam diam. Lambat-lambat dia mengangkat kepala dan memandangku tajam-tajam. "Awas kalau kau lakukan lagi!!" tandasnya dengan nada mengancam.
Bibirku mengerucut. "Segitu aja ... " ckckck, dasar anak omma!!!
*******
"Saya kenyang!!"
Aku meletakan mangkuk beserta sumpit di atas meja sambil mengelus-ngelus perutku. Wajahku berseri-seri, sangat kenyang dan puas rasanya menikmati makanan-makanan selezat ini. Apalagi menikmatinya di bawah siraman sinar rembulan dan bintang yang hangat dalam taman kecil yang sangat indah.
Saat ini perhatianku kebetulan sedang tertuju ke depan. Kulihat Wine sedang terpaku kearahku. Mulutnya sedikit terbuka dengan tangan memegang sumpit yang tergantung lemah di atas mangkuknya yang masih terisi setengahnya. Di dalam mangkuk tersebut tidak terdapat apa-apa, hanya nasi putih tanpa lauk.
Alisku berkerut perlahan. "Kenapa kau makan tanpa lauk?" tanyaku sambil menunjuk mangkuknya. "Lauk pauk ini sangat lezat loh .. ," lanjutku sambil menunjuk makanan-makanan yang tersaji di atas piring dengan bibir.
Paras Wine berubah dingin. Dengan cepat dia mengais seluruh nasi dalam mangkuknya ke dalam mulut dan menelannya seketika dengan hanya sedikit mengunyahya. Lalu dia menyambar gelas berisi air putih di samping mangkuk dan menandaskannya sampai habis. Setelah itu dihentakannya di atas meja.
"Saya selesai!!" tandas Wine sambil berdiri dari bangku.
"Selesai?" Aku melirik makanan-makanan yang masih tersisa di atas meja. "Kenapa tidak dicicipi makanan-makanan ini? Sungguh enak loh!!
"Kau reseh banget!!" bentak Wine. Matanya bersinar tajam sehingga membuatku membungkam seketika. "Sudah kubilang kau jorok! Dan kejorokanmu membuatku muak! Makanan-makanan ini sudah tercemari oleh .. "
"Wine!" Teguran Nyonya So menghentikan perkataan Wine.
Aku melirik wanita itu dengan tampang kuyu. "Miane tante ... "
"Ah--kau tidak salah!" Nyonya So tersenyum padaku, lalu dia berbalik pada putranya yang masih terlihat dongkol tingkat berat. "Kau juga, kenapa menyalahkan Stro? ... Sudah omma bilang tadi, Stro tidak tahu apa-apa tentang .. "
"Omma!" potong Wine cepat. Aku menangkap kekhawatiran dari sorot matanya. "Jangan dibahas di sini!"
"Okay--" Nyonya So mengangkat tangannya. "Kalau kau merasa risih, sayangku .. " Wanita paruh baya itu lalu tersenyum nakal memandangi putranya. Hal yang membuatku semakin mengaruk-garuk kepala keheranan. Apa sebenarnya rahasia dibalik semua yang tidak kuketahui ini? "O ya, Stro ... " Nyonya So berpaling kembali padaku. "Bagaimana hidangan kali ini?"
Aku tersenyum dan segera mengangkat jempol ke atas. "Perfect!"
Nyonya So tertawa. "Bagus kalau kau menikmatinya. Tante sudah takut ada beberapa hidangan yang tidak kau sukai .. "
"Tentu saja tidak .. ," jawabku merendah.
"Ehmm--" Deheman Wine menghentikan obrolan kami. Kami segera berpaling padanya. Wine terlihat mendorong kursinya ke belakang dan menyusut keluar dari posisinya. "Saya masuk duluan .. "
"Wine!" Panggilan Tuan So menghentikan langkah Wine.
Cowok jangkung itu menoleh. "Dhe?"
"Duduk dulu. Ada yang ingin appa bicarakan sehubungan dengan panen minggu depan ... "
Wine mengenyitkan alisnya begitu menangkap garis-garis mendalam tersirat dari wajah pria itu. "Weeyo?"
"Duduklah dulu ... ," pinta Tuan So lebih lanjut.
Wine menatap ayahnya sejenak. Setelah mengangguk pendek akhirnya dia duduk kembali di bangkunya.
"Ahjuma, berkas-berkas dinner ini boleh dibereskan sekarang!" perintah Nyonya So pada pembantu-pembantunya.
Kedua ahjuma yang sedari tadi sibuk merapikan rumput-rumput taman dan menambahkan minuman-minuman buat majikan-majikannya segera membungkukan badan. "Ne, nyonya ... " Lalu mereka mulai melakukan perintah Nyonya So.
Piring-piring kotor beserta peralatan-peralatan makan lainnya dibawa masuk oleh mereka. Setelah taplak diganti dengan yang baru, tuan rumah ditinggal sendiri dengan kami--aku, omma dan appa di taman kecil itu.
*****
"Bagaimana? Ada apa sebenarnya?" tanya Wine sambil memundurkan punggungnya ke sandaran kursi. Sepasang tangannya terlipat di depan dada sambil menghadapi Tuan So.
"Ada beberapa masalah .. ," ujar Tuan So.
"Agak mendesak?"
"Ne .. " Tuan So mengangguk.
Aku mengamati Tuan So, lalu berbalik pada Wine. Perlahan-lahan mataku dipicingkan. Entah mengapa agak aneh rasanya melihat Wine seserius ini. Wajah yang biasanya menurutku bego menatap ayahnya tanpa berkedip. Bukan hanya heran dan bingung yang aku rasakan sekarang, namun sesuatu yang tersirat dari tampang yang terlihat tenang dan begitu memperhatikan perkataan Tuan So itu menimbulkan perasaan yang sangat aneh. Aku merasakan sesuatu yang lain. Desiran yang membuatku segera menekan dada. Ada apa ini?
Wine terlihat membenarkan posisi duduknya lalu bertanya dengan tenang, "Apa itu?"
"Hyun dan Joon ajushi memutuskan pergi dari Dream High besok pagi ..
"Mwo?!" Wine tersentak dari sandaran kursinya. Matanya terbelalak dan diperhatikannya Tuan So dengan pandangan tidak percaya. "Appa serius?"
"Ne .. ," jawab Tuan So lirih.
"Mereka pindah dari sini? Tidak akan kembali?" Wine menekankan pertanyaannya.
Tuan So mengangguk sambil memejamkan matanya.
"Shittt!!" Wine menghentak daun meja di depannya, brakk!! Bunyinya sangat keras sampai-sampai kami yang duduk mengelilingi meja terperanjat kaget dibuatnya. "Kita sangat membutuhkan tenaga mereka dan mereka pergi begitu saja .. ," seru cowok itu dengan sepasang mata berkilat-kilat.
"Kita tidak bisa menyalahkan mereka .. ," ujar Tuan So sembari menepuk pundak Wine buat menenangkannya. "Mereka punya hak untuk itu .."
"Hak apa?!" tukas Wine ketus. "Yang mereka mau-i hanya UANG UANG dan UANG!!"
"Sebuah penawaran menarik terlalu mengiurkan buat ditolak, Wine .. ," nasehat Tuan So bijak.
Tapi kelihatannya usahanya bakal sia-sia saja. Cowok di depanku ini sudah sangat emosi.
"Apa uang segalanya?" dengus Wine. "Sebegitu pentingnya sehingga harus menjual Dream High?!!!"
"Kita tidak bisa memaksa seseorang buat setia terhadap desa ini, Wine .. Bagaimanapun, Dream High sudah sangat ketinggalan perkembangannya jika dibandingkan desa-desa lain yang sudah dalam tahap perombakan .. "
"Tu .. tunggu sebentar .. ," tiba-tiba aku menyela pembicaraan antara ayah anak ini.
"Mwo?!!" Wine segera mendelik tajam.
Aku menatapnya lalu menelan ludah. Tampang si geblek ini terlihat menyeramkan saat ini. "Si .. siapa yang menjual Dream High?" tanyaku terbatah-batah.
"Apa kau tidak dengar?" bentak Wine. "Tadi sudah kami bilang kan?"
"I .. iya .. tapi ... kenapa mereka melakukan itu?"
"UANG, Strawberry!!! Apa kau tuli?!" Wine terlihat sudah kehilangan kesabarannya. Segera saja dia menghempaskan kepalan tangannya ke atas meja.
"Kau emosian sekali!" omelku kemudian.
Wine mendengus, .. dan membuang muka kearah lain. "Berhentilah berbicara! Saya lagi pusing .. " Kemudian dia beralih kembali pada Tuan So. "Lalu apa yang bisa kita lakukan? Panen sebentar lagi dimulai, dan .. tahun ini agak lain--hasil anggur kita melimpah jadi tenaga kerja yang dibutuhkan juga lebih banyak dari tahun lalu. Beberapa hari yang lalu saja sudah ada beberapa pekerja yang minta berhenti dan sekarang ditambah Hyun dan Joon ajushi .. ? Hhh--Entah mengapa aku merasa kejadian-kejadian tersebut tidak segampang ini .." Wine mengelus-ngelus dagunya. "Pasti ada sesuatu yang lebih buruk dibalik semua ini .. Huh--seharusnya mereka tahu ini akan menghambat panen anggur kita!!" Wine kembali mengebrak meja. "Kenapa banyak kejadian kayak gini akhir-akhir ini--huhh!!"
"Maksudmu ... banyak pekerja yang berhenti dari .. Wine's field .. dan memutuskan pindah dari Dream High?" Ini aku, yang bertanya dengan takut-takut.
Wine melirik ku sekilas, tapi dia tidak mengeluarkan suara. Hanya se-persekian detik kemudian, dengan gaya malas, dia sudah mengalihkan perhatian ke arah lain. Sepasang tangannya terlipat di depan dada dengan kepala menghadap ke samping, hampir 90 derajat dari posisiku sehingga ekspresi wajahnya tidak terlihat olehku. Diperlakukan begini, aku hanya bisa manyun-manyun dongkol sembari ikut memalingkan pandangan ke arah lain. "Ditanya baik-baik malah dicuekin huhh!" Aku mengerutu sendiri.
"Sudah, sudah--jangan dibicarakan lagi!" seloroh Nyonya So--memutus omelanku. Dia menyentuh lengan suaminya lalu menoleh pada Wine. "Ajak Cho dan Cof panen bareng minggu depan, nak .. " katanya pada cowok itu. Perlahan-lahan Wine mengalihkan perhatiannya, berbalik dari ladang gelap yang sedang dihadapinya kepada ommanya yang sekarang sedang tersenyum lembut. "Omma yakin appa setuju memberikan upah yang sesuai buat mereka .. " Lalu wanita itu menoleh pada Tuan So. "Benar kan, chagiya?"
"Ne .. "
"Nah apa omma bilang?" Nyonya So mengedipkan sebelah matanya pada Wine.
"Jinja?!" Aku melihat mata Wine melebar.
"Tentu saja!" sahut Tuan dan Nyonya So berbarengan.
"Gumawo .. " Wine tersenyum lebar.
Anak ini kalau tersenyum ternyata manis juga. Ups--!!! Spontan, aku menutup mulut dengan sepasang tangan. Aku barusan bilang dia manis? Benarkah?
"Wee?" Wine tiba-tiba beralih padaku. Si geblek ini seperti punya telepati saja! "Kenapa denganmu?" tanyanya dingin sambil menatap sepasang tanganku yang masih membekap bibir.
"A .. anhi!!" Aku mengeleng keras-keras. Setelah berkata begitu, aku kembali membekap mulut sendiri.
"Jika tidak ada, kenapa nutup mulut kayak gitu?!" sindir Wine.
Aku melepaskan tangan dari mulut dan berseru. "Bukan urusanmu!!"
"Saya tahu .. ," ujar Wine cuek.
"Mwo?!"
"Karna kau jelek!" Dia menyengir.
"YAA--" Tanganku sudah bersiap memukulnya namun dia berkelit dengan gesit.
"Jangan sekali-kali menyentuhku!!" teriaknya.
"Ini bukan menyentuh, tapi memukul!!" bentak ku tak mau kalah.
"Kau ini susah diatur!" omel Wine dari posisinya yang sekarang hampir dua meter terpisah dari tempatku berdiri.
"Daripada kau yang .. "
"Nak Wine .. " Panggilan lembut dari omma menghentikan perselisihan kami.
Wine menjulurkan lidah padaku lalu beralih pada omma. "Ne, tante?"
"Boleh tante minta tolong?" tanya omma sambil tersenyum padanya.
"Eh--ne .. ," jawab Wine gugup. "Tentu saja ... "
"Tidak masalah?" tanya omma memastikan.
"Ne, tentu tidak masalah .. " Cowok geblek itu mengangguk yakin. "Tante boleh minta tolong apa saja asal tidak di luar batas kemampuanku ... "
"Ah--tidak .. " Omma mengibaskan tangannya. "Tante tentu tidak akan meminta bantuan yang terlalu berat. .. Tolong antar Stro pulang, ya?" Gubrakkk--permintaan ini mah lebih berat dari permintaan manapun hmpfh
"MWO?!!" Kami menjerit bersamaan. Wine membulatkan matanya, begitu juga denganku. "ANTWEE!!!" seru kami bareng.
"Mwo?" Omma terlihat kaget. "Wee antwee?"
Aku dan Wine saling berpandangan. Sesaat kami tidak bersuara.
"Iya, Wee antwee?" tanyaku penasaran.
Wine terdiam dan mengatupkan mulutnya perlahan. Sebentar kemudian kulihat tubuhnya menjadi kaku. Dia menatap ku lekat-lekat sebelum akhirnya membusungkan dadanya dengan sikap menantang. "Lalu kau sendiri gimana, kenapa antwee juga?!!"
"I ... itu karena sa .. saya ... " Aku mengigit bibir kebingungan sendiri. Ya, kenapa antwee?
"Sudah anak-anak ... ," lerai omma. "Jangan bertengkar lagi .. " Omma kemudian melihat jam tangannya. "Ini sudah sangat larut malam ... ," gumamnya pelan sembari beralih padaku. "Omma khawatir jika membiarkanmu pulang sendirian. Kau tahu sendiri kan jalan ke rumah sangat sepi dan buram di jam segini? .. Kami ingin menemanimu, sayang .. tapi .. masih ada yang harus omma dan appa bicarakan dengan tante dan paman So jadi .. ," lanjutnya gelisah.
"Ah--omma .. " Aku berdecak. "Saya kan dilahirkan di desa ini. Segala pelosok desa ini sudah kukenal baik, lagipula tidak ada orang jahat yang berkeliaran di sini, jadi omma tidak usah khawatir .. Saya bisa pulang sendiri .. "
Lalu aku beranjak bangun dari kursi dan membungkuk pada Tuan dan Nyonya So. "Saya pulang dulu, tante dan paman. Terimakasih buat semuanya .. "
"Wine!" Panggil Nyonya So. Wine yang berdiri agak menyamping menoleh padanya. "Antar Stro!" tandas Nyonya So tegas.
"Ti .. tidak usah, tante!" tolak ku cepat.
"Omma dengar sendiri!" cibir Wine.
"Omma bilang--antar Stro pulang!" tekan Nyonya So sekali lagi.
"Omma ... "
"Atau kau ingin omma yang mengantarnya sendiri?!"
"Mwo? Yaaa--omma!!" protes Wine memelas.
"Omma serius!" Nyonya So mendelik.
"Tante .. tidak perlu .. ," serobotku gugup. Gawat jika harus pulang berduaan diantar cowok geblek ini. Bisa-bisa langit di atas kepalaku runtuh. Siapa bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya padaku?
"Wine!!" kali ini panggilan Nyonya So terdengar berwibawa. "Omma tidak akan mengulanginya lagi!"
"Tante .. "
"Masih berdiri di situ!!" bentak Wine.
Aku berpaling. "Mwo?" tanyaku heran.
"Jalan, pabo!!" teriak Wine. Tanpa menungguku, dia bergerak cepat ke jalan keluar belakang yang dibatasi ladang anggur.
"YAA!!" Aku melambai padanya, namun sosok jangkung yang satu itu sudah hampir menghilang tertelan dewi malam. "TUNGGU!!" Sambil membungkuk pada para orangtua, aku mengejarnya.
******
Nyonya So tersenyum pada omma dan appa, lalu melirik suaminya. "You see?" Tangannya direntangkan dan dia membungkuk dalam-dalam.
"Kau sangat hebat!" puji omma sembari merangkulnya. "Tadi kukira rencana kita tidak berhasil. Anak-anak itu kelihatannya sangat keras kepala .. "
"Aku tahu kelemahan Wine!" ucap Nyonya So bangga. "Sekeras apapun dia--tidak akan mengecewakanku .. "
"Wine memang anak baik!" kata omma.
"Memang!" Nyonya So mengiyakan. "Tapi, Stro juga tidak buruk .. ," lanjutnya berseri-seri.
"Itu sih tidak perlu diragukan lagi .. " Appa angkat berbicara. "Bukannya memuji, namun putri kami memang tiada duanya ... "
Sebentar saja keadaan taman itu menjadi ribut oleh suara ketawa para orangtua yang sedang memuji-muji anak-anaknya yang ternyata sedang berselisih sengit di tengah kebun anggur.
******
"Siapa suruh kau main kabur aja?" teriak ku keras-keras.
"Yaa--kau menyalahkanku?" balas Wine tidak mau kalah. Dia berdiri hampir dua meter dariku. Bisa bayangkan--kami bertengkar dalam jarak sejauh itu?--huhh--
"Bukan salahmu, emangnya salahku?!!!"
"Kau kan kebiasaan meloncat dari pagar pembatas!!" teriak Wine sambil mengesek-gesek gerahamnya.
"Pagar pembatas palamu!!" Yee--kenapa pula aku memakai istilah kegemarannya?! #garuk-garuk kepala sendiri. "Siapa yang memanjat pagar semalam ini?!!"
"Siapa tahu .. ," ledek Wine.
"Kau sungguh-sungguh menyebalkan!" omelku. "Jika tidak ingin mengantar, bilang aja. Jangan sok gentleman begitu! Gara-gara diminta omma-mu huhh ... "
"Siapa yang sok gentleman?!" seru Wine tak terima.
"Tentu saja kau! Emang masih ada yang lain?!" celetuk ku sembarangan. Sambil berdecak kesal aku berbalik ke belakang. "Jadi gimana nih?" tanyaku sambil menatap capek pagar pembatas yang terlihat kelam di depanku. "Apa mesti masuk lewat situ?"
"Terserah kau!" ujar Wine.
"Mwo?" Aku berpaling cepat. "Kau tidak berperasaan banget!" pelototku sengit. "Gimana mungkin kau membiarkan seorang cewek memanjat pagar semalam ini? Tolongin kek--?"
"Mwo?" Wine melebarkan matanya. "Tologin gimana?" tanyanya agak ngeri. Tanpa sadar dia menyusut selangkah.
"Dorong aku ke atas!" pintaku sambil melangkah ke pagar pembatas. Aku mengikat ujung gaun ke pinggang--karna memakai celana pendek dibalik gaun maka aku dapat melakukan ini buat mempermudah gerakanku nanti. Aku mulai menyelipkan kaki ke celah-celah yang terdapat di antara pagar dari kayu ini dan mengangkat tubuh ke atas. Namun, gerakanku tertunda begitu tidak merasakan bantuan yang kuperlukan. Aku menoleh dengan posisi mengantung di tengah pagar pembatas. "Wey--ngapain masih bengong di situ?!!"
Wine jadi gagap. "A .. apa tidak sebaiknya ... ber ... balik arah saja? Le .. wat jalan utama ... ?"
"Kenapa? Sudah tanggung nih--!" seruku jengkel. "Cepatlah kemari!"
"An .. antwee!!" tolak Wine.
"WEE?!!" jeritku. "Ayolah--Capek nih--!!"
"Kau .. kau lakukanlah sendiri .. " Wine berkeras di tempatnya. Dia tidak bergerak sama sekali, terlihat ngeri.
"WINE SO!!!!"
"Tidak mau!!"
"WEE?!!"
"A .. aku .. pokoknya .. tidak bisa!!"
"WINE!!"
"Kau .. lakukanlah sendiri!! Kau kan sudah .. biasa .... "
"Tidak bisa!! Gaunku tersangkut!!" teriak ku begitu kakiku tidak mampu digerakan gara-gara beberapa ranting liar menembus gaun tipis yang kukenakan. "Wine .. ," desahku memelas. "Hampir jatuh nih--"
"A .. aku ... " Wine jadi kebingungan di tempatnya. Dia bergerak kesana kemari namun tidak kearahku.
"Wineeeeee!!! AKH--!!!"
Posisiku goyah. Pagar dari kayu yang mungkin sudah rapuh ini patah dan tubuhku terpental jatuh. Sebelum mendarat di tanah, aku memejamkan mata rapat-rapat.
"AKH!!"
Aku mendengar teriakan lain. Dan anehnya, tempatku mendarat tidak terasa keras, dan aku juga tidak merasa sakit. Sesuatu yang sangat empuk seperti mengalasi tubuhku, melindunginya dari kecelakaan yang mungkin berakibat fatal. Aku membuka mata perlahan.
"Wi .. wine ... ," ujarku tak percaya. Bagaimana mungkin?
"Bangun!!" bentak Wine.
Yang segera menyadarkanku dari posisi mengangga yang tidak elit. Segera saja kututup mulut rapat-rapat. Kulihat dia mendelik tajam sehingga sebelum mendapat bentakan yang kedua kali aku segera meloncat bangun "Mi .. miane ... "
Wine meringgis. Sambil menekan lengannya yang terluka akibat irisan rumput-rumput kering dan ranting-ranting liar, dia mengerutu. "Kau berat sekali!!"
"Mwo? Aku .. "
"Kenapa? Tidak terima?" bentaknya ketus. "Selalu sial berdekatan denganmu!!"
Aku membuka mulut bersiap protes namun segera terbungkam oleh sesuatu yang menarik perhatianku. Bintik-bintik merah darah yang pernah kulihat beberapa waktu lalu kembali bermunculan dari sepasang lengan, wajah dan lehernya.
"Aish!!" Wine mendengus. Tangannya bergerak dan mulai mengaruk-garuk bintik-bintik tersebut.
"Apa itu?" tanyaku heran.
Wine menepis tanganku begitu hampir mencapai lengannya yang sudah sangat merah. "Bukan urusanmu!!" Dia beranjak bangun dan segera memutar tubuh ke arah jalan utama yang berseberangan dengan pagar pembatas di belakang kami. "Lewat jalan besar!!" lanjutnya tanpa berpaling padaku.
"Yaa--kau tidak apa-apa?" tanyaku sambil mengejarnya.
"Tidak!!"
"Tapi .. bintik-bintik itu ... ," tunjuk ku dengan nafas tersengal-sengal. " .. kayaknya kau alergi ama daun-daun kering yang tadi banyak berserakan di tanah .. mungkin .. virus .. "
Gubrakk--
**********************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Strawberry, Lovers or Haters?--Chapter Six
Strawberry, Lovers or Haters?-
CHAPTER SIX
By Lovelyn Ian Wong
Wine, Wine, Wine, ckckckck!!!!
[color=#339933]
”Sial, sial, sial. SELALU SIAL!!!” Wine mengumpat-umpat sendiri sepanjang perjalanan kembali ke villa Wine. Didobraknya pintu yang sedang dibukakan seorang pelayan baginya begitu sampai di villa sehingga hampir terhempas ke pelayan tersebut. “Ngapain berdiri di situ!” Wine mendelik tajam. “Menganggu saja!!”
“Mi .. miane, doronim .. ,” ujar ahjuma paruh baya itu gugup. Kemudian ketakutannya berganti keheranan begitu melihat bintik-bintik merah darah di sekujur lengan, leher dan wajah Wine. “Omo—kenapa bisa begitu?” Dia akan menyentuh lengan Wine, kalau saja tidak segera ditepiskan cowok itu.
“Jangan menyentuhku!” tandas Wine ketus.
“Eh—apakah doronim alergi lagi?” tanya ahjuma itu polos.
“Bukan urusanmu!” Wine mengeser pelayan itu sampai merapat ke pintu dengan tangannya, lalu memasuki ruangan. “Siapkan air buatku mandi!” lanjutnya dengan nada memerintah.
Si ahjuma menghela nafas pelan, lalu membungkukan badannya. “Ne, doronim .. “
******
Wine memasuki ruang tengah dan mendapati Tuan dan Nyonya So sedang duduk bersantai di sofa.
“O—sudah mengantar Stro sampai ke rumah?” Nyonya So bertanya ketika melihat Wine.
Wine mengangguk dan menghempaskan dirinya di sebelah wanita itu.
“Bagaimana? Apa semuanya beres?” lanjut Nyonya So lagi, antusias.
Wine berpaling dengan ekspresi tidak senang. “Maksud omma?”
“Apa lagi?” Nyonya So tersenyum. “Tentu saja tentang hubunganmu dan Stro!” Mendadak wanita paruh baya itu mencondongkan badan ke arah putranya itu. “Apa saja yang kalian bicarakan dalam perjalanan pulang tadi?” tanya Nyonya So ingin tahu. Matanya berkilau-kilau membentuk puppy eyes.
“OMMA!!” jerit Wine. Badannya segera ditarik ke belakang sehingga terantuk ke sandaran sofa.
“Kenapa?” tanya Nyonya So heran. “Masih belum lancarkan seranganmu?”
“Serangan apaan?!!” Wine mengumpat. “Lihat tanganku! Dan juga leher dan wajahku!” Wine mengulurkan lengannya, begitu juga memperlihatkan leher dan wajahnya kepada Nyonya So. “Dia yang melancarkan serangannya bukan aku!!” dengusnya kesal.
“Omo—“ Mata Nyonya So membulat. Baru terlihat olehnya bintik-bintik yang bertaburan di sekujur tubuh putranya itu. “Lagi?”
“NE!!” cetus Wine. “Nggak tahu cewek apaan dia!!!”
“Itu kesalahanmu sendiri!” celetuk Tuan So, ikut membaurkan diri dalam percakapan istri dan putranya setelah berdiam diri cukup lama. “Kenapa kau tidak terus terang aja ke Stro kalau kau alergi terhadap aroma tubuhnya?”
“Mwo?!!” Wine meloncat bangun, kaget setengah mati. “Kenapa harus berterus-terang padanya?!!” Dia mendelik tajam. “Dia bukan apa-apa ku!!”
“Mungkin sekarang tidak!” Nyonya So beranjak bangun dari sofa dan berjalan ke lemari kecil di sudut ruangan. Dia mengambil sesuatu, untuk kemudian kembali lagi ke tempatnya semula. “Tapi setelah kesepakatan kami dan orangtuanya, maka kalian .. “
“Omma!!” potong Wine cepat. Dia sudah tahu kearah mana pembicaraan orangtuanya, dan dia tidak ingin mendengar. Dengan cepat diserobotnya sekotak kapsul dari tangan Nyonya So dan menuangkan beberapa butir ke telapak tangannya. “Seperti yang kutegaskan sejak dulu, tidak ada ceritaku dan si Strawberry!” tegasnya kemudian.
“Kenapa sih—“ Nyonya So berdecak. Dia meraih teko di atas meja dan menuang segelas air, untuk kemudian disodorkan pada Wine. “Kau selalu menghindari pembahasan ini?!!”
“Omma sudah tahu jawabannya!” Wine memasukan beberapa butir kapsul ke dalam mulut lalu menelannya dengan meneguk air dari dalam gelas.
“Itu terlalu menyiksa, anak ku .. ,” ujar Nyonya so sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. “Kenapa kau tidak meminta bantuan dokter Kwon?” tambahnya kemudian, mengeluarkan solusi yang sebenarnya sudah lama mereka ketahui.
“Tidak perlu!!” sahut Wine tegas.
“Tapi .. “ Nyonya So berusaha menyela tapi segera diputus Wine.
“Selama saya tidak menyentuh, mencium atau memakan yang namanya strawberry—semua akan baik-baik saja!” tandasnya yakin.
“Tapi kau tidak bisa menghindari Stro!” celetuk Nyonya So. “Bukan benda mati yang menjadi kendalamu sekarang, tapi makhluk hidup. Kau tidak bisa terus-terusan menghindari Stro, karma dia ada di sekitarmu. Apa yang akan kau jelaskan padanya jika sekali lagi dia melihat bintik-bintik yang tumbuh di badanmu?”
Sunyi selama beberapa menit. Wine kemudian mengambil nafas dan bangkit dari duduknya. “Saya akan mengambil salep dari dokter Kwon dan mengolesi bintik-bintik ini .. Semoga saja cepat pudar .. Aku jijik melihatnya .. “
“Kita belum selesai, Wine!”
Wine berpaling dengan cepat. “Omma, please!!”
“Tapi .. “
Tangan Tuan So terasa menyentuh lengan istrinya. “Biarkan saja, yeobo .. ,” kata pria paruh baya itu. “Kurasa Wine perlu waktu. Jangan terlalu didesak, nanti malah hasilnya terbalik .. ,” nasehatnya bijak.
*******
Aku berjalan santai menuju kantin sekolah. Sesuai perjanjianku dengan Music, kami akan bertemuan di situ seusai jam sekolah. Beberapa hari lagi liburan panjang dan Music akan kembali ke Seoul setelah itu. Hari ini dia memintaku menemaninya ke supermarket kecil buat membeli makanan-makanan khas Dream High buat dijadikan oleh-oleh untuk keluarganya.
“STRAWBERRYYYYYY!!!!”
Deg! “Mw .. mwo .. ooo …?” Aku berpaling dengan gugup.
Mataku melebar begitu mendapatkan wine berlari terbirit-birit ke arahku.
“U .. urus .. sahabatmu .. !!” serunya seraya melayangkan telunjuk ke belakang. “Dia gila!!”
“Mwo?” Aku mengerutkan alis tidak mengerti. “Apa maksudmu?”
Wine sampai di sebelahku dengan ekspresi ngeri. Sambil membalikan badan, kembali dia menunjuk kearah pintu masuk kantin.
“I .. itu … “ Kemudian dia mendorongku supaya menangkap apa yang dimaksudkannya. “Jangan biarkan dia mengetahui keberadaanku!!”
“Mwo?” Aku kembali bertanya. Kali ini sudah sangat kesal. Cowok geblek ini ditanya berulang-ulang kali, eh malah tidak dijawab-jawab. Aku berbalik, namun bayangannya sudah menghilang. Kutajamkan pandangan ke depan, dan akhirnya, samar-samar aku berhasil menangkap ujung seragam wol dan sosok jangkungnya yang tersembunyi di balik pilar pojok kantin, sekitar satu setengah meter dariku. Apa yang dilakukannya? Mataku memicing. Sudah gila ya?
“Stro … ,” terdengar suara tersengal-sengal menyapaku.
Aku menoleh. Pear tampak menghampiriku dengan wajah bersemu merah dan nafas memburu laksana sudah melakukan olah raga berat, marathon misalnya.
“A .. apa .. kau .. melihat Wine?” tanyanya sambil membungkuk dan memegangi perutnya. Dia terlihat menderita sekali.
“Mwo?” balasku heran. “Apa yang terjadi padamu?” Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah melancarkan pertanyaan berikut ; “Gwencana?”
Pear segera mengibaskan tangannya tidak sabar. “Saya .. gwencana .. ,” ujarnya terbatah-batah, sambil menelan ludah buat mengatur pernafasannya yang masih sangat memburu. Lalu dia mengenggam tanganku erat-erat. “Yang penting, … Wine, a .. apa kau .. melihatnya? Tadi .. kulihat dia berlari kemari .. “
“Wine?”
“Ne—Wine!!” Pear menekankan. “Apa kau melihatnya?”
Mataku melirik ke atas, berpikir. Apa kukatakan saja? Bibirku sudah terbuka ketika beberapa kalimat tiba-tiba berseliweran dalam otak ku. Urus sahabatmu! Dia gila! Jangan sampai dia mengetahui keberadaanku!!
“O—“ Aku mengangguk. Akhirnya aku mengerti juga apa yang sebenarnya terjadi.
“Stro!!” Pear mendorong lenganku. “Sadar!!”
“Dhe?!!”
“Aku bertanya padamu!” Pear memberengut kesal. “Apa kau mendengarnya? Ke mana Wine?” tanyanya kembali. “Aku sedang asyik-asyiknya menekankan padanya kalau aku tidak akan menyerah buat mendapatkannya, eh tiba-tiba dia main kabur begitu saja, .. dasar—pemuda aneh .. “
“Iya loh—pemuda aneh!” Aku mengiyakan. “Jadi buat apa membuang waktu percuma untuknya .. “ Bagus, Strawberry—apa urusanmu? Untuk apa ikut campur? Aku jadi garuk-garuk kepala sendiri.
“Itu keistimewaannya .. “ Pear tersenyum penuh arti. “Itu yang kusukai dari Wine .. “
“Kau ini aneh .. ,” omelku.
“Karna itu cocok ama Wine .. ,” sahut Pear ngasal.
“Cih—“ Aku mencibir. Anak ini memang keras kepala ><
Mendadak Pear menegakan badannya, seperti baru teringat akan sesuatu. “Sudah ah. Saya harus segera mengejar Wine nih, tar dia kabur pulang lagi. Apa dia tadi kemari?”
“Ehmm—“ Aku mengelus dagu, masih ragu-ragu terhadap keputusan selanjutnya.
“Stro!!” tegur Pear jengkel.
“Eh—ne .. ,” jawabku gugup.
“Jadi?”
“Dia tadi kemari!” sahutku kemudian. “Tapi .. sudah kabur lagi lewat pintu belakang .. ,” lanjutku sambil menunjuk ke pintu belakang yang berhadapan dengan taman.
“Jinja?” tanya Pear.
“Ne!” Aku mengangguk dengan yakin.
Pear tersenyum puas, lalu dia menekan lenganku dengan sangat keras sehingga terasa nyeri. “Gumawo!!” Mendadak anak gila ini mendaratkan ciuman yang sangat lengket ke pipiku, cupp!! Dia menarik diri ke arah pintu dan melambaikan tangan padaku. “See you .. “
“IH—“ Aku berseru jijik. Liurnya membekas di pipiku. Dengan tidak rela kuhapus dengan lenganku. “Ckk—“ Aku berdecak kembali.
“Eh—“
Teguran datar itu membuatku berpaling. Wine keluar dari persembunyiannya dan kehadirannya membuat rautku berubah masam.
“Puas?!!!”
“Well—“ Wine mengangkat pundaknya sambil mengibaskan ujung seragamnya yang agak kotor oleh cat dinding. Tangannya diselipkan ke dalam saku celana seraya mengarahkan pandangan ke depan.
Memandangku saja tidak? Si geblek ini benar-benar kurang ajar!! Tahukah dia seharusnya berterimakasih buat penolongnya dan bukannya bersikap menyebalkan seperti ini?
“Dia sahabatmu .. dan sudah sepantasnya kau yang menanganinya. Lagipula, kau yang memulainya .. “ Wine melanjutkan sambil melewatiku.
“Tunggu sebentar!” Aku segera mengejar dan menarik kemeja seragamnya. “Apa maksudmu dengan aku yang memulainya?” tanyaku sengit.
“Jangan menyentuhku!” Bukannya menjawab pertanyaanku, si geblek ini malah mengibaskan lenganku. “Kuperingatkan untuk terakhir kali—jangan sekali-kali menyentuhku lagi!”
“Terserah!” Aku mendelik jengkel. “Jadi jawab pertanyaanku!”
“Kau yang menjadi dalang dan mak comblang dari hubungan mustahil ini!!” balas Wine ketus. “Araso?! Dan puas, Strawberry Im?!!”
“Tapi aku sudah mengundurkan diri dari tugas itu!” tandasku tak mau kalah.
“Apa itu penting?” seru Wine. “Kau tahu sendiri siapa sahabatmu!! Dia tuh hantu gentayangan. Dia tidak akan menyerah sebelum mendapatkan apa yang diinginkannya—begitu katanya padaku. Lalu sekarang apa yang kau harapkan bisa kulakukan?!!”
“O—“ Aku membuka mulut perlahan-lahan. Benar. Pear itu cewek antusias. Dia tidak akan berhenti sebelum mendapat kepastian di suatu titik bahwa dia harus berhenti. Dan dia juga tidak akan menyerah sekalipun Wine menolaknya terus-menerus sebelum dia yakin bahwa usahanya itu sungguh-sungguh tidak akan membuahkan hasil. Benar kata Wine—aku yang memulainya. Dan sekarang, kurasa Pear tidak akan berhenti berjuang untuk itu. “Miane .. ,” desahku pelan. “Aku salah … “
“Ehmm—“ Wine menatapku sekilas. Entah mengapa aku menangkap kerisihannya—mendadak? Di samping ketakutan-ketakutan dan kengerian-kengerian membingungkan yang sering ditunjukannya selama ini.
Kami terdiam dengan posisi saling berhadapan dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga tidak menyadari sepasang mata yang mengawasi gerak-gerik kami sejak sepuluh menit yang lalu.
****
"Berry ... ," panggilan pelan dari belakang membuyarkan kebisuan di antara aku dan Wine.
Perlahan aku menoleh kearah suara itu. Begitu juga Wine, dia segera memalingkan wajah ke arah lain, seolah ingin menghindari benturan pandangan dengan ku. Kudengar dia berdeham kecil sehingga aku segera meliriknya dan hampir melupakan kehadiran Music yang barusan menyapaku.
"Berry ... " Music tersenyum sambil mengalungkan lengannya ke pundak ku.
Aku menoleh dan membalas senyumnya. "Hy--"
"Bisa berangkat sekarang?"
"Yup--sure .. " Aku mengangguk.
Music kembali menyunggingkan senyumnya dan mengendus halus pipiku.
"Cih--" terdengar decakan mencibir dari Wine. "Menjijikan!!"
Aku mendelik sambil ... tanpa sadar menjauh dari rangkulan Music. "Mwo?!" Aku berteriak padanya.
Wine tidak menjawab. Dia mengangkat bahu cuek, kemudian melewati kami.
"Hey--" Aku berusaha melampiaskan kekesalan padanya, tapi tarikan Music menghentikan langkahku.
"Ayo pergi! Sudah terlambat nih!" ajak cowok itu.
Aku menghela nafas .. , sesat kemudian akhirnya aku mengangguk. Tiba-tiba bohlam di kepalaku menyala--aku mendapat ide. Segera saja kuraih tangan Music lalu menariknya supaya mengejar Wine. Begitu sampai, kulipat jemari tanganku, dan aku melompat, tuk--jitakan mendarat di kepala Wine.
"Achhkk!!" teriak Wine seraya menyentuh batok kepalanya.
Aku berbalik dan tertawa ngakak. "Weeekk!!" kuleletkan lidah pada cowok yang sedang meringgis kesakitan itu. "Rasakan! ha ... ha .. ha .."
Puas rasanya melihat tampang gebleknya berubah membiru dadu saking gondoknya.
"Kaburr!!" Aku menarik Music sambil melambai-lambai pada Wine. Samar-samar masih sempat kulihat tangan si geblek itu terangkat ke atas, mengayun-ayunkan kepalan tinjunya dengan pandangan mengancam.
*******
"Strawberry sialan!! Seenak perutnya!!" Wine mendengus sambil mengelus-ngelus batok kepalanya yang terasa berdenyut-denyut. "Perginya telat sedikit saja, akan ku kunci lehernya dan kugetok-getok kepalanya sampai puas!! Biar tahu rasa,--" omelnya tanpa henti.
Walaupun jitakan Strawberry tidak termasuk keras, tapi tetap menimbulkan efek nyeri pada saraf Wine. "Sudah kubilang berkali-kali, jangan berani-berani menyentuhku--huhh, tuli mungkin dianya!! Atau pikun?" Wine ngedumel terus sembari berbalik--menghadap ke pintu belakang kantin.
Gerakannya tiba-tiba terhenti. Sesosok yang amat dikenal dan yang tidak diharapkan berdiri di situ, menatap lekat dengan sinar tajam dan mengancam.
"Jadi begitu?" tanya Pear datar dan menusuk.
Wine membujurkan badannya dan berusaha menampilkan sikap tenang. "M wo ... ?" balasnya dengan nada yang tidak kalah sengit dan tajamnya.
"Penyebabmu menghindariku?" ucap Pear.
"Mwo?--maksudmu?" ujar Wine tidak mengerti.
"Stro!!" tandas Pear. "Karna diam-diam kau menaruh hati padanya? Iya kan?!!"
"MWO?!!" Bola mata Wine sudah hampir meloncat dari rongganya mendengar tuduhan Pear. Dia membuka mulut bermaksud membantah, namun diurungkannya begitu sebuah jalan keluar buat menghindari cewek ini mendadak terbersit dalam pikirannya. "Kau sudah tahu ... ," ujarnya agak risih. Bukan apa-apa tapi karna mengakui tuduhan Pear yang sebenarnya tidak benar. Bagaimana mungkin dia menyukai Strawberry? Huhh--langit di atas kepalanya mungkin sudah runtuh jika hal itu sampai terjadi!! "Tapi kau jangan bilang-bilang ke dia!" lanjutnya cepat. "Karna dia tidak tahu apa-apa .. "
"Kau tahu Stro sudah resmi pacaran dengan Music?" tanya Pear datar.
"Ya .. ," sahut Wine.
"Jadi kenapa kau masih mengharapkannya?!" lanjut cewek itu sengit.
"Karna cinta tidak bisa dipungkiri!" Sumpah,--waktu mengatakan ini, bulu kuduk Wine berdiri semua. Seumur-umur dia tidak mengenal apa itu cinta, apalagi berceramah buat cinta seperti yang dilakukannya saat ini. "Aku mencintainya, tapi aku tidak berharap memilikinya. Cinta sejati tidak untuk dimiliki, melainkan untuk melihat yang kau cintai bahagia. Aku tahu dia bahagia dengan Music, karna itu aku rela melepasnya ... "
"Tapi aku tidak mau melepasmu!" kata Pear keras kepala.
"Kau tahu itu percuma!" desis Wine. "Sekalipun aku tidak bersama Strawberry, aku juga tidak akan menerimamu .. "
"Mengapa sekejam itu?" Pear mengigit bibirnya. "Aku mencintaimu--sungguh!"
"Aku tahu!" ujar Wine serba salah. Keadaan ini membuatnya sudah tidak nyaman lagi. Dia tidak menyukai cewek agresif, namun dia juga tidak tega melihat cewek menangis. "Tapi cinta tidak bisa dipaksakan, Pear. Seperti juga aku tidak bisa memaksakan cintaku pada Strawberry--Kau harus mengerti. Sekeras apapun usahamu, aku tidak mungkin mencintaimu, karna kau bukan kriteriaku. Ibarat pepatah--you're not my cup of tea, do you understand? .. Kita masih bisa menjadi sahabat jika kau tidak terlalu memaksa, .. tapi jika tidak, .. sosoengheyo, aku tidak ingin punya seorang sahabat pemaksa sepertimu .. "
"Aku harus menyerah ... ?" ujar Pear lirih. Dia menatap Wine penuh harap. "Tidak ada peluang bagiku? ... Benarkah--Wine? .. "
"Miane .. ," ucap Wine dengan nada menyesal.
Pear kembali mengigit bibirnya, lalu dia mengangguk-angguk berulang kali. "I understand,--I'm not your cup of tea .. ya kan?"
"Kau--" Melihat perubahan Pear, mendadak Wine menjadi khawatir. Ditepuknya lengan cewek yang seolah linglung itu. "Gwencana?"
Pear segera mengangkat tangannya. "Saya ... gwencana .. " Pandangannya masih terlihat menerawang ketika melanjutkan. " .. jangan mengangguku! .. Aku .. aku butuh waktu menenangkan diri .. "
Kemudian, secara perlahan-lahan .. cewek itu memutar tubuh dan berjalan keluar kantin. Menapak taman kecil di belakangnya, dan dalam sekejap menghilang dari hadapan Wine.
******
Mata Wine terbelalak lebar. Apa dia tidak salah lihat?
Wine mengucek matanya. Bukankah yang duduk di kursi taman itu si Coffee, dan yang bersamanya ... sahabat kental si Strawberry--Mango Moon? bagian dari Club Balet Sekolah terkonyol yang pernah ada--F3?
"Apa yang mereka lakukan?" Wine bergeser dari posisinya sampai bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi dalam taman.
Sekarang dia mengerti mengapa posisi Coffee begitu dekat dengan Mango. Mengapa tubuh mereka saling menempel satu sama lain. Saat itu, sahabatnya dengan sahabat Strawberry tersebut sedang berciuman dengan panas sambil saling meremas satu sama lain.
Wine menegakan badannya sehingga menimbulkan suara yang langsung menarik perhatian pasangan yang sedang bermesraan dalam taman. Coffee terlihat kaget melihat kehadiran Wine di situ. Tapi lebih dari itu, dia tidak terlihat risih ataupun malu. Dia malah melambai pada Wine.
"Hey--ngapain di situ?"
Mango yang duduk di sebelahnya segera menyenggol lengannya. "Jangan ajak dia kemari!"
Coffee mengulum senyumnya. Sambil melirik Wine yang masih terdiam kaku di tempatnya, dia membisikan sesuatu di telinga Mango. "Tenang saja, .. Saya tahu kelemahan Wine. Lihat senjataku!"
Coffee kembali mengangkat tangannya sembari mengerak-gerakannya dengan cepat, tertuju pada Wine. "Mau gabung dengan kami?!!"
Bisa dibayangkan bagaimana reaksi Wine? Ya, tidak salah lagi! Anak lugu itu langsung ngacir terbirit-birit, sampai hampir menabrak pagar pendek pembatas taman.
"Wine--tidak mau?!!!" goda Coffee.
"ANGGAAA!!!!" jerit Wine dari balik belakang gedung sekolah yang berseberangan dengan kantin.
******
"Huhh--Coffee memalukan! Menjijikan! Ciuman tidak pandang tempat!!"
Wine menghempaskan ranselnya ke sofa, lalu menghenyakan tubuh jangkungnya di sampingnya.
"Sudah pulang?" Raut Tuan So nonggol dari balik pintu.
"Appa .. ," sapa Wine seraya membetulkan posisi duduknya, memberi tempat pada ayahnya buat duduk.
"Capek?" tanya pria tengah baya itu bijak.
Wine mengeleng. "Tidak. Hanya ada sedikit peristiwa menyebalkan .. "
"Berhubungan dengan Stro?" selidik Tuan So kemudian.
"Appa!!" Raut Wine berkerut tidak senang. "Aku tidak ingin membahas tentang Strawberry! Tidak lagi!!"
"Okay, okay .. ," ujar Tuan So--berusaha menenangkan putranya yang menjadi gusar begitu mendengar nama Strawberry disebut-sebut. "Kita tidak akan membicarakan Stro. Paling tidak--untuk hari ini, berhubung ommamu sedang keluar .. Dia sedang antusias dengan rencananya menjodohkanmu dengan Stro .. "
"APPA!!" Wine mendelikan matanya. Dia tidak mengerti, jika appanya memang sudah berjanji untuk tidak menyinggung tentang Strawberry, kenapa pembicaraan ini masih berbelok kembali ke masalah Strawberry?
"Miane .. " Tuan So tertawa. "Appa keceplosan .. "
"Jadi?" Tatap Wine curiga.
"No Strawberry!" Appanya mengangkat jari sebagai tanda 'Promise'.
"Ok, .. saya percaya .. " Wine tersenyum.
"Lalu apa yang akan kita bicarakan selain Strawberry?"
Gubrak!!
"Appa!" Mampus rasanya jika terus-terusan begini! Jantungku sudah tidak mampu menampungnya lagi! jerit Wine dalam hati. Kenapa para orangtua ini selalu berlagak pikun buat masalah yang tidak suka disinggung oleh anak-anaknya?
"Fine!" Tuan So menyenggir. "Kalau begitu kita bicarakan masalah lain. Tapi apa itu?"
"Tentang keadaan perkebunan akhir-akhir ini .. " Wine menyelonjorkan badannya ke depan. "Bagaimana perkembangan para pegawai? Ada yang baru?"
"Ya--" Paras Tuan So berubah ruwet. "Beberapa pegawai--mengundurkan diri LAGI .. "
"Mwo?" Badan Wine menegak. "Kenapa bisa begitu? Appa sudah menyelidikinya?"
"Ada kabar .. pengambil-alihan tanah ... ," sahut Tuan So ragu-ragu. "Tapi kabar ini masih simpang siur dan belum tentu bisa dipercaya. Beberapa pegawai yang mengundurkan diri tidak bersedia ditanyakan tentang penyebabnya. Mereka memilih tutup mulut rapat-rapat. Tapi appa merasa, ada sebuah kekuatan besar yang berperan penting dibalik semua ini .. "
"Apa tenaga kerja kita cukup buat panen tahun ini?"
Tuan So menatap Wine, kemudian mengangkat pundak perlahan. "Belum tentu. Jikalau penduduk yang lain juga memutuskan pergi dari sini, akan sangat sulit bagi kita untuk mendapatkan tenaga kerja yang cukup dan berpengalaman ... "
"Itu artinya .. kerugian besar dari pihak kita ... ?" tanya Wine perlahan-lahan.
Tuan So mengangguk memastikan. "Ne. Selain perkebunan anggur--juga pabrik anggur kita ... "
"Huff--!!" Wine menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa. "Siapa sebenarnya dibalik semua ini?!!" geramnya sambil memukul sepasang tangannya ke lengan sofa.
"Samar-samar tergiang nama Tuan Moon ... ," kata Tuan So dengan nada menerawang tanpa sedikitpun kepastian.
"Tuan Moon?" Wine mengalihkan perhatiannya. "Siapa dia?"
Tuan So mengangkat bahu. "Entahlah. Kayaknya orang asing di Dream High ini. Seorang pengacara ... "
"Pengacara?" Wine mengerutkan alisnya. "Apakah akhir-akhir ini ada yang memerlukan jasa seorang pengacara?"
"Anhiyo .. ," jawab Tuan So.
"Apa ada kejadian-kejadian aneh?"
Tuan So kembali mengeleng.
Wine meraba-raba dagunya sambil berpikir, "Kalau begitu sungguh aneh. Buat apa seorang pengacara berkeliaran di sini sementara kita tidak membutuhkannya? ... Bertamasya?--Alasan ini jauh lebih aneh lagi kan?"
Tuan So mengangguk seperti kerbau dicucuk hidungnya. Segala kemungkinan yang diajukan Wine terdengar masuk akal. Diperhatikannya putranya, .. lalu dia tersenyum puas. Seperti yang sudah diperkirakannya dari dulu-dulu, Wine memang bisa dibanggakan dan tidak akan mengecewakannya ..
**********************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Strawberry, Lovers or Haters?--Chapter Seven
Strawberry, Lovers or Haters?-
CHAPTER SEVEN
By Lovelyn Ian Wong
Tentang Music..........
[color=#339933]
"Yang ini juga enak .. " Aku menaruh beberapa bungkusan makanan kering ke dalam troiler yang didorong Music. Lalu menatapnya. "Sebenarnya apa lagi yang ingin kau beli selain makanan-makanan ringan ini?"
"Hmm--" Music mengelus-ngelus dagunya. "Kudengar Wine keluaran Dream High juga sangat bermutu ... ," katanya beberapa saat kemudian.
Aku langsung menjentikan jemari di depan matanya. "Kau memang paling tahu barang-barang berkualitas!" seruku semangat. Sambil tersenyum aku segera menariknya ke lorong yang menyediakan minuman-minuman beralkohol. Kuraih sebotol wine keluaran Wine's field. "Wine's Field Dream High keluaran tahun 75 hampir bisa disamakan dengan wine-wine berkualitas dari luar negeri!!" jelasku sambil menyorongkan botol wine di tanganku.
Music menerimanya sambil mengamatiku. "Kelihatannya .. kau sangat memahami produksi-produksi wine dari Wine's field .. "
"Tentu saja!" sahutku nyaring. "Selain Wine's field, Strawberry's field juga ... Mereka menemaniku sejak kecil, memberi warna pada masa pertumbuhanku. ... Segala yang berada di sini sangat berarti bagiku .. "
"Wine juga?" gumam Music pelan, yang tidak terdengar olehku.
"Dhe?" Aku mengalihkan perhatian dari jejeran botol-botol di atas rak. "Mworagu--apa katamu?" tanyaku dengan alis berkerut.
Music kelihatan berusaha tersenyum. Lalu dia mengeleng. "Tidak apa .. "
"O--" Aku mengangguk seraya meraih sebotol wine jenis lain. "Yang ini juga bagus. Harganya lebih terjangkau dari yang kutawarkan semula .. "
Wine mengangkat botol di tangannya. "Tidak usah. Saya pilih yang ini saja .. "
"Well--" Aku mengangkat bahu. "Terserah kau deh--" Lalu kutaruh kembali wine tadi ke tempatnya. "Apa lagi yang ingin kau beli?" tanyaku sambil menyelusuri barang-barang yang tertata rapi di atas rak.
"Ini semua sudah lebih dari cukup .. ," jawab Music.
Aku berhenti dan menatapnya. "Sudah cukup? Memangnya berapa anggota keluargamu?"
Music tiba-tiba mencondongkan badannya ke arahku. "Kau ingin tahu?" tanyanya dengan nada mengoda.
"Mwo?" Aku terbelalak. "Ten .. tentu saja tidak!" sahutku cepat. "Lupakan saja!" Parah deh--padahal aku bertanya ngasal saja, tanpa bermaksud apa-apa. Kenapa disalah-pahami begini?
"Saya tidak keberatan memberitahumu .. "
Perkataan Music menghentak ku.
"Dhe?"
Music tersenyum. "Kataku--aku tidak keberatan memberitahumu .. "
"Itu tidak perlu!" ucapku sambil mendahuluinya.
"Tapi aku ingin kau tahu!!"
Seruan ini segera menghentikan langkahku. Aku memejamkan mata lalu berbalik.
"Aku ingin kau mengetahui semuanya--tentang ku .. ," kata Music lebih lanjut. Dia mendekatiku dengan kereta dorongnya. "Mungkin kau sudah mendengar rumor tentang keluargaku? .. Ya, benar. Aku putra dari Tuan Richard Jung, pemilik perusahaan ter-elite Korea, Korean Contruction Engineering atau yang lebih dikenal dengan KCE .. "
"O--" Aku membuka mulut lebar-lebar tanpa mampu memberi komentar terhadap ceritanya.
Sampai Music melanjutkannya kembali. "Namun berlainan dengan gosip-gosip yang beredar bahwa aku merupakan pewaris tunggal dari keluarga Jung, .. itu tidak benar!" Dia tersenyum kecut. "Aku masih mempunyai seorang adik, putra dari istri resmi dari abojiku .. "
"Oh--" Tanpa sadar, aku menutup mulut dengan tangan. Kurasa, tanpa perlu dibeberkan lebih lanjut, aku sudah bisa menebak kearah mana pembicaraannya.
"Ya, aku putra tidak resmi dari ayahku!" Seperti mengerti jalan pikiranku, Music mengangguk. "Meskipun aku putra sulung, tetap saja kedudukanku dalam keluarga sangat sulit .. ," lanjutnya dengan nada pelan.
"Mi .. miane ... ," ujarku menyesal. "Kayaknya aku telah menyinggung sesuatu yang tidak mengenakan .. "
Music menghela nafas sambil mengangkat bahunya. "Bukan salahmu. Seharusnya aku menceritakan ini setelah peresmian hubungan kita. Mian karna telat .. "
Aku tersenyum dan berusaha menghiburnya. "Lupakanlah .. ," kataku sambil menepuk pundaknya.
"Tidak apa!" ucap Music agak keras. Wajahnya ditekuk seperti mengambil tekad bulat. "Aku tidak akan menyerah. Suatu saat, mereka akan mengakui keberadaanku .. "
"Ne!" Aku meninju lengannya pelan. "Itu baru Music namanya!"
"Yes!" Music mengiyakan dengan mengayun tinjunya yang terkepal. Sebentar kemudian tawa kami pecah.
Lalu kami menuju ke kasir. Setelah membayar barang-barang yang dibeli, kami keluar dari supermarket menuju ke tempat parkir. Kami menaruh barang-barang ke dalam bagasi dan mengambil posisi masing-masing di dalam mobil. Music menghidupkan mesin, lalu melajukan mobil tersebut ke jalan desa.
"Berry .. ," mulai Music tanpa menoleh padaku.
"Ne?" Aku berpaling padanya setelah melayangkan pandangan ke luar jendela dalam jangka waktu yang cukup lama.
"Aku pulang sehari sebelum liburan sekolah ... "
"Dhe?" Mataku melebar. "Weeyo?"
"Ada urusan sedikit .. ," sahut Music pendek.
"O--" Aku membuka mulut dan mengangguk pelan, tanpa berusaha bertanya lebih lanjut. Kemudian pandanganku kembali kualihkan ke luar jendela. Sebentar lagi mobil ini akan memasuki area perkebunan strawberry.
"Boleh aku menanyakan sesuatu?" tanya Music tiba-tiba, mengusik kebisuan di antara kami.
Kembali aku berpaling. "Dhe?"
"Hubunganmu .. dan Wine .. " Music mengantung pertanyaannya.
"Ya?" tanyaku tak mengerti.
"Se .. seperti apa?" lanjut Music ragu-ragu. "Bukan bermaksud apa-apa!" selorohnya cepat, seakan takut aku salah paham. "Hanya saja-- ... tadi, di kantin sekolah, aku melihatmu menolongnya ... "
"Maksudmu?" tanyaku kembali--masih tidak mengerti dengan pertanyaannya.
"Me ... nolong .. Wine .. ," sambung Music perlahan-lahan.
"O--itu .. " Aku tertawa riuh.
"Mwo?"
Aku berdeham pelan dan berusaha mengatur diri. Setelah kegelianku agak reda, aku menghadap ke Music. "Masalah Wine dan Pear bermula dariku .. ," jelasku sambil menunjuk diri. "Aku yang semula mencomblangkan mereka .. jadi kurasa--sudah sepantasnya aku ikut berpartisipasi dalam menyelesaikan permasalahan mereka ..... "
"Bukan pribadi yang ingin menolong Wine?" selidik Music.
"Omo--" Aku tertawa sumbang. "Tentu anhi!! Wine tidak sepenting itu .. "
Music balas menatapku lekat-lekat, seakan ingin mendapat kepastian dari perkataanku. Sejenak kami terdiam, sampai dia menyadari kalau sedang menyetir. Secara perlahan mobil yang dikendarainya dihentikan di gerbang masuk perkebunan.
"Ok--terimakasih buat semuanya .. " Music tersenyum.
Aku mengangguk dan melepas sabuk pengaman yang melingkari tubuhku. "Kuharap kau segera kembali .. "
"Tentu." kata Music. "Dan aku akan sangat merindukanmu .. "
Dan seperti yang sudah-sudah, dia mencondongkan badan ke depan, berusaha mencuri kecupan dari bibirku. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa hari ini bukan hari keberuntungannya karna aku segera mengelak, tanpa kusadari apa yang terjadi.
"Gagal lagi?" Music tersenyum hambar.
"O--miane .. ," ujarku penuh penyesalan.
"Sepertinya kau belum siap jua?"
"Miane .. ," desisku sekali lagi.
"Ok--" Music mengangkat bahunya. "Pulanglah. Ini sudah malam .. "
Aku mengangguk. Setelah membuka pintu, aku keluar dari mobil. Memberi ucapan perpisahan terakhir padanya, kemudian melangkah masuk ke dalam perkebunan, tanpa berpaling lagi.
******
Hari itu sudah agak sore .. dan situasi di sekitar mulai sepi. Wine bersiul-siul menyusuri jalan sempit yang diapit rumput-rumput liar dan pohon-pohon rapat ketika sayup-sayup sebuah pembicaraan memasuki telinganya. Langkahnya terhenti, begitu juga ranting kering yang sejak tadi dikibas-kibaskannya ke semak-semak. Kepalanya miring ke samping, lalu perlahan-lahan dia mengeser posisi. Ditajamkannya pandangan ke depan. Sepertinya pembicaraan itu berasal dari pinggir kali yang tidak kelihatan dari tempatnya berdiri sekarang, .. karena tertutupi beberapa batang pohon lebat. Wine berjalan mendekat, .... salah satu suara itu menarik perhatiannya, di antara kumandang suara yang lain.
Perlahan Wine menyibak daun lebar dari batang pohon yang menutupi pandangannya, dan terlihatlah sosok Music yang sedang berdiri berhadapan dengan seorang asing.
"Strawberry's field?!" tanya Music agak keras.
Pria asing berbadan langsing dan kurus di depannya mengangguk. "Ne!"
"Tapi kenapa secepat itu sampai ke ladang strawberry?" seru Music lebih lanjut. "Bagaimana dengan penduduk lain?"
"Tidak masalah ... ," jawab pria itu. "Lebih dari separuh penduduk sini sudah menandatangani penjualan tanahnya pada kita. Sedangkan sisanya lagi sedang mempertimbangkannya. Namun kurasa tidak ada hambatan yang berarti. Harga yang kita tawarkan cukup mengiurkan bagi mereka .. "
Wine perlahan-lahan mengepalkan jemarinya, sehingga urat-urat tangannya tersembul semua. Gerahamnya merapat dengan pandangan tak berkedip tertuju pada dua orang di depan. Jadi ini jawaban dibalik misteri yang terjadi di Dream High selama ini?--Alasan para penduduk, yang sebagian besar merupakan para pekerja wine's field, meninggalkan tanah yang menghidupi mereka dan keluarga sejak dari dulu?
"Tapi--meskipun begitu, kenapa harus strawberry's field dulu?" terdengar Music terus memberondong dengan pertanyaannya. "Bukankah wine's field jauh lebih luas dan berpengaruh dari strawberry's field di tanah ini?"
"Karna ini perintah tuan besar ... , " sahut pria kurus itu dengan nada ditekan.
"Perintah appa?" Music mendesis.
"Ya." jawab pria itu lagi.
"Tapi kenapa?"
"Karena tuan berencana mematahkan pertahanan wine's field!"
"Dhe?"
"Jika strawberry's field JUGA jatuh ke tangan kita maka tidak ada lagi alasan atau landasan bagi keluarga tua pemilik anggur itu buat bertahan di sini ... Semuanya sudah pindah, jadi apa lagi yang bisa mereka diharapkan?"
"Tapi ... ," Music berujar pelan, berusaha membantah kembali.
Tapi orang itu segera mengangkat tangannya. "Lakukan saja perintah tuan besar, doronim. Jangan lupa, keberhasilan proyek ini akan membawa dampak positif bagi anda, dan bukankah--doronim sendiri yang sudah menjanjikannya pada tuan besar? .. "
Music tak mampu menjawab. Pria di depannya terlihat menghela nafas dan menepuk lengannya. Setelah membungkuk pendek pria itu memutar badan dan mulai melangkahkan kakinya.
"Tuan Moon ... ," panggil Music, menghentikan langkah orang itu.
Wine memicingkan matanya. Ternyata pria ini yang bernama tuan Moon!
"Saya perlu waktu ... ," lanjut Music sangat pelan dan hanya berhasil ditangkap samar-samar oleh Wine.
Tuan Moon terlihat mengangguk. "Baik. Akan kulanjutkan pada tuan besar. Tapi jangan lama-lama. Setelah kepulangan ke sini, doronim harus sudah mengambil keputusan!"
"Ne. Saya tahu ... "
Sekali lagi Tuan Moon membungkukan badannya, setelah itu beranjak dari situ.
Wine menghembuskan nafas keras-keras. Sepeninggal Tuan Moon, dia bergerak mendekati Music yang masih berdiri kaku menatap air kali, dengan langkah lebar dan pandangan lekat. Tangan Wine terkepal erat.
"Music Jung!!" teriaknya.
Music menoleh dan, matanya melebar perlaha-lahan. Begitu terkejut mendapati kehadiran Wine di situ. "Wine .. ," desisnya lirih.
"Kau cowok berengsek!!!!"
Bukk!!! Belum sadar dari keterkejutan, kepalan Wine sudah mendarat di wajahnya. Cowok yang tidak menyadari serangan tiba-tiba itu tersungkur ke tanah.
"Akh--!!" Music memegang pipinya yang terasa nyeri. Sambil meringis, diusap kemudian dihapusnya darah segar yang menetes dari sudut bibirnya.
"Jadi ini maksud kedatanganmu ke Dream High?" tanya Wine geram. Ditatapnya Music tajam-tajam, membuat pemuda yang masih tergeletak di tanah itu tak berkutik. Dan tanpa memberi kesempatan padanya untuk menjawab, Wine mendengus kemudian memutar tubuhnya.
"Wine, tunggu!!" Agak sempoyongan Music merangkak bangun dari posisinya. Disambarnya tangan Wine yang saat itu masih terkepal erat.
"Jangan menyentuhku, berengsek!!" Wine menepis tangan Music dengan kasar.
"Saya mohon .. ," ujar Music dengan nada agak meratap. "Jangan .. jangan beritahu Berry. Dia .. dia tidak tahu apa-apa tentang masalah ini. Saya ... saya akan mencari kesempatan untuk .. memberitahunya ... , jadi saya mohon .. ," lalu dia kembali menyentuh tangan Wine. "Wine .. "
Wine mengatupkan gerahamnya kemudian berbalik menghadapi Music. Telapak tangan Music yang masih menempel di pergelangan tangannya ditekannya sampai terlepas, sementara sepasang matanya menatap tajam pemuda itu. Tangan Wine terangkat dan menarik kerah baju Music untuk kemudian dihempaskannya sampai tertekan dan terjepit di batang sebuah pohon.
"Kau kira aku sudah gila apa?!!" bentak Wine sengit. "Apa arti Strawberry's field bagi Strawberry, aku lebih tahu dari kau! Ladang itu segalanya buat Strawberry. Kehilangannya, sama saja kehilangan segalanya .. " Masih dengan mata menyala-nyala akibat luapan api amarah yang membakar hatinya, Wine melepas cengkramannya pada kerah baju Music kemudian memutar tubuh. Dia melanjutkan perkataan tadi sambil melangkah. " .. bila kuketahui kau melakukan sesuatu yang berlebihan, akan kupatahkan batang lehermu!!"
"Kenapa?" Mendadak Music berteriak. "Kau menyukainya? Apa kau menyukai Berry?"
Langkah Wine terhenti, terhenyak begitu saja. Pertanyaan Music menghentaknya. Kenapa? Dia tidak tahu. Oleh karena itu dia hanya bisa berucap dengan nada dingin, "Kau gila!" sambil melanjutkan langkahnya tanpa berpaling kembali pada Music.
Music memejamkan mata perlahan-lahan, lalu menyandarkan punggungnya ke batang pohon yang berada di belakangnya. Dia mendesah pelan, .. bekas tamparan Wine tadi masih meninggalkan rasa nyeri tapi tidak sebanding dengan perasaannya saat ini. Dia menyadari sesuatu, ... hubungannya dengan Strawberry berada di ujung tanduk, bukan hanya misi yang bakal menghancurkan Dream High penyebabnya namun terlebih .. perasaan gadis itu yang samar-samar diyakininya, bukan padanya.
*****
Aku bergerak sedikit dari posisi semula, dengan cara mengerakan pundak ku yang terasa pegal .. entah kenapa--perasaanku jagi tidak enak, seperti ada sepasang mata yang terus mengamatiku sejak tadi. Dengan gerakan slow motion, aku berpaling ke belakang. Kulihat Pear sedang menatapku tanpa berkedip.
"Mwo?" tanyaku pelan.
Pear tidak menjawab. Perlahan sahabat ku itu mengalihkan pandangan keluar jendela, tidak mengubris ku.
"Eh--Pear!"
Bersamaan itu bel tanda pelajaran berakhir dibunyikan, sehingga perkataanku selanjutnya mesti ditelan. Aku mengalihkan perhatian ke depan. Jo Sonsaengnim mengucapkan pesan-pesan terakhir, bahwa liburan sudah tiba esok harinya, dan semoga kami dapat menghabiskannya buat hal-hal yang bermanfaat .. dan tentu saja yang lebih penting dan kolot dari seorang sonsaengnim--diharapkan kami tidak lupa belajar dan mengerjakan PR lol.
Kasak kusuk terdengar ketika para murid mulai membereskan alat-alat tulis. Begitu juga keributan karna rencana-rencana besar mereka selama liburan panjang nanti. Aku kembali berpaling ke Pear, namun sebelum sempat mengeluarkan suara, dia sudah beranjak bangun dari kursi dan berjalan kearah pintu.
"Pear--tunggu!!" Aku segera menyambar buku-buku yang masih berantakan di atas meja dan menyusulnya. "Apa ada sesuatu yang terjadi padamu?"
"Tidak!" jawab Pear pendek.
"Tapi ... " Aku menyentuh pundaknya, tapi segera dikibaskan olehnya.
"Jangan menyentuhku!"
"Weeyo?" tanyaku heran, dengan sepasang mata dikejap-kejapkan--membentuk puppy eyes. Tidak biasanya Pear bersikap kasar begini, apalagi padaku. Pasti ada yang terjadi padanya!
"Sudah kubilang tidak ada .. ," ujar Pear setelah kami bertatapan selama hampir semenit.
"Tapi .. "
Pear segera mengangkat tangannya buat menghentikan perkataanku. Lalu kami kembali berpandangan dalam diam. Sampai dia menghela nafas dan mengeleng perlahan.
"Aku sungguh tidak mengerti, apa yang dilihat Wine dari mu ... ," ucapnya pelan, .. sangat pelan buat terdengar olehku.
"Dhe?"
"Tidak apa-apa .. ," elak Pear segera. Dia berbalik dan melangkah keluar. "Tidak perlu mengikutiku ... Sungguh--aku tidak apa-apa ... "
"Pear ... "
Panggilanku terputus ketika dua pasang tangan mendarat di pundak ku.
"Yo--ada apa?" tanya Apple seraya mengikuti arah pandangku.
"Kenapa dengan Pear?" Mango ikut menonggolkan kepalanya di sebelah kananku. "Kelihatannya terburu-buru sekali .. Sejak kemarin, dia terlihat aneh .. "
Aku mengangkat bahu. "Entahlah ... "
*****
Aku mengantar kepergian Music sore harinya. Setelah memasukan semua oleh-oleh yang dibelinya ke bagasi mobil, kami masuk dan mengambil posisi masing-masing. Music duduk di bangku kemudi, sedangkan aku di sebelahnya.
"Apa oleh-oleh yang kau beli sudah lebih dari cukup?" tanyaku agak khawatir.
"Ne. Tidak usah khawatir .. ," jawab Music seraya menjalankan mobilnya.
Beberapa saat kemudian kami tiba di gerbang masuk desa. Music turun dan membukakan pintu untuk ku.
"Kau ini aneh .. ," Dia tertawa. "Berkeras mengantarku, lantas .. bagaimana caramu pulang?" lanjutnya sambil mengeleng-gelengkan kepala.
Aku menjejalkan kaki ke tanah, kemudian berjalan keluar. "Kau tidak perlu memusingkanku. Jarak gerbang ini dari ladang strawberry tidak terlampau jauh. Saya bisa pulang jalan kaki .. "
"Kau serius?" Music menutup pintu di sebelahnya dan menatapku.
"Ne!" Aku mengangguk yakin. "Pergilah," ujarku sambil mengibaskan tangan bergaya mengusirnya. "Aku akan menunggu di sini sampai mobilmu hilang dari pandangan .. "
"Hmm--baiklah .. " Akhirnya Music menyetujui keputusanku setelah pertentangan yang cukup lama.
Dia mendekatiku, dan tiba-tiba memeluk ku. Mataku melebar. Perlakuannya ini agak mengejutkan ku. Dengan risih, aku berdeham pelan. Tapi sepertinya Music tidak terpengaruh oleh kegugupanku. Dia terus saja memeluk ku erat-erat.
"Aku akan merindukanmu .. ," bisiknya halus di telingaku.
Sumpah, entah kenapa aku jadi merinding mendengarnya. Dengan kikuk, kulepas rangkulannya dari tubuhku. Aku terkekeh sengau buat membuang kerisihan yang ada.
"Sudah waktunya kau pergi .. Akan sangat larut tiba di Seoul kalau kau masih terus-terusan tidak rela melepas ku ... "
"Aku sungguh tidak rela melepasmu!" tukas Music, membuat mataku terbelalak.
"Ehh--"
"Karna aku mencintaimu ... ," ucap Music dengan sinar mata redup. Tubuhnya dicondongkan ke depan dan bermaksud menciumku. Tapi dengan reflek aku menghindarinya. "Hanya ciuman perpisahan, tidak boleh kah?" tanyanya dengan nada memohon.
Aku membalas tatapannya, dan terbersit sedikit rasa kasihan terhadap rautnya yang memelas dan meratap. "Miane ... " Namun tetap saja kata penolakan halus itu yang keluar dari bibir ku.
"Kapan kau akan memberikannya?" tanya Music kemudian.
Aku mengangkat bahu sambil menghela nafas berat. "Aku tidak tahu .. Mianeyo ... "
"Ok. Baiklah .. " Akhirnya Music menyerah setelah melihat rautku yang 'sungguh tidak ingin'. Dia menempelkan telapak tangannya ke bagian belakang kepalaku dan menarik ke arahnya. Ciuman di kening yang dapat diberikannya padaku. "Kuharap hari itu segera datang .. "
Aku mengangguk. "Sekali lagi, mianeyo. Aku belum siap .. "
"Ya, aku mengerti .. " Music berusaha memberikan senyumannya. Kemudian dia membuka pintu bagian kemudi dan menjatuhkan tubuhnya ke dalam. "Aku akan segera kembali. Jaga dirimu baik-baik .. ," ujarnya sambil melambaikan tangannya.
Aku mengangguk dan ikut melambaikan tangan padanya. Sesaat kemudian Music menghidupkan mesin dan sebentar saja mobil itu sudah berlalu dari hadapanku. Aku mengikuti kepergian Music sampai mobilnya menghilang di antara pepohonan lebat yang banyak tumbuh di sekitar situ.
*****
Aku menyusuri jalan tanah sampai memasuki ladang strawberry. Langkahku terhenti begitu mendekati pagar pembatas pemisah ladangku dan ladang anggur sebelah. Tiba-tiba aku pingin manjat ke atasnya. Setelah sekian lama--setelah kebersamaanku dengan Music, aku sudah tidak melakukan kebiasaan ini lagi. Yang terakhir, aku melakukannya ketika diantar pulang si geblek Wine. Dan itu juga bukan pengalaman yang menyenangkan. Tubuhku sampai menimpa tubuhnya sehingga didampratnya habis-habisan, .. padahal saat itu aku sama sekali tidak minta bantuannya. Si geblek itu aja yang sok tahu dan langsung main nyamber aja huh--. Mengingat itu, aku jadi dongkol setengah mati.
Kupegang pagar yang terbuat dari rajutan rotan tebal itu, lalu memanjat naik sampai berada di atasnya, yang cukup kuat buat menampung berat badanku. Kujatuhkan tubuhku di sana, lalu melayangkan pandangan ke depan--ke ladang anggur yang perlahan-lahan sudah terselimut kabut senja.
Aku mengernyitkan alis dan menajamkan pandangan ke arah pinggir kali yang airnya beriak-riak kecil. Samar-samar kulihat sosok seseorang berjongkok di situ. Bentuk tubuhnya yang jangkung panjang sedang mengais-gais sesuatu dengan ranting di tangannya. Aku mengenali sosok itu, karena dia begitu familiar. Siapa lagi kalau bukan si geblek Wine.
"Wine!!" teriak ku sambil mengerak-gerakan tangan ke atas. "Ngapain di situ?"
Wine kelihatan terperanjat kaget. Mungkin tidak menyangka ada seseorang yang akan menyapanya di hari sesore dan tempat sesunyi ini. Posturnya jadi kaku. Perlahan dia bangkit berdiri dan berbalik menghadapiku. Rautnya terlihat sebal. Dia mendelik.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu!! Ngapain kau di situ?! Pingin meloncat ke sini?!" tanyanya berang.
"Cih--" Aku mencibir. Cowok ini selalu mengesalkan dengan sikapnya yang sok berkuasa. Semula aku tidak berkeinginan memasuki ladang anggurnya, tapi begitu mendengar tantangannya barusan--entah kenapa terbersit keinginan untuk mengodanya. Segera saja aku menegakan badan, mengambil ancang-ancang, kemudian ... tap, kakiku mendarat di tanahnya.
"Yaa--" Wine segera mengacungkan ranting di tangannya dan mengerak-gerakannya ke arahku. "Jangan mendekat!!" serunya dengan tatapan mengancam.
Kembali aku mencibir. Kusepak rumput-rumput liar yang mulai memanjang di bawah kakiku.
"Mau apa kau?!!" Suara Wine mengaung lagi.
Aku mendongak, lalu mengangkat pundak tak acuh. Jarak kami cukup jauh sehingga aku dapat dengan seenaknya menjatuhkan diri di atas rumput, tanpa khawatir 'diserang' olehnya.
"Yaa--berdiri dari situ!!" larang Wine sambil mendekatiku.
Sekarang gantian aku yang tidak habis pikir--siapa yang mendekati siapa sekarang?
"Untuk apa kemari? Sudah sore--pulang gih!!" ujar Wine dengan gaya mengusir.
Aku tidak memperdulikannya. Perlahan kututup sepasang mata ini, dan menghirup udara dalam-dalam. Samar-samar tercium olehku aroma rumput musim panas yang teramat kental. Sebentar lagi musim panen akan tiba.
"Yaishh--kau tuli ya?" Kudengar Wine membentak sehingga mau tidak mau kubuka mata kembali.
"Mwo?" tanyaku cuek.
"Pulang!" Wine mengibaskan ranting di tangannya.
"Nggak mau!" tukasku masa bodoh.
"Yaishh--!!!" Wine menyepak tanah. "Kau keras kepala!"
"Biarin!" Kembali aku memejamkan mata.
Sesaat kemudian keheningan menyelimuti kami. Tidak ada suara yang terdengar kecuali riak-riak air kali dan kicauan burung yang makin samar. Begitu juga desauan angin yang menerbangkan daun-daun kering ke udara.
Aku membuka mata perlahan dan melihat Wine menatapku lekat. Tidak mengerti apa yang dipikirkannya namun tindakannya itu menimbulkan kerisihanku. Aku bergerak bangun dari tanah sambil berdeham kecil.
"Ke mana Music?" tanya Wine dengan tampang serius.
"Emm--kembali ke Seoul ... ," ujarku tanpa berani memandangnya. Mengapa? Jujur saja aku juga tidak tahu. Tatapannya itu menimbulkan suatu .. suatu perasaan aneh dalam hatiku. Sebuah desiran halus yang tidak kumengerti apa itu.
"Kau tidak ikut dengannya?" tanya Wine lebih lanjut.
"Tidak!" sahutku sambil bangkit berdiri. Kukibaskan seragamku yang sudah agak kotor oleh tanah dan rumput. "Aku pulang .. ," sambungku seraya memutar tubuh menjauhinya.
Aku berjalan ke arah pagar pembatas, walaupun sedang memungunginya, kurasakan sorot mata itu terus mengikutiku. Sebelum memanjat ke atas, kusempatkan berpaling ke belakang. Benar saja, Wine sedang menatapku lekat-lekat.
"Mwo?" tanyaku dengan posisi bergantung di tengah pagar.
"Bagaimana sikap Music padamu?" tanya Wine.
Alisku berkenyit. Apa maksud dari pertanyaan ini?
"Baik .. ," jawabku. "Memangnya kenapa?"
Selama beberapa saat kami saling berpandangan, dengan posisi aku membelakanginya. Dan ini membuatku tidak betah. Pergelangan tangan dan kakiku sudah terasa pegal karena terlalu lama bergantungan di atas pagar.
Kulihat Wine mengangkat pundaknya. "Tidak apa .. " Lalu pemuda geblek itu memutar tubuh dan berjalan menjauhiku.
Gubrak! Mataku melebar--bagaimana mungkin dia membiarkanku bergantungan sekian lama lalu meninggalkanku begitu saja? Terbuat dari apa pemuda sableng itu?
"WINEEEE!!! KAU GILAAAAA!!!!" jeritku sampai kerongkonganku terasa kering. "PABOOOO!!!
**********************
[color=#339933]
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Strawberry, Lovers or Haters?--Chapter Eight
[quote="DragonFlower"]
Strawberry, Lovers or Haters?-
CHAPTER EIGHT
By Lovelyn Ian Wong
Permulaan Panen ..........
Wine mengeliat malas di atas ranjangnya. Matanya .., yang sudah terbuka separuh, ditutupnya kembali, .. kemudian dia berbalik menghadap dinding dan meraih guling dari sudut ranjang--memeluknya erat-erat. Sebentar saja alam mimpi sudah merasuki pikirannya kembali, ketika tiba-tiba sebuah tepukan keras mendarat di antara punggung dan pundaknya.
"Bangun anak malas!!!"
Wine terperanjat .. kaget, .. mulutnya mengangga. Perlahan dipicingkan matanya, menatap lurus ke depan. Antara sadar dan tidak, dia menyahut kesal.
"Menganggu saja! Pergi!!" kemudian tubuhnya dihempaskan kembali ke ranjang. Namun, belum jua punggungnya menyentuh kasur, jeweran di telinga mengagetkannya.
"Wei, anak kurang ajar!! Begini caranya bicara pada orangtua?!!" tegur sebuah suara yang sangat dikenalnya.
Wine melebarkan mata secara perlahan-lahan, .. dan dia terbelalak--seutuhnya, sadar sekarang.
"Omma, appa?!!" sapanya gelagapan.
"Sudah sadar?" tanya Nyonya So dengan mata disipitkan.
Wine menghembuskan nafas kuat-kuat, untuk selanjutnya menyahut cuek, ... sehabis melihat waktu yang tercetak di jam dinding. Masih terlalu pagi untuk bangun .. , desisnya dalam hati.
"Ada apa?" tanya Wine sambil berusaha menjatuhkan diri di atas ranjang, LAGI?
"Bangun sekarang!!" paksa Nyonya So, seraya menarik Wine yang sudah hampir terhempas di kasur.
"Yaa--" protes Wine. Kepalanya diangkat menatap ommanya. "Mwo? Ini masih sangat pagi .. "
"Jangan banyak tanya!!" Nyonya So menyambar selimut yang menyelimuti Wine sampai tersingkap, kemudian melemparnya ke sudut ranjang. "Bangun dan cuci mukamu! Sehabis sarapan, jemput Stro ke ladang!"
"MWO?!!" Bagai kesambar petir di siang bolong, Wine meloncat bangun dari ranjang. "Kenapa mesti dijemput?!! Dia bukan pincang kan?!!" teriaknya kesal.
Nyonya So terlihat berdecak. "Karena paman dan bibi Im-mu, pagi-pagi sekali sudah berangkat ke kota, dan Stro sendirian di rumah .. "
"Lalu?" tanya Wine sambil mengerutkan alisnya.
"Dia memerlukan seseorang untuk menjemputnya ke ladang .. ," sahut Nyonya So. "Paman dan bibi Im khawatir kalau membiarkan Stro pergi sendirian, .. karna itu mereka meminta kita untuk menjemputnya .. "
"Kenapa mesti aku?" tanya Wine kesal. "Omma dan appa bisa melakukannya sendiri kan?"
"Tidak bisa!!" Kali ini Tuan So yang menjawab. Pria paruh baya yang sedari tadi menyandar di lemari itu menghampiri Wine. "Omma dan appa bersiap keluar sekarang!"
"Keluar?" Wine mengeryitkan alisnya. "Kemana?" tanyanya seketika. "Bukannya panen dimulai hari ini? Apa appa dan omma tidak ikut ke ladang?"
"Tidak!" jawab Tuan So. "Omma dan appa harus ke pabrik hari ini. Ada yang mesti dikerjakan sehubungan dengan produksi wine terbaru. Kami tidak akan kembali sebelum matahari terbenam, .. karena itu kau harus menjemput Stro, araso?"
"Ogah!"
Wine menghempaskan punggungnya dengan posisi mengantung di sisi ranjang. Matanya terpejam, ... namun tarikan di lengan memaksanya membuka mata kembali.
"Yaa--"
"Jika kau tidak mendengarkan kata-kata omma, kau akan merasakan akibatnya!" Nyonya So menatap putranya itu dengan pandangan mengancam.
"Mwo?" balas Wine cuek.
"Mulai hari ini uang jajanmu dipotong!" Tuan So mewakili istrinya menyahut. "Begitu juga gaji buat panen nanti, beserta teman-temanmu--semuanya dikurangi!"
"MWOOO?!!!"
Wine sadar tidak bisa berlagak cuek lagi. Orangtuanya sudah mengeluarkan jurus paling ampuh, yaitu memotong semua pendapatannya, .. bahkan yang dihasilkannya dari jerih payah dan keringatnya sendiri.
Dengan malas pemuda jangkung berkulit rada gelap itu beranjak bangun dari pembaringannya, lalu berjalan ke arah pintu.
"Omma dan appa jangan mengingkari janji!" tukasnya begitu sampai di ambang pintu. "Aku akan menjemput Strawberry, dan memastikan dia tiba dengan selamat di ladang!" lanjutnya sambil meleletkan lidah.
Nyonya So segera mengangkat tangannya yang ditekuk berbentuk jitakan dan mengarahkannya dengan tatapan mengancam ke arah Wine. "Awas jika kau macam-macam!!" seru wanita itu.
Wine tertawa ngakak dan segera ngeloyor pergi sebelum ommanya benar-benar melakukan ancamannya.
"Dasar, anak bebal!!" gerutu Nyonya So.
Perhatiannya teralih begitu suaminya menyentuh lengannya. "Biarkan dia, Yeobo! Ada masalah yang lebih penting dari itu!"
"O Ya!!" Nyonya So segera menepuk jidatnya, .. seakan hal yang teramat penting itu sempat terlupakan olehnya. Segera saja dia mengoyang-goyangkan lengan suaminya, tidak sabar. "Ayo segera hubungi Tuan dan Nyonya Im, dan meminta mereka supaya segera keluar dari rumah sebelum Wine sampai!"
"Iya, saya tahu .. ," ujar Tuan So seraya berlari dengan cara mengendap-ngendap, karna takut ketahuan Wine yang sedang berada di kamar mandi, menuju ruang depan, di mana telepon terletak. Istrinya, dengan setia mengekor dari belakang.
"Cepat, yeobo!!" desak Nyonya So.
"Ne , Ne, .. ," sahut pria itu sembari meraih gagang telepon dan menghubungi nomor yang dimaksud. Sebentar saja terjadi perembukan antar orangtua, yang mengharapkan masa depan yang cerah buat anak-anaknya.
******
"Stro-a .. "
Sapaan pelan memasuki telingaku, .. begitu juga lenganku, ditepuk seseorang. Perlahan-lahan kupicingkan mata, dan melihat omma sudah duduk di sisi ranjang--di sebelahku. Dengan pikiran yang masih melayang di awang-awang, aku tersenyum.
"Omma dan appa keluar dulu ... ," kata omma. "Ingat, jangan ke ladang sendirian, .. nanti ada orang yang bakal menjemputmu ke sana .. Apa kau dengar omma?"
Aku kembali tersenyum dan mengangguk, walaupun perkataannya tertangkap sangat samar. Aku tidak yakin telah mendengarnya.
"Jam wekernya omma taruh di sini. Kalau berbunyi, kau harus segera bangun dan sarapan. Ingat, jangan bermalas-malasan lagi. Orang yang akan menjemputmu, akan segera datang--araso?"
Aku mengangguk dengan sepasang mata dipejamkan perlahan-lahan. "Ne ... "
******
Tubuhku baru saja dijatuhkan ke kursi ruang makan ketika sebuah suara menyapa dari belakang.
"Agashi, Tuan muda So sudah tiba ... "
"Tuan muda So?" Aku berpaling. "Siapa Tuan muda So?"
"Tuan muda Wine So .. ," jawab pelayan tua yang sudah lama bekerja pada kami.
"Wine?" Sendok ku yang hampir mencapai mulut, terhenti. "Buat apa dia kemari?" tanyaku heran.
"Katanya, atas permintaan Tuan dan Nyonya buat menjemput agashi ke ladang .. ," sahut si pelayan.
Prang! Sendok di tangan ku jatuh dan menampar piring. Isinya tumpah dan berjipratan ke mana-mana.
"Aish!!" Aku mendengus kesal, sembari mengibas-ngibaskan celana panjangku yang jadi kotor.
"Belum siap jua?"
Pertanyaan dingin itu membuatku mengangga, .. segera saja aku berpaling. Tampangku jadi kecut, .. si geblek Wine sudah berdiri di ambang pintu. Dia menatapku tajam-tajam, .. tapi tidak terlihat inisiatifnya memasuki ruang makan.
"Mwo?" Aku mendelik.
"Mau sampai kapan sarapannya?" tanya Wine sambil menyandar ke daun pintu.
"Apa urusanmu?!!" teriak ku.
"Aku sudah berjanji pada omma dan appa, begitu juga orangtuamu untuk mengantarmu ke ladang .. "
"Tidak perlu!!" Dengan kesal aku menyambar sendok yang tergolek di piring dan mulai melahap sarapanku.
"Sudah kubilang--Aku sudah berjanji!!" tukas Wine.
Aku mencibir lalu, ... tanpa memperdulikannya lagi, aku meneruskan acara makanku.
"Cepatlah sedikit!!" seru Wine ngotot.
Prang! Dengan kesal kuhempaskan sendok ke piring. "Bisa tidak, kau tidak mendesak ku begitu?!!" bentak ku. "Satu hal lagi, di sini ada kursi dan kau tidak diskor--jadi duduklah! Capek kalau harus bicara sambil dongak-dongak begini!"
Bukannya menuruti perintahku, si Wine malah memalingkan wajah ke arah lain. "Tidak perlu!" sahutnya dingin.
Bibirku mengerucut. Aku serasa virus mematikan kalau berhadapan dengannya ><
*****
Aku berjalan sambil menghentak-hentakan kaki mengikuti Wine melintasi ladang strawberry. Jarak kami agak jauh karena si geblek itu berjalan dengan langkah lebar-lebar yang sulit kuikuti.
Aku bersungut-sungut. Apa dia tidak menyadari kakinya terlalu panjang, dan langkahnya juga terlalu cepat untuk diikuti? Dengan kesal kusepak timbunan kerikil kecil yang banyak terdapat di sepanjang jalan tanah itu, sampai salah satunya terpental dan .. mengenai mata kaki Wine.
“Akh!!” jerit cowok itu sambil menghentikan langkahnya. Dia meloncat-loncat di tempat sembari memegangi kakinya dan berbalik. “Strawberryyy!!!”
Aku mengangga, .. tidak menyangka hal ini yang akan terjadi. Segera saja kututup mulut dengan tangan. “Upss!! Mian!” Aku memasang tampang menyesal.
Wine mengangkat tangannya dan mendengus. “Awas kalau lakukan lagi!!!” ancamnya dengan pelototan yang seolah berkata ‘Aku akan mencekikmu jika lakukan lagi’. “Mau iseng, benturkan saja kepalamu ke pohon!” lanjut Wine seenak perutnya, .. tidak berperikemanusiaan!
Aku menurunkan tangan yang membekap mulut dan bersiap membantahnya, tapi seperti mengetahui apa yang kupikirkan, Wine memutar tubuh dan meneruskan langkahnya kembali.
“Yaa!!” Aku berteriak, namun cowok geblek itu tidak mengubrisku.
Aku meniup nafas kuat-kuat, .. membiarkan poniku terbang berantakan, .. hatiku dongkol setengah mati. Memang sih aku yang salah dengan kelakuan tadi, tapi dia tidak perlu kan menyarankan aku membenturkan kepala ke pohon seperti itu? Huh—
Aku melonjak-lonjak kesal, .. dan kembali menyepak kerikil berukuran cukup besar yang ada tepat di bawah kakiku. Mataku terbelalak. Kerikil itu melayang-layang, berputar-putar di udara dan, .. jatuh di belakang Wine. Beberapa senti saja hampir mencium bokong pemuda itu.
Aku yang sedari tadi menahan nafas sambil mengikuti arah gerak kerikil itu, menghembuskan nafas keras-keras. Untung saja tidak mengenal si geblek itu, .. jika tidak, dia pasti akan membunuhku—sekarang juga. Di sini—di ladang strawberryku sendiri!
Aku mengangkat wajah dan melihat punggung Wine semakin samar dari pandangan. Jaraknya semakin jauh meninggalkanku, .. Aku memanjangkan bibir, dan tanpa daya—terpaksa mengejarnya.
“Yaa—tunggu!!!”
*****
Aku hampir menabrak Wine yang tiba-tiba menghentikan langkahnya di gerbang masuk ladang anggur, yang dihubungkan langsung dari gerbang luar ladang strawberry.
“Weeyo?” tanyaku sambil menyusut ke samping dan melihat apa yang menarik perhatiannya.
“Wee?!!” tanya Wine pada orang-orang di depan, tanpa memperdulikanku? Aku dianggap mati olehnya =.=, yang ternyata sahabat karibnya, Chocolate dan Coffee, beserta .. Mango dan Apple? Alisku berkerut, .. Kenapa mereka bisa berada di sini?
“Kenapa pagi sekali?” Pertanyaan lebih lanjut dari Wine menyadarkanku dari lamunan. Kutatap Mango dan Apple penuh tanda tanya.
“Whoa—“ Chocolate tertawa lalu melingkarkan tangannya ke pundak Wine, seraya melirik Coffee. “Kami kan pekerja setia. Bukan begitu, Coff?”
“Ne!” Coffee balas menyengir lebar. “Kami digaji, jadi tidak boleh terlambat .. ,” lanjutnya sok bijak.
Raut Wine berubah merah padam. “Tapi kenapa bawa serta mereka?” tanyanya dengan mata melotot dan nada menegur.
“Weeyo?” tanya Chocolate. “Apa salahnya? Bukankah kau memerlukan tenaga kerja yang banyak?"
Chocolate dan Coffee saling melempar pandang, .. sesaat mereka tidak bersuara lalu, .. tawa mereka pecah begitu saja.
"Kau ini aneh!" ujar Coffee geli. "Bukannya lebih asyik ditemani cewek daripada cuma segerombolan cowok? Lagipula, Stro juga datang bersamamu." Coffee melirik ku dengan senyum mengoda.
Chocolate mengiyakan dengan mengangguk-anggukan kepalanya.
"I .. itu .. " Wine terlihat serba salah ketika menatapku, ... namun sesaat kemudian dibuangnya jauh-jauh perasaan itu. "Yaaa!!!" deliknya sengit.
"Take it easy, man!" goda Coffee beberapa saat kemudian. Matanya dikedipkan, .. mencoba menenangkan Wine.
Begitu juga Chocolate yang segera menepuk-nepuk pundak Wine. "Kami akan patuh. Sepatuh-patuhnya. Kayak anak kecil yang patuh pada orangtua, ok?"
Wine masih memperlihatkan kedongkolannya ketika menepis tangan Chocolate. "Awas jika berbuat yang tidak senonoh di ladangku!!"
"Contohnya?" ujar Chocolate cepat.
Coffee dan Chocolate sudah tidak mampu menahan ketawanya lagi begitu melihat tampang Wine yang memucat seketika. Alhasil, mereka terpingkal-pingkal sambil memegangi perut.
"Kau .. kau lucu sekali .. ha .. ha .. ," kata Chocolate sambil menuding Wine.
"Yang .. yang kau maksud .. tidak senonoh itu ... , ciuman ya?" Coffee menekan perutnya yang terasa kejang akibat terlalu banyak tertawa. "Ha .. ha .. ha .. "
"Yaish!!" teriak Wine. Diayunkan kepalan tangannya ke udara dan bergegas-gegas meninggalkan Chocolate dan Coffee yang masih terpingkal-pingkal di tempatnya.
Kedua sahabat itu saling merangkul buat meredakan tawa mereka, .. lalu menyusul Wine yang sudah masuk ke dalam ladang.
Dahiku berkenyit. Adegan dari tiga cowok tadi membuatku keheranan. Namun kemudian, aku disadarkan akan kenyataan yang lebih mengherankan lagi. Segera saja aku berpaling pada Mango dan Apple.
"Kenapa kalian sampai bersama Double C?"
"Double C?" Mango dan Apple saling melempar pandang tidak mengerti. Lalu beralih padaku. "Maksudmu?"
"Chocolate dan Coffee!" sahutku kesal.
"O--" Keduanya membuka mulut. Namun tanpa berinisiatif menjawab pertanyaanku, dua cewek centil itu memutar tubuh, dan berjalan masuk ke ladang. Menyusul tiga cowok yang sudah masuk duluan.
"Yaa!!!"
Mereka sahabatku? Aku jadi ingin tahu, benarkah mereka sahabatku? Kenapa sikap mereka seperti itu?
*****
"Hoy!! Kalian belum jawab pertanyaanku!!"
Aku menegur Mango dan Apple yang sedang asyik memetik anggur.
"Mwo?" tanya mereka bersamaan, .. cuek dan seakan tidak tahu apa-apa.
"Kenapa kalian bisa kemari dengan cowok-cowok itu?" tanyaku sambil menunjuk Chocolate dan Coffee yang sedang berjongkok di tanah. Sedangkan Wine, tampak sedang berbincang-bincang serius dengan kepala kebun.
"O--" Seperti tadi, mereka membuka mulut lagi, .. tapi tetap tidak mengatakan apa-apa.
"Jadi?" tanyaku dongkol.
"Sudah jelas kan?" sahut Mango.
"Jelas apa?" balasku polos.
Mango dan Apple menghentikan kesibukannya. Dan mendadak, mereka memutar tubuh secara berbarengan, menghadap kearahku.
"Mwo?" tukasku cepat.
"Dengar, Stro!" Apple menyentuh pundak ku.
"Eh?!"
"Begini!" Mango berdeham pelan, .. sehingga aku segera berpaling padanya. "Kami pacaran!" lanjut Mango ringan.
"Hahh?!!" Aku membuka mata lebar-lebar.
"Ne!!" Mango memastikan.
"Kami pacaran!" sambung Apple, .. mempertegas jawaban Mango barusan.
"Kalian .. " Aku menunjuk mereka satu persatu, .. tidak tahu harus berkata apa.
"Ne!" Apple mengangguk. "Aku dan Chocolate, .. sedangkan Mango dan Coffee .. "
"Ta ... tapi, .. se .. sejak kapan?" tanyaku linglung.
"Terjadi begitu saja .. ," jawab Apple enteng.
"Eh?"
"Maksudku, kami tidak merencanakannya. Semua terjadi begitu saja ... "
Melihat aku masih memperhatikan mereka dengan ekspresi tidak mengerti, .. Apple terpaksa melanjutkan perkataannya.
"Mango sudah bersama Coffee sejak dua minggu yang lalu. Aku memergoki mereka sedang bermesraan di taman sekolah, dan tidak sengaja .. si Chocolate juga melintas di situ .. maka kami, .. ya--langsung jadi deh .. "
"Eh?" Aku tahu aku makin terlihat bego. Aku sungguh-sungguh tidak mampu menangkap inti dari penerangannya.
"Anak muda, kau tahu?" ungkap Apple capek.
Aku mengeleng. "Anhi .. "
"Artinya, .. kami langsung merasa cocok dan memutuskan untuk bersama, araso?"
Kembali aku mengeleng. Tapi aku tidak ingin memberi kesempatan padanya untuk menjelaskan lebih lanjut, .. karna percuma, .. aku tetap tidak akan mengerti. Sejak dulu, hubungan para anggota F3 lain dengan para cowok, tidak kupahami.
"Kemana Pear?" Aku membelokan pembicaraan ke arah lain.
"Pear?" Mango dan Apple saling menatap.
"Ne!" Aku mengangguk. "Apa dia masih marah padaku?"
"Marah? Memangnya kenapa?" tanya Mango.
Aku mengangkat bahu. "Tidak tahu. Hanya tebakanku saja. Akhir-akhir ini dia sangat aneh, .. selalu menghindariku. Mungkin ada sesuatu yang membuatnya marah .. , dan mungkin itu aku .. "
"Kau terlalu banyak pikir!" tukas Apple seraya menepuk pundak ku. "Pear tidak marah padamu. Saya mengajaknya pagi ini, tapi dia tidak bisa. Katanya, halmonienya tidak enak badan .. "
"O--" Aku dapat bernafas lega mendengar penjelasan Apple.
"Jadi jangan dipikirin, araso?"
Aku tersenyum. "Ne .. "
*****
Bisikan-bisikan terdengar dari ruang kecil yang dipergunakan sebagai gudang penampung mesin tua itu.
"Ide ku tidak buruk kan?" terdengar Nyonya So bertanya.
"Iya .. ," sahut Nyonya Im sambil mengangkat jempolnya. "Sungguh brillian ... "
Nyonya So membusungkan dada bangga. Kemudian dia meraih tangan suaminya, dan berkata lebih pelan. "Semoga berhasil buat menyatukan mereka ya, yeobo?"
Tuan So mengangguk. "Tentu akan berhasil. Apalagi kau sudah mewanti-wanti Chocolate dan Coffee buat membantu rencana kita .. "
"Iya. Anak muda lebih tahu jurus-jurus praktis soal begituan .. ," nyeletuk Nyonya Im.
Lalu mereka tertawa cekikikan. Buat melancarkan hubungan Wine dan Strawberry, mereka merasa .. sekalipun harus mendekam sepanjang hari di ruang apek ini, .. sudah tidak berdampak apa-apa lagi. Kebahagiaan yang mereka rasakan begitu mengingat putra putri mereka dapat disatukan, lebih dari memenangkan undian besar manapun.
"Tapi akhir-akhir ini aku mendengar desas-desus yang tidak mengenakan ... ," ujar Nyonya So beberapa saat kemudian.
"Desas-desus?" Tuan Im mengeryit. "Apa itu?"
"Tentang Stro .. ," sahut Nyonya So pelan. Dia terlihat agak segan mengutarakan kabar yang didapatnya.
"Stro?" Nyonya Im segera menyentuh lengan Nyonya So. "Ada apa dengan Stro?"
Sunyi sejenak. Nyonya So menghela nafas sebelum melanjutkan perkataannya. "Kata kabar burung, .. Stro sudah punya pacar .. "
"MWO?" Nyonya dan Tuan Im terlonjak dari posisinya.
"Dapat dari mana kabar burung itu?!" tukas Tuan Im tidak senang. "Seenaknya saja .. "
"Iya!" Istrinya segera mendukungnya.
"Jadi, kabar itu tidak benar?" tanya Nyonya So dengan mata berbinar-binar.
"Tentu saja tidak benar!!" tukas Tuan Im cepat.
"Stro kami tidak mungkin pacaran tanpa beritahu kami," sambut Nyonya Im, yang segera di-iyakan suaminya.
"O--syukurlah .. " Nyonya So terlihat mengelus-ngelus dadanya. Wajahnya berseri-seri ketika melakukan perbuatan yang sama terhadap suaminya. Tanpa sadar, dielus-elusnya dada suaminya berkali-kali. "Tahu tidak, kabar ini membuatku tidak bisa tidur selama dua hari .. "
******
Matahari bergulir naik semakin tinggi, .. hari sudah beranjak siang waktu itu.
"Wine!!" Chocolate menepuk pundak Wine, .. menghentaknya sampai terlonjak kaget.
Seuntai anggur yang sedang dipegang Wine jatuh ke tanah. Pemuda itu berbalik dan mendelik kesal. "Mwo?!!"
Chocolate memasang tampang tidak berdosa dengan senyum lebarnya. Tiba-tiba dia meraih lengan Wine dan memutar tubuhnya menghadap ke samping.
"Lihat itu!!" perintah Chocolate sambil menunjuk ke depan.
Wine terbelalak lebar. Bagaimana tidak? Apa yang dilihatnya sungguh-sungguh mengejutkan. Coffee dan Mango tampak sedang berciuman di antara rimbunnya tanaman rambat, .. agak jauh di pojok ladang.
"A .. apa yang mereka lakukan .. ?" tanya Wine dengan suara bergetar. Kulit wajahnya yang rada gelap, segera memerah di sekitar pipi.
"Sudah jelas kan?" balas Chocolate dengan tampang dibuat sepolos mungkin.
"Gila!! Ini gila!!" Wine mengumpat-ngumpat sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. "Bagaimana mungkin mereka melakukannya di ladangku?!!"
"Kenapa tidak?" Chocolate memanjangkan lehernya dan menatap Wine.
"Sudah kuperingatkan untuk tidak berbuat sesuatu yang tidak senonoh di sini .. ," sahut Wine, tanpa berani membalas pandangan mengoda dari Chocolate.
"A la--mereka cuma ciuman kok!" sahut Chocolate ngasal.
"Mwo?!" Kali ini Wine berpaling dengan alis berkerut.
"Kau juga bisa seperti mereka .. ," balas Chocolate sambil nyengir lebar.
"Mwo?" tukas Wine tidak mengerti.
"Belajar dari mereka!" ulas Chocolate. Tiba-tiba dia mengangkat tangan, memberi isyarat pada seseorang yang berdiri agak di pojok sebatang pohon. "Apple, siap?!! SEKARANG!!"
Sebelum menyadari apa yang terjadi, Wine merasakan seseorang menyentuh punggungnya kemudian, .. mendorongnya keras-keras ke depan.
******
"Stro!!"
Aku yang sedang berkutat memetik anggur, berputar kepada Apple. "Mwo? .. "
Pertanyaanku belum keluar separuhnya ketika dia tiba-tiba mendorongku. Posisiku goyah. Aku terhuyung-huyung sehingga hampir ambruk kalau saja tidak tertahan oleh postur tinggi menjulang yang teramat kokoh. Telapak tanganku mendarat dan menekan di dada bidangnya.
Aku menjerit tertahan, ... kemudian segera mendongak buat melihat siapa yang kutabrak itu. Pandanganku langsung bertemu tatapan pekat seseorang. Sepasang mata tajam itu terbelalak lebar, .. kaget dan tidak tertafsirkan, .. sepasang mata itu milik, .. 'WINE'
"Ooo--!!!" Empat telunjuk mengarah pada kami. Chocolate, Coffee, Mango dan Apple berjalan mendekat sambil mengulum senyum, ...penuh arti ...
Strawberry, Lovers or Haters?-
CHAPTER EIGHT
By Lovelyn Ian Wong
Permulaan Panen ..........
Wine mengeliat malas di atas ranjangnya. Matanya .., yang sudah terbuka separuh, ditutupnya kembali, .. kemudian dia berbalik menghadap dinding dan meraih guling dari sudut ranjang--memeluknya erat-erat. Sebentar saja alam mimpi sudah merasuki pikirannya kembali, ketika tiba-tiba sebuah tepukan keras mendarat di antara punggung dan pundaknya.
"Bangun anak malas!!!"
Wine terperanjat .. kaget, .. mulutnya mengangga. Perlahan dipicingkan matanya, menatap lurus ke depan. Antara sadar dan tidak, dia menyahut kesal.
"Menganggu saja! Pergi!!" kemudian tubuhnya dihempaskan kembali ke ranjang. Namun, belum jua punggungnya menyentuh kasur, jeweran di telinga mengagetkannya.
"Wei, anak kurang ajar!! Begini caranya bicara pada orangtua?!!" tegur sebuah suara yang sangat dikenalnya.
Wine melebarkan mata secara perlahan-lahan, .. dan dia terbelalak--seutuhnya, sadar sekarang.
"Omma, appa?!!" sapanya gelagapan.
"Sudah sadar?" tanya Nyonya So dengan mata disipitkan.
Wine menghembuskan nafas kuat-kuat, untuk selanjutnya menyahut cuek, ... sehabis melihat waktu yang tercetak di jam dinding. Masih terlalu pagi untuk bangun .. , desisnya dalam hati.
"Ada apa?" tanya Wine sambil berusaha menjatuhkan diri di atas ranjang, LAGI?
"Bangun sekarang!!" paksa Nyonya So, seraya menarik Wine yang sudah hampir terhempas di kasur.
"Yaa--" protes Wine. Kepalanya diangkat menatap ommanya. "Mwo? Ini masih sangat pagi .. "
"Jangan banyak tanya!!" Nyonya So menyambar selimut yang menyelimuti Wine sampai tersingkap, kemudian melemparnya ke sudut ranjang. "Bangun dan cuci mukamu! Sehabis sarapan, jemput Stro ke ladang!"
"MWO?!!" Bagai kesambar petir di siang bolong, Wine meloncat bangun dari ranjang. "Kenapa mesti dijemput?!! Dia bukan pincang kan?!!" teriaknya kesal.
Nyonya So terlihat berdecak. "Karena paman dan bibi Im-mu, pagi-pagi sekali sudah berangkat ke kota, dan Stro sendirian di rumah .. "
"Lalu?" tanya Wine sambil mengerutkan alisnya.
"Dia memerlukan seseorang untuk menjemputnya ke ladang .. ," sahut Nyonya So. "Paman dan bibi Im khawatir kalau membiarkan Stro pergi sendirian, .. karna itu mereka meminta kita untuk menjemputnya .. "
"Kenapa mesti aku?" tanya Wine kesal. "Omma dan appa bisa melakukannya sendiri kan?"
"Tidak bisa!!" Kali ini Tuan So yang menjawab. Pria paruh baya yang sedari tadi menyandar di lemari itu menghampiri Wine. "Omma dan appa bersiap keluar sekarang!"
"Keluar?" Wine mengeryitkan alisnya. "Kemana?" tanyanya seketika. "Bukannya panen dimulai hari ini? Apa appa dan omma tidak ikut ke ladang?"
"Tidak!" jawab Tuan So. "Omma dan appa harus ke pabrik hari ini. Ada yang mesti dikerjakan sehubungan dengan produksi wine terbaru. Kami tidak akan kembali sebelum matahari terbenam, .. karena itu kau harus menjemput Stro, araso?"
"Ogah!"
Wine menghempaskan punggungnya dengan posisi mengantung di sisi ranjang. Matanya terpejam, ... namun tarikan di lengan memaksanya membuka mata kembali.
"Yaa--"
"Jika kau tidak mendengarkan kata-kata omma, kau akan merasakan akibatnya!" Nyonya So menatap putranya itu dengan pandangan mengancam.
"Mwo?" balas Wine cuek.
"Mulai hari ini uang jajanmu dipotong!" Tuan So mewakili istrinya menyahut. "Begitu juga gaji buat panen nanti, beserta teman-temanmu--semuanya dikurangi!"
"MWOOO?!!!"
Wine sadar tidak bisa berlagak cuek lagi. Orangtuanya sudah mengeluarkan jurus paling ampuh, yaitu memotong semua pendapatannya, .. bahkan yang dihasilkannya dari jerih payah dan keringatnya sendiri.
Dengan malas pemuda jangkung berkulit rada gelap itu beranjak bangun dari pembaringannya, lalu berjalan ke arah pintu.
"Omma dan appa jangan mengingkari janji!" tukasnya begitu sampai di ambang pintu. "Aku akan menjemput Strawberry, dan memastikan dia tiba dengan selamat di ladang!" lanjutnya sambil meleletkan lidah.
Nyonya So segera mengangkat tangannya yang ditekuk berbentuk jitakan dan mengarahkannya dengan tatapan mengancam ke arah Wine. "Awas jika kau macam-macam!!" seru wanita itu.
Wine tertawa ngakak dan segera ngeloyor pergi sebelum ommanya benar-benar melakukan ancamannya.
"Dasar, anak bebal!!" gerutu Nyonya So.
Perhatiannya teralih begitu suaminya menyentuh lengannya. "Biarkan dia, Yeobo! Ada masalah yang lebih penting dari itu!"
"O Ya!!" Nyonya So segera menepuk jidatnya, .. seakan hal yang teramat penting itu sempat terlupakan olehnya. Segera saja dia mengoyang-goyangkan lengan suaminya, tidak sabar. "Ayo segera hubungi Tuan dan Nyonya Im, dan meminta mereka supaya segera keluar dari rumah sebelum Wine sampai!"
"Iya, saya tahu .. ," ujar Tuan So seraya berlari dengan cara mengendap-ngendap, karna takut ketahuan Wine yang sedang berada di kamar mandi, menuju ruang depan, di mana telepon terletak. Istrinya, dengan setia mengekor dari belakang.
"Cepat, yeobo!!" desak Nyonya So.
"Ne , Ne, .. ," sahut pria itu sembari meraih gagang telepon dan menghubungi nomor yang dimaksud. Sebentar saja terjadi perembukan antar orangtua, yang mengharapkan masa depan yang cerah buat anak-anaknya.
******
"Stro-a .. "
Sapaan pelan memasuki telingaku, .. begitu juga lenganku, ditepuk seseorang. Perlahan-lahan kupicingkan mata, dan melihat omma sudah duduk di sisi ranjang--di sebelahku. Dengan pikiran yang masih melayang di awang-awang, aku tersenyum.
"Omma dan appa keluar dulu ... ," kata omma. "Ingat, jangan ke ladang sendirian, .. nanti ada orang yang bakal menjemputmu ke sana .. Apa kau dengar omma?"
Aku kembali tersenyum dan mengangguk, walaupun perkataannya tertangkap sangat samar. Aku tidak yakin telah mendengarnya.
"Jam wekernya omma taruh di sini. Kalau berbunyi, kau harus segera bangun dan sarapan. Ingat, jangan bermalas-malasan lagi. Orang yang akan menjemputmu, akan segera datang--araso?"
Aku mengangguk dengan sepasang mata dipejamkan perlahan-lahan. "Ne ... "
******
Tubuhku baru saja dijatuhkan ke kursi ruang makan ketika sebuah suara menyapa dari belakang.
"Agashi, Tuan muda So sudah tiba ... "
"Tuan muda So?" Aku berpaling. "Siapa Tuan muda So?"
"Tuan muda Wine So .. ," jawab pelayan tua yang sudah lama bekerja pada kami.
"Wine?" Sendok ku yang hampir mencapai mulut, terhenti. "Buat apa dia kemari?" tanyaku heran.
"Katanya, atas permintaan Tuan dan Nyonya buat menjemput agashi ke ladang .. ," sahut si pelayan.
Prang! Sendok di tangan ku jatuh dan menampar piring. Isinya tumpah dan berjipratan ke mana-mana.
"Aish!!" Aku mendengus kesal, sembari mengibas-ngibaskan celana panjangku yang jadi kotor.
"Belum siap jua?"
Pertanyaan dingin itu membuatku mengangga, .. segera saja aku berpaling. Tampangku jadi kecut, .. si geblek Wine sudah berdiri di ambang pintu. Dia menatapku tajam-tajam, .. tapi tidak terlihat inisiatifnya memasuki ruang makan.
"Mwo?" Aku mendelik.
"Mau sampai kapan sarapannya?" tanya Wine sambil menyandar ke daun pintu.
"Apa urusanmu?!!" teriak ku.
"Aku sudah berjanji pada omma dan appa, begitu juga orangtuamu untuk mengantarmu ke ladang .. "
"Tidak perlu!!" Dengan kesal aku menyambar sendok yang tergolek di piring dan mulai melahap sarapanku.
"Sudah kubilang--Aku sudah berjanji!!" tukas Wine.
Aku mencibir lalu, ... tanpa memperdulikannya lagi, aku meneruskan acara makanku.
"Cepatlah sedikit!!" seru Wine ngotot.
Prang! Dengan kesal kuhempaskan sendok ke piring. "Bisa tidak, kau tidak mendesak ku begitu?!!" bentak ku. "Satu hal lagi, di sini ada kursi dan kau tidak diskor--jadi duduklah! Capek kalau harus bicara sambil dongak-dongak begini!"
Bukannya menuruti perintahku, si Wine malah memalingkan wajah ke arah lain. "Tidak perlu!" sahutnya dingin.
Bibirku mengerucut. Aku serasa virus mematikan kalau berhadapan dengannya ><
*****
Aku berjalan sambil menghentak-hentakan kaki mengikuti Wine melintasi ladang strawberry. Jarak kami agak jauh karena si geblek itu berjalan dengan langkah lebar-lebar yang sulit kuikuti.
Aku bersungut-sungut. Apa dia tidak menyadari kakinya terlalu panjang, dan langkahnya juga terlalu cepat untuk diikuti? Dengan kesal kusepak timbunan kerikil kecil yang banyak terdapat di sepanjang jalan tanah itu, sampai salah satunya terpental dan .. mengenai mata kaki Wine.
“Akh!!” jerit cowok itu sambil menghentikan langkahnya. Dia meloncat-loncat di tempat sembari memegangi kakinya dan berbalik. “Strawberryyy!!!”
Aku mengangga, .. tidak menyangka hal ini yang akan terjadi. Segera saja kututup mulut dengan tangan. “Upss!! Mian!” Aku memasang tampang menyesal.
Wine mengangkat tangannya dan mendengus. “Awas kalau lakukan lagi!!!” ancamnya dengan pelototan yang seolah berkata ‘Aku akan mencekikmu jika lakukan lagi’. “Mau iseng, benturkan saja kepalamu ke pohon!” lanjut Wine seenak perutnya, .. tidak berperikemanusiaan!
Aku menurunkan tangan yang membekap mulut dan bersiap membantahnya, tapi seperti mengetahui apa yang kupikirkan, Wine memutar tubuh dan meneruskan langkahnya kembali.
“Yaa!!” Aku berteriak, namun cowok geblek itu tidak mengubrisku.
Aku meniup nafas kuat-kuat, .. membiarkan poniku terbang berantakan, .. hatiku dongkol setengah mati. Memang sih aku yang salah dengan kelakuan tadi, tapi dia tidak perlu kan menyarankan aku membenturkan kepala ke pohon seperti itu? Huh—
Aku melonjak-lonjak kesal, .. dan kembali menyepak kerikil berukuran cukup besar yang ada tepat di bawah kakiku. Mataku terbelalak. Kerikil itu melayang-layang, berputar-putar di udara dan, .. jatuh di belakang Wine. Beberapa senti saja hampir mencium bokong pemuda itu.
Aku yang sedari tadi menahan nafas sambil mengikuti arah gerak kerikil itu, menghembuskan nafas keras-keras. Untung saja tidak mengenal si geblek itu, .. jika tidak, dia pasti akan membunuhku—sekarang juga. Di sini—di ladang strawberryku sendiri!
Aku mengangkat wajah dan melihat punggung Wine semakin samar dari pandangan. Jaraknya semakin jauh meninggalkanku, .. Aku memanjangkan bibir, dan tanpa daya—terpaksa mengejarnya.
“Yaa—tunggu!!!”
*****
Aku hampir menabrak Wine yang tiba-tiba menghentikan langkahnya di gerbang masuk ladang anggur, yang dihubungkan langsung dari gerbang luar ladang strawberry.
“Weeyo?” tanyaku sambil menyusut ke samping dan melihat apa yang menarik perhatiannya.
“Wee?!!” tanya Wine pada orang-orang di depan, tanpa memperdulikanku? Aku dianggap mati olehnya =.=, yang ternyata sahabat karibnya, Chocolate dan Coffee, beserta .. Mango dan Apple? Alisku berkerut, .. Kenapa mereka bisa berada di sini?
“Kenapa pagi sekali?” Pertanyaan lebih lanjut dari Wine menyadarkanku dari lamunan. Kutatap Mango dan Apple penuh tanda tanya.
“Whoa—“ Chocolate tertawa lalu melingkarkan tangannya ke pundak Wine, seraya melirik Coffee. “Kami kan pekerja setia. Bukan begitu, Coff?”
“Ne!” Coffee balas menyengir lebar. “Kami digaji, jadi tidak boleh terlambat .. ,” lanjutnya sok bijak.
Raut Wine berubah merah padam. “Tapi kenapa bawa serta mereka?” tanyanya dengan mata melotot dan nada menegur.
“Weeyo?” tanya Chocolate. “Apa salahnya? Bukankah kau memerlukan tenaga kerja yang banyak?"
Chocolate dan Coffee saling melempar pandang, .. sesaat mereka tidak bersuara lalu, .. tawa mereka pecah begitu saja.
"Kau ini aneh!" ujar Coffee geli. "Bukannya lebih asyik ditemani cewek daripada cuma segerombolan cowok? Lagipula, Stro juga datang bersamamu." Coffee melirik ku dengan senyum mengoda.
Chocolate mengiyakan dengan mengangguk-anggukan kepalanya.
"I .. itu .. " Wine terlihat serba salah ketika menatapku, ... namun sesaat kemudian dibuangnya jauh-jauh perasaan itu. "Yaaa!!!" deliknya sengit.
"Take it easy, man!" goda Coffee beberapa saat kemudian. Matanya dikedipkan, .. mencoba menenangkan Wine.
Begitu juga Chocolate yang segera menepuk-nepuk pundak Wine. "Kami akan patuh. Sepatuh-patuhnya. Kayak anak kecil yang patuh pada orangtua, ok?"
Wine masih memperlihatkan kedongkolannya ketika menepis tangan Chocolate. "Awas jika berbuat yang tidak senonoh di ladangku!!"
"Contohnya?" ujar Chocolate cepat.
Coffee dan Chocolate sudah tidak mampu menahan ketawanya lagi begitu melihat tampang Wine yang memucat seketika. Alhasil, mereka terpingkal-pingkal sambil memegangi perut.
"Kau .. kau lucu sekali .. ha .. ha .. ," kata Chocolate sambil menuding Wine.
"Yang .. yang kau maksud .. tidak senonoh itu ... , ciuman ya?" Coffee menekan perutnya yang terasa kejang akibat terlalu banyak tertawa. "Ha .. ha .. ha .. "
"Yaish!!" teriak Wine. Diayunkan kepalan tangannya ke udara dan bergegas-gegas meninggalkan Chocolate dan Coffee yang masih terpingkal-pingkal di tempatnya.
Kedua sahabat itu saling merangkul buat meredakan tawa mereka, .. lalu menyusul Wine yang sudah masuk ke dalam ladang.
Dahiku berkenyit. Adegan dari tiga cowok tadi membuatku keheranan. Namun kemudian, aku disadarkan akan kenyataan yang lebih mengherankan lagi. Segera saja aku berpaling pada Mango dan Apple.
"Kenapa kalian sampai bersama Double C?"
"Double C?" Mango dan Apple saling melempar pandang tidak mengerti. Lalu beralih padaku. "Maksudmu?"
"Chocolate dan Coffee!" sahutku kesal.
"O--" Keduanya membuka mulut. Namun tanpa berinisiatif menjawab pertanyaanku, dua cewek centil itu memutar tubuh, dan berjalan masuk ke ladang. Menyusul tiga cowok yang sudah masuk duluan.
"Yaa!!!"
Mereka sahabatku? Aku jadi ingin tahu, benarkah mereka sahabatku? Kenapa sikap mereka seperti itu?
*****
"Hoy!! Kalian belum jawab pertanyaanku!!"
Aku menegur Mango dan Apple yang sedang asyik memetik anggur.
"Mwo?" tanya mereka bersamaan, .. cuek dan seakan tidak tahu apa-apa.
"Kenapa kalian bisa kemari dengan cowok-cowok itu?" tanyaku sambil menunjuk Chocolate dan Coffee yang sedang berjongkok di tanah. Sedangkan Wine, tampak sedang berbincang-bincang serius dengan kepala kebun.
"O--" Seperti tadi, mereka membuka mulut lagi, .. tapi tetap tidak mengatakan apa-apa.
"Jadi?" tanyaku dongkol.
"Sudah jelas kan?" sahut Mango.
"Jelas apa?" balasku polos.
Mango dan Apple menghentikan kesibukannya. Dan mendadak, mereka memutar tubuh secara berbarengan, menghadap kearahku.
"Mwo?" tukasku cepat.
"Dengar, Stro!" Apple menyentuh pundak ku.
"Eh?!"
"Begini!" Mango berdeham pelan, .. sehingga aku segera berpaling padanya. "Kami pacaran!" lanjut Mango ringan.
"Hahh?!!" Aku membuka mata lebar-lebar.
"Ne!!" Mango memastikan.
"Kami pacaran!" sambung Apple, .. mempertegas jawaban Mango barusan.
"Kalian .. " Aku menunjuk mereka satu persatu, .. tidak tahu harus berkata apa.
"Ne!" Apple mengangguk. "Aku dan Chocolate, .. sedangkan Mango dan Coffee .. "
"Ta ... tapi, .. se .. sejak kapan?" tanyaku linglung.
"Terjadi begitu saja .. ," jawab Apple enteng.
"Eh?"
"Maksudku, kami tidak merencanakannya. Semua terjadi begitu saja ... "
Melihat aku masih memperhatikan mereka dengan ekspresi tidak mengerti, .. Apple terpaksa melanjutkan perkataannya.
"Mango sudah bersama Coffee sejak dua minggu yang lalu. Aku memergoki mereka sedang bermesraan di taman sekolah, dan tidak sengaja .. si Chocolate juga melintas di situ .. maka kami, .. ya--langsung jadi deh .. "
"Eh?" Aku tahu aku makin terlihat bego. Aku sungguh-sungguh tidak mampu menangkap inti dari penerangannya.
"Anak muda, kau tahu?" ungkap Apple capek.
Aku mengeleng. "Anhi .. "
"Artinya, .. kami langsung merasa cocok dan memutuskan untuk bersama, araso?"
Kembali aku mengeleng. Tapi aku tidak ingin memberi kesempatan padanya untuk menjelaskan lebih lanjut, .. karna percuma, .. aku tetap tidak akan mengerti. Sejak dulu, hubungan para anggota F3 lain dengan para cowok, tidak kupahami.
"Kemana Pear?" Aku membelokan pembicaraan ke arah lain.
"Pear?" Mango dan Apple saling menatap.
"Ne!" Aku mengangguk. "Apa dia masih marah padaku?"
"Marah? Memangnya kenapa?" tanya Mango.
Aku mengangkat bahu. "Tidak tahu. Hanya tebakanku saja. Akhir-akhir ini dia sangat aneh, .. selalu menghindariku. Mungkin ada sesuatu yang membuatnya marah .. , dan mungkin itu aku .. "
"Kau terlalu banyak pikir!" tukas Apple seraya menepuk pundak ku. "Pear tidak marah padamu. Saya mengajaknya pagi ini, tapi dia tidak bisa. Katanya, halmonienya tidak enak badan .. "
"O--" Aku dapat bernafas lega mendengar penjelasan Apple.
"Jadi jangan dipikirin, araso?"
Aku tersenyum. "Ne .. "
*****
Bisikan-bisikan terdengar dari ruang kecil yang dipergunakan sebagai gudang penampung mesin tua itu.
"Ide ku tidak buruk kan?" terdengar Nyonya So bertanya.
"Iya .. ," sahut Nyonya Im sambil mengangkat jempolnya. "Sungguh brillian ... "
Nyonya So membusungkan dada bangga. Kemudian dia meraih tangan suaminya, dan berkata lebih pelan. "Semoga berhasil buat menyatukan mereka ya, yeobo?"
Tuan So mengangguk. "Tentu akan berhasil. Apalagi kau sudah mewanti-wanti Chocolate dan Coffee buat membantu rencana kita .. "
"Iya. Anak muda lebih tahu jurus-jurus praktis soal begituan .. ," nyeletuk Nyonya Im.
Lalu mereka tertawa cekikikan. Buat melancarkan hubungan Wine dan Strawberry, mereka merasa .. sekalipun harus mendekam sepanjang hari di ruang apek ini, .. sudah tidak berdampak apa-apa lagi. Kebahagiaan yang mereka rasakan begitu mengingat putra putri mereka dapat disatukan, lebih dari memenangkan undian besar manapun.
"Tapi akhir-akhir ini aku mendengar desas-desus yang tidak mengenakan ... ," ujar Nyonya So beberapa saat kemudian.
"Desas-desus?" Tuan Im mengeryit. "Apa itu?"
"Tentang Stro .. ," sahut Nyonya So pelan. Dia terlihat agak segan mengutarakan kabar yang didapatnya.
"Stro?" Nyonya Im segera menyentuh lengan Nyonya So. "Ada apa dengan Stro?"
Sunyi sejenak. Nyonya So menghela nafas sebelum melanjutkan perkataannya. "Kata kabar burung, .. Stro sudah punya pacar .. "
"MWO?" Nyonya dan Tuan Im terlonjak dari posisinya.
"Dapat dari mana kabar burung itu?!" tukas Tuan Im tidak senang. "Seenaknya saja .. "
"Iya!" Istrinya segera mendukungnya.
"Jadi, kabar itu tidak benar?" tanya Nyonya So dengan mata berbinar-binar.
"Tentu saja tidak benar!!" tukas Tuan Im cepat.
"Stro kami tidak mungkin pacaran tanpa beritahu kami," sambut Nyonya Im, yang segera di-iyakan suaminya.
"O--syukurlah .. " Nyonya So terlihat mengelus-ngelus dadanya. Wajahnya berseri-seri ketika melakukan perbuatan yang sama terhadap suaminya. Tanpa sadar, dielus-elusnya dada suaminya berkali-kali. "Tahu tidak, kabar ini membuatku tidak bisa tidur selama dua hari .. "
******
Matahari bergulir naik semakin tinggi, .. hari sudah beranjak siang waktu itu.
"Wine!!" Chocolate menepuk pundak Wine, .. menghentaknya sampai terlonjak kaget.
Seuntai anggur yang sedang dipegang Wine jatuh ke tanah. Pemuda itu berbalik dan mendelik kesal. "Mwo?!!"
Chocolate memasang tampang tidak berdosa dengan senyum lebarnya. Tiba-tiba dia meraih lengan Wine dan memutar tubuhnya menghadap ke samping.
"Lihat itu!!" perintah Chocolate sambil menunjuk ke depan.
Wine terbelalak lebar. Bagaimana tidak? Apa yang dilihatnya sungguh-sungguh mengejutkan. Coffee dan Mango tampak sedang berciuman di antara rimbunnya tanaman rambat, .. agak jauh di pojok ladang.
"A .. apa yang mereka lakukan .. ?" tanya Wine dengan suara bergetar. Kulit wajahnya yang rada gelap, segera memerah di sekitar pipi.
"Sudah jelas kan?" balas Chocolate dengan tampang dibuat sepolos mungkin.
"Gila!! Ini gila!!" Wine mengumpat-ngumpat sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. "Bagaimana mungkin mereka melakukannya di ladangku?!!"
"Kenapa tidak?" Chocolate memanjangkan lehernya dan menatap Wine.
"Sudah kuperingatkan untuk tidak berbuat sesuatu yang tidak senonoh di sini .. ," sahut Wine, tanpa berani membalas pandangan mengoda dari Chocolate.
"A la--mereka cuma ciuman kok!" sahut Chocolate ngasal.
"Mwo?!" Kali ini Wine berpaling dengan alis berkerut.
"Kau juga bisa seperti mereka .. ," balas Chocolate sambil nyengir lebar.
"Mwo?" tukas Wine tidak mengerti.
"Belajar dari mereka!" ulas Chocolate. Tiba-tiba dia mengangkat tangan, memberi isyarat pada seseorang yang berdiri agak di pojok sebatang pohon. "Apple, siap?!! SEKARANG!!"
Sebelum menyadari apa yang terjadi, Wine merasakan seseorang menyentuh punggungnya kemudian, .. mendorongnya keras-keras ke depan.
******
"Stro!!"
Aku yang sedang berkutat memetik anggur, berputar kepada Apple. "Mwo? .. "
Pertanyaanku belum keluar separuhnya ketika dia tiba-tiba mendorongku. Posisiku goyah. Aku terhuyung-huyung sehingga hampir ambruk kalau saja tidak tertahan oleh postur tinggi menjulang yang teramat kokoh. Telapak tanganku mendarat dan menekan di dada bidangnya.
Aku menjerit tertahan, ... kemudian segera mendongak buat melihat siapa yang kutabrak itu. Pandanganku langsung bertemu tatapan pekat seseorang. Sepasang mata tajam itu terbelalak lebar, .. kaget dan tidak tertafsirkan, .. sepasang mata itu milik, .. 'WINE'
"Ooo--!!!" Empat telunjuk mengarah pada kami. Chocolate, Coffee, Mango dan Apple berjalan mendekat sambil mengulum senyum, ...penuh arti ...
**********************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Strawberry, Lovers or Haters?--Chapter Nine
Strawberry, Lovers or Haters?-
CHAPTER NINE
By Lovelyn Ian Wong
-Pucuk dicinta UlamPUN tiba-
"Kalian nakal!!"
Teriakan lanjutan dari empat cecunguk di depan menghentak ku dan Wine.
Aku terperanjat kaget, .. begitu juga Wine. Mataku terbelalak, .. dengan segera kuturunkan tanganku yang menekan dadanya. Tapi ternyata gerakan itu tidak secepat reaksi Wine. Pemuda geblek bin sableng itu tiba-tiba mendorongku hingga hampir terjengkang.
Aku sangat terkejut. Dengan susah payah kujaga keseimbangan agar tidak sampai jatuh. Untung saja Apple yang sudah berada tepat di depanku segera menarik tubuhku sampai tegak berdiri kembali.
"Yaishh--Wine!!" Aku mendelik sengit.
Namun Wine terlihat cuek, .. atau lebih tepatnya risih? Risih?!! Kenapa harus risih? Pipinya memerah jambu, entah itu karena sengatan matahari yang mulai meninggi di atas langit, ataukah malu. Aku melihat dia menekan, lalu mengelus-ngelus dadanya, .. dan dari sepasang tangannya mulai tumbuh bintik-bintik merah yang sangat samar.
"Tadi kesempatan yang bagus, kenapa tidak dimanfaatkan?" Coffee mendorong Wine dengan pundaknya, .. sambil tersenyum mengoda.
"Kukira kalian sudah akan berciuman saja!" sambut si Chocolate sambil nyengir lebar.
Wine mendorong mereka dengan kesal. Tangannya terus mengaruk-garuk telapak tangannya yang sudah semakin merah, ... kemudian berpindah ke dadanya yang terbalut kaos ketat abu-abu. Aku tidak mengerti mengapa dia melakukan itu, sehingga bola mataku terus saja mengikuti gerak tangannya tersebut.
Wine menghentak tanah. Disepak-sepaknya rumput hijau pendek yang tumbuh di sepanjang ladang itu dengan tampang dongkol, setengah mati. Dia berbalik, kemudian dengan langkah lebar-lebar meninggalkan kami.
Aku memperhatikan kepergiannya dengan mulut mengangga. Bahkan untuk minta maaf buat perbuatannya yang hampir mencelakakanku itu saja, dia tidak?
"Gwencana?" Apple menepuk lenganku.
Aku menole, dan tersenyum kecut. "Ne .. " Paling tidak si apel ini masih berperasaan, .. tidak seperti Wine yang gebleknya selangittttttttttt!!!!
oooOOOooo
"Hoy--kenapa nggak dilanjutin tadi?" tanya Coffee sambil menyeimbangi langkah Wine.
"Mwo?!" Tatap Wine tajam.
"Kesempatan tadi--" ulang Coffee. "Seharusnya kau manfaatin! Seharusnya kau cium dia!"
"Apa kau sudah gila?!!"
Wine berputar dengan cepat sehingga Coffee dan Chocolate tidak sempat menahan langkahnya. Alhasil, ketiga cowok itu bertabrakan dengan posisi sebaris.
"Yaish!! Berbalik nggak bilang-bilang!!" umpat Coffee seraya mengelus-ngelus jidatnya yang memerah.
"Huh--" Chocolate ikut mengerutu akibat benturan tadi. Dadanya sukses bertabrakan dengan punggung Coffee. "Kau sama aja!!"
"Woi--itu bukan salahku!!" bela Coffee tak terima. "Kalau bukan si Wine yang berbalik tiba-tiba, aku tidak akan berhenti mendadak. Aku juga korban, tahu? Lihat--jidatku benjol-benjol begini!"
"Okay, okay!!" tukas Chocolate cepat. "Sekarang bukan saatnya berdebat. Masalah Wine lebih penting dari semua ini .. "
"Masalahku?" Alis Wine berkerut begitu namanya disebut.
Dia menatap Chocolate dan Coffee dengan heran, .. dan pandangannya itu--seperti menuntut jawaban, tajam dan tegas. Dia terlihat sangat tenang. Tabrakan tadi memang tidak membawa dampak yang berarti baginya, sehingga dia tidak seemosi Coffee dan Chocolate, yang hampir bertengkar karenanya.
Wine makin menajamkan pandangannya terhadap Chocolate dan Coffee, .. begitu belum jua didapatkan jawaban dari keduanya, sembari--tanpa sadar, jemarinya terus saja mengaruk-garuk tangannya yang sudah dipenuhi bintik-bintik merah darah. Dan, .. Chocolate dan Coffee berhasil menangkap gerakan-gerakan tersebut.
"Ada apa dengan tanganmu?"
Bukannya memberikan jawaban yang diinginkan Wine, Coffee malah mengajukan pertanyaannya.
"Bukan ... ," Chocolate menghentikan perkataannya, lalu menatap Coffee. Beberapa saat mereka tidak bersuara, sampai …
"STRO?!! Tebak dua cowok itu berbarengan.
Serentak, Chocolate dan Coffee berpaling pada Wine, .. seolah meminta jawaban yang terasa 'sangat tidak masuk akal' itu.
"Ne!!" sahut Wine jengkel. "Semua karna Strawberry!! Ada masalah?!!"
"Ya--ampun!!" teriak Chocolate dan Coffee sambil membelalakan mata. Dalam sekejap, tawa mereka pecah dengan riuhnya.
"Sampai segitunya--ha .. ha .. ha .." Chocolate tertawa sambil memegangi perutnya.
"Kau .. kau .. benar-benar .. " Coffee menampar-nampar pohon anggur yang tumbuh di sampingnya saking gelinya.
"Memangnya kenapa?!!" Wine berteriak garang. "Apa kemauanku--hah?!!"
"Ku .. kukira ... ," Chocolate menekan perutnya. "Kukira kau hanya bergurau, tapi ternyata ... ternyata kau alergi beneran ama Stro .. ha .. ha .. "
"Ini lebih gawat dari yang kami kira ... " Coffee terlihat berusaha menahan dirinya.
"Gawat?" tanya Wine. Ekspresinya berubah bingung. "Gawat apanya?"
"Orangtuamu meminta kami menyatukan kalian. Tapi rasanya .. rasanya mustahil ... mengingat penyakit anehmu itu .. "
"Sialan!" Wine mengumpat. "Kenapa para orangtua itu selalu cerewet terhadap hubungan anak-anak mereka?!!"
Sehabis mengatakan itu, Wine melangkahkan kakinya meninggalkan Chocolate dan Coffee yang masih terpingkal-pingkal di tempatnya.
"Hoy--Wine!!! Mau dengar rencana kami, tidak?!!" seru Chocolate.
"Tidak!!!" balas Wine tanpa berpaling.
Chocolate dan Coffee saling melirik, .. kemudian tawa mereka pecah kembali.
oooOOOooo
"Apa yang akan kau lakukan sehabis dari ladang?" tanya Mango sewaktu kami membereskan peralatan-peralatan yang digunakan buat panen anggur.
Hari sudah beranjak sore kala itu, ... dan tiga cowok di depan, juga terlihat sedang merapikan barang-barang di sekitar mereka.
"Langsung pulang ke rumah!" jawabku sekedarnya, .. sambil meluruskan badan dan menuang sisa-sisa anggur di keranjang ke karung besar yang tersandar di sebatang pohon.
"Yaa--jangan!" larang Apple dari samping.
Aku berpaling padanya. "Weeyo?"
"Lebih baik kita dinner bersama para cowok itu .. ," saran Apple sambil menunjuk Wine, Chocolate dan Coffee. "Bagaimana?" tanyanya sambil mengedipkan mata.
"Setuju!!" sambut Mango cepat. "Saya setuju sekali. Pasti sangat menyenangkan dan seru makan malam bersama mereka .. ," sambungnya dengan raut berseri-seri.
Tapi, aku punya pendapat lain. "Antwee!!" tolak ku mentah-mentah. "Enak di kalian, nggak enak di saya!! Kalian bisa dinner bareng pacar kalian, lalu saya ... ? Kenapa kalian tak memikirkan saya? Saya mau dikemanakan?! Memangnya mau dijadikan bohlam buat penerangan asmara kalian?!!--huhh-- Pokoknya, antwee!!!"
"Kau kan ada Wine!!" sergah Mango tiba-tiba. "Dia akan menemanimu sebagai bohlam penerang bagi kencan kami .. " Mango terbahak-bahak mendengar leluconnya sendiri.
Aku memajukan bibir beberapa senti (kalau bisa sepanjang itu sih wkk). "Tidak lucu!!" seruku bersungut-sungut. "Kalian kenapa sih?! Kayaknya niat banget menyatukan aku dan Wine ... " Aku yang selama ini cuek dan tidak mau tahu, tiba-tiba menyadari sesuatu. Begitu pertanyaan tadi diluncurkan, kemungkinan ini langsung bermain-main dalam pikiranku. "Kalian ... , apa kalian benar-benar mempunyai niat itu ... ?" selidik ku lebih jauh.
Mango dan Apple saling berpandangan, .. lalu mereka menyahut hampir berbarengan. Suara mereka terdengar sangat keras. "Tentu saja tidakkk!!!"
"Kami hanya merasa ... , seharusnya kau memberi kesempatan dirimu untuk mengenal Wine lebih jauh ... ," kata Mango.
"Benar. Dia tidak seburuk dugaanmu .. ," sambung Apple.
"Chocolate dan Coffee sudah menceritakan segalanya tentang dia pada kami, .. dan kami rasa tidak ada salahnya kau mencobanya .. " Mango menambahkan secara bertubi-tubi.
Aku mengangga. "Kalian bicara tentang Wine?" tanyaku tidak percaya. Sungguh aneh rasanya mendengar pembelaan keduanya terhadap Wine. "Jangan lupa, nona-nona--aku sedang berpacaran dengan Music!!" tukasku mengingatkan.
"Hey--apa masalahnya?" Apple mengangkat kedua tangannya.
"Kita-kita masih muda, nona .. ," sambung Mango. "Kita masih diberi banyak kesempatan untuk memilih .. "
"Lagipula, .. aku tidak percaya kau mencintai Music!" timpal Apple.
"Maksudmu?" tanyaku padanya dengan segera. Alisku berkenyit sangat dalam.
"Kalian belum pernah ciuman kan?" tukas Mango tiba-tiba.
"Mwo?!!" Aku tahu pipiku sudah memerah. Itu terlihat dari reaksi Mango dan Apple yang tertawa geli.
"Apa kataku!!" Mango menyenggol Apple.
Sedangkan yang disenggol, mengangguk-anggukan kepala sambil menutup mulut dengan tangan.
"Itu membuktikan kalau kau tidak mencintainya!" cerocos Mango lebih lanjut. "Mungkin saja kau tertarik padanya, .. tapi itu bukan cinta, sayang!" sambung sahabatku itu dengan gaya mengodanya.
"Siapa bilang?" Aku berkeras. "Aku mencintainya!!"
"No, no, sayang .. ," ujar Mango sembari mengerak-gerakan telunjuknya. "Itu bukan cinta namanya!"
"Benar!" Apple mengamini. "Kalau benar kau mencintainya, kenapa kau tidak mau dicium olehnya?" lanjut sahabatku itu, sambil mengulum senyumnya.
"Mwo?" Mataku melebar. Bagaimana mungkin dua cewek centil ini .. mengetahuinya? "I .. itu .. karena .. " Aku menjadi gugup dan salah tingkah, .. jawaban apa yang harus kuberikan pada mereka? "Bagaimana kalian tahu kalau aku .. aku yang tidak mau dicium olehnya, dan bukan dia yang tidak mau menciumku ... ?" dan akhirnya, karena kehilangan akal, kulancarkan serangan bertubi-tubi pada Mango dan Apple.
"Yang buta aja bisa melihatnya!" sahut Mango seenaknya.
"Maksudmu?" tanyaku tidak mengerti.
"Maksud Mango," timpal Apple. "Music lebih agresif darimu, jadi--walaupun orang buta sekalipun, dapat menebaknya, .. kalau kau yang tidak mau dicium olehnya, dan bukan sebaliknya .. "
"O--" Aku membuka mulut lebar-lebar. Tanpa sadar, aku mengangguk, .. seakan mengiyakan perkataan-perkataan mereka. Ternyata tebakan-tebakan dua cewek centil ini boleh juga, pujiku dalam hati. Tapi--tunggu dulu!!! Ini bukan poin!!
"Tapi, itu juga tidak membuktikan kalau aku tidak mencintainya!" seruku bersikeras.
"Ya--kalau itu, tanyakan aja pada dirimu sendiri .. ," sahut Mango akhirnya, terlihat capek, .. mungkin akibat terlalu lama berdebat denganku mengenai masalah ini.
"Cih--" Aku mencibir. "Kalian bisanya cuma mengatai ku, lalu .. bagaimana dengan kalian sendiri? Sejauh mana hubungan kalian dengan Double C?"
"Double C?" Untuk kedua kalinya setelah mendengar nama itu dari ku, Mango dan Apple saling berpandangan. "O--Chocolate and Coffee!!!" seru mereka setelah mengingat siapa yang dimaksud.
"Ne--Chocolate and Coffee!" sahutku mengiyakan.
"Kami tidak bilang hubungan ini serius .. ," ujar Mango datar.
"Ne. Kami juga masih punya kesempatan untuk memilih kan?" sambung Apple asal-asalan.
"MWO?!!" Mataku terbelalak. Beginikah seharusnya hubungan antara pria dan wanita? Datang dan pergi begitu saja, .. tanpa kepastian yang jelas? Pikirku tidak mengerti.
"Kami menikmati masa remaja sesuai arus ..," kata Mango sambil menyengir lebar. "Tanpa janji, ataupun peraturan yang mengikat .. "
"Namun, walaupun begitu, ... " Apple menatapku dengan lirikan mengoda. "Hubungan kami lebih jauh dari hubungan kalian. Kami sudah sering .. " Tiba-tiba cewek itu memanjangkan bibirnya, membentuk ciuman, kemudian .. muah, suara mendecak keluar dari mulutnya.
"Ih--" Aku segera meloncat ke belakang. Kutatap dia dengan ekspresi jijik bercampur shock berat. "Kau--" Kemudian aku mengeleng keras-keras. "Tidak!! Maksudku--kalian, .. sungguh-sungguh menjijikan!!"
Kuputar tubuh, dan berlalu dengan langkah panjang-panjang sambil diiringi cekikikan dari dua kuntilanak di belakang.
oooOOOooo
Sementara itu, .. pada waktu yang hampir bersamaan di tempat yang berseberangan dengan kejadian di atas ..
""Ciuman itu enak loh--," ucap Chocolate seraya ngelirik Wine.
"Enak palamu!" bentak wine. "Liur saling memberi, memuakan!" sambungnya sambil membuang muka.
"Hah--nggak percaya dia!" sergah chocolate seraya menyengol lengan coffee sambil menyunggingkan senyum mengoda.
"Jika kalian masih mengejek ku, akan ku usir kalian dari ladangku!" tukas Wine kemudian dengan tatapan mengancam.
"Yee--keluar ancamannya .. ," seloroh Chocolate sambil tertawa geli.
"Cukup!!!" teriak Wine. "Aku sudah tidak ingin mendengarnya lagi!!"
"Okay, okay--" Akhirnya Chocolate dan Coffee menyerah.
"Kami tidak akan mengejekmu lagi--" ujar Chocolate.
"Tapi, sungguh nih--tidak ingin dicoba?" tanya Coffee sambil memasang tampang serius.
"Mwo?" tanya Wine melongo.
"Maksudku--" Coffee mengigit bibirnya guna menahan tawa. "Tidak ingin mencoba bibir Stro? Ha ... ha .. "
Cowok itu segera meloncat ke belakang begitu Wine tiba-tiba melayangkan kepalan tangannya.
"Sialan kau!!" dengus Wine.
"Sebenarnya ide Coff tidak buruk--" Chocolate menimpal tiba-tiba. "Bibir Stro terlihat sangat merona--pasti asyik tuh buat disosor .... "
Bukk, gerakan menghindar dari Chocolate kalah cepat dari serangan Wine. Dorongan keras di dadanya membuat Chocolate terpental dan jatuh terduduk di atas tanah berumput.
"Awas kalau kau masih berani mengucapkan kata-kata seperti itu!!" berang Wine. "Sekali saja kau punya pikiran begitu--akan kupelintir lehermu!!" Mata Wine berkilat-kilat, kepalan tangannya tergenggam erat. Seluruh tubuhnya terlihat bergetar ketika meninggalkan Chocolate yang masih terduduk di tanah dan Coffee yang terpaku di tempatnya.
"Ada apa dengannya?" tanya Coffee seraya berpaling pada Chocolate. "Perkataan kita tidak keterlaluan kan?"
"Huh--" Chocolate mendengus sambil berusaha bangun dari posisinya dengan dibantu oleh Coffee. "Mana tahu! Salah minum obat kali!"
"Tapi saya tidak pernah melihatnya seberang itu!" tukas Coffee.
Chocolate mengangkat bahunya, "Mungkin Stro sudah membuatnya gila!"
Coffee mengiyakan dengan menganggukan kepalanya.
oooOOOooo
"Wine, ... bagaimana?" Desahan yang sangat halus membelai pendengaran Wine dalam jarak yang sangat dekat.
Mata Wine terbelalak. Dia mendongak dari posisi rebahan di atas kasur, dan .. , "WAHH--" Postur jangkung itu tersentak kaget, .. langsung beranjak bangun dan ngundur sampai menabrak dinding. "O .. omma .. ?" katanya tergagap-gagap. Matanya berkejap begitu menyadari siapa yang menyapanya barusan. Dengan nafas tersengal-sengal dihapusnya keringat dingin yang mengucur deras dari jidatnya dengan punggung tangan. "Wee .. weeyo?" tanyanya kemudian. Setelah agak tenang, dia pun berseru dengan jengkel. "Mengagetkan saja!!"
"Memangnya kenapa?" Nyonya So memasang tampang tak bersalah sembari menjatuhkan tubuhnya di pinggir ranjang.
"Omma masuk tidak bilang-bilang," ujar Wine sengit. "Terus, .. melangkah juga tidak bersuara. Habis itu, pakai manggil-manggil dengan suara yang dimirip-miripin dengan suara hantu,.. apa itu masih tidak masalah? … "
"Hey--Hey--!!!" Perkataan Wine belum mencapai akhir ketika jeweran mendarat di telinganya. Nyonya So menarik daun telinganya dengan cukup keras. "Siapa yang mirip hantu?" tanya wanita itu dengan mata mendelik. "Anak kurang ajar!!"
"Yaaa--Itu kan hanya perumpamaan!!" jerit Wine membela diri, .. seraya menepis tangan ommanya.
"Omma tidak mau dengar perumpamaan seperti itu!!" Nyonya So melarang sambil mengeraskan rahangnya. "Araso?"
"Ya, ne .. ," sahut Wine walaupun tidak begitu rela. "Lalu, .. apa maksud omma nyamperin aku?" tanyanya sambil mengelus-ngelus telinganya yang terasa ngilu. "Bukan sekedar menanyakan panen hari ini kan?" lanjutnya menyelidik.
"Anak pintar ... " Tiba-tiba tampang Nyonya So menjadi manis. Tangannya menyentuh batok kepala Wine, kemudian mengelusnya dengan sangat lembut. "Kau memang paling tahu perasaan omma, Wine sayang .. "
"A .. ada apa?" Wine segera memasang tampang ngeri. Tidak biasanya ommanya bersikap seperti ini.
"He--" Nyonya So nyenggir lebar. "Kau pasti sudah bisa menebaknya--" ujar wanita itu seraya mengangkat alisnya sebelah. "Stro .. "
"Yaa--" Wine segera memutus perkataan Nyonya So. "Tidak ada yang terjadi pada kami--jika itu yang ingin omma ketahui!!" tukasnya ketus.
"Weeyo?" Nyonya So memiringkan kepalanya. "Kenapa tidak terjadi apa-apa? Padahal omma sudah merencanakan segalanya .. "
"Karena hal itu tidak mungkin!!" Wine turun dari ranjang dan berjalan ke pintu yang sejak tadi dibiarkan terbuka. "Sekarang,--bisa omma meninggalkanku sendiri?" usirnya halus.
"Kenapa tidak mungkin?!" tanya ommanya bersikeras. Dia tetap duduk di posisinya, tanpa terlihat niat beranjak dari situ.
"Omma tahu sendiri alasannya .. ," balas Wine hambar.
"Bukan karna kau tidak tertarik padanya kan?" tanya Nyonya So lebih lanjut. Pandangannya menyusuri setiap sendi pori-pori wajah Wine, seakan meminta sebuah kepastian.
"Pokoknya--aku dan Strawberry tidak mungkin!" sahut Wine tegas, ... dan tidak seperti jawaban buat pertanyaan wanita itu.
"Berarti ada kesempatan?" Nyonya So mengelus-ngelus dagunya puas.
"Omma!" tukas Wine. "Please, .. aku ingin istirahat .. "
"Fine .. " Nyonya So beranjak dari ranjang, dan berjalan ke arah Wine. "Mimpi yang indah, anak ku .. " dicoleknya pipi Wine sambil lalu, untuk kemudian keluar dari kamar itu.
Wine memperhatikan kepergian ommanya dengan bibir diteguk. Kemudian, dihempaskannya pintu yang masih dipegangnya sampai menimbulkan suara berdebam keras.
oooOOOooo
“Stro .. “ Omma menonggolkan kepalanya ke dalam kamar begitu ada perintah dariku.
“Ya?” Aku memutar kursi dan menghadapinya. Kututup buku yang sedari tadi kutekuni dan mengesernya ke sudut meja. “Ada apa, omma?” Sebenarnya saat itu sudah sangat larut malam dan aku sudah mengantuk, tapi berhubung tidak biasanya omma menyambangi kamarku di malam selarut begini, maka .. aku membiarkannya saja.
“Omma tidak menganggu kan?” tanya omma sekedar basa-basi. Diliriknya sekilas buku yang tadi kuhadapi, untuk kemudian beralih kembali padaku. “Kau sedang sibuk?”
“Anhi!” Aku mengeleng. Kuluruskan sepasang kakiku kemudian beranjak bangun dari kursi. “Aku sudah bermaksud menyelesaikan kegiatan membaca ini, .. dan--AHHH—“ Aku menguap lebar. Dengan gontai, aku berjalan ke ranjang dan menghempaskan tubuhku di situ. “Aku ngantuk .. “
“Hmm—tunggu sebentar!” cegah omma begitu melihat sepasang mataku mulai meredup dan siap untuk dipejamkan. “Omma ingin bicara sebentar . .”
Aku memicingkan mata dengan susah payah. “Ne .. ?”
“Bagaimana acara panennya hari ini?” tanya omma, langsung ke pokok masalah.
Aku menghela nafas lalu menjawab pelan. “Baik .. “ Mataku terpejam perlahan-lahan.
“Hey—jangan tidur dulu!!”
Omma tiba-tiba menepuk pundak ku.
“Ehh—“ Aku tersentak. “Ya … ?”
“Bagaimana dengan Wine? Apa dia menjagamu dengan baik?”
Apa omma barusan bertanya tentang Wine? Pikiranku mulai menerawang. Aku merasa tidak yakin.
“Ya .. ,” Akhirnya aku menjawab, .. secara asal-asalan dan tidak tahu apa yang kulakukan.
“Bagus!”
Aku mendengar suara orang bertepuk tangan.
“Berarti—hubungan kalian sudah ada kemajuan?”
Hening.
“Stro!”
Tiba-tiba kurasakan guncangan di tubuhku.
“Ne .. ?” tanyaku lemah.
“Hubungan kalian ada kemajuan? Benar kan?”
Aku mengejapkan mata hampa, .. sungguh, tubuh dan pikiranku sudah di awang-awang.
“Ne … “ Aku menjawab lirih.
#gubrakkk
oooOOOooo
Aku berdecak-decak sambil menghembus-hembuskan nafas siang itu. Matahari sedang bersinar terik, sengatannya terasa membakar dan panas, .. tergantung tinggi di atas awan-awan biru. Aku mendongak kemudian meniup-niup berulangkali. Wajahku memerah dan terasa panas, apalagi bibirku--sudah mencapai tahap 'hampir membengkak'.
Semua karna kesalahan si Apple yang bertugas menyediakan makan siang bagi kami hari ini. Entah akibat keteledorannya atau kesengajaan, dia menambahkan terlalu banyak cabe dalam kimchie yang menjadi porsi makan siangku.
"A .. apple sialan, .. su .. sudah tahu aku tidak tahan pedas .. fuhh .. fuhh .. "
Aku meniup-niup kembali dan menghempaskan badan di atas tanah berumput.
Yang lebih tidak bisa dipercaya dari kecelakaan kecil ini, dia--si Apple berengsek, lupa menyediakan minuman bagiku. Sedangkan minuman-minuman mereka yang lunch bersama ku, termasuk si Apel sendiri, sudah dihabiskan begitu makanan-makanan mereka tandas.
"Si .. sial ... " Aku mengumpat dengan nafas tersengal-sengal. Bagaimana tidak? Rasa pedas ini sudah naik sampai ke kepala, .. membuat kepalaku terasa berat dan menekan-nekan hingga berdenyut-denyut, pandanganku berkunang-kunang dan, nafasku terasa sesak.
"Weeyo?"
Pertanyaan itu membuatku mendongak. Wine berdiri di situ, .. mengamatiku dengan pandangan tak berkedip.
"Apa yang terjadi padamu?" tanyanya lebih lanjut.
"A .. aku .. ," dengan susah payah aku berusaha menjawab, tapi suaraku tersangkut di tenggorokan. Setelah melakukannya berulangkali dan tidak berhasil, terpaksa aku membuka mulut dan menunjuk-nunjuk ke dalam rongga mulutku.
"Mwo?" tanya Wine bingung.
"Pe .. pedas ... ," akhirnya aku menjawab dengan suara yang sangat parau.
"Pedas?" Alis Wine berkeryit. Diamatinya sejenak rongga mulutku dalam jarak yang cukup jauh. Setelah menyadari apa yang kumaksud, dia berujar, "Kenapa tidak minum air?"
Aku mengeleng keras-keras, lalu memberi isyarat dengan tangan bahwa aku tidak punya minuman.
Dua menit berselang, si geblek ini baru menangkap maksudku. Dengan agak kaku, dia menyodorkan botol air mineral yang sedari tadi dipegangnya. Botol tersebut masih terisi setengahnya.
"Dhe?" Aku bertanya dengan suara yang sangat kering.
"Kau boleh minum minumanku ... ," jawab Wine kaku.
"Eh--?!!" Mataku melebar, .. dan segera bermaksud menolaknya, namun si geblek itu memaksa dengan menyorongkannya lebih maju kearah ku.
"Aku tidak berpenyakitan kok!" tukas Wine ketus.
"Eh--" Aku mengangga melihat Wine yang terlihat kesal. Padahal aku tidak bermaksud begitu, sungut ku dalam hati.
Dengan setengah hati kuterima botol yang disodorkan Wine, .. memutar penutupnya, lalu meneguk air dari dalam melalui bibir botol. Wine memperhatikanku selama sesaat, lalu berjalan mendekat dan menjatuhkan diri di sebelah ku.
Aku menghabiskan air dalam botol hanya dalam beberapa tegukan, setelah itu mengembalikan botol yang sudah kosong itu pada Wine. Wine menerimanya, untuk kemudian meletakannya di atas rumput. Sesaat pandangan kami bertemu. Aku membuka mulut dan menghembus-hembuskan nafas yang masih terasa panas dan pedas, .. sambil mengangkat tangan dan mengibas-ngibaskannya ke wajahku. Wine mengamatiku. Sebentar saja kebisuan meliputi kami.
Bibirku masih terbuka, dan gerakan tanganku masih berlanjut, namun perlahan tapi pasti, berubah jadi pelan dan lebih pelan.
"Wee .. ?" tanyaku tercekat. Selanjutnya, tidak ada lagi yang mampu kukatakan.
Wine terus menatapku lekat. Perlahan, pandangannya menurun ke bibirku. Sungguh, saat ini hatiku mulai berdegup kencang. Aku tidak mengerti perasaan apa yang mengayuti hatiku sekarang, namun .. aku berdebar-debar. Seperti mengharapkan sesuatu yang belum pernah kurasakan seumur hidup.
Tubuh Wine terlihat mengeser semakin dekat. Reaksinya sangat wajar, dan tatapannya masih melekat di bibirku, .. sehingga membuatku menutup mata perlahan-lahan. Mengapa? Sekali lagi, aku tidak tahu. Apa yang sebenarnya kuharapkan dari tindakan ini? Apa yang kutunggu?
Sampai kurasakan, sesuatu yang kenyal dan lembut menyentuh bibirku. Aku membuka mata dan, .. melihat wajah Wine menempel begitu dekat di wajahku. Bibirnya sedang mengapai bibirku saat ini, sedangkan sepasang matanya tertutup rapat. Badanku jadi kaku. Perlahan tapi pasti, aku melihat Wine membuka matanya. Dan .. mata kami saling menatap dalam jarak yang sangat dekat, ... pandangan yang redup itu--kenapa terlihat begitu menarik?
Aku membuka mulut bermaksud berkata-kata, tapi bintik-bintik merah yang mulai bermunculan dari wajah Wine membuatku membatalkannya. Aku menunjuk wajahnya, dan berkata gagap. "A .. ada apa? Wa .. wajahmu .. ?"
"Akh!!" Seperti disadarkan akan kenyataan ini, Wine tiba-tiba berteriak. Dia segera beranjak bangun dengan setengah merangkak, kemudian berlari dengan agak sempoyongan menuju gerbang keluar ladang anggur ini.
"DOKTER KWON!!!" Samar-samar masih kutangkap teriakannya yang membahana.
"Dokter Kwon?" Aku berdiri dari tanah berumput dan menatap arah menghilangnya Wine. "Ada apa dengan dokter Kwon?" ujarku seraya mengaruk-garuk kepala.
Aku masih kebigungan ketika tiba-tiba disadarkan oleh peristiwa barusan. Wine menciumku? Dan .. aku membiarkannya begitu saja? Mataku terbelalak. Mengapaaaaa?!!! Mengapaaaaa?!!!
“WEEYOOO?!!!” Teriak ku sambil menarik-narik rambut dan meloncat-loncat di tempat.
Beberapa saat kemudian, aku menyentuh bibir dengan linglung, … entah mengapa, masih sangat terasa sentuhan yang begitu lengket itu di bibirku … Hanya bibir yang saling menempel dalam waktu yang sangat singkat, .. tapi mengapa? Tanpa sadar, aku tersenyum samar.
Sampai ekspresi Wine begitu mengakhiri ciuman itu, terbayang kembali dalam pikiranku. Mataku membelalak. Aku menjadi marah. Tanganku terkepal secara perlahan-lahan, untuk kemudian kulayangkan ke udara kuat-kuat.
“Wine geblekkk!!! Siapa yang memintamu berlaku demikian?!!!! Apa maksud dari ekspresimu--Emangnya aku virus mematikan—hahh!!!!” teriak ku keras-keras, .. sampai beberapa pasang mata langsung melirik ku heran.
“Weeyo?!!!” Mango dan Apple saling berpandangan sambil memiringkan kepalanya. Mata mereka berkejap-kejap, tidak mengerti … Mungkin mereka menganggapku sudah gila ><
**********************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Strawberry, Lovers or Haters?--Chapter Ten
Strawberry, Lovers or Haters?-
CHAPTER TEN
By Lovelyn Ian Wong
-dokter Kwon........-
Wine uring-uringan di kamarnya. Berulangkali dia membalik tubuhnya, .. sebentar ke sebelah kanan, sebentar lagi ke sebelah kiri, begitu seterusnya sampai ke posisi tertelungkup di atas ranjang.
Kejadian tadi sore, … ketika entah setan apa menguasai pikirannya untuk melakukan perbuatan itu terhadap Strawberry, .. terputar silih berganti dalam otaknya laksana rol film yang seakan enggan berhenti.
“HUHH!!”
Wine menenggelamkan wajahnya dalam-dalam di atas bantal. Dia menahan nafas, .. berusaha membuang pikiran yang dianggapnya kotor dan sangat tidak pantas itu. Tapi bagaimanapun keras usahanya, kelihatannya sia-sia saja. Bayangan gadis berkulit putih mulus dengan pipi dan bibirnya yang merah merona itu sangat kuat, menari-nari di pelupuk matanya, .. seolah menguasai seluruh jiwa dan raganya.
“AHHH!!!” Wine berteriak sembari melempar bantal yang digenggamnya sampai jatuh mendarat di lantai.
Wine bangun ke posisi duduk. Saking stressnya, rambutnya yang tebal dan hitam pekat itu diacak-acaknya hingga berantakan. Sebagian dari untaian rambut yang cukup panjang itu menutupi wajahnya, .. membuatnya sudah seperti orang gila saja.
Wine menghembuskan nafas kuat-kuat ke udara. Dari posisi menengadah ke langit-langit kamar, tubuhnya dihempaskan di atas ranjang. Dia memejamkan mata. Dan perlahan tapi pasti, .. bayangan-bayangan itu kembali merasuki pikirannya. Kali ini, bahkan jauh lebih jelas dari beberapa saat lalu.
oooOOOooo
flash back …
Wine melintasi jalan desa dengan sangat cepat. Beberapa penghalang seperti, gundukan-gundukan kerikil, kubangan air dan lumpur yang becek, rumput-rumput pendek yang teramat tajam, dan pohon-pohon besar, dihindarinya dengan agak terhuyung-huyung. Kesepuluh jarinya tidak henti-hentinya mengaruk-garuk dan menekan-nekan tangan dan wajahnya yang sudah dipenuhi bintik-bintik merah darah, terutama bibirnya yang membengkak.
Beberapa penduduk desa yang kebetulan melewatinya, segera meliriknya keheranan.
“Wine, kenapa denganmu?”
“Omo—ada apa dengan bibirmu? Kenapa bengkak begitu?”
“Kau sakit, Wine?”
Begitulah kira-kira pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari bibir mereka. Wine tidak mengubris mereka. Dengan sempoyongan dia terus berlari sampai hampir mencapai ujung desa, di mana di sana berdiri sebuah rumah yang cukup besar, dengan dekorasi warna putih.
“DOKTER KWONNN!!!” Teriakan yang berulangkali terlontar dari mulutnya terdengar semakin sengit.
Wine sampai di teras depan rumah putih itu. Di depan pintu tercetak huruf yang cukup besar ‘Klinik Herbal dr. Kwon’. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, Wine langsung mendobrak pintu itu sampai terbuka lebar. Dan ini sudah merupakan kebiasaannya setiap kali mengunjungi dr. Kwon, karena dia sadar, pintu klinik dr. Kwon tidak pernah dikunci.
“Dokter Kwonnnn!!!”
Brakkk!! Baki berisi berbagai tanaman herbal yang sedang dipegang seorang pria kurus usia tengah abad terbang ke lantai. Wajah tirus itu pucat seketika, akibat kekagetan yang melandanya dengan tiba-tiba. Mata keriputnya terbelalak lebar, seakan melihat hantu di siang bolong. Tidak terkecuali anak kecil usia tujuh tahun yang menjadi pasiennya saat ini. Anak itu segera memeluk ibunya erat-erat.
“Wi .. wine .. ,” ucap pria tengah baya berjubah putih itu gugup.
“Dokter Kwonn!!” Wine segera meraih pundak dr. Kwon kuat-kuat, dengan nafas tersengal-sengal. “O .. obat penawar .. “
Mengabaikan permintaan Wine yang tidak santun, dokter malang itu mengibaskan tangan cowok itu dari pundaknya. Dia meringgis kesakitan dan menyadari bahwa urat otot lengannya yang sudah tua sedikit cedera akibat kelakuan anak muda itu.
“Apa ini sudah menjadi kebiasaanmu, Wine?” ngomel dr. Kwon.
Wine mengangkat alis tidak mengerti. Nafasnya masih tersengal-sengal hingga menerpa wajah dr. Kwon yang berdiri begitu dekat darinya.
“Kalau kau terus-terusan begini, suatu saat nanti kau akan kehilangan dokter satu-satunya yang mampu menyembuhkan penyakit anehmu .. ,” lanjut dokter itu dengan nada datar. “Saya bisa mati berdiri akibat serangan jantung mendadak .. “
Tidak diubrisnya lagi si Wine. Dengan cepat pria tengah baya itu berjongkok dan memunguti tanaman-tanaman herbal yang berserakan di lantai, untuk kemudian ditaruhnya di baki penampungnya yang selanjutnya diletakan di atas meja dan mulai menghadapi pasiennya tadi.
“Joon tidak apa-apa, Tae ahjuma. Dia hanya demam biasa. Nanti akan kurebus obat baginya, dan kau bisa mengambilnya sekitar dua jam lagi .. “
Tae ahjuma, ibu dari anak laki-laki bernama Joon, mengangguk. Dia berdiri dan menyalami dr. Kwon. “Gumawo, dr. Kwon .. ,” katanya sambil membimbing Joon keluar dari klinik itu. Sesekali dia melirik Wine. “Lain kali, jaga sikapmu, Wine. Dokter Kwon tidak akan ditahan diperlakukan kau begini terus .. ,” nasehat si ahjuma sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. Si anak kecil turut mengiyakan dengan mengangguk-anggukan kepalanya yang agak lonjong.
Wine memanjangkan bibir sampai ibu dan anak yang dirasanya sangat, teramat, cerewet itu menghilang dari pandangannya. Setelah itu, bibir itu ditekuknya. Tidak mengherankan kalau si ahjuma tadi sebal padanya. Sudah menjadi rahasia umum bagi para pasien di klinik itu kalau Wine suka mengagetkan dr. Kwon. Setiap kedatangannya selalu diawali dengan teriakan-teriakannya yang memekakan telinga, .. dan yang akan diakhiri dengan hentakan pintu yang berdebam keras.
“Dokter Kwon .. ,” panggil Wine.
Namun segera diputus dr. Kwon. “Antri dulu! Kau tidak boleh seenaknya!” tukas dokter itu tanpa berpaling padanya.
“Yeee!!” Kesal, Wine menghempaskan tubuh jangkungnya ke bangku panjang yang menyandar di dinding.
Dokter Kwon meliriknya sekilas, dan pria tua itu menyengir lebar begitu mendapati Wine bisa juga duduk dengan tenang menunggunya menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda.
Setelah pasien terakhir keluar dari kliniknya, dokter Kwon beralih pada Wine yang memejamkan mata di tempatnya.
“Bagaimana?” tanya dokter Kwon. “Apa lagi masalahmu?”
Wine membuka matanya lambat-lambat. Bibirnya mengerut. “Dokter masih nanya?”
“Omo—“ Seperti baru menyadari keadaan Wine, dokter Kwon segera menekan wajah cowok itu dan menarik kearahnya. “Parah banget?” ujarnya dengan mata mengeriput.
Wine segera mengibaskan tangan dokter Kwon.
“Apa yang kau lakukan?” lanjut dokter itu penasaran. “Mulutmu bengkak banget?” Alis dokter tua itu mengerut. “Apa kau habis makan strawberry?”
“Sa .. saya .. “ Wine tidak mampu melanjutkan perkataannya. Bagaimana mungkin dia menjelaskan pada dokter Kwon kalau dia bukan habis makan strawberry tapi habis nyium ‘Strawberry’? Yaishh, mengingatnya aja sudah membuat lututnya bergetar hebat.
“Jadi, benar kau habis makan strawberry?”
Wine memejamkan mata, .. tidak ada cara lain, akhirnya dia mengangguk.
“Kau ini sungguh bandel!” Omel dokter tua itu. “Sudah berapa kali kuperingatkan, itu sangat berbahaya bagi penyakitmu .. “
Dokter Kwon menuju lemari kayu yang tingginya mencapai langit-langit ruangan, yang dipenuhi laci-laci kecil yang jumlahnya melebihi tigapuluhan. Dibukanya salah satu laci yang berada paling tengah dan mengeluarkan sebuah tabung yang berisi pil-pil warna coklat tua.
“Obatmu sudah habis kan, makanya kau kemari?” tanya dokter itu tanpa berpaling pada pasien di belakangnya.
Wine mengangguk. Setelah pertanyaan tadi, rasanya dia enggan menjawab pertanyaan dokter Kwon.
“Saya heran dengan kau .. ,” lanjut si dokter sambil memutar badan dan menyodorkan tabung di tangannya. “Biasanya kau paling anti menyentuh buah yang namanya strawberry. Kenapa sekarang kau malah memakannya?” Jidat yang sudah keriput itu mengernyit sangat dalam.
“Sa .. ya lupa .. ,” ujar Wine pelan. Dia masih jua tidak beranjak dari posisinya, .. begitupun hanya untuk menerima tabung berisi obat dalam genggaman dokter Kwon.
“Lupa?” ulang dokter Kwon tak percaya. “Bagaimana mungkin kau lupa? Dulu kau pernah berkata, ‘selama kau tidak berdekatan, menyentuh apalagi memakan yang namanya strawberry’ maka hidupmu akan baik-baik saja. Itu pula yang menjadi alasanmu kenapa selama ini kau tidak mau disembuhkan olehku kan? Jadi, kenapa bisa begitu?”
“Aku tidak tahu!!” Wine jadi kesal. Diserobotnya tabung dari dokter itu. Kemudian berdiri dari duduknya. “Pembayarannya akan dilakukan ayahku!”
Wine memutar diri ke pintu lalu beranjak ke sana.
“Masih tidak berniat disembuhkan?” tawar dokter Kwon.
“Tidak!!” teriak Wine. Sebentar saja, sosoknya menghilang dari pandangan dokter tirus itu.
“Dasar anak kurang ajar!” omel dokter Kwon sembari mengeleng-gelengkan kepalanya.
Sudah terlalu lama dia mengenal Wine, .. itu sudah sejak kelahiran dan kelemahan yang diketahui keluarganya tentang anak itu terhadap kandungan-kandungan yang terdapat dalam obat-obat western. Karena itu, pengobatan Wine sudah khusus dipercayakan kepadanya sejak bayi. Semua karena Wine lebih cocok dengan pengobatan herbal alami.
End of flash back ..
oooOOOooo
”TIDAKKK!!!” Wine menjerit dan tersentak bangun dari tidurnya.
Ya, dia ketiduran tadi. Dan .. mimpi buruk. Kejadian yang mengelisahkannya itu, ternyata kebawa sampai ke mimpi.
“Antwee!! Tidak mungkin terjadi!!” Wine mengeleng keras-keras. “Tidak boleh terjadi!!” ulangnya berkali-kali, .. sambil komat-kamit layaknya seorang dukun yang sedang membacakan mantranya.
Wine menghembuskan nafasnya, lalu memejamkan mata. Dia mengeleng kembali. Untuk kemudian, wajahnya yang sudah bersimbah keringat itu ditutupnya rapat-rapat dengan sepasang tangannya.
“Saya tidak mungkin memikirkan Strawberry terus-menerus … ,” ucapnya ngeri. “Tidak mungkin … “ Kembali dia mengelengkan kepalanya. “Saya tidak mungkin menyukainya. Tidak boleh! Ini sangat mengerikan .. “ Dia bergidik. Bulu kuduknya berdiri seketika mengingat kemungkinan yang melandanya saat ini. “Saya akan mampus mengenaskan .. ,” ucapnya dengan suara bergetar.
oooOOOooo
”Kenapa wajahmu pucat, sayang?” tanya Nyonya So pada Wine saat sarapan keesokan harinya.
Wine menghela nafas lemah. Wajahnya yang pucat terlihat makin kuyu. Perlahan diletakannya garpu dan pisau di tangannya di dua sisi piring.
“Saya sakit, omma .. ,” jawabnya pelan.
“Sakit?” Nyonya So yang bersiap membawa makanan ke mulutnya, terhenti. “Sakit apa? Gwencana?”
Wine mengelengkan kepala segera. “Tidak!! Saya tidak baik-baik saja!!”
“Omo—“ Mulut Nyonya So mengangga. “Ada apa dengan mu? Kelihatannya sakit mu parah sekali .. “
“Ne .. ,” timpal Tuan So yang duduk di samping istrinya. “Apa tidak sebaiknya appa panggilkan dokter Kwon?” anjurnya khawatir. “Bibirmu sampai bengkak begitu .. “
“Tidak!! Tidak perlu!!!” tukas Wine cepat. “Kemarin saya sudah memeriksakan diri ke sana, dan dr. Kwon sudah memberikan obat-obat yang kuperlukan .. “
“O ya?” Nyonya So terlihat menghela nafas lega. “Lalu, apa katanya tentang penyakitmu? Parahkah?”
“Tidak!!” Wine segera menghindar. Tatapan dari kedua orangtuanya segera ditepisnya dengan memalingkan muka kearah lain.
“Ada yang kau sembunyikan?” selidik ommanya beberapa saat kemudian.
“Tidak!!” sahut Wine sengit.
“Omma tidak percaya!” balas Nyonya So. Tangannya yang memegang garpu terulur ke depan dan menghenting-henting piring di depan Wine. “Jangan berbohong! Sekarang, pandang omma!” Perintahnya lantang dan, tidak mungkin dibantah.
Dengan lemas, Wine menoleh lambat-lambat.
“Ada hubungan dengan Stro?” tebak Nyonya So tiba-tiba. Matanya menyipit ketika menatap Wine.
“Ti .. tidak .. ,” jawab Wine gugup. “A .. aku akan segera sembuh jika .. jika omma dan appa tidak memaksaku ke ladang hari ini .. Eh—mungkin juga buat hari-hari yang akan datang ..” Dia segera melarat perkataannya begitu menyadari ada sedikit kesalahan di sana.
“Wee?” tanya Nyonya So tajam, yang segera didukung suaminya dengan anggukan halus.
“Pokoknya saya tidak mau ke sana!!!” Wine berkeras. Suaranya yang rada-rada rendah dan dalam itu jadi melengking tinggi.
“Tidak bisa!!” sahut Nyonya dan Tuan So bersamaan, tegas dan tidak mungkin dibantah.
“Omma tidak mengijinkanmu melakukannya!!”
“Appa juga!!”
Lanjut kedua orangtua itu sengit.
“Apapun alasanmu itu, kau harus ke ladang!!” tukas Tuan So.
“Terlebih kalau urusannya dengan Stro, kau harus segera menyelesaikannya! Tidak boleh tidak!!” sambung Nyonya So tegas. “Jangan menghindar dari Stro!”
“Omma!! Appa!!” Wine melompat dari kursinya. “Saya tidak mau!!”
“Coba saja!” tantang ommanya.
“Sa .. saya tidak mungkin bertemu dengannya .. ,” balas Wine akhirnya. Tampangnya terlihat memelas dan perlu dikasihani. Tapi dia sadar, percuma melakukan itu di hadapan orangtuanya, karena ekspresi itu tidak pernah mempan terhadap kedua orangtuanya jika sudah menyangkut Strawberry.
“Kenapa?” tanya Nyonya So tanpa memperlihatkan perasaan apa-apa.
“Pokoknya saya tidak ingin bertatap muka dengannya .. ,” ujar Wine salah tingkah. “Sa .. saya .. saya sudah melakukan .. sesuatu yang .. yang tidak mungkin dimaafkan .. “
“Apa itu?” tanya orangtuanya bersamaan, .. terlihat agresif dan tertarik.
“Eh—“ Wine menyusut dengan agak sempoyongan. Raut kedua orangtuanya membuatnya ngeri. Segera ditahannya kursi yang agak oleng karena tersenggol olehnya begitu berdiri. Setelah posisinya benar, terburu-buru Wine melarikan diri dari ruang tamu itu.
“WINE!!” teriak Nyonya dan Tuan So.
“KALIAN TERLALU CEREWET!!” jerit Wine serak. “JANGAN MEMAKSAKU!!”
oooOOOooo
Sementara itu, .. jauh di seberang ladang strawberry, di sebuah villa yang sudah agak tua ..
“Stro, kau masih di sini?” tanya omma heran begitu mendapatiku masih bermalas-malasan di atas ranjang. “Kau tidak sarapan?” tanya omma lebih lanjut, seraya memasuki kamarku dan menghempaskan badannya di pinggir ranjang, di sebelahku.
Aku meliriknya sebentar, lalu terburu-buru mengalihkan pandangan ke majalah yang terhampar di depanku. “Saya tidak lapar, omma ..”
“O ya?” Omma membuka mulutnya. Mendadak dia mendaratkan tangannya di jidatku. “Kau sakit?”
“Tidak .. “ Dengan agak risih kusingkirkan tangan omma dari jidatku. “Saya baik-baik saja kok .. “
“Lalu kenapa kau tidak ke ladang?”
Nah, aku tahu ini yang akan ditanyakannya kemudian. Benar kan dugaanku?, desahku dalam hati.
Kugeser majalah tadi ke samping, lalu bangun dan duduk di pembaringan. “Saya tidak ingin pergi hari ini, omma. Please .. “
“O tidak bisa!” ujar omma seraya mengerak-gerakan telunjuknya. “Memangnya kenapa kau tidak ingin ke sana?” tanyanya menyelidik. Matanya terlihat berkilat-kilat sehingga aku yakin omma telah menyusun sebuah rencana dalam otaknya. Mungkin dia telah menebak sesuatu ditilik dari keenggananku.
“Tidak berhubungan dengan Wine jika itu yang omma pikirkan!” tukasku cepat. Sebelum dia mengambil keputusan buat terkaannya yang, .. ya, kuakui benar adanya—Yaishh!! Kenapa jadi begini?!! .. , aku harus menghancurkannya terlebih dahulu. Ngeri rasanya jika semua yang berhubungan dengan si geblek itu langsung dikaitkan denganku.
“Omma tidak bilang begitu .. “
Jawaban santai dari omma membuatku mengangga. Seketika, pipiku bersemu merah. “Eh--?”
“Omma tidak menyinggung Wine. Kenapa kau sepeka itu?”
#Gubrakk, .. omma, omma, .. Makin membuatku salah tingkah aja hu .. hu ..
Terburu-buru aku menurunkan kaki ke lantai, dan bergegas-gegas aku ngeloyor pergi dari kamar itu.
“Hey—mau kemana?” teriak omma.
“Ke ladang!!” balasku sekeras-keras.
#Teng, teng, .. Tanpa kusadari, omma menyengir licik di tempatnya.
**********************
DragonFlower- Posts : 94
Join date : 2013-06-17
Location : | Trapped in CNBLUE Dorm |
Re: Strawberry, Lovers or Haters?- by Lovelyn
Lanjott -------->
Ilmaa- Posts : 2
Join date : 2013-08-13
Age : 26
Re: Strawberry, Lovers or Haters?- by Lovelyn
Mom, I miss you so badly... Hey Strooooooo why you so cute like that,,, yaampun maaaaaaaammmmm lanjut deh yaaaa :*
Wine, kamu kok ngeyel sih, dibilangin kagak bisa ajah deh ya -_-!
Wine, kamu kok ngeyel sih, dibilangin kagak bisa ajah deh ya -_-!
Dafa Yuvi- Posts : 2
Join date : 2013-06-16
Age : 29
Location : Surabaya-Indonesia
Re: Strawberry, Lovers or Haters?- by Lovelyn
Mamiiiii~ need some strowberry and make it nuw scent of cocktail party with WIneeee... Hawt! Ohmaeeeeghhaaadddd,
Mam, lanjutannya ditunggu yah Saat kepala Wine sudh mau dibilangin orang tua, dokter lagi. Dia mau menahan hasrat mencium strow haarus dihentikan karena merah2? For real, No! C'mon mom, i love you
Mam, lanjutannya ditunggu yah Saat kepala Wine sudh mau dibilangin orang tua, dokter lagi. Dia mau menahan hasrat mencium strow haarus dihentikan karena merah2? For real, No! C'mon mom, i love you
Dafa Yuvi- Posts : 2
Join date : 2013-06-16
Age : 29
Location : Surabaya-Indonesia
Similar topics
» The Sounds of Death--by Lovelyn
» The Sarang - by Lovelyn
» Love and Career--by Lovelyn
» from Seoul to ... Perth-- by Lovelyn
» *When a Gay met a Young Mom (in love again)* by Lovelyn
» The Sarang - by Lovelyn
» Love and Career--by Lovelyn
» from Seoul to ... Perth-- by Lovelyn
» *When a Gay met a Young Mom (in love again)* by Lovelyn
Page 1 of 1
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum
|
|